Come on

Follow me @teguhspambudi

Thursday, September 29, 2011

Apple-nya Kafe Roti

Share this history on :

Saat kompetitornya melemah dan tiarap, ekspansi dipilih di atas jalur healthy food. Hasil pun dipetik: tumbuh dan terus tumbuh.

Panera Bread. Inilah salah satu the hottest brand di negeri Abang Sam. Bahkan ada julukan bombastis: Panera Bread is the Apple of bakery cafe.

Tentu saja bukan tanpa alasan menyebut demikian. Karakter Apple adalah outperform the competition: mengalahkah pesaing, bahkan melewati laju pertumbuhan industrinya. Panera memiliki karakter ini. Panera adalah rantai kafe roti paling sukses di AS dengan 1421 gerai dan kapitalisasi pasar di NASDAQ mencapai US$ 3 miliar.

Kinerja yang paling tampak adalah pada masa krisis global 2008 yang sangat terasa di seantero AS. Manakala perusahaan lain mengalami kontraksi, Panera seperti kebal krisis. Sementara pelaku sejenis kembang kempis, kafe roti ini justru melaju cepat. Manajemen Panera Bread Company membenamkan investasi di lini produk dan penambahan gerai di kota-kota besar AS. “Ketika krisis mulai datang, kami memutuskan untuk meningkatkan investasi. Pada saat hampir semua restoran mengambil posisi tiarap, kami justru berinvestasi pada peningkatan kualitas produk dan menggenjot pemasaran,” kata Ronald M. Shaich, Executive Chairman Panera. Apa latar belakangnya? Mengapa bukan bersikap menunggu sampai badai reda?

“Saat yang paling baik untuk tumbuh adalah pada masa resesi. Masa yang buruk untuk tumbuh justru pada saat booming.” Itulah jawaban Shaich.

Shaich adalah orang penting di balik Panera. Kafe roti ini awalnya bernama St. Louis Bread Co., sebuah jaringan kafe roti dengan 19 gerai di Missouri. Tahun 1993 Shaich yang sebelumnya memiliki jaringan Au Bon Pain, membeli St. Louis Bread senilai US$ 23 juta. Dia menamakannya Panera. Ini bahasa Latin. Artinya: "waktunya makan roti". Tahun 1999, agar bisa berkonsentrasi untuk Panera, Shaich menjual Au Bon Pain. Dan setelah itu, Panera pun melaju seperti kereta Hogwart Express di dongeng Harry Potter: cepat plus fantastis. Termasuk di saat krisis 2008 ketika yang lain lesu darah.

Berekspansi menambah gerai sesungguhnya tak murah sama sekali. Selain biaya konstruksi setiap toko yang menguras kocek, tenaga kerja pun otomatis bertambah. Toh strategi Shaich berhasil. Pada tahun 2009, Panera meraup pendapatan US$ 1,4 miliar, naik dari US$ 640 juta di tahun 2005. Penambahan gerai membuat pengunjung semakin ramai datang, menambah pundi-pundi uang. Tak heran, sejak akhir 2007, pendapatan melonjak 24% sementara industri resto AS turun 2%.

Tak ayal, fenomena kafe roti yang satu ini mengundang kalangan akademisi serta analis untuk membedahnya. Mereka kagum dan bertanya: apa rahasianya?

Visi. Inilah kekuatan awal yang menjadi titik tolaknya. Menurut Shaich yang tahun lalu mundur sebagai CEO Panera namun tetap menjadi Chairman, dia membawa kafe rotinya dengan satu pandangan jernih: bahwa konsumen AS semakin menolak apa yang disebut komoditisasi. “Setelah Perang Dunia II, McDonald's dan Burger King sangat spesial. Namun tahun 1993-1994, mereka tak ubahnya menjadi stasiun pompa bensin untuk tubuh manusia,” katanya ketika diskusi di Wharton. “Ada reaksi di sini. Orang ingin kekhususan dan mengakhiri komoditisasi. Kita saksikan ini dalam kekhususan untuk minuman ringan, es krim, kopi. Ini juga terjadi di industri makanan. Dan visi saya untuk Panera adalah menyajikan roti tanpa bahan kimia,” kata Shaich.

Visi ini kemudian diturunkannya dengan ciamik. Shaich memilih jalur niche strategy: menempatkan diri sebagai kafe roti yang menyajikan makanan sehat dengan harga terjangkau. Menu di Panera Bread beragam, tapi terkesan healthy. Burger tidak disajikan burger. Begitu juga gorengan. Di sini lebih banyak roti panggang, salad, sup vegetarian dan sandwiches dengan bandrol US$ 7. Semua disajikan di piring beling ketimbang piring plastik.

Tak hanya memosisikan sebagai kafe sehat. Panera juga cozy. Masuk ke gerai kafe roti ini, entah itu di Oregon, Florida, atau tempat lain di AS, setting-nya sama: lebar, cahaya yang kaya, dinding berwarna merah di tengah aroma harum roti yang meruap ditingkahi keramahan pelayan.

Pilihan di healthy food ini sungguh langkah yang tepat. Masyarakat AS mengalami obesitas. Pemerintah negeri Abang Sam telah menghabiskan sedikitnya US$ 150 miliar untuk mengobati kegemukan. Roti dan makanan lain di Panera yang rendah lemak memenuhi gerakan antiobesitas. Majalah Health menyebut Panera sebagai “healthiest quick serve restaurants”. “Jika makan di tempat seperti Panera, pengunjung merasa menyantap makanan yang lebih sehat,” kata John Ballantine, dosen Brandeis University International Business School.

Faktanya memang demikian. “Waktu resesi lalu, ambil contoh, bisnis salad kami naik 30%,” aku Shaich. Ini menunjukkan kesadaran masyarakat AS atas makanan sehat terus meningkat.

Harga juga menjadi faktor sukses. Pada saat krisis, terutama, konsumen menjadi sangat sensitif terhadap harga. “Panera menang karena mampu memberikan harga yang terjangkau dengan kualitas terjaga,” kata Guru Pemasaran Wharton, Yoram Wind.

Begitu pula dengan lokasi yang nyaman. Manajemen kafe roti ini, lanjut Yoram, memahami perubahan psikografis konsumen untuk memberikan customer experience secara detail. “Starbucks menciptakan apa yang disebut ‘tempat ketiga’. Anda punya rumah, punya tempat kerja, dan Anda punya Starbucks. Coba kita lihat Starbucks. Di sana orang duduk sepanjang hari, minum kopi, ngobrol, baca surat kabar, di depan komputernya,” ungkap Yoram. Itu juga terjadi pada Panera. Di tempat-tempat kafe ini berada, ia telah menjadi community center. Pelanggan datang untuk bersosialisasi, bekerja dan meeting. Semua disajikan karena Panera adalah salah satu resto dengan jaringan wi-fi terkuat di AS.

“Kita tengah melihat evolusi the common space and the community space. Panera menjadi bagian itu," timpal Ballantine. “Sebelumnya, kafe roti yang enak adalah pada kualitas makanannya. Tapi sekarang kafe roti telah menjadi tempat di mana orang berkumpul,” dia menyambung. “Panera sukses menjadi simbol kehangatan,” kata Lawrence Hrebiniak, Guru Besar Manajemen Wharton menambahkan. “Dalam iklan-iklannya, Panera memosisikan diri sebagai tempat yang hangat, terbuka, tempat mengajak keluarga dan teman, termasuk teman-teman lama.” Di sini, pengunjung duduk di kursi kayu elegan ketimbang sofa mengkilat seperti di kebanyakan resto fast food.

Dalam urusan customer experience, Panera menggalakkan program loyalitas pelanggan dengan memberikan cemilan dan kopi gratis. Juga ada tawaran melihat demonstrasi masak. “Sebetulnya kami tak melakukan sesuatu yang baru dan berbeda. Kami hanya berupaya semakin dekat dengan pelanggan,” terang Shaich.

Bos kafe ini boleh jadi merendah. Realitasnya, Panera juga melakukan terobosan yang membuatnya makin terkenal dalam urusan customer experience. Apa itu?

Ketika efek krisis masih terasa, Shaich mendirikan Panera Bread Foundation yang menggelar konsep kafe komunitas, Panera Cares. Diluncurkan pada 16 Mei 2010, ada dua kafe yang telah dibuka dengan konsep ini, di Michigan dan Orlando. Kafe ini tergolong istimewa. Di gerai ini tidak ada harga makanan serta cash register. Pengunjung bisa mengambil apa makanan yang diinginkan. Cara bayarnya? Mereka tinggal melihat apa yang disebut “donation amount” dan “donation suggestion” pada produk yang diinginkan, lalu memasukkan uang ke dalam kotak donasi yang disediakan. Uang yang masuk akan diputar untuk produksi, selebihnya untuk disumbangkan.

Inilah kafe roti dengan model nonprofit. "We encourage those with the means to leave the requested amount or more if you're able”. Itu tulisan di kafe Panera Care. Artinya, Anda boleh membayar sesuai “amount” atau “suggestion”. Atau bahkan lebih. Terserah sesuai keikhlasan Anda.

Menurut Shaich, ini adalah bagian dari upaya Panera membantu orang-orang yang sedang kesulitan. Dan dia punya kenangan untuk itu. “Ketika diluncurkan, kami tak yakin bagaimana orang akan merespons. Dalam banyak hal, kafe ini adalah tes kemanusiaan. Kami tak tahu apakah orang akan menolong satu sama lain, atau mengambil keuntungan,” katanya. Kenyataannya?

“Dua belas bulan kemudian, kami bangga orang menolong sesama dan memastikan kami bisa terus menyediakan makanan bagi pengunjung.”

Dalam catatan Shaich, sekitar 20% pengunjung kafe memberikan lebih dari “donation amount”, 20% di bawah donasi, dan 60% di atas “suggested donation”. Lalu, secara rata-rata, setiap minggu 3.500-4.000 orang datang ke tiap kafe berkonsep nonprofit ini. Karena sukses dengan model ini, majalah TIME menyebutnya “sandwich philantrophy”.

Tak ayal, kesuksesan Panera membetot pengunjung untuk singgah, pada ujungnya memberikan kegembiraan bagi investornya. Sebagai pelaku resto di bursa, kinerjanya memuaskan. Akhir Juni 2011, manajemen kafe roti ini melaporkan laba bersih mencapai US$ 68 juta atau US$ 2,27 per lembar saham. Sementara periode sebelumnya laba yang diraih di posisi US$ 53 juta atau US$ 1,67/saham.

Sekalipun memuaskan, Panera tetap diingatkan. Dari sisi konsep bisnis, misalnya. Ada pepatah mengatakan, “Success always breeds imitation”. Kesuksesan akan mengundang imitasi. Manajemen Panera dituntut inovatif, semakin dekat ke pasar, memahami perubahan yang terjadi pada selera konsumen, dan menyesuaikan produknya dengan tetap memunculkan persepsi di benak konsumen bahwa mereka mendapat good value bila datang ke kafe Panera.

Di luar tantangan itu, Ballantine menaruh perhatian terhadap gaya ekspansi Shaich. “Itulah yang terjadi pada Starbucks,” katanya. Selama 5 periode, 2002-2007, Starbucks menambah gerai hingga 3 kali lipat di seluruh dunia, dari 5.886 menjadi 15.011 gerai. Namun, dengan krisis ekonomi 2008, pendapatan Starbucks merosot. Arus pelanggan menurun. Perusahaan pun menutup 600 gerai yang underperform. “Saya khawatir adanya over-expanding,” kata Ballantine.

Kekhawatiran ini boleh jadi beralasan. Terlebih kini ekonomi AS kembali melesu, berdampingan dengan kelesuan di tanah Eropa. Ancaman penurunan pelanggan bukan sebuah hal yang mustahil di tengah situasi yang ditaksir lebih berat dibanding krisis 2008.

Membuat Panera tetap berjaya dalam kondisi seperti ini jelas tak mudah. “Ini adalah tugas yang menantang dan sulit,” ujar Hrebiniak. Tapi inilah tantangan. Bila bisa melewati, Panera semakin pantas disebut Apple-nya kafe roti. (*)

0 comments: