Come on

Follow me @teguhspambudi

Monday, July 15, 2013

Superpower Pertanian Bernama Brazil

Setelah empat dekade membangun pertaniannya, Negeri Samba ini tumbuh menjadi kekuatan pertanian yang luar biasa. Dari importir menjadi eksportir. Apa rahasianya?


GLOBAL AGRICULTURE SUPERPOWER
4 Juni 2013, satu pidato yang diluncurkan Presiden Brazil Dilma Rousseff, sudah semestinya membuat kita di Indonesia kagum dan merenung – sambil mengurut dada. Hari Selasa itu, Rouseff resmi meluncurkan Rencana Pertanian Brazil 2013-2014. Isinya, paket pinjaman dari pemerintah untuk pendanaan dan pemasaran, pembelian peralatan pertanian serta perbaikan infrastruktur pedesaan. Nilainya? 136 miliar Real Brazil, atau setara US$ 64 miliar. Atau dalam kurs rupiah berarti Rp 640 triliun.

Seraya mengumumkan rencana itu, Rousseff juga menegaskan bahwa sektor pertanian Brazil adalah salah satu yang paling produktif, efisien serta kompetitif di dunia. "Brazil adalah negara dengan agribisnis yang berkembang pesat. Hasil pertanian kita cukup memadai untuk memasok pasar domestik dan ekspor, menghasilkan kekayaan bagi negara kita," katanya. 

Presiden perempuan ini kemudian juga mengungkapkan bahwa pemerintah yang dipimpinnya akan memperluas sekaligus memodernisasi National Supply Company (Conab) dengan mengalokasikan US$ 250 juta untuk meningkatkan kapasitas penyimpanan hasil pertanian, merenovasi laboratorium serta sistem pemantauan sanitasi. Muantap, bukan?

Ya, begitulah Brazil membangun pertaniannya. Dan hasilnya sangat mengagumkan. Brazil adalah penghasil nomor satu dunia untuk komoditas beras, kopi, jeruk, pisang dan gula, sementara kedelai berada di nomor dua setelah Amerika Serikat. Di luar itu, negeri Samba ini juga produsen sapi nomor wahid dunia. Tak heran, kurang lebih 45% dari total komoditas ekspor Brazil berasal dari hasil-hasil sektor pertanian. Menteri Pertanian Antonio Andrade pun menegaskan bahwa agribisnis Brazil menyumbang 25% terhadap produk domestik bruto (PDB) negara itu dan menghasilkan 35 juta lapangan pekerjaan.

Saat ini Brazil memang telah tumbuh menjadi negara yang kuat dalam sektor pertanian. Bukan lagi importir, tapi eksportir. Bahkan menjadi superpower. “Hanya Amerika Serikat dan Eropa yang bisa mengalahkan Brazil sebagai eksportir hasil pertanian. Kami sudah menjadi negara superpower dunia di bidang pertanian atau global agriculture superpower,” ujar Carlos Ortiz. Dia adalah Head of Rural and Retail Rabobank Brazil. Pernyataannya itu diberikan di Jakarta, Oktober 2012. Saat itu Ortiz memaparkan makalahnya dalam Konferensi Tahunan Rabobank Indonesia, yang mengambil tema “Pertanian sebagai Lokomotif Pertumbuhan Ekonomi: Belajar dari Brazil”.

Ortiz tak keliru. Mengutip Departemen Pertanian AS, businessinsider.com mengungkap bahwa pada tahun 2001, ekspor pertanian Brazil mencapai US$ 16 miliar. Lalu pada 2010, nilai ekspornya mencapai US$ 62 miliar dan mencapai US$ 80 miliar di tahun 2011. Itu artinya, peningkatan lebih dari 400% selama 10 tahun. Sebagai pembandingnya, nilai ekspor pertanian AS hanya meningkat 175% untuk periode yang sama. Brazil mengekspor 1500 tipe produk pertanian. Alhasil tidak mengherankan pula jika The Economist sempat menulis liputan menarik, Brazilian Agriculture, The Miracle of the Cerrado (26 Agustus 2010).

Jadi, apa yang bisa dipelajari dari Brazil?

Inilah pertanyaan yang banyak dikupas oleh media dan para peneliti. Pada liputannya, The Economist mengajukan pertanyaan: “Can it do the same for others?”. Sementara para peneliti dari Nanyang Technology University, Margarita Escaler dan Paul Teng langsung menukik untuk menggugah bangsa Asia lewat tulisannya, Can Asia Learn from Brazil’s Agricultural Success? (2010).

Sejatinya, banyak yang bisa dipelajari dari Brazil sekalipun Escaler dan Teng memaparkan betapa Brazil dikaruniai Tuhan alam yang luar biasa, yang tidak selalu didapatkan negara lain. Coba tilik data berikut: dari sisi tanah, Brazil punya area potensial untuk ditanami yang sangat luas. FAO (Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia) mencatat Brazil punya sekitar 400 juta hektar lahan yang potensial ditanami, yang hanya ditemukan di gabungan dua negara, AS dan Rusia. Sejauh ini, baru 50-70 juta hektar yang baru digunakan. “Cukup untuk menakar betapa dahsyatnya potensi pertumbuhan Brazil,” catat Escaler dan Teng.

Selanjutnya, Bazil adalah pemilik cadangan air segar yang bisa diperbarui, yang terbesar di dunia. Mengacu laporan PBB, World Water Assessment Report of 2009, Brazil punya 8.000 km kubik renewable water setiap tahunnya. Ini jauh melampaui negara manapun, bahkan disebut bisa memenuhi kebutuhan 4 miliar manusia. Kemudian, negara ini juga memiliki iklim tropis yang kondusif untuk pertanian. Di samping sinar matahari yang berlimpah, curah hujannya mencapai 975 mm setiap tahunnya.

Untuk Indonesia, pada banyak titik, terdapat sejumlah kesamaan, seperti cuaca, iklim, serta beberapa komoditas pertanian yang diandalkan. Sebenarnya, sudah semestinya Indonesia bisa sejajar dengan Brazil, sekalipun ini adalah sebuah ironi. Mengapa ironi? Betapa tidak, tahun 1985, saat Indonesia mendapat penghargaan dari FAO karena swasembada beras, Brazil waktu itu belum apa-apa. Belum menjadi global agriculture superpower yang menandingi AS dan Australia. So, mengapa Brazil bisa demikian hebat?

Alam Brazil memang luar biasa. Namun, tentu tak semata anugrah itu menjadi berkat dan kesuksesan. Pun dengan kejayaan Brazil di sektor pertanian. Menurut Ortiz, keberhasilan negeri Samba didorong sejumlah faktor. Di antaranya: minimnya intervensi pemerintah – hanya bertindak sebagai regulator dan pendukung –, pelaku swasta yang aktif, serta efisiensi pasar di tengah pasar yang besar.

Traktor bergerak di pertanian Brazil.
(Sumber: en.mercopress.com)

Ortiz tak keliru. Pemerintah dan swasta sangat berperan untuk tumbuhnya Brazil menjadi superpower agrobisnis. Memutar jarum jam, landasan kesuksesan itu dibangun pasca Perang Dunia II. Saat itu Brazil berupaya membangun basis industri domestik melalui kebijakan industrialisasi substitusi impor yang menggantikan produk-produk impor dengan produksi domestik. Kebijakan ini secara langsung ataupun tidak, berpengaruh pada sektor pertanian. Kuota ekspor, lisensi, pajak, diiringi pengontrolan impor untuk sektor pertanian. Maka produk pertanian domestik pun memiliki ruang untuk bergerak.

Untuk menopang sektor pertanian yang dikelola masyarakat, terutama keluarga petani, pemerintah Brazil membuat basis agar para petani bisa memodernisasi sektor pertanian. Lahirlah National System of Rural Credit di tahun 1965. Kredit diberikan ke petani, terutama untuk mendorong produk pertanian berorientasi ekspor.

Seperti dikupas Pedro A. Arraes Pereira, The Development of Brazilian Agriculture (2012), sektor pertanian Brazil telah dibangun pada jaman kolonial di abad 16. Hingga tahun 1930-an, ekonomi Brazil sangat ditopang produk pertanian yang ditujukan untuk pasar internasional. Sampai lahirnya kebijakan kredit pedesaan, produk orientasi ekspor itu adalah kopi, karet, coklat, dan kapas. Produk-produk ini menyumbang hingga 55% ekspor pertanian.

Tahun 1970-an menjadi saksi periode pertumbuhan kredit pedesaan yang sangat tinggi. Tercatat, proporsi kredit pedesaan untuk pertanian meningkat dari 58% di tahun 1971 mencapai 94% di tahun 1976. Dari sini, pertanian pun mulai menggelombang di tengah alam yang kondusif.


ELEMEN PENTING
Namun, seperti ditulis Escaler dan Teng, yang juga diakui banyak pihak di level internasional, elemen penting keberhasilan Brazil membangun pertaniannya adalah Embrapa (Empresa Brasileira de Pesquisa Agropecuaria), atau Perusahaan Riset Pertanian Brazil. Embrapa ditugaskan untuk mendistribusikan teknologi, benih baru, teknik memperbarui tanah, dan meningkatkan produktivitas. Lembaga inilah yang kelak melahirkan terobosan-terobosan besar lewat riset, analisis dan sumbangan kebijakannya.

Salah satu pencapaian penting Embrapa adalah pengembangan teknologi yang memungkinkan ekspansi agrikultural untuk tanah asam di kawasan savana (sabana) yang banyak terdapat di Brazil, yang dalam bahasa mereka disebut cerrado.

Sewaktu Embrapa mulai berdiri, cerrado dikenal tidak cocok untuk pertanian. Norman Borlaug, ilmuwan pertanian AS yang sering disebut “The Father of Green Revolution” bercerita kepada New York Times, “Tak ada seorang pun berpikir bahwa tanah ini akan menjadi lahan produktif”. Cerrado tampak terlalu asam dan miskin gizi.

Embrapa, tulis The Economist, melakukan 4 hal untuk mengubah semuanya. Pertama, menaburi tanah savana dengan batu kapur untuk mengurangi tingkat keasaman. Di akhir tahun 1990-an, 14-16 juta ton batu kapur telah ditaburkan ke tanah-tanah savana Brazil. Jumlah ini meningkat menjadi 25 juta ton kurun 2003-2004. Kemudian, para ilmuwan Embrapa menanam varietas rhizobium, bakteri yang membantu nitrogen dalam kacang polong yang ternyata bisa tumbuh baik di savana, tanpa membutuhkan pupuk. Embrapa membuat tanah cerrado cocok untuk pertanian. “Kami mengubah paradigma,” ujar Silvio Crestana, mantan Direktur Embrapa dengan penuh bangga.

Kedua, para peneliti Embrapa pergi ke Afrika dan membawa pula rumput bernama brachiaria. Ini adalah jenis rumput yang memiliki nilai nutrisi tinggi, menyediakan banyak nitrogen dan sedikit membutuhkan penyubur fosfor. Dengan penyilangan yang dilakukan penuh kesabaran, lahirlah varietas rumput braquiarinha yang bisa menghasilkan 20-25 ton tumput perhektar, yang 3 kali lebih banyak dibanding tanah Afrika. Savana pun berupah menjadi lahan untuk kawanan ternak merumput setelah sebelumnya hanya penuh sesak dengan perdu dan semak. 30 tahun lalu, di Brazil perlu 4 tahun untuk menggemukkan banteng buat disembelih. Sekarang, hanya perlu 18-20 bulan.

Ini adalah terobosan besar. Namun ini bukan akhir cerita. Yang ketiga, para peneliti Embrapa mengubah kacang kedelai menjadi tanaman tropis. Kacang kedelai adalah tumbuhan Asia Timur (Jepang, Korea dan China). Tumbuhan ini sangat bergantung pada iklim, sensitif perubahan cuaca dan membutuhkan 4 musim. Kebanyakan produsen kacang kedelai (terutama Amerika dan Argentina) memiliki iklim semacam itu.

Embrapa mencoba mengembangkan dengan teknik penyilangan agar bisa tumbuh di wilayah tropis. Selain itu, juga mengimpor benih kacang kedelai dari AS yang sudah dimodifikasi di samping mengembangkan aneka varietas baru yang bisa dipanen dalam waktu cepat, antara 8-12 minggu. Kacang ini lebih toleran terhadap keasaman tanah. Inilah yang kemudian disebut transformasi genetis kacang kedelai. Belakangan, Embrapa juga meningkatkan kinerjanya dengan membuat varietas tanaman anti-penyakit dengan tingkat panen yang tinggi: beras, kacang, gandum, dan kentang.

Yang keempat, Embrapa memulai dan mendorong para petani mengembangkan teknik pertanian baru yang disebut no-till farming. Ini adalah teknik pertanian yang secara mekanis tidak mengubah tanah, karena tidak dibajak, sehingga tetap menjaga kesuburan tanah. Belakangan, teknik ini terus menyebar menjadi alternatif teknik tradisional yang membajak tanah.

Dengan kebijakan dan teknik ini, maka perlahan tapi pasti, berkembanglah cerrado di sejumlah negara bagian yang digarap dengan teknologi pertanian yang canggih. Mereka menjadi tulang punggung pertanian Brazil sehingga menjadi superpower seperti saat ini. Sejumlah negara bagian yang terkenal dalam urusan ini diantaranya Bahia (kapas), Piaui (kacang-kacangan) dan Mato Grosso (kacang, jeruk). Tak heran, karena peran sentralnya, The Economist sampai menulis bahwa bila kita ingin mengetahui kunci sukses pertanian negeri Samba, “Hanya ada 3 kata: Embrapa, Embrapa, Embrapa.”


Embrapa. Inilah kunci kesuksean agrikultur Brazil (sumber: afubra.com.br)

Lantas, apakah sukses Brazil itu bisa ditiru?

The Economist mencatat bahwa tanah Afrika dan Brazil sebenarnya memiliki kesamaan: tropis dan miskin gizi. Perbedaan besarnya adalah savana di Brazil mendapat curahan hujan yang tinggi. Tapi belajar dari Brazil, semestinya bisa dibuatkan teknik “know-how” seperti yang dikembangkan Embrapa mereka membawa brachiaria dan menyilangkannya menjadi rumput yang subur. Itu spirit yang mestinya ada. Tanah di Afrika yang kini disebut-sebut bisa dijadikan proyek pengembangan pertanian adalah Angola serta Mozambique. Dan sejauh ini, para peneliti Brazil telah merintis kerjasama untuk mengeksplorasi kemungkinan-kemungkinan di negara tersebut.

Pertanyaan “apakah cara Brazil bisa ditiru?”, sebetulnya bukan semata upaya membuat pertanian di satu negara menjadi maju. Tapi lebih pada ikhtiar menjawab kerisauan global akan masa depan ketika manusia semakin banyak dan membutuhkan lebih banyak makanan dari yang bisa disediakan saat ini.

Khusus untuk Asia, Escaler dan Teng menyatakan bahwa sebenarnya Asia, terutama China dan Indonesia memiliki potensi yang besar, dilihat dari lahan serta sumber air. Namun, demikian, mereka mencatat bahwa selain minim infrastuktur serta teknologi untuk pertanian, masih banyak lahan potensial yang belum dioptimalkan. Di Asia Tenggara, misalnya. Ditaksir, ada 45% lahan di Asia Tenggara yang berpotensi menjadi lahan pertanian diokupasi untuk hunian manusia. “Pertumbuhan populasi dan urbanisasi, tidak diragukan lagi, akan menjadi faktor signifikan yang menurunkan potensi lahan-lahan produktif”. Begitu mereka mencatat.

Di atas itu semua, Escaler dan Teng meyakini bahwa selain kebijakan yang memihak pertanian, keseriusan Embrapa dalam melakukan riset dan pengembangan pertanian menjadi kunci kemajuan pertanian Brazil. Sebagai ilustrasi kekuatan Embrapa, tilik saja data berikut: lembaga ini sedikitnya mengalokasikan anggaran sebesar US$ 1 miliar setiap tahunnya. Dana itu untuk membiayai 2.253 ilmuwan (kebanyakan adalah PhD) yang bekerja di 47 pusat penelitian untuk mencari teknik pertanian terbaru, mencipta varietas produk pertanian, dan terobosan lainnya. Inilah yang mestinya bisa dipelajari sesuai kondisi masing-masing negara.

Kalau melihat hal ini, dan juga melihat komitmen Presiden Rousseff, Indonesia sepertinya masih harus banyak belajar. Jangankan kita memiliki Embrapa yang luar biasa, sinyalemen lahan produktif yang diokupasi adalah mimpi buruk di depan mata. Terbukti, pada 5 Mei 2013, Menteri Pertanian Suswono mengungkap fakta pahit: 100.000 hektar lahan produktif beralih fungsi setiap tahunnya!

Jelas ini mimpi buruk karena dengan penduduk mencapai 240 juta manusia, Indonesia seharusnya memiliki ketahanan pangan yang baik. Tapi itulah,... Tak mengherankan bila negeri yang subur ini akhirnya harus mengimpor beragam macam komoditas pertanian dan produk peternakan. Bawang, cabai, kedelai, menjadi barang langka. Bahkan jengkol dan petai pun tak ada di pasar.

Brazil tak hanya mengajarkan sepakbola. Mereka juga bisa memberi pelajaran tentang pertanian. ***



Wednesday, July 3, 2013

Mendorong Merek Lokal Berkibar

Merek-merek lokal yang berjaya di pasar global, tak bisa dilepaskan dari peran pemerintah, pebisnis dan nasionalisme konsumen. Jepang, Korea Selatan dan China telah membuktikannya.

INDIGENEOUS BRAND
Di kancah internasional, sebenarnya, istilah original brand boleh dikata tidak terlalu populer. Tidak umum, bahkan. Istilah ini hanya merujuk pada keaslian sebuah merek. Bahwa merek itu dipatenkan sebagai yang pertama kali. Lawannya, atau yang biasa dihadapkan pada terminologi ini adalah “counterfeit brand” atau “fake brand”. Merek palsu yang mengekor, yang melakukan tindakan meniru.

Untuk merujuk pada istilah “merek asli” dari sebuah negara, terminologi yang umum digunakan adalah “national brand” atau “local brand”. Bahkan Katsuhiro Sasuga, Associate Professor Department of International Studies, Tokai University menyebutnya dengan istilah “indigenous brands”, merek pribumi. Adapun yang menjadi tandingannya adalah “global brand” atau “international brand”.

Okelah, sedikit lupakan tentang terminologi “original brand” yang boleh jadi bermain di ranah semantik. Yang menarik, sebagaimana ditulis Sasuga, bicara tentang mengembangkan merek lokal, kalangan pemerintah kerap kali terlibat. Terutama di wilayah Asia Timur. Satu kasus menarik yang diketengahkannya adalah bagaimana merek-merek otomotif lokal China, mampu bersaing dengan nama-nama besar otomotif dunia.

Ketertarikan Sasuga bermula dari produksi industri otomotif China yang terus melesat. Di tahun 2006 melewati Jerman, lalu melampaui AS di tahun 2008, dan Jepang di tahun 2009. Di tahun 2010, pabrikan China bahkan sanggup memproduksi 18,26 juta unit (23,5% dari total produksi otomotif di dunia), sementara gabungan AS dan Jepang mencapai 40%. Di tahun 2010, penjualan otomotif domestik Negeri Panda ini mencapai 18,06 juta unit (AS 11,58 juta unit, sementara di Jepang 4,94 juta unit).

Bukan hanya jumlah produksi yang menarik perhatian Sasuga. Di tahun 2009 sedikitnya ada 258 merek mobil penumpang di China. Dari total merek yang bersaing tersebut, merek lokal China mencapai 145 merek. Dari merek lokal yang ada, 3 nama menyeruak menjadi penantang yang hebat, yakni BYD (berbasis di Shenzhen), Chery (bermarkas di Anhui) dan Geely (di Zhejiang). Teristimewa adalah Chery yang dalam setahun mampu menjual lebih dari 3 juta unit.

Dalam tulisannya, The Rise of the Chinese Indigenous Brands, Sasuga menyebut pemerintah China sangat berperan di balik melejitnya merek-merek otomotif lokal tersebut, terutama mobil. Dari penelusurannya, aktivitas pemerintah dimulai tahun 1979. Saat itu China mulai memburu teknologi maju dari para pabrikan mobil asing. Mereka menawarkan potensi pasar China untuk teknologi otomotif asing. Namun pemerintah tak mau sekadar mengundang pemain luar. Mereka menyaratkan satu hal: bila ingin berproduksi di negeri itu, pabrikan asing harus mendirikan joint venture dengan perusahaan lokal, dengan kepemilikan saham minoritas, tak boleh lebih dari 50%.

Bergelombanglah pemain raksasa masuk ke daratan China, diawali dengan Volkswagen di tahun 1984, bergandengan dengan SAIC (Shanghai Automotive Industry Corporation). Mereka membentuk Shanghai VW. Di luar itu, VW juga menggandeng First Auto Work (FAW) yang bermarkas di Changchin, Jilin. Berdirilah FAW-VW.

General Motor juga mendarat, menggandeng SAIC sehingga berdirilah Shanghai General Motor. Sementara FAW juga membuat perusahaan patungan dengan Toyota untuk mendirikan FAW Toyota.

Kebijakan Pintu Terbuka 1979 merupakan upaya terobosan pemerintah China setelah produsen-produsen otomotif lokal berupaya membangun industrinya. Namun bisa dikata mereka kurang berkembang. FAW, misalnya. Pabrikan mobil pertama di China ini telah meluncurkan mobil penumpang pertama, Hong Qi di tahun 1958. Namun, level teknologinya sangat rendah. Begitu juga dengan perusahaan-perusahaan otomotif lokal lainnya.

Hingga 1979, aspek produksi, distribusi dan konsumsi kendaraan berada dalam kontrol pemerintah. Namun itu semua tidak bisa mendorong level produksi yang efisien. Setelah Open Door Policy 1979, pemerintah China secara besar-besaran mengintervensi pengembangan industri otomotif melalui aneka peraturan. Selain mengembangkan zona ekonomi khusus, mereka mengeluarkan kebijakatan yang mendukung sektor industri pendukung otomotif.

Tahun 1994, misalnya. Setelah sejumlah perusahaan otomotif patungan bermunculan, pemerintah China secara aktif mendorong munculnya “indigeneous brand” di sektor otomotif. Tahun itu diperkenalkanlah Kebijakan Industri Otomotif yang berniat menguatkan otomotif lokal. Satu aturan yang mengikat adalah pabrikan otomotif harus melakukan lokalisasi konten sejak awal produksi sehingga mereka mesti memulai produksi otomotif dengan lebih dari 40%-nya adalah kandungan lokal. Apa artinya ini? Jelas, tujuannya menguatkan industri pendukung otomotif lokal sehingga satu waktu bisa menopang pabrikan otomotif yang tangguh.

Dua tahun berikutnya (1996), kebijakan yang lebih memihak lokal kembali diluncurkan. Pemerintah menetapkan impor pajak mobil penumpang berkisar antara 100%-220% sementara kendaraan komersial antara 15%-230%. Kebijakan ini secara efektif melindungi kompetisi domestik dari terkaman pabrikan otomotif global.

Tahun 2001, seiring masuknya China ke WTO, pemerintah pun mulai melonggarkan aturan. Secara bertahap pajak impor turun hingga 25% di mobil penumpang di tahun 2006. Namun selang waktu selama satu dekade (1996-2006) itu telah memberikan banyak kesempatan untuk pabrikan otomotif lokal mengembangkan mereknya di medan laga.

Toh pemerintah China masih mengawal merek-merek lokalnya. Maklum, harus diakui, persepsi atas kata “Made in China” sangat berbeda bila dibandingkan dengan “Made in Germany”. Dalam kata yang terakhir, persepsinya adalah “kualitas tinggi dan awet”, sementara produk China dipersepsikan “kualitas rendah, mudah rusak”.

Tahun 2004, pemerintah mengumumkan Kebijakan Baru Pengembangan Industri Otomotif yang semakin menekankan pentingnya mengembangkan merek lokal dan hak cipta yang dipegang perusahaan China. Dan dua tahun kemudian (2006), setelah melihat perkembangan yang ada, pemerintah dengan berani menyatakan bahwa merek lokal akan mencapai lebih dari 50% pangsa pasar otomotif. Mereka bahkan telah mendorong pelaku domestik untuk mulai mengekspor.

Masih merasa kurang juga, tahun 2009, pemerintah membuat panduan untuk mengintegrasikan industri otomotif China, khususnya pabrikan otomotif lokal. Perusahaan-perusahaan otomotif yang ada direstrukturisasi. Pilarnya dibagi dua: Pertama, “Four Big”, perusahaan-perusahaan otomotif besar seperti First Auto Works, SAIC, Dongfeng Motor Co., dan Changan Automobile. Kedua, “Four Little”, yakni Beijing Automotive Group, Guangzhou Automobile Industry Group, Chery, dan Sinotruk di Shandong. Kedelapan perusahaan ini menjadi perusahaan inti. Pemerintah pusat juga mengumumkan pemerintah lokal harus membeli kendaraan merek lokal lebih dari 50% untuk pelayanan publik. Inilah yang kemudian menjadi pilar kian bergeraknya sektor otomotif China mengerek merek-mereknya sendiri.

Ya, selama 2 dekade mendorong pabrikan otomotif tumbuh, akhirnya China memiliki sektor otomotif yang kian kuat. Menariknya, sekalipun bukan pemain terbesar, Chery menjadi pemain independen yang terbilang inovatif. Bahkan telah memancing para petinggi China, termasuk Presiden Hu Jintao dan PM Wen Jiabao untuk mengunjungi pabriknya. Produk-produk Chery yang inovatif menunjukkan orang-orang China membeli produk ini bukan semata karena dorongan pemerintah, tapi lebih pada fungsi serta desainnya.

Cherry, mobil lokal China yang melejit di tengah persaingan

NASIONALISME KONSUMEN
Perkara pemerintah membantu berkibarnya merek lokal semacam ini bukanlah hal asing. Memang caranya tidaklah selalu langsung dengan memromosikan merek-merek lokal, tapi dengan bermain di sisi hulu (dukungan pada sektor manufaktur) hingga hilir (distribusi). Jauh sebelum pemerintah China melakukan hal seperti disinggung di atas, pemerintah Jepang telah melakukannya.

Sekalipun pembangunan ekonomi negeri Matahari Terbit ini merupakan produk dari private entrepreneurship, pemerintah sangat berkontribusi. Mereka mengatasi depresi ekonomi, menolong munculnya industri baru, dan membangkitkan merek-merek lokal untuk berkibar bukan hanya di panggung domestik, tapi juga medan internasional. Tak heran, karena demikian besarnya pengaruh pemerintah sehingga lahir terminologi “Japan Inc.” untuk menggambarkan aliansi yang kuat antara kalangan bisnis dan pemerintah.

Mekanisme yang digunakan oleh pemerintah Jepang dalam mendorong merek-merek lokalnya adalah lewat kebijakan yang terkait perdagangan, pasar tenaga kerja, persaingan, dan insentif pajak. Pemerintah menelurkan proteksi dagang, memberikan subsidi dan mendorong ekspor serta investasi lewat JETRO. Yang menarik, berkibarnya merek-merek Jepang seperti yang kita kenal selama ini, itu merupakan buah dari strategi di sisi hulu dengan pemikiran yang cermat. Ketimbang memproduksi aneka barang, pemerintah Jepang menyeleksi sejumlah area di mana mereka bisa mengembangkan barang dengan mutu tinggi, jumlah yang banyak, dan harga yang kompetitif. Satu contohnya adalah industri kamera yang sejak tahun 1960-an didominasi merek-merek Jepang.

Bicara bagaimana mengembangkan merek lokal, untuk urusan ini tak ada yang lebih baik ketimbang Korea Selatan. Pasalnya, selain komitmen pemerintahnya, juga muncul apa yang kemudian disebut sebagai “nasionalisme konsumen”. Di satu sisi, melejitnya merek-merek Samsung, LG, KIA, dan Hyundai memang tak bisa dilepaskan dari kebijakan pemerintah di sisi industri, terutama sejak tahun 1980-an.

Di tahun 1980-an, pemerintah Korea Selatan mulai mengubah orientasi industrinya yang selama ini dijalankannya menjadi industri berbasis pengetahuan. Dirunut ke belakang, baru pada awal periode 1960-an Korea Selatan mulai membangun industrinya selepas perang saudara dengan Korea Utara. Saat itu, yang dimulai adalah industri pengolahan biji besi, tungsten dan bahan baku sutra yang tidak memiliki nilai tambah tinggi. Namun sejak 1970-an, orientasi ini bergeser. Maka berkembanglah sektor-sektor industri baru berorientasi ekspor seperti tekstil, petrokimia, garmen, dan kayu lapis, sampai akhirnya digeser ke knowledge base pada tahun 1980-an. Dan seperti periode sebelumnya, untuk menyukseskan kebijakan ini, pemerintah Korea Selatan pun menggandeng kemitraan strategis dengan kalangan bisnis serta perguruan tinggi, yang dikenal dengan istilah triple helix.

Selain kualitas, merek Korea Selatan berkembang  karena nasionalisme konsumen.
Samsung juga menikmatinya.


Hasilnya mengagumkan. Setelah krisis 1997, Negeri Ginseng melemparkan banyak produk-produk inovatif bermutu tinggi. Bukan hanya di pasar lokal, merek-mereknya kian berkibar di pentas global. Kebijakan pemerintah Korea Selatan membangun perekonomian berbasis pengetahuan telah mengantarkan merek-merek nasionalnya menginvasi dunia.

Tapi strategi dan kebijakan ini hanya satu hal. Yang berperan paling penting, terutama pada awal-awal industrialisasi yang menjadi fondasi kehidupan merek-merek nasional Korea Selatan adalah nasionalisme konsumen. Sekalipun kualitas merek-merek lokalnya masih sangat buruk dan tertinggal dibanding AS, Eropa serta Jepang di tahun 1960-1980-an, rakyat Korea Selatan dengan bangga menggunakannya. Sebagai bangsa yang pernah dijajah China dan Jepang, mereka sangat anti untuk menggunakan produk para penjajah. Selain itu, mereka pun meyakini bahwa dengan membeli produk buatan saudara sendiri, maka itu berarti memberi kesempatan untuk tumbuh berkembang bersama.

Di sisi lain, produsen juga tidak melakukan moral hazard. Mereka mengembalikan kepercayaan dan nasionalisme konsumen ini dalam bentuk peningkatan kualitas produk serta layanannya. Mereka tak mau sekedar mengandalkan nasionalisme konsumen serta keyakinan bahwa produknya pasti dibeli bangsa sendiri. Inilah yang kemudian turut membuat konsumen jadi loyal: karena mereka disuguhi produk lokal yang kualitasnya berkembang dari waktu ke waktu. Maka tak heran jika merek-merek Korea Selatan pun dipersepsikan berkualitas dan berdaya saing tinggi. Bahkan semakin diakui secara internasional.

Dengan nasionalisme konsumennya yang kuat, tidak mengherankan bila gerakan invasi budaya yang masuk ranah ekonomi kreatif, yang dikenal sebagai “Korean Wave (hallyu)” pun relatif mudah digerakkan, tidak saja di domestik, tapi juga ke mancanegara. Karena orang Korea Selatan memang mencintai produk-produk negerinya sehingga mereka mempromosikannya habis-habisan.

Belakangan, yang menarik, selain urusan mendorong merek-merek lokal dari sektor manufaktur, kita masih disuguhi pemandangan bagaimana seriusnya pemerintah Korea Selatan terus memromosikan produk gelombang kebudayaannya ini. Hal tersebut bisa dilihat pada situs forthenextgeneration.com. Masyarakat seluruh dunia bisa mengenal Korea Selatan lebih dalam lewat situs ini. Di luar situs tersebut, pemerintah Korea Selatan juga aktif berpromosi lewat media-media ternama. Beberapa minggu lalu, mereka berpromosi di New York Times untuk memperkenalkan “Hansik Globalisation”. Hansik adalah makanan Korea. Promosi ini dibuat setelah mendunianya Kimchi yang bahkan telah dibuat acaranya, Kimchi Chronicle yang ditayangkan di stasiun PBS, Amerika Serikat.

Kesuksesan sejumlah negara di atas dalam mendorong merek-merek lokalnya, tak ayal kerap memancing negara lain untuk menempuh jalan serupa. Salah satunya yang tengah berupaya melakukannya adalah Vietnam.

7 Januari 2013, Deputy Perdana Menteri Vietnam, Hoang Trung Hai telah mengafirmasi bahwa adalah tanggung jawab pemerintah Vietnam untuk mendukung berkibarnya merek-merek lokal di pasar domestik.

Akan tetapi, belajar dari kesuksesan Jepang, Korea Selatan dan China, pemerintahan Vietnam sejak awal menegaskan bahwa kesuksesan ini akan bergantung juga pada kalangan bisnis itu sendiri. Dengan terus terang, Hoang meminta kalangan bisnis tak henti mencari cara agar bisa menggenjot ekspor dan mengambil keuntungan dari kampanye nasionalisme yang sudah diluncurkan pemerintah, yakni “Orang Vietnam menggunakan produk-produk Vietnam”.

Pemerintah Vietnam memang telah berupaya mati-matian untuk menggenjot berkibarnya merek lokal mereka di pasar domestik. Diantaranya, mereka telah mendirikan Dewan Merek Nasional yang diketuai langsung Menteri Perindustrian dan Perdagangan, Vu Huy Hoang. Sejauh ini, Dewan Merek telah menelurkan beberapa inisiatif. Salah satunya yang dijagokan adalah “Program Merek Nasional” dalam rangka memromosikan serta mencitrakan produk-produk Vietnam.

Hoang Trung Hai mungkin benar bahwa pemerintah tak akan bisa berjalan tanpa dukungan kalangan bisnis, terutama dalam hal menghasilkan produk yang berkualitas. Namun melihat bagaimana merek-merek Korea Selatan tumbuh, unsur nasionalisme konsumen tetap memegang peranan. Di Jepang pun, hal tersebut amat terasa di tahun-tahun awal industrialisasi berjalan. Orang mengenal Toyota pada masa kini adalah produk otomotif kelas dunia. Tapi di awal-awal berdiri, Toyota akan ambruk lebih dini jika orang Jepang tidak mau menggunakannya. Maklum, modelnya seperti kotak sabun.

Apa yang bisa dipetik dari kesuksesan Jepang, Korea Selatan dan China dalam mengembangkan merek lokalnya? Benang merahnya sama: strategi pemerintah yang jelas, komitmen pengusaha untuk terus meningkatkan kualitas serta mengikis moral hazard, dan nasionalisme konsumen. Bila melihat ke Indonesia, adakah kita memiliki ketiganya? ***