Kendati masih banyak
perusahaan tak mampu memanfaatkan media sosial dengan baik, sejumlah perusahaan
fasih menggunakannya. Apa yang mereka praktikkan?
Judul laporan Ben Rooney itu singkat saja, “Brands Fail To Grasp Social Media Opportunities”. Begitu juga dengan beritanya, pendek. Namun dalam artikelnya di Wall
Street Journal, 10 November 2011 itu Ben mengirim pesan layak simak. Isinya: banyak merek gagal mengintegrasikan
antara strategi media sosial dengan sasaran bisnisnya sehingga membuang uang dan bahkan membuat pelanggan potensialnya
bergerak menjauh.
Ben tak
asal bicara. Dia mengutip studi perusahaan riset pemasaran
global, TNS, anak usaha WPP yang dirilis awal November 2011. Setelah menyurvei
72 ribu pelanggan di 60 negara, Matthew Froggatt, Chief Development Officer TNS menyatakan 57% konsumen di negara
maju, termasuk di AS dan Inggris, tidak ingin terikat dengan merek tertentu
lewat media sosial.
Berangkat dari sini, Froggatt menyatakan bahwa banyak merek sekedar membangun basis
pengikut yang besar tanpa punya strategi yang jelas bagaimana berinteraksi
dengan mereka. Lebih tegas: mereka tak tahu mau diapakan para follower ini. “Rupanya banyak merek yang
gagal mengenali bahwa aktivitas digital harus diselaraskan dengan sasaran
bisnis. Ini bukan sekedar perkara pemasaran digital, tapi bagaimana mengintegrasikannya sebagai
bagian dari strategi bisnis,” katanya.
Kesalahan mendasar, lanjut Tuan Froggatt, para pemilik merek tak
bisa mengapresiasi pergeseran yang secara
radikal telah dibuat media sosial. Secara tradisional, banyak merek hanya ingin membetot
atensi publik atas dirinya dan seakan berkata, “Hei, inilah aku”. Di media tradisional yang tak interaktif, itu bisa dimungkingkan. Namun media sosial berbeda. Media
sosial membongkar tatanan lama tersebut. Dalam media
sosial, konsumen tiba-tiba bisa menginterupsi perbincangan yang ada sehingga
produsen atau pemilik merek tak lagi bisa sekedar berposisi “menjual diri”, berpromosi
sejuta citra. “Konsumen semakin ingin merek yang tak sekedar menjual barang,
tapi melakukan percakapan (conversation) dengan konsumen. Mereka ingin
merek yang tak cuma membawa paket pemasaran, tapi menawarkan peluang pertukaran
nilai antara produsen dan konsumen,” Froggatt menandaskan.
Di ujung tulisan, Ben kembali mengutip Froggatt dengan menyatakan
bahwa merek yang akan sukses adalah yang mampu melantunkan suara yang benar.
Apa itu? Bukan yang berteriak keras, tapi menyelaraskan suara dengan konsumen,
yang memberikan nilai tambah, dan memungkinkan untuk berkolaborasi.
Nasihat Froggett dipraktikkan Ford dengan baik. Empat tahun lalu, Ford
Motor Co. mengangkat Scott Monty sebagai Head of Social Media. Setelah
masuk, Scott membawa sentuhan atas aktivitas media sosial raksasa otomotif itu. Di sisi basis
pelanggan, akun Twitter @Ford telah memiliki lebih dari 112 ribu follower, melejit dibanding 3000 follower di April 2009. Ford memiliki 6
blog, 17 Facebook pages, deretan video di YouTube, akun Flickr dengan
barisan foto mobil-mobil Ford, dan situs di Scribd yang disebut Monty sebagai
“YouTube-nya dokumen”.
Monty memang agresif memacu jalur digital sebagai medium pemasarannya. Produsen dari
Detroit ini ingin membangun reputasi di dunia virtual dengan harapan bisa turut
mendongkrak penjualan yang ketika itu tengah dihela untuk kembali ke titik
positif. Salah satu yang sukses adalah ketika Ford merilis produk anyarnya di
Amerika Utara, Ford Fiesta di tahun 2009. Produsen ini memberi 100 “agen”
independen untuk merasakan Fiesta dan mempublikasikan pengalamannya mengendarai
mobil ini. Para agen ini adalah blogger, pembuat film, dan social networker. Dengan antusias, mereka mendokumentasikan dan
berbagi pengalaman. Mereka membuat cerita yang otentik, dipublikasikan secara
online pada FiestaMovement.com. Di
sini orang berbagi cerita apa adanya. Craig Benzine, salah seorang “agen” yang
terlibat memuji Ford yang tak mengatur diskusi yang berkembang. “Mereka membuat kami merasa yakin
untuk mengatakan apa yang kami mau tentang mobil mereka, sekalipun kami mengeluarkan kata-kata yang membenci produk mereka,” katanya.
Secara keseluruhan, hasilnya sangat positif. Banyak orang yang
berubah persepsinya terhadap produk-produk Ford yang ketika itu tengah kehilangan pasar di AS. Berbagi
cerita secara online ini pun turut mendukung penjualan Ford Fiesta, sekaligus penjualan Ford. Tak heran bila Jim Farley,
VP Pemasaran Global Ford pun puas. “Saya ingin pelanggan menceritakan apa yang
menjadi cerita Ford. Dan itulah yang telah ditunjukkan dunia digital,” ujarnya.
Gerakan yang dibuat Monty
untuk Ford Fiesta tak hanya di AS. Di Negeri Gajah
Putih pun
gencar. "Aktivitas media sosial di Thailand mulai sejak tahun 2010 seiring
peluncuran Ford Fiesta di Thailand. Ada 30 ribu fans yang tergabung dalam
komunitas Facebook Ford Fiesta Thailand dan hampir 3.500 pre-bookings untuk All-New Fiesta," ungkap Reha Alev, Manager
Komunikasi Multimedia & Digital Ford Thailand. Dan seperti di AS, media
sosial turut mendorong pertumbuhan bisnis Ford di negeri itu. Penjualan September 2010
berlipat ganda, menjadikannya bulan dengan kinerja terbaik bagi Ford Thailand sejak Desember
2007.
Keberhasilan di Thailand menjadi serangkaian
sukses kampanye Ford Fiesta via media sosial. Sejak Fiesta Movement diluncurkan
di tahun 2009, lebih dari sudah 4 juta orang mengakses YouTube, 500 ribu lebih
mengintip foto Fiesta di Flickr, lebih dari 3 juta kicau di Twitter, menarik
minat lebih dari 50 ribu pelanggan potensial yang 97% diantaranya belum punya
mobil Ford, sekaligus mendongkrak 38% awareness.
Belakangan, Ford
makin serius untuk memberi nilai tambah bagi konsumen dan masyarakat luas di
ranah sosial media. Mereka membuat social.ford.com yang lebih interaktif
(sila akses untuk mengetahui lebih lanjut). Di sini, orang bisa saling
berkomentar, berbagi ide, dan menggunakan badge yang disediakan Ford
untuk akun Facebook, Twitter maupun Google+. Merasakan manfaat media sosial,
Ford kini mengalokasikan 25% anggaran pemasarannya di ranah digital.
Dengan kesuksesan ini, tak heran jika Ford
nangkring di peringkat 7 dalam ajang The Best Social Media Reputation 2011,
yang digelar Yomego, lembaga media sosial berbasis di Inggris. Bersama Gucci
yang berada di peringkat 6, raihan Ford sangat menarik karena peringkat 1-5 didominasi
perusahaan teknologi (eBay, Apple, Google, BlackBerry dan Amazon) yang nota
bene selalu bersentuhan dengan media sosial serta dunia maya. Dan Scott Monty
sendiri ada di posisi 11 dalam “Top 50 Social Media Power Influencers 2011”
lewat kicauan dan tulisannya di Twitter (@scottmonty) serta blognya. Peringkat
pertama jatuh pada Chris Borgan yang memang sudah lama kesohor sebagai blogger
papan atas dunia.
Kembali ke perusahaan yang memanfaatkan media
sosial sebagai medium pengintegrasian strategi pemasaran dengan tujuan bisnis.
Berdirinya eBay di peringkat pertama bisa dibilang tak mengejutkan. Perusahaan
ini telah memperkenalkan forum komunitas sejak akhir 1990-an di dunia maya, dan
bahkan bisa disebut sebagai salah satu pioner interaksi sosial di jagat
virtual. Seperti halnya Ford dengan Scott Monty, untuk mengurusi media sosial,
eBay khusus menggunakan tenaga Richard Brewer-Hay sebagai penanggung jawab yang
betugas menyuarakan cerita eBay ke dunia.
Dalam urusan media sosial ini, eBay tak semata
menggunakan media sosial untuk berinteraksi dengan kalangan eksternal. Mereka
juga memanfaatkannya buat komunikasi internal. Ada intranet yang berisikan
blog, forum, dan ruang diskusi. Setiap karyawan punya landing page
masing-masing yang bisa dikustomisasi. eBay juga tergolong salah satu
perusahaan yang pertama-tama memulai social media
corporate disclosure program yang
dipublikasinya via Twitter (@eBay). eBay juga sangat maju dalam urusan
integrasi bisnis via media sosial. Peranti social commerce-nya, eBay
Group Gifts menggunakan Open Graph di Facebook.
Create value for your audiences. Itulah yang banyak disarankan pakar media sosial kepada perusahaan yang ingin memanfaatkan ranah yang berkembang dalam 3 tahun terakhir ini. Konsumen akan merasa berguna jika mereka menemukan manfaat dari produk yang berinteraksi dengannya. Entah manfaat produk itu sendiri (functional benefit) atau dari sisi emosi (emotional benefit) ketika sang produk mau menyapa konsumennya dalam posisi yang setara: diperlakukan sebagai manusia, bukan sekadar objek.
Dalam konteks menciptakan nilai bagi publik ini, Pepsi bahkan tergolong yang sudah berupaya membuat hal yang lebih maju. Alih-alih berkutat menjual produk lewat media sosial, mereka meluncurkan Pepsi Refresh Project. Ini bukan program berjualan minuman. Ini adalah program tentang ide-ide baik buat masyarakat.
Menggunakan media sosial, Pepsi berupaya menggeser pemikiran konsumen yang fokus pada pembelian produk semata seperti soda, menjadi pendanaan untuk barang-barang yang dibutuhkan masyarakat luas. Lewat laman refresheverything.com, setiap orang dapat memposting dan memilih ide yang mereka sebut “save something, create something, or change something”. Para pencari bantuan bisa memperluas jaringan mereka di laman ini, juga lewat Facebook, Twitter, YouTube dan MySpace. Tahun 2010, program ini mengucurkan bantuan US$ 20 juta. PepsiCo berharap nilai ini akan bertambah setiap tahunnya. Pada ajang The Best Social Media Reputation 201, Pepsi ada di posisi 29.
Dengan meningkatnya penggunaan smartphones dan tablet (iPad, Tab, dst), masyarakat semakin terkoneksi secara mobil. Di sinilah perusahaan dan orang-orang yang ingin mengintegrasikan aktivitas pemasaran atau melakukan personal branding harus memanfaatkan media sosial sebaik-sebaiknya. Ada banyak tips yang bisa dilihat di aneka laman yang membahas media sosial. Tapi yang pertama harus diingat baik oleh perusahaan maupun perorangan, kata analis dari Altimeter Grup, Susan Etlinger (@setlinger) adalah: think like a customer first. “Perlakukan audiens kita sebagai person, bukan target. Berpikirlah bahwa Anda tengah membangun sebuah hubungan, bukan menyelesaikan suatu transaksi,” ujarnya. Dengan paradigma seperti itu, maka perusahaan atau orang cenderung bisa menghasilkan sesuatu yang bernilai bagi audiensnya. ***
Create value for your audiences. Itulah yang banyak disarankan pakar media sosial kepada perusahaan yang ingin memanfaatkan ranah yang berkembang dalam 3 tahun terakhir ini. Konsumen akan merasa berguna jika mereka menemukan manfaat dari produk yang berinteraksi dengannya. Entah manfaat produk itu sendiri (functional benefit) atau dari sisi emosi (emotional benefit) ketika sang produk mau menyapa konsumennya dalam posisi yang setara: diperlakukan sebagai manusia, bukan sekadar objek.
Dalam konteks menciptakan nilai bagi publik ini, Pepsi bahkan tergolong yang sudah berupaya membuat hal yang lebih maju. Alih-alih berkutat menjual produk lewat media sosial, mereka meluncurkan Pepsi Refresh Project. Ini bukan program berjualan minuman. Ini adalah program tentang ide-ide baik buat masyarakat.
Menggunakan media sosial, Pepsi berupaya menggeser pemikiran konsumen yang fokus pada pembelian produk semata seperti soda, menjadi pendanaan untuk barang-barang yang dibutuhkan masyarakat luas. Lewat laman refresheverything.com, setiap orang dapat memposting dan memilih ide yang mereka sebut “save something, create something, or change something”. Para pencari bantuan bisa memperluas jaringan mereka di laman ini, juga lewat Facebook, Twitter, YouTube dan MySpace. Tahun 2010, program ini mengucurkan bantuan US$ 20 juta. PepsiCo berharap nilai ini akan bertambah setiap tahunnya. Pada ajang The Best Social Media Reputation 201, Pepsi ada di posisi 29.
Dengan meningkatnya penggunaan smartphones dan tablet (iPad, Tab, dst), masyarakat semakin terkoneksi secara mobil. Di sinilah perusahaan dan orang-orang yang ingin mengintegrasikan aktivitas pemasaran atau melakukan personal branding harus memanfaatkan media sosial sebaik-sebaiknya. Ada banyak tips yang bisa dilihat di aneka laman yang membahas media sosial. Tapi yang pertama harus diingat baik oleh perusahaan maupun perorangan, kata analis dari Altimeter Grup, Susan Etlinger (@setlinger) adalah: think like a customer first. “Perlakukan audiens kita sebagai person, bukan target. Berpikirlah bahwa Anda tengah membangun sebuah hubungan, bukan menyelesaikan suatu transaksi,” ujarnya. Dengan paradigma seperti itu, maka perusahaan atau orang cenderung bisa menghasilkan sesuatu yang bernilai bagi audiensnya. ***