Come on

Follow me @teguhspambudi

Tuesday, January 20, 2015

Suatu Hari Bersama Bob Sadino

Wafatnya Bob Sadino, 19 Januari 2015, mengingatkanku pada kenangan lebih dari satu dasawarsa lalu saat menjadi reporter SWA. Saat itu, redaktur rubrik Manajemen akan menulis tentang "Strategi Bisnis Bob Sadino". Kinerja bisnis Bob saat itu sedang tidak baik. Beberapa bisnisnya tengah menurun. Pak Redakturku ingin tahu bagaimana strategi Bob akan m

Pagi itu, aku pun berangkat dari kantor bawa pertanyaan redaktur. Rumah si Om di Cireunde aku datangi. Pagi itu, kami duduk berhadapan. Sebagai reporter pemula, aku penuh semangat. Bob Sadino adalah nama besar. 

Bercelana pendek, Bob menyilangkan kakinya di hadapanku. Tangannya memegang rokok, atau cerutu, aku lupa persisnya. Yang pasti dia nyatai banget.

Recorder pun dinyalakan. Aku berharap dapat jawaban yang keren dari orang yang cuma aku kena tahu sebelumnya dari koran dan televisi.

Setelah memperkenalkan diri, aku berbasa-basi sebentar tentang rencana penulisan dan angle-nya. Lalu, masuklah dialog-dialog yang tak pernah aku lupakan itu.

"Om, seperti apa sih visi bisnis Om Bob?", tanyaku.

“Setinggi langit, sedalam lautan.” Bob menjawab sambil nyengir.


Aku melongo.

"Maksud Om?" tanyaku bodoh.

"Ya itu, setinggi langit, sedalam lautan." Dia mempertegas.

Balik ke kertas titipan redaktur, aku lihat daftar pertanyaan lagi. Keringat mulai basah. Antara jengkel dan bingung menghadapi orang seperti ini. Benar kata orang, pikirku, Bob itu nyentrik. Tapi aku benar-benar nggak siap mental menghadapi jawaban semacam itu. Otakku sudah mulai dijejali pakem tentang visi bisnis dan strategi bisnis, termasuk strategi marketing yang berisikan ragam teori macam 4P dan sebagainya yang baru kupelajari dasar-dasarnya.

Mendongak, aku menatap lagi wajahnya yang tetap senyum.

"Kalau gitu, apa strategi Om untuk merealisasikan visi itu?" tanyaku.

“Strategi Om adalah tanpa strategi.” Dia menjawab lagi dengan kalem.

Aku melongo lagi. Dan sejurus kemudian...

“Bingung kan kamu?” Bob bertanya sambil nyengir. 

Aku mengangguk. Ampun deh nih, orang. Gile bener. Ditanya, bikin mikir. Gimana bikin laporannya ke redaktur. Jawaban yang benar-benar kereeeen…

Bob tak berhenti sampai sini meneror mentalku. "Nggak nggerti juga? Kamu bodoh, Teguh," katanya sambil nyengir lagi.

Yah... begitulah. Akhirnya satu jam wawancara membuatku bingung. Bob terlalu "tinggi" ilmunya buat reporter pemula seperti aku. Dia seperti filsuf sementara aku adalah pelajar yang naif. Bob mengajak berpikir out of the box, sementara aku sedang belajar teoretik. Bob sudah ngelotok dengan pengalamannya, sementara aku baru belajar ilmu-ilmu bisnis.

Ah, Om Bob, selamat jalan. Semoga Allah menerima amalmu dan melapangkan jalanmu. Pikiran-pikiranmu membuatku kagum. ***