Come on

Follow me @teguhspambudi

Thursday, August 9, 2012

Kompensasi buat Bos Besar



Siapakah perusahaan publik yang berani yang memberikan gaji tinggi buat eksekutifnya, yang mungkin bagi kebanyakan orang hanya mimpi untuk meraihnya?

Oke, tanpa perlu berpanjang lebar, Astra International Tbk. berada di urutan pertama dalam urusan ini. Tahun lalu, Rp 575,75 miliar dikucurkan perusahaan ini untuk dewan direksinya (BOD). Bila dirata-rata, gaji tiap direksinya mencapai Rp 63,97 miliar dalam setahun atau Rp 5,3 miliar/bulan. Sebagai catatan, gaji dalam pengertian di sini terdiri dari gaji, tunjangan, bonus, kompensasi, dan lain-lain.

Berikutnya menyusul Indofood Sukses Makmur yang mengucurkan sebesar Rp 288,03 miliar (rata-rata direksi Rp 32 miliar). Setelah itu, PT Timah mencapai 246,81 (Rp 49,36 miliar). Peringkat 4 mengguyur gaji adalah Bank Mandiri, Rp 183,76 miliar dan menyusul PT Telkom, Rp 181 miliar. Namun untuk gaji rata-rata BOD-nya, Telkom mencapai Rp 22,63 miliar perorang, sementara Mandiri Rp 16,71 miliar. Gaji rata-rata BOD Mandiri bahkan di bawah PT United Tractor, Rp 18,4 miliar. Perusahaan alat berat itu sendiri mengguyur Rp 110,39 miliar buat dewan direksinya, berada di peringkat ke-7, di bawah BCA yang sebesar Rp 158,59 miliar (rata-rata Rp 15,86 miliar/direktur).

Urutan dalam pemberian gaji ini juga relatif sama dalam urusan mengguyur kompensasi ke kamar sebelah, kepada dewan komisaris (BOC). Tahun lalu Astra International memberikan Rp 222,25 miliar bagi komisarisnya. Setelah itu menyusul Indofood (Rp 111,19 miliar) dan Timah (Rp 95,27 miliar).

Melihat data yang tersaji, secara umum dapat dikatakan pada tahun 2011 terjadi peningkatan penggajian eksekutif yang sangat signifikan. Dan bagi Irham Dilmy, Advisor Amrop, itu tidak mengejutkan. Sebab, bisnis telah menggeliat kembali. Kurun 2009-2010 gaji para eksekutif puncak bisa dikata relatif stagnan karena terpengaruh krisis 2008. “Tahun 2011 gangguan mulai mereda. Di tahun 2011, (gaji eksekutif) lebih spektakuler dan lebih baik dibanding 2010. Dan ternyata memang iya, kelihatan!,” katanya. Lantas bagaimana dengan 2012? Menurutnya, krisis di zona Eropa boleh jadi akan berpengaruh. “Nanti kita lihat di akhir tahun,” katanya diplomatis.

Bagi orang kebanyakan, angka-angka dalam tabel mungkin terlihat serba “wah”. Benarkah demikian?

“Kalau sekarang (direksi Mandiri) digaji Rp 16,7 miliar (setahun), itu wajar-wajar saja,” kata Robby Djohan, mantan Dirut Mandiri. Menurutnya, untuk mengukur kepantasan, tinggal lihat satu indikator kunci: profit perusahaan. Dengan laba bersih Mandiri Rp 12,4 triliun di tahun 2011, dia merasa gaji yang ada sekarang malah kurang ideal. “Idealnya bisa US$ 2-3 juta pertahun. Apalagi Bank Mandiri adalah bank yang sangat besar,” dia menegaskan. Dan fenomena gaji besar ini, menurutnya bukan hal baru. “Gaji besar, tanggung jawab juga besar. Saya bekerja sebagai CEO Niaga itu 14 jam sehari. Tahun 1980, saya digaji US$ 1 juta, dan waktu itu belum ada gaji direksi yang sebesar itu. Apa itu artinya? Artinya, saya dituntut lebih oleh perusahaan.”

Artinya pula, cara terbaik kepantasan gaji adalah dengan melihat achievement yang bersangkutan atau pay per performance. “Perhitungan salary dan bonus (memang harus) dikaitkan erat dengan pencapaian perusahaan,” timpal Dilmy. Dengan demikian, pada Mandiri, gaji direksi hanya 1,4% dari laba bersih 2011 yang sebesar Rp 12,4 triliun. Besar? “Ketika saya menjabat sebagai CEO, saya tidak tahu persis bagaimana penghitungannya. Tapi saya punya cara yang ideal untuk menetapkan gaji. Pertama yang dilihat adalah seberapa besar market bisnisnya dan industrinya. Kedua, saya pasti selalu membayar gaji Dirut lebih mahal dari market. Kenapa? Karena saya mempekerjakan talenta-talenta hebat. Ketiga, 10% dari profit perusahaan disisihkan untuk gaji direksi. Itulah yang saya lakukan,” jelas Robby.

Lewat cara pandang seperti itu (gaji dikaitkan dengan achievement) maka yang dikantungi direksi Astra International pun menjadi tampak kecil: hanya 2,69% dari laba bersih yang mencapai Rp 21,3 triliun. Yang tak kalah penting, ujar seorang eksekutif Astra, apa yang tercantum dalam laporan keuangan adalah yang sebenar-benarnya. Artinya, memang sebesar itulah yang diraih direksi. Tidak ada tambahan-tambahan lain yang sifatnya non-bujeter. Tidak ada yang ditutup-tutupi dari perusahaan yang tahun lalu mencatatkan kapitalisasi terbesar di Bursa Efek Indonesia (BEI) dengan nilai Rp 299,57 triliun. Dengan kata lain, akuntabilitasnya dapat terjamin.

Menjadi direksi perusahaan-perusahaan besar dengan puluhan hingga ratusan ribu karyawan tentu tak mudah. Ada tanggung jawab ekonomi, sosial dan lingkungan yang tak sepele. Direksi adalah navigator maju mundurnya perusahaan. Tak heran, besarnya gaji eksekutif, di mata Gatot Mudiantoro Suwondo merupakan hal yang wajar. Jika ingin memiliki sumber daya yang bagus, kata Dirut BNI ini, tentunya harus disertai nilai yang bagus pula. “Jadi, nilai atapun fasilitas yang didapat, sepadan dengan tanggung jawab yang dijalankan,” katanya. Dia pun menegaskan bahwa sepengetahuannya, gaji ataupun fasilitas yang didapatkan eksekutif di BNI tergolong lebih rendah dibandingkan dengan bank-bank lainnya.

Faktanya, rata-rata yang didapat direksi BNI berada di peringkat 24, sebesar Rp 7,51 miliar setahun. Dibanding bank lain, rata yang mereka kantungi berada di bawah Mandiri (Rp 16,71 miliar), BCA (Rp 15,86 miliar), CIMB Niaga (Rp 9,93 miliar), dan bahkan BTPN (Rp 7,59 miliar). Khusus BTPN, bank ini memang tengah getol-getolnya membetot talenta terbaik untuk bersaing sehingga memberi rasio gaji yang cukup tinggi: 4,8%. Tahun lalu, dengan laba bersih Rp 1,4 triliun, direksinya digelontori Rp 68,34 miliar.

Jadi, berapa yang didapat Gatot? “Ya, saya dapat seperti biasa saja lah,” ucapnya sembari diiringi gelak tawa. Yang penting, dia menambahkan, setiap eksekutif mampu menciptakan value creation bagi perusahaannya. Di BNI, laba bersihnya naik dari Rp 4,1 triliun (2010) menjadi Rp 5,9 triliun tahun lalu. Adapun rasio gaji 2011 terhadap laba bersih sebesar 1,25%.

Di tempat lain, Dwi Soetjipto juga hanya bisa tergelak ketika ditanya perihal gaji yang diraupnya setiap bulan. Salary, kata Dirut Semen Gresik ini, bukan menjadi kehirauan utamanya. Yang penting adalah potensi untuk berprestasi, ruang mengembangkan kinerja dan kenyamanan kerja. “Bisa enjoy atau tidak di tempat itu?.”

Tahun lalu Semen Gresik mengucurkan Rp 36,45 miliar untuk direksinya sehingga rata-rata mengantungi Rp 5,21 miliar setahun. Dengan laba bersih Rp 3,9 triliun, rasio gaji menjadi 0,92%. “Kalau dibanding pasar, masih jauh. Tapi pemegang saham menetapkan untuk tidak menaikkan, meski masih dibawah rata-rata pasar,” katanya. Apakah itu sudah memuaskan?

Dwi merasa sih semua itu sudah sangat berkecukupan. “Toh, kebutuhan kita itu-itu saja,” tuturnya diplomatis. Dia dan direksi lain, menurutnya tetap menerima, tetap berkarya semaksimal mungkin. “Kami orang-orang pekerja, itu tidak mempengaruhi kami, ini sudah mencukupi,” dia menegaskan lagi.

Hal senada juga disampaikan Ririek Adriansyah, Direktur CRM Telkom. Ketika ditanya mengenai kesesuaian antara besarnya cakupan tugas atau tanggung jawab dengan gajinya, dia diplomatis menggelengkan kepala. “Ha…ha…ha…Saya tidak tahu yang itu. Sama sekali belum tahu tentang itu. Yang masalah pay-nya saya tidak tahu,” ungkap Ririek yang baru diangkat menjadi Direktur CRM Telkom awal Mei 2012. Yang dia tahu pemegang saham memintanya mengejar target yang dipatok. Kalau bisa melebihinya. Adapun tentang fasilitas-fasilitas yang diberikan kepadanya, dia pun hanya menjawab bahwa fasilitas yang diberikan mengikuti standar. Namun dia tidak merinci dan menjelaskan rujukan standardisasinya. “Ah, itu standar semua,” katanya. Rasio gaji direksi Telkom terhadap laba bersihnya sebesar 1,16%.

Bicara soal fasilitas di BUMN, Dilmy menyatakan ada perbedaan dengan perusahaan swasta. “Yang besar di BUMN itu justru tantiem dan bonus. Setiap perusahaan BUMN yang Top 10 seperti Pertamina, Telkom, PGN, Semen Gresik, Antam, direktur utamanya menerima bonus sekitar Rp 2-3 miliar per tahun,” katanya. “Cuma kerja di BUMN itu kan lebih susah. Stakeholder yang harus dilayani banyak. Kalau di perusahaan swasta yang penting adalah pemegang saham. Di sini (BUMN) ada DPR, Menteri. Untuk dapat gaji besar itu gak gampang,” Dilmy menambahkan.

Pada akhirnya, dalam melihat besaran kompensasi yang diterima bos-bos besar ini memang mesti melihatnya secara lengkap. Artinya, bukan hanya besaran gaji dan bonus yang diterima. Seperti disinggung di atas, kepantasan yang diterima direksi adalah dengan melihat achievement yang bersangkutan, dengan juga mempertimbangkan value creation yang diciptakan: lapangan kerja, pajak, dsb. Namun pada titik ini, Budi Soetjipto, Dosen Paska Sarjana FE UI mengingatkan bahwa ada satu tugas yang seringkali luput untuk diperhatikan dari sisi achievement bos-bos besar tersebut, yakni: create and developing leader. “Direksi harus menyiapkan layer berikutnya,” katanya.

Dia merasa perlu untuk mengingatkan ini karena banyak terjadi bajak-membajak eksekutif dari perusahaan lain, atau bahkan dari industri yang berbeda. Tentu ini bukan sebuah dosa karena pemilik perusahaan menginginkan yang terbaik. Juga bukan masalah sepanjang pasokannya tersedia. Tapi akan jadi masalah bila di pasar minim pasokan sehingga harganya menjadi overprice. Dan bila tidak didapatkan, maka kontinuitas kinerja perusahaan bisa terganggu.

Tugas ini jelas tak mudah. Namun untuk itulah sesungguhnya bos-bos besar itu dibayar. Mereka bukan hanya mesti memikirkan bisnis, tapi juga pengembangan manusia agar pasokan talenta hebat selalu tersedia.

===============
Thanks to: Ario Fajar, Denoan Rinaldi, Herning Banirestu, Radito Wicaksono, Siti Ruslina & Dian Solihati

Wednesday, August 8, 2012

Aku Ingin Menjadi Orang yang Bertepuk Tangan di Tepi Jalan




Waktu buka folder-folder lama, eh saya melihat file ini. Saya lupa cerita ini dari siapa awalnya (sumbernya). Kalau tak salah ada yang mengirim email tentang kisah ini. Cerita yang menyentuh, yang membuat saya termenung.

Begini ceritanya:

Di kelasnya ada 50 orang murid, setiap kali ujian, anak perempuanku tetap mendapat ranking ke-23. Lambat laun membuat dia mendapatkan nama panggilan dengan nomor ini, dia juga menjadi murid kualitas menengah yang sesungguhnya. Sebagai orangtua, kami merasa nama panggilan ini kurang enak didengar, namun anak kami ternyata menerimanya dengan senang hati. Suamiku mengeluhkan ke padaku, setiap kali ada kegiatan di perusahaannya atau pertemuan alumni sekolahnya, setiap orang selalu memuji-muji "Superman cilik" di rumah masing-masing, sedangkan dia hanya bisa menjadi pendengar saja.

Anak keluarga orang, bukan saja memiliki nilai sekolah yang menonjol, juga memiliki banyak keahlian khusus. Sedangkan anak nomor 23 di keluarga kami tidak memiliki sesuatu pun untuk ditonjolkan. Dari itu, setiap kali suamiku menonton penampilan anak-anak berbakat luar biasa dalam acara televisi, timbul keirian dalam hatinya sampai matanya bersinar-sinar. Kemudian ketika dia membaca sebuah berita tentang seorang anak berusia 9 tahun yang masuk perguruan tinggi, dia bertanya dengan hati pilu kepada anak kami: Anakku, kenapa kamu tidak terlahir sebagai anak dengan kepandaian luar biasa? Anak kami menjawab: Itu karena ayah juga bukan seorang ayah dengan kepandaian luar biasa. Suamiku menjadi tidak bisa berkata apa-apa lagi, saya tanpa tertahankan tertawa sendiri.

Pada pertengahan musim gugur, semua sanak keluarga berkumpul bersama untuk merayakannya, sehingga memenuhi satu ruangan besar di restoran. Topik pembicaraan semua orang perlahan-lahan mulai beralih kepada anak masing-masing. Dalam kemeriahan suasana, anak-anak ditanyakan apakah cita-cita mereka di masa mendatang? Ada yang menjawab akan menjadi pemain piano, bintang film atau politikus, tiada seorang pun yang terlihat takut mengutarakannya di depan orang banyak, bahkan anak perempuan berusia 4½ tahun juga menyatakan kelak akan menjadi seorang pembawa acara di televisi, semua orang bertepuk tangan mendengarnya. Anak perempuan kami yang berusia 15 tahun terlihat sibuk sekali sedang membantu anak-anak kecil lainnya makan. Semua orang mendadak teringat kalau hanya dia yang belum mengutarakan cita-citanya kelak. Di bawah desakan orang banyak, akhirnya dia menjawab dengan sungguh-sungguh: Kelak ketika aku dewasa, cita-cita pertamaku adalah menjadi seorang guru TK, memandu anak-anak menyanyi, menari dan bermain-main. Demi menunjukkan kesopanan, semua orang tetap memberikan pujian, kemudian menanyakan akan cita-cita keduanya. Dia menjawab dengan besar hati: Saya ingin menjadi seorang ibu, mengenakan kain celemek bergambar Doraemon dan memasak di dapur, kemudian membacakan cerita untuk anak-anakku dan membawa mereka ke teras rumah untuk melihat bintang-bintang. Semua sanak keluarga tertegun dibuatnya, saling pandang tanpa tahu akan berkata apa lagi. Raut muka suamiku menjadi canggung sekali.

Sepulangnya ke rumah, suamiku mengeluhkan ke padaku, apakah aku akan membiarkan anak perempuan kami kelak menjadi guru TK? Apakah kami tetap akan membiarkannya menjadi murid kualitas menengah? Sebetulnya, kami juga telah berusaha banyak. Demi meningkatkan nilai sekolahnya, kami pernah mencarikan guru les pribadi dan mendaftarkannya di tempat bimbingan belajar, juga membelikan berbagai materi belajar untuknya. Anak kami juga sangat penurut, dia tidak membaca komik lagi, tidak ikut kelas origami lagi, tidur bermalas-malasan di akhir minggu juga tidak dilakukan lagi. Bagai seekor burung kecil yang kelelahan, dia ikut les belajar sambung menyambung, buku pelajaran dan buku latihan dikerjakan tanpa henti. Namun biar bagaimana pun dia tetap seorang anak-anak, tubuhnya tidak bisa bertahan lagi dan terserang flu berat. Biar sedang diinfus dan terbaring di ranjang, dia tetap bersikeras mengerjakan tugas pelajaran, akhirnya dia terserang radang paru-paru. Setelah sembuh, wajahnya terlihat kurus banyak. Akan tetapi ternyata hasil ujian semesternya membuat kami tidak tahu mau tertawa atau menangis, tetap saja nomor 23.

Kemudian, kami juga mencoba untuk memberikan penambah gizi dan rangsangan hadiah, setelah berulang-ulang menjalaninya, ternyata wajah anak perempuanku semakin pucat saja. Apalagi, setiap kali akan ujian, dia mulai tidak bisa makan dan tidak bisa tidur, terus mencucurkan keringat dingin, terakhir hasil ujiannya malah menjadi nomor 33 yang mengejutkan kami. Aku dan suamiku secara diam-diam melepaskan aksi menarik bibit ke atas demi membantunya tumbuh ini. Dia kembali pada jam belajar dan istirahatnya yang normal, kami mengembalikan haknya untuk membaca komik, mengijinkannya untuk berlangganan majalah "Humor anak-anak" dan sejenisnya, sehingga rumah kami menjadi tenteram kembali. Kami memang sangat sayang pada anak kami ini, namun kami sungguh tidak mengerti akan nilai sekolahnya.

Pada akhir minggu, teman-teman sekerja pergi rekreasi bersama. Semua orang mempersiapkan lauk terbaik dari masing-masing, dengan membawa serta suami dan anak untuk piknik. Sepanjang perjalanan penuh dengan tawa dan guyonan, ada anak yang bernyanyi, ada juga yang memperagakan karya seni pendek. Anak kami tiada keahlian khusus, hanya terus bertepuk tangan dengan gembira. Dia sering kali lari ke belakang untuk menjaga bahan makanan. Merapikan kembali kotak makanan yang terlihat agak miring, mengetatkan tutup botol yang longgar atau mengelap jus sayuran yang bocor ke luar. Dia sibuk sekali bagaikan seorang pengurus rumah tangga cilik.

Ketika makan terjadi satu kejadian di luar dugaan. Ada dua orang anak lelaki, satunya adalah bakat matematika, satunya lagi adalah ahli bahasa Inggeris. Kedua anak ini secara bersamaan menjepit sebuah kue beras ketan di atas piring, tiada seorang pun yang mau melepaskannya, juga tidak mau membaginya. Walau banyak makanan enak terus dihidangkan, mereka sama sekali tidak mau peduli. Orang dewasa terus membujuk mereka, namun tidak ada hasilnya. Terakhir anak kami yang menyelesaikan masalah sulit ini dengan cara sederhana yaitu lempar koin untuk menentukan siapa yang menang.

Ketika pulang, jalanan macat dan anak-anak mulai terlihat gelisah. Anakku terus membuat guyonan dan membuat orang-orang semobil tertawa tanpa henti. Tangannya juga tidak pernah berhenti, dia mengguntingkan banyak bentuk binatang kecil dari kotak bekas tempat makanan, membuat anak-anak ini terus memberi pujian. Sampai ketika turun dari mobil bus, setiap orang mendapatkan guntingan kertas hewan shio masing-masing. Ketika mendengar anak-anak terus berterima kasih, tanpa tertahankan pada wajah suamiku timbul senyum bangga.

Sehabis ujian semester, aku menerima telpon dari wali kelas anakku. Pertama-tama mendapatkan kabar kalau nilai sekolah anakku tetap kualitas menengah. Namun dia mengatakan ada satu hal aneh yang hendak diberitahukannya, hal yang pertama kali ditemukannya selama 30 tahun mengajar. Dalam ujian bahasa ada sebuah soal tambahan, yaitu siapa teman sekelas yang paling kamu kagumi dan alasannya. Selain anakku, semua teman sekelasnya menuliskan nama anakku.
Alasannya sangat banyak: antusias membantu orang, sangat memegang janji, tidak mudah marah, enak berteman, dan lain-lain, paling banyak ditulis adalah optimis dan humoris. Wali kelasnya mengatakan banyak usul agar dia dijadikan ketua kelas saja. Dia memberi pujian: Anak anda ini, walau nilai sekolahnya biasa-biasa saja, namun kalau bertingkah laku terhadap orang, benar-benar nomor satu.

Saya berguyon pada anakku, kamu sudah mau jadi pahlawan. Anakku yang sedang merajut selendang leher terlebih menundukkan kepalanya dan berpikir sebentar, dia lalu menjawab dengan sungguh-sungguh: “Guru pernah mengatakan sebuah pepatah, ketika pahlawan lewat, harus ada orang yang bertepuk tangan di tepi jalan.” Dia pelan-pelan melanjutkan: “Ibu, aku tidak mau jadi pahlawan, aku ingin jadi orang yang bertepuk tangan di tepi jalan.” Aku terkejut mendengarnya dan mengamatinya dengan seksama.

Dia tetap diam sambil merajut benang wolnya, benang warna merah muda dipilinnya bolak balik di jarum bambu, sepertinya waktu yang berjalan di tangannya mengeluarkan kuncup bunga. Dalam hatiku terasa hangat seketika. Pada ketika itu, hatiku tergugah oleh anak perempuan yang tidak ingin menjadi pahlawan ini. Di dunia ini ada berapa banyak orang yang bercita-cita ingin menjadi pahlawan, namun akhirnya menjadi seorang biasa di dunia fana ini. Jika berada dalam kondisi sehat, jika hidup dengan bahagia, jika tidak ada rasa bersalah dalam hati, mengapa anak-anak kita tidak boleh menjadi seorang biasa yang baik hati dan jujur.

Jika anakku besar nanti, dia pasti akan menjadi seorang isteri yang berbudi luhur, seorang ibu yang lemah lembut, bahkan menjadi seorang teman kerja yang suka membantu, tetangga yang ramah dan baik. Apalagi dia mendapatkan ranking 23 dari 50 orang murid di kelasnya, kenapa kami masih tidak merasa senang dan tidak merasa puas? Masih ingin dirinya lebih hebat dari orang lain dan lebih menonjol lagi? Lalu bagaimana dengan sisa 27 orang anak-anak di belakang anakku? Jika kami adalah orangtua mereka, bagaimana perasaan kami?

Saturday, August 4, 2012

Selamat Datang Abad Kota



Kota-kota besar di dunia kini terus menarik, mempertahankan dan mendorong arus ide, modal serta manusia. Tak heran, studi atas posisi mereka juga kian masif digelar. Lalu di mana posisi Jakarta?


Tak salah bila McKinsey Global Institute (MGI) menyebut abad 21 sebagai “the century of the cities”. Alasannya: kota-kota di seluruh dunia kian tumbuh sebagai pusat putaran ekonomi. Untuk pertama kali dalam sejarah, lebih dari setengah populasi dunia menetap di perkotaan, mencetak lebih dari 80% global GDP. Dan itu tak hanya terjadi di belahan negara maju, tapi juga kawasan yang sebelumnya disebut negara berkembang.

Menguatnya posisi kota di tengah pergerakan sumbu-sumbu ekonomi dunia dari Utara ke wilayah Selatan, telah memancing sejumlah penelitian yang digelar beberapa lembaga bergengsi. MGI, contohnya, baru saja merilis laporan bertitel “Urban world: Mapping the economic power of cities.” Dalam studi itu disebutkan kini 600 kota didiami 22% populasi dunia dan menyumbang 54% GDP global. Tahun 2025, jumlah itu berubah: 25% populasi dunia dan 58% GDP global. Hanya saja, komposisi dari 600 kota tersebut akan berubah. Kota-kota di Cina dan India akan menjadi bagian dari 600 kota yang memainkan peran besar ini.

Sebelumnya, November 2011, majalah Euromoney menurunkan liputan tentang “Global Cities Survey”. Laporan ini dibuat berdasarkan studi yang digelar Citigroup Inc. Sementara di tempat lain, Economist Intelligence Unit (EIU) merilis “Hot Spots - Benchmarking Global City Competitiveness”. Bahkan tak lama berselang, EIU, kali ini bersama Buzzdata juga merilis studi “Best Cities Ranking and Report 2012”. Semua bicara tentang posisi satu kota dengan kota lainnya.

Di luar studi tersebut, laporan yang menarik dan dipandang komprehensif adalah Global Cities Index (GCI). Ini adalah kajian yang dikembangkan konsultan manajemen dari Chicago, A. T. Kearney beserta Chicago Council on Global Affairs. Studi ini telah dipublikasikan selama 2 tahun sekali, sejak tahun 2008.

Apa yang dimaksud global city?

Menurut studi A. T. Kearney, kota global adalah kota-kota yang saling terhubung dengan kota-kota internasional, berpengaruh dalam multidimensi mulai dari aspek budaya, keuangan, hingga pembuatan keputusan. Untuk edisi GCI 2012, pengukuran dilakukan pada 66 kota di seluruh dunia dengan menilai 25 metrik dari 5 dimensi: (1) business activity; (2) human capital; (3) information exchange; (4) cultural experience; dan (5) political engagement.

Business activity diantaranya diukur dari keberadaan kantor pusat perusahaan global, pasar modal, konferensi internasional, aliran barang lewat pelabuhan serta bandar udara. Sisi human capital dilihat dari aspek kemampuan menarik talenta terbaik, yang diantaranya mengukur kualitas universitas, jumlah sekolah internasional, serta populasi siswa internasional. Adapun information echange menakar sejauh mana alur informasi tersirkulasi di dalam dan di luar kota. Aksesibilitas terhadap saluran TV internasional serta internet, juga jumlah biro berita internasional yang ada menjadi mentrik pengukuran.

Sementara cultural experience, mengukur dari sisi budaya, mulai dari jumlah museum, tempat pertunjukan kesenian, pusat-pusat kuliner, kegiatan olahraga internasional, jumlah pelancong internasional dan hubungan sister-city yang ada. Terakhir, political engagement menyoroti bagaimana kota tersebut mempengaruhi dialog serta kebijakan global, biasanya diukur dari jumlah kedutaan dan konsulat, kantor tanki pemikir dan organisasi internasional, termasuk juga jumlah konferensi politik yang digelar.

Penyeleksian yang dilakukan A. T. Kearney terbilang ketat, dengan menyaring data yang disajikan Buzzdata. Hasilnya, muncullah peringkat 10 besar global cities yakni New York, London, Paris, Tokyo, Hong Kong, Los Angeles, Chicago, Seoul, Brussels dan Washington, D.C. Adapun Jakarta berada di posisi 54, merosot dibanding tahun 2008 (posisi 48) dan 2010 (53). Dari negara-negara Asia Tenggara, Jakarta di bawah Singapura (11), Bangkok (43), Kuala Lumpur (49) dan Manila (51). Jakarta hanya di atas Ho Chi Minh (61). 



Bagaimana kota-kota besar itu menjadi sangat istimewa?

New York, contohnya, Berada di peringkat wahid GCI 2012 dengan skor 6,35, kota yang memang didesain oleh pemerintahannya (dipimpin seorang walikota) untuk menjadi kota tempat aktivitas bisnis, budaya dan politik yang canggih. Untuk melancarkan aktivitas bisnis, umpamanya, New York telah menyediakan sistem transportasi yang canggih. Subway di sini disebut-sebut sebagai yang terbaik di dunia sehingga mereka yang datang ke kota ini tak mesti dipusingkan dengan kemacetan atau parkir yang umumnya melanda kota besar.

Fasilitas air di kota ini juga istimewa. Pasokan air ke New York bisa dikatakan superior. Mereka menyediakan air bagi warga kota, yang diambil dari 19 reservoir air dan 3 danau di sekitar kota. Sumber-sumber air itu menyediakan lebih dari 1 miliar gallon air bersih. Jangan bandingkan dengan Jakarta atau kota-kota di Indonesia yang reservoir air-nya kebanyakan sudah dibeton menjadi mal.

Untuk urusan penataan tata ruang, New York memang terbilang yahud. Bahkan sangat memperhatikan aspek hijau. Pohon di pinggir jalan. Central Park yang hijau. Bahkan rumah-rumah diupayakan memiliki taman sendiri. Pemerintahan kota ini memang ingin New York kota yang hijau. Dan buat aktivitas budaya atau kuliner, jangan dikata lagi. New York adalah kota dengan tempat ngopi di mana-mana. Sedikitnya ada 200 gerai Starbucks di kota yang hidup selama 24 jam. Di kota ini, “closing time” bersifat relatif. Jam berapapun Anda butuh burger atau kertas toilet, Anda bisa mendapatkannya, bahkan pada jam 3 dini hari sekalipun (hmm… Jakarta juga sudah mulai seperti ini). Sementara bagi yang menyenangi aktivitas budaya, olahraga maupun kuliner, New York adalah surganya. Fasilitas aktivitas untuk hal tersebut sangat diperhatikan.

Dari Asia, selain Tokyo, Hong Kong menempati peringkat 5 besar GCI 2012 (skor 4,56). Tapi dari studi “Best Cities Ranking and Report 2012” yang dikeluarkan EIU bersama Buzzdata, Hong Kong berada di peringkat pertama, disusul Amsterdam, Osaka dan Paris. Tokyo berada di posisi ke-10.

EIU mengeluarkan Spatially Adjusted Liveability Index” (SALI). Ada beberapa indikator yang digunakan. Diantaranya adalah: ruang hijau, pemekaran kota, aset alam, aset budaya, konektivitas, hingga tingkat polusi. Masing-masing indikator diberi skor 1-5. Hong Kong di nomor pertama dengan skor SALI 87,8. Lalu, apa istimewanya Hong Kong?

Meski terbilang kecil, Hong Kong sangat hidup, terutama untuk bisnis. Pemerintahannya sangat terbuka untuk mendukung aktivitas bisnis global. Tak heran, di sini 115 negara mempunyai konsulat asing-masing (terbanyak dibanding kota manapun di dunia). Seperti halnya New York, Hong Kong juga memperhatikan sistem transportasi agar aktivitas bisnis dan kegiatan lain berjalan lancar. Hong Kong bukanlah kota buat para premotor. Bis, feri, kereta, trem, semuanya saling terhubung di kota yang ditempati 7 juta jiwa lebih ini. Konektivitas sistem transportasinya adalah yang tercanggih di dunia.

Tata ruang di Hong Kong juga hebat. Area bisnis dan hiburan tertata. Disney Land, Ocean Park tersedia di sini. Sekalipun menjadi megacity dan kota kosmopolitan, 40% teritori Hong Kong dilindungi oleh taman-taman kota. Di luar itu semua, Hong Kong juga tempat buat mereka yang menyenangi budaya serta kuliner. Aset-aset bersejarah dipelihara di tengah sibuknya kota.

Kebanyakan kota yang masuk dalam peringkat best cities oleh beragam studi menunjukkan pemerintahannya mencoba menyeimbangkan antara aktivitas bisnis, politik dan lingkungan, juga memperhatikan kenyamanan penduduknya. Inilah poin yang menjadi benang merah bila kota-kota di Indonesia ingin belajar dari mereka.

Yang menarik, berbarengan dengan GCI 2012, A. T. Kearney juga merilis Emerging Cities Outlook (ECO) 2012 untuk yang pertama kali. ECO adalah upaya untuk menaksir potensi kota-kota di kekuatan ekonomi yang tengah berkembang pesat untuk menjadi kekuatan yang mempengaruhi kehidupan masyarakat global. Peringkat 10 besarnya adalah Beijing, Shanghai, Taipei, Chongqing, Shenzhen, Guangzhou, Bogota, Dhaka, Ho Chi Minh City and Bangalore. Beijing, kota yang pertumbuhannya paling pesat di dunia, begitu juga Shanghai sebagai pusat keuangan dunia yang paling melesat, diharapkan dalam 2 dekade mendatang akan menjadi top global cities, menggusur posisi New York dan London. Beijing dan Shanghai ditaksir malah akan membentuk triad strategis bersama Hong Kong menjadi pusat kota dunia yang dahsyat seiring pertumbuhan ekonomi serta kelas menengah. Triad strategis ini menyaingi hubungan tradisional kota-kota besar yang sudah berlangsung seperti NYLON (New York-London), PARFRANK (Paris-Frankfurt), LATOK (Los Angeles-Tokyo) serta HONGSING (Hong Kong-Singapura).

10 kota yang termasuk ECO (Beijing dst), dalam analisis A. T. Kearney tergolong mereka yang berada di kuadran high potential untuk menjadi kota-kota dunia yang berpengaruh. Lantas, bagaimana dengan Jakarta?

A. T. Kearney membuat 4 kuadran dengan 2 sumbu: strength dan vulnerabilities. Yang dimaksud strength adalah GDP, pertumbuhan kelas menengah, pengembangan infrastruktur dan kemudahan menjalankan bisnis. Adapun vulnerabilities termasuk tingginya tingkat polusi, ketidakstabilan dan ketidakamanan, korupsi serta sistem kesehatan yang buruk. Dari kuadran tersebut, Jakarta berada dalam posisi status quo bersama sejumlah kota seperti Kuala Lumur, Manila, Bangkok, Sao Paulo, Rio de Janeiro dan Karachi. Strength Jakarta di indeks 6.0, sementara vulnerabilities-nya 4,9. Posisi Jakarta sedikit lebih baik dibanding kuandran vulnerable, kota-kota negara berkembang yang dipandang pengaruhnya akan kian memudar seperti Caracas, Nairobi, Kairo, dan Lagos.

Bila diperhatikan, setiap survei yang digelar lembaga-lembaga bergengsi di atas memiliki keunggulan serta kelemahannya tersendiri. Tapi terlepas dari hal tersebut, riset-riset itu segaris dalam satu kesimpulan: kota-kota di dunia kini terus menarik, mempertahankan dan mendorong arus ide, modal serta manusia. Urbanisasi menjadi fenomena biasa. Dunia masa kini adalah dunia kota, bukan lagi negara. Suka ataupun tidak, inilah abad kota. ***