Come on

Follow me @teguhspambudi

Monday, August 26, 2013

Dalam Sepatu TOMS

Gagasannya untuk berbisnis dengan semangat memberi pada anak-anak tak mampu, ternyata diapresiasi pasar. Ketulusannyalah yang membuat program ini sukses besar.

TERHENYAK
Semuanya bermula di tahun 2006. Seorang pemuda kelahiran Texas, 26 Agustus 1976 bernama Blake Mycoskie melakukan perjalanan ke Argentina. Itu adalah perjalanan yang ditempuhnya sebagai sebuah penunaian janji yang dia ikrarkan 4 tahun sebelumnya.

Tahun 2002, Mycoskie bersama saudarinya, Paige mengikuti lomba yang digelar CBS, The Amazing Race yang salah satunya melintasi negerinya Lionel Messi ini. Mereka akhirnya menjadi pemenang ketiga, hanya kalah beberapa menit dari pemenang pertama dan kedua. Tapi bukan soal lomba itu yang membetot hati Mycoskie. Menurutnya Argentina adalah negeri yang indah sehingga dia berjanji akan kembali pada suatu hari nanti untuk mengenal negeri ini lebih jauh. Sebab, dalam The Amazing Race, katanya, mereka hanya berlari dan berlari untuk menaklukkan tantangan.

Janji itu ditepatinya. Merasa lelah dengan bisnis kursus mengemudi yang dijalankannya, Mycoskie memutuskan berlibur ke Argentina. Dia ingin menghabiskan waktu bersenang-senang di ujung benua Amerika Latin itu. Dan memang demikianlah pada awalnya. “Saya belajar polo, kursus menari tango, dan berjalan-jalan,” ujar lelaki bercambang ini. Pokoknya bersenang-senang. Tiada hari tanpa tawa dan senda gurau.

Tapi lewat satu bulan, kesenangan itu berganti menjadi satu keharuan. Di sebuah desa yang sulit dicapai, yang terletak di perbatasan Argentina dan Brazil, hati Mycoskie dikoyak sebuah pemandangan pahit. Beberapa anak tak mengenakan sepatu. Bukan karena memang asyik bertelanjang kaki, tapi lantaran memang tak mampu membeli sepatu atau alas kaki lainnya. Padahal mereka harus menempuh jalan panjang untuk mendapatkan air. Yang membuatnya lebih prihatin, mereka tak bisa bersekolah gara-gara tak bersepatu. Mengapa? Karena sekolah menyaratkan anak-anak bersepatu sebagai bagian dari seragam sekolah. “Di sebuah keluarga, mereka punya sepasang sepatu,” dia mengenang, “maka anak-anak mereka saling berbagi pakai. Siapa yang hari itu giliran memakainya, dia bisa pergi sekolah.”

Mycoskie terhenyak melihat pemandangan itu. Di negeri yang indah ini, hatinya terusik. Pulang ke Amerika, dia pun membawa sebuah gagasan: membangun perusahaan yang memproduksi sepatu kanvas. Bukan sembarang sepatu. Tapi sepatu yang dijual dengan satu tawaran: siapa yang membeli sepasang sepatu darinya hari ini (today), maka esoknya (tomorrow) Mycoskie akan menyumbang sepasang sepatu baru untuk anak-anak yang tak punya sepatu di negara-negara berkembang atau tertinggal. “Karena itu kami sebut ini ‘the tomorrow's shoes project’,” katanya.

Dari Kalifornia, muncullah nama perusahaan itu: “Shoes for a Better Tomorrow”. Lalu merek sepatunya: Tomorrow's shoes. Indah terdengar. Akan tetapi, persoalan baru muncul. Nama itu terlalu panjang untuk dikenakan di sepatu, Mycoskie pun mencari solusi. Lahirlah “TOMS” yang merupakan kependekan dari kata “tomorrow” dalam "Tomorrow's shoes". Belakangan, dia menanamkan merek itu menjadi sebuah value dalam perusahaannya: tentang menciptakan hari esok yang lebih baik. “Saya senang untuk mengatakan bahwa kami semua adalah ‘Tom’. Termasuk juga mereka di manapun yang memungkinkan sepatu ini terwujud, mereka juga ‘Tom’.”

Kalau otak bisnis Mycoskie bekerja, tak perlulah heran. Dia memang entrepreneur tulen. Bisnis pertamanya dibesut saat masih kuliah. Di usianya yang menginjak 19 tahun, dari tangannya lahir layanan door-to-door laundry yang disebut EZ Laundry. Empat tahun kemudian (1999), dia beralih haluan, mendirikan perusahaan billboard di Nashville, Tennessee, bernama Mycoskie Media. Hanya tiga tahun bisnis ini dijalankan. Dia menjualnya kepada Clear Channel Communications untuk mengikuti Amazing Race. Pulang dari Argentina (2002), Mycoskie mendirikan Reality Central, kemudian Drivers Ed Direct, perusahaan layanan kursus mengemudi sampai akhirnya ditinggalkannya untuk kembali ke Argentina yang mengantarnya pada kelahiran “TOMS”.

Tapi bisnis kali ini berbeda dengan bisnis-bisnis yang dibuat sebelumnya. TOMS benar-benar tak serupa. Bukan hanya pada jasa atau produk yang dibuat, tapi juga pada spirit, model bisnis serta cara pemasarannya.

Blake Mycoskie: "Kami semua adalah Tom"Sumber: shopwithmeaning.org

Hal yang memang menarik adalah bagaimana Mycoskie menggulirkannya. Untuk merealisasikan niat awal bisnisnya, dia membangun model bisnis yang kemudian popular disebut “One for One”: satu pasang sepatu dibeli, satu pasang disumbangkan.

Dengan simple but strong message semacam ini, tiada dinyana pasar menyambutnya dengan antusias. Terutama di Amerika Serikat. Pelanggan di Negeri Abang Sam ini menjadi pasar terbesar TOMS. Dan itu terbangun lewat pemasaran gaya word of mouth marketing (WOM) yang secara sadar dibangun Mycoskie.

Salah satu langkah WOM yang terkenal dari Mycoskie beberapa bulan setelah membesut TOMS adalah “A Day without Shoes” di tahun 2007 ketika dia mengajak orang untuk terlibat dalam gerakan “sehari tak bersepatu”. Ya, Mycoskie mengajak semua orang di dunia di dunia untuk berpartisipasi dengan gerakan ini. Maksudnya agar bisa merasakan bagaimana rasanya tidak punya sepatu.

Ajakan ini begitu diapresiasi, terutama di Amerika Serikat. Dan seperti spiral, omongan baik itu menyebar begitu cepat. Televisi ramai meliputnya. Mycoskie diwawancarai dalam acara Good Morning America dan sejumlah pertunjukan lainnya. Berita serta opini di koran pun berentet. Seperti sebuah mesin yang bekerja otomatis, kabar tentang sepatu TOMS terus diproduksi massal. Ujungnya, buzz tercipta massif. Tak heran, dalam 24 jam, Mycoskie bisa mendapat 2.200 order sepatu.

Tapi sebab utama mengapa WOM yang dibangun Mycoskie disambut pasar adalah ketulusan misi yang dibentangkannya. Rupanya konsumen Amerika merasa tersentuh dengan misi yang dibawa dalam sepatu TOMS. “Setiap pelanggan yang membeli sepatu Classics, Cordones, atau Stitchouts, akan mengingat bahwa mereka menyumbang sesuatu pada dunia,” kata Mycoskie.

Dia punya pengalaman menarik tentang hal ini. Suatu hari Mycoskie terbang ke New York. Di tengah perjalanan, dia menjumpai seorang wanita mengenakan sepatu TOMS. Dengan santainya Mycoskie pun bertanya mengapa sang wanita memakai sepatu TOMS. Tidak tahu siapa lelaki yang bertanya, sang wanita secara antusias bercerita tentang misi perusahaan untuk membuat sepatu yang bukan “sepatu biasa”, termasuk juga latar belakang sang pendiri yang sebenarnya tengah berdiri di hadapannya. Pendek kata, orang-orang Amerika tertarik dengan niat baik di balik bisnis anak muda ini.

Menariknya, tak cuma konsumen yang tergerak. Kalangan perusahaan pun terdorong untuk terlibat lebih intens. Sejumlah perusahaan, termasuk AT&T dan Polo Ralph Lauren mulai berkolaborasi dengan TOMS. Ralph Lauren mendesain lini khusus TOMS untuk sepatu rugbi agar kredibilitas merek ini semakin mapan. Sementara itu AT&T membuat film komersial tentang TOMS dan mengikuti Mycoskie saat membagi-bagikan sepatu kepada anak tak mampu agar misi sosialnya semakin diketahui luas.

Selain ketulusan yang diapresiasi masyarakat sehingga melahirkan WOM yang hebat, belakangan, efek buzz yang besar juga tercipta karena Mycoskie menciptakan model kolaborasi untuk membuat TOMS kian diterima masyarakat luas. Caranya?

Sesuai janjinya, Mycoskie dan timnya melakukan perjalanan global untuk mendistribusikan alas kaki ke anak-anak di wilayah tertinggal. Menariknya, dalam proses ini dia mengajak para sukarelawan (terutama anak-anak muda) dan LSM sehingga tercipta keterlibatan masyarakat yang sangat kuat. Rupanya Mycoskie percaya bahwa kesuksesan TOMS akan bergantung pada satu faktor: hasrat generasi baru untuk terlibat dalam proyek ini serta dukungan global yang luas.

Mycoskie berbagi sepatu dengan anak-anak Ethiopia
Sumber: Inc.com
Dengan pola memancing partisipasi semacam ini, akhirnya ownership atas TOMS pun menjadi sangat luas. Masyarakat merasa memiliki sepatu TOMS sehingga tanpa dikomando rela untuk turut serta meng-endorse-nya tanpa dibayar sepeser pun. Pada tahun 2008, misalnya, sejumlah mahasiswa mengorganisasi kampanye Day Without Shoes untuk meningkatkan kesadaran tetang adanya anak-anak yang tidak punya sepatu. Tiada dikira, gerakan ini belakangan menjadi inisiatif global dan pada April 2012 lebih dari seperempat juta orang di muka bumi berpartisipasi untuk tidak menggunakan sepatu di salah satu hari di bulan April itu. Bila Anda juga tertarik, bisa mengakses laman ini: www.onedaywithoutshoes.com

Apresiasi serta keterlibatan yang massif dalam spektrum “giving” ini pada akhirnya mendatangkan efek positif bagi TOMS dari sisi bisnis. Secara mengejutkan, TOMS sangat menguntungkan di masa resesi (2008-2009), sekalipun harganya dinaikkan dan Mycoskie sangat sedikit mengucurkan uang untuk pemasaran dan iklan.

Hanya dalam waktu kurang dari 5 tahun, dengan bantuan getok tular sejumlah korporasi, pelanggan serta media sosial, TOMS tumbuh eksponensial. Pada September 2010, Mycoskie sudah mampu memberikan sepatu yang ke-1 juta. Anak-anak yang dibantunya pun kian meluas, mencapai lebih dari 20 negara sementara toko yang menjualnya tercatat lebih dari 500 gerai di seluruh dunia.

Tentu saja Mycoskie bangga. Tapi yang membuatnya terharu – dan menggiring orang makin jatuh hati – adalah cerita ketika dia membawa orang tuanya ke Argentina beberapa bulan setelah meluncurkan TOMS, ketika sepatu ini belum begitu heboh. Bersama orang tuanya, Mycoskie memberikan 10 ribu pasang sepatu. Mycoskie terharu begitu melihat ibunya mengelap kaki seorang anak yang kotor dan memakaikan sepatu TOMS. Air matanya sontak menetes. “Saya begitu emosional hal itu,” katanya.

Meski banyak orang menilai bahwa secara teoretik WOM bisa dikreasi, tapi dalam kasus Mycoskie, kepopuleran sepatu TOMS membenarkan satu hal: ketulusan merupakan fondasi WOM yang luar biasa! ***