Siapakah perusahaan publik yang berani
yang memberikan gaji tinggi buat eksekutifnya, yang mungkin bagi kebanyakan
orang hanya mimpi untuk meraihnya?
Oke, tanpa perlu berpanjang lebar, Astra
International Tbk. berada di urutan pertama dalam urusan ini. Tahun lalu, Rp 575,75
miliar dikucurkan perusahaan ini untuk dewan direksinya (BOD). Bila
dirata-rata, gaji tiap direksinya mencapai Rp 63,97 miliar dalam setahun atau
Rp 5,3 miliar/bulan. Sebagai catatan, gaji dalam pengertian di sini terdiri
dari gaji, tunjangan, bonus, kompensasi, dan lain-lain.
Berikutnya menyusul Indofood Sukses
Makmur yang mengucurkan sebesar Rp 288,03 miliar (rata-rata direksi Rp 32
miliar). Setelah itu, PT Timah mencapai 246,81 (Rp 49,36 miliar). Peringkat 4
mengguyur gaji adalah Bank Mandiri, Rp 183,76 miliar dan menyusul PT Telkom, Rp
181 miliar. Namun untuk gaji rata-rata BOD-nya, Telkom mencapai Rp 22,63 miliar
perorang, sementara Mandiri Rp 16,71 miliar. Gaji rata-rata BOD Mandiri bahkan
di bawah PT United Tractor, Rp 18,4 miliar. Perusahaan alat berat itu sendiri
mengguyur Rp 110,39 miliar buat dewan direksinya, berada di peringkat ke-7, di
bawah BCA yang sebesar Rp 158,59 miliar (rata-rata Rp 15,86 miliar/direktur).
Urutan dalam pemberian gaji ini juga
relatif sama dalam urusan mengguyur kompensasi ke kamar sebelah, kepada dewan
komisaris (BOC). Tahun lalu Astra International memberikan Rp 222,25 miliar bagi
komisarisnya. Setelah itu menyusul Indofood (Rp 111,19 miliar) dan Timah (Rp 95,27
miliar).
Melihat data yang tersaji, secara umum
dapat dikatakan pada tahun 2011 terjadi peningkatan penggajian eksekutif yang
sangat signifikan. Dan bagi Irham Dilmy, Advisor Amrop, itu tidak mengejutkan. Sebab,
bisnis telah menggeliat kembali. Kurun 2009-2010 gaji para eksekutif puncak
bisa dikata relatif stagnan karena terpengaruh krisis 2008. “Tahun 2011
gangguan mulai mereda. Di tahun 2011, (gaji eksekutif) lebih spektakuler dan
lebih baik dibanding 2010. Dan ternyata memang iya, kelihatan!,” katanya.
Lantas bagaimana dengan 2012? Menurutnya, krisis di zona Eropa boleh jadi akan
berpengaruh. “Nanti kita lihat di akhir tahun,” katanya diplomatis.
Bagi orang kebanyakan, angka-angka dalam
tabel mungkin terlihat serba “wah”. Benarkah demikian?
“Kalau sekarang (direksi Mandiri) digaji
Rp 16,7 miliar (setahun), itu wajar-wajar saja,” kata Robby Djohan, mantan
Dirut Mandiri. Menurutnya, untuk mengukur kepantasan, tinggal lihat satu indikator
kunci: profit perusahaan. Dengan laba bersih Mandiri Rp 12,4 triliun di tahun
2011, dia merasa gaji yang ada sekarang malah kurang ideal. “Idealnya bisa US$
2-3 juta pertahun. Apalagi Bank Mandiri adalah bank yang sangat besar,” dia
menegaskan. Dan fenomena gaji besar ini, menurutnya bukan hal baru. “Gaji
besar, tanggung jawab juga besar. Saya bekerja sebagai CEO Niaga itu 14 jam
sehari. Tahun 1980, saya digaji US$ 1 juta, dan waktu itu belum ada gaji
direksi yang sebesar itu. Apa itu artinya? Artinya, saya dituntut lebih oleh
perusahaan.”
Artinya pula, cara terbaik kepantasan
gaji adalah dengan melihat achievement
yang bersangkutan atau pay per
performance. “Perhitungan salary
dan bonus (memang harus) dikaitkan erat dengan pencapaian perusahaan,” timpal
Dilmy. Dengan demikian, pada Mandiri, gaji direksi hanya 1,4% dari laba bersih
2011 yang sebesar Rp 12,4 triliun. Besar? “Ketika saya menjabat sebagai CEO,
saya tidak tahu persis bagaimana penghitungannya. Tapi saya punya cara yang
ideal untuk menetapkan gaji. Pertama yang dilihat adalah seberapa besar market bisnisnya dan industrinya. Kedua,
saya pasti selalu membayar gaji Dirut lebih mahal dari market. Kenapa? Karena saya mempekerjakan talenta-talenta hebat.
Ketiga, 10% dari profit perusahaan disisihkan untuk gaji direksi. Itulah yang
saya lakukan,” jelas Robby.
Lewat cara pandang seperti itu (gaji dikaitkan
dengan achievement) maka yang
dikantungi direksi Astra International pun menjadi tampak kecil: hanya 2,69%
dari laba bersih yang mencapai Rp 21,3 triliun. Yang tak kalah penting, ujar
seorang eksekutif Astra, apa yang tercantum dalam laporan keuangan adalah yang
sebenar-benarnya. Artinya, memang sebesar itulah yang diraih direksi. Tidak ada
tambahan-tambahan lain yang sifatnya non-bujeter. Tidak ada yang ditutup-tutupi
dari perusahaan yang tahun lalu mencatatkan kapitalisasi terbesar di Bursa Efek
Indonesia (BEI) dengan nilai Rp 299,57 triliun. Dengan kata lain,
akuntabilitasnya dapat terjamin.
Menjadi direksi perusahaan-perusahaan
besar dengan puluhan hingga ratusan ribu karyawan tentu tak mudah. Ada tanggung
jawab ekonomi, sosial dan lingkungan yang tak sepele. Direksi adalah navigator
maju mundurnya perusahaan. Tak heran, besarnya gaji eksekutif, di mata Gatot
Mudiantoro Suwondo merupakan hal yang wajar. Jika ingin memiliki sumber daya
yang bagus, kata Dirut BNI ini, tentunya harus disertai nilai yang bagus pula. “Jadi,
nilai atapun fasilitas yang didapat, sepadan dengan tanggung jawab yang
dijalankan,” katanya. Dia pun menegaskan bahwa sepengetahuannya, gaji ataupun
fasilitas yang didapatkan eksekutif di BNI tergolong lebih rendah dibandingkan
dengan bank-bank lainnya.
Faktanya, rata-rata yang didapat direksi
BNI berada di peringkat 24, sebesar Rp 7,51 miliar setahun. Dibanding bank
lain, rata yang mereka kantungi berada di bawah Mandiri (Rp 16,71 miliar), BCA
(Rp 15,86 miliar), CIMB Niaga (Rp 9,93 miliar), dan bahkan BTPN (Rp 7,59
miliar). Khusus BTPN, bank ini memang tengah getol-getolnya membetot talenta
terbaik untuk bersaing sehingga memberi rasio gaji yang cukup tinggi: 4,8%. Tahun
lalu, dengan laba bersih Rp 1,4 triliun, direksinya digelontori Rp 68,34
miliar.
Jadi, berapa yang didapat Gatot? “Ya,
saya dapat seperti biasa saja lah,” ucapnya sembari diiringi gelak tawa. Yang
penting, dia menambahkan, setiap eksekutif mampu menciptakan value creation bagi perusahaannya. Di
BNI, laba bersihnya naik dari Rp 4,1 triliun (2010) menjadi Rp 5,9 triliun
tahun lalu. Adapun rasio gaji 2011 terhadap laba bersih sebesar 1,25%.
Di tempat lain, Dwi Soetjipto juga hanya
bisa tergelak ketika ditanya perihal gaji yang diraupnya setiap bulan. Salary, kata Dirut Semen Gresik ini, bukan
menjadi kehirauan utamanya. Yang penting adalah potensi untuk berprestasi, ruang
mengembangkan kinerja dan kenyamanan kerja. “Bisa enjoy atau tidak di tempat itu?.”
Tahun lalu Semen Gresik mengucurkan Rp
36,45 miliar untuk direksinya sehingga rata-rata mengantungi Rp 5,21 miliar
setahun. Dengan laba bersih Rp 3,9 triliun, rasio gaji menjadi 0,92%. “Kalau
dibanding pasar, masih jauh. Tapi pemegang saham menetapkan untuk tidak menaikkan,
meski masih dibawah rata-rata pasar,” katanya. Apakah itu sudah memuaskan?
Dwi merasa sih semua itu sudah sangat
berkecukupan. “Toh, kebutuhan kita itu-itu saja,” tuturnya diplomatis. Dia dan
direksi lain, menurutnya tetap menerima, tetap berkarya semaksimal mungkin.
“Kami orang-orang pekerja, itu tidak mempengaruhi kami, ini sudah mencukupi,” dia
menegaskan lagi.
Hal senada juga disampaikan Ririek
Adriansyah, Direktur CRM Telkom. Ketika ditanya mengenai kesesuaian antara
besarnya cakupan tugas atau tanggung jawab dengan gajinya, dia diplomatis menggelengkan
kepala. “Ha…ha…ha…Saya tidak tahu yang itu. Sama sekali belum tahu tentang itu.
Yang masalah pay-nya saya tidak
tahu,” ungkap Ririek yang baru diangkat menjadi Direktur CRM Telkom awal Mei
2012. Yang dia tahu pemegang saham memintanya mengejar target yang dipatok.
Kalau bisa melebihinya. Adapun tentang fasilitas-fasilitas yang diberikan
kepadanya, dia pun hanya menjawab bahwa fasilitas yang diberikan mengikuti
standar. Namun dia tidak merinci dan menjelaskan rujukan standardisasinya. “Ah,
itu standar semua,” katanya. Rasio gaji direksi Telkom terhadap laba bersihnya
sebesar 1,16%.
Bicara soal fasilitas di BUMN, Dilmy
menyatakan ada perbedaan dengan perusahaan swasta. “Yang besar di BUMN itu
justru tantiem dan bonus. Setiap
perusahaan BUMN yang Top 10 seperti
Pertamina, Telkom, PGN, Semen Gresik, Antam, direktur utamanya menerima bonus
sekitar Rp 2-3 miliar per tahun,” katanya. “Cuma kerja di BUMN itu kan lebih
susah. Stakeholder yang harus
dilayani banyak. Kalau di perusahaan swasta yang penting adalah pemegang saham.
Di sini (BUMN) ada DPR, Menteri. Untuk dapat gaji besar itu gak gampang,” Dilmy menambahkan.
Pada akhirnya, dalam melihat besaran
kompensasi yang diterima bos-bos besar ini memang mesti melihatnya secara
lengkap. Artinya, bukan hanya besaran gaji dan bonus yang diterima. Seperti
disinggung di atas, kepantasan yang diterima direksi adalah dengan melihat achievement yang bersangkutan, dengan juga
mempertimbangkan value creation yang
diciptakan: lapangan kerja, pajak, dsb. Namun pada titik ini, Budi Soetjipto, Dosen
Paska Sarjana FE UI mengingatkan bahwa ada satu tugas yang seringkali luput
untuk diperhatikan dari sisi achievement
bos-bos besar tersebut, yakni: create and
developing leader. “Direksi harus menyiapkan layer berikutnya,” katanya.
Dia merasa perlu untuk mengingatkan ini
karena banyak terjadi bajak-membajak eksekutif dari perusahaan lain, atau
bahkan dari industri yang berbeda. Tentu ini bukan sebuah dosa karena pemilik
perusahaan menginginkan yang terbaik. Juga bukan masalah sepanjang pasokannya
tersedia. Tapi akan jadi masalah bila di pasar minim pasokan sehingga harganya
menjadi overprice. Dan bila tidak
didapatkan, maka kontinuitas kinerja perusahaan bisa terganggu.
Tugas ini jelas tak mudah. Namun untuk
itulah sesungguhnya bos-bos besar itu dibayar. Mereka bukan hanya mesti
memikirkan bisnis, tapi juga pengembangan manusia agar pasokan talenta hebat
selalu tersedia.
===============
Thanks to: Ario Fajar, Denoan Rinaldi, Herning Banirestu, Radito
Wicaksono, Siti Ruslina &
Dian Solihati