Come on

Follow me @teguhspambudi

Sunday, November 18, 2012

Transformasi Balok demi Balok



Buaian sukses serta perubahan yang lambat diantisipasi membuat kerugian serta ancaman kebangkrutan datang menyergap. Dua kali periode transformasi pun harus dijalankan untuk membangun kembali kejayaan yang nyaris hilang.


MIMPI BURUK
Tahun 2003 adalah mimpi buruk bagi Lego. Betapa tidak, akibat bisnis yang hancur-hancuran, laci kas mengering. Laporan keuangan pun menampilkan wajah horornya: rugi US$ 300 juta, dan diproyeksikan meningkat hingga US$ 400 juta di tahun 2004. Ujungnya, bayang-bayang maut menari di depan mata: kebangkrutan!

Sungguh ini tak pernah terbayang. Satu dekade sebelumnya, upaya transformasi telah diupayakan setelah stagnasi menghempas mereka. Dimulai tahun 1993, bisnis produsen mainan itu melesu. Penjualan merosot. Mainan menumpuk. Sementara laju biaya produksi tak bisa dihentikan. Tapi saat itu kerugian tak terbayangkan. Harapan masih ditebar karena tak ada ceritanya Lego merugi.

Sejarah Lego memang seperti mayoritas produknya: tumpukan balok yang indah tersusun. Cerita perusahaan ini adalah kisah bisnis yang sukses tahun demi tahun, terutama selepas Perang Dunia II. Semuanya bermula sewaktu Ole Kirk Christiansen membuat mainan dari kayu di Billund, Denmark, semasa era depresi di tahun 1932. Dia beri nama Lego yang diambil dari bahasa Denmark, “leg godt yang terjemahan bebasnya bisa diartikan “asyik bermain.

Selepas Perang Dunia II, Christiansen membeli mesin plastic injection molding dan mencoba-coba apa yang bisa diperbuatnya dengan mesin itu. Tahun 1947, dia pun mulai mengembangkan balok-balok mainan yang kemudian dikenal seperti sekarang, yang perlahan tapi pasti diserbu anak-anak di seantero jagat.

Lepas dua dekade merintis bisnis, pertumbuhan pesat Lego terjadi di tahun 1960-1970-an. Di masa itu, apapun produk yang dilempar, diserap pasar, diserbu bocah-bocah ingusan yang antusias merakit mainan. Benar-benar laris manis. Lego pun menjelma menjadi salah satu perusahaan raksasa yang disegani.

Namun laiknya roda kehidupan, putaran nasib Lego mulai bergerak ke bawah. Stagnasi dimulai tahun 1993. Dari sisi pasar, anak-anak yang beranjak tumbuh dewasa, kian meninggalkan Lego. Sementara anak-anak yang baru tumbuh, mendapatkan alternatif dari produsen lain yang menggunakan paten Lego yang telah kadaluwarsa untuk membuat mainan sejenis. Sementara dari sisi produksi, di tengah para pesaing mengalihdayakan produktivitasnya ke Cina serta negara lain yang berbiaya rendah, Lego masih berbasis di Denmark yang berongkos mahal.

Semua telah berubah. Dan celakanya, Lego terlambat melakukan perubahan!


KELIRU
Mengatasi keadaan, manajemen Lego berupaya melakukan transformasi. Perusahaan mesti disegarkan. Dibuat menjadi lebih lincah. Wujudnya, aneka perubahan dibuat. Serangkaian portofolio produk yang lebih luas dan beragam diluncurkan, seperti Bionicle (robot peperangan) dan Lego Galidor, boneka yang bisa bicara. Lalu, mengakuisisi perusahaan mainan di Kalifornia, membuat studio desain di Italia, membuka banyak Legoland Amusement Parks (taman hiburan), meluncurkan Lego Education Centre yang menawarkan aktivitas bermain setelah sekolah, juga membuat Lego Factory, di mana orang bisa membangun Lego secara virtual 3D, juga beraliansi pemasaran dengan Harry Potter dan Star Wars.

Upaya transformasi yang dilakukan manajemen Lego ini bisa dikatakan cukup radikal. Mereka tak hanya mendisrupsi model bisnis dengan cara membangun Lego virtual, tapi juga masuk ke strategi blue ocean dengan membangun theme park, area yang diyakini bisa meraih pasar baru. Semua itu dilakukan demi membangkitkan kejayaan yang rebah lantaran terlambat melakukan perubahan.

Tahun demi tahun pergulatan ini dilakukan sampai seorang konsultan yang dipekerjakan untuk membantu perusahaan menghadap direksi guna menunjukkan salahnya jalan yang tengah ditempuh. Dia rupanya resah karena semua yang digelar ternyata tak berjalan sesuai harapan. Sosok itu adalah Jørgen Vig Knudstorp

Pada saat menghadap direksi, Knudstorp menyatakan bahwa setelah menjalankan program transformasi, Lego sesungguhnya duduk di atas bara api. Memang mereka punya banyak inovasi, karena inovasi menjadi prioritas strategis dalam upaya transformasi mengingat pasar serta persaingan telah berubah drastis. Namun, dari serangkaian inovasi yang merombak model dan produk bisnis, ternyata hanya 3 produk yang positif: yang beraliansi dengan Star Wars dan Harry Potter, serta Bionicle. Tapi itu pun sangat lemah. Bahkan khusus yang terafiliasi dengan Star Wars dan Harry Potter, produk-produk Lego hanya mencetak laba ketika filmnya diputar. Bionicles memang lumayan. Permainan ini disukai. Anak-anak juga meminta orang tuanya membelikan aneka aksesori bernuansa robot. Akan tetapi, secara keseluruhan, Lego telah terbakar. Kerugian di tahun 2003 yang mencapai US$ 300 juta adalah kerugian pertama dalam sejarah kehidupan “Si Balok dari Denmark” ini.

Oktober 2004. Untuk membenahi keadaan, jajaran komisaris melakukan perombakan manajemen. Knudstorp, mantan konsultan McKinsey diangkat menjadi CEO, menggantikan Kjelf Kirk Kristiansen, cucu sang pendiri, yang telah menjabat sebagai pemimpin perusahaan itu selama 25 tahun.

Dalam sejarah Lego, penunjukkan Knudstorp merupakan terobosan besar. Sejak perusahaan berdiri, pucuk pimpinan tak pernah keluar dari trah keluarga Kristiansen. Namun sosok Knudstorp memang figur yang unik. Setelah lulus dari Universitas Aarhus, Denmark, dia merintis karir sebagai Engagement Consultant di McKinsey & Company sebelum bergabung dengan Lego sebagai Diretur Pengembangan Strategis di tahun 2001. Dia adalah konsultan di perusahaan. Dengan latar belakangnya dan posisinya di Lego, doktor ekonomi bisnis ini dipandang akan lebih jernih membedah persoalan sekalipun saat itu usianya baru menginjak 34 tahun.

Segera setelah menjadi orang nomor satu yang membawahi 7300 karyawan, Knudstorp menggelar operasi transformasi Lego selanjutnya. Minggu-minggu pertama menjabat CEO, dia menghabiskan waktu bersama Kjelf serta anggota direksi lainnya untuk membedah persoalan. Pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan Knudstorp sangat menukik: apakah Lego terlalu terdiversifikasi? Apakah biaya menjadi isu besar? Apakah Lego kehilangan sentuhan dengan pasar yang kian terobsesi dengan video game, bukan balok mainan?

Diskusi hangat berlangsung diantara mereka. Masing-masing memaparkan opini berikut hipotesisnya. Mereka memetakan persoalan. Satu poin terpampang jelas: pada transformasi 1993-2003, manajemen habis-habisan berinovasi untuk membangkitkan perusahaan. Memang dari sisi inovasi, hasilnya luar biasa. Jumlah komponen produk mainan yang dibuat meledak dari 2000 menjadi 10 ribu. Balok plastik tak lagi sederhana seperti dulu, dengan warna-warna dasar. Sangat inovatif dan menarik, tapi hasilnya amat pahit karena banyak yang tak diserap pasar sehingga tak memberi nilai bagi perusahaan. Knudstorp pun segera memangkas setengahnya.

Selanjutnya, di tengah perdebatan, satu hal juga tampak di wajah mereka: penjualan terbesar datang dari produk mainan non-elektronik. Alhasil, “Saya yakin bahwa meneruskan permainan di kompetisi yang bukan bisnis inti adalah berisiko,” ungkap Knudstorp. Maka menurutnya, Lego harus back to basic. Inovasi yang terlalu berlebihan dan masuk ke aneka bisnis membuat arah perusahaan bukannya menjadi hebat, malah semrawut. Dari hasil pemetaan itu, sang CEO beserta jajarannya sepakat bahwa balok mainan adalah masa depan perusahaan. Karena itu bisnis yang terlihat tak relevan disisihkan. Knudstorp pun melego 70% saham di Legoland kepada Blackstone Group, meraup US$ 460 juta.

Dengan memutuskan Lego harus kembali ke khittahnya sebagai produsen balok mainan, Knudstorp meminta staf intinya melakukan transformasi dari sisi produk. Pada sisi desain, dia meminta para desainer menata ulang produk-produk. Hasil telaahan masalah menunjukkan: hanya 30 produk yang menyumbang 80% pendapatan perusahaan. Yang lainnya tak memberi nilai tambah dan tidak diproduksi lagi, menumpuk di gudang.

Knudstorp ingin para desainernya merancang produk yang sesuai pasar, termasuk juga melihat apa saja produk yang bisa dibangkitkan kembali, dikemas dengan lebih segar dan sesuai selera mutakhir. Maka produk-produk legendaris dihidupkan lagi, seperti model mobil pemadam kebakaran. Model itu dinilai masih oke untuk diperbarui. Begitu juga dengan Lego Mindstorms yang sempat menjadi produk laris.

Tapi Knudstorp juga mengingatkan para desainer untuk memikirkan aspek harga bahan dasar, atau biaya produksi. Dia meyakinkan para desainernya bahwa kreativitas sebebas-bebasnya tidak tepat untuk pasar mainan global di mana tekanan biaya sangat berperan dalam keberlanjutan usaha. Knudstorp menunjukkan ada mainan yang hanya butuh sedikit resin, tapi membeli berton-ton resin senilai puluhan ribu Euro yang akhirnya mubazir.

Yang menarik adalah dari sisi inovasi produk. Knudstorp percaya inovasi tetap diperlukan. Sebab itu, secara internal, dia memberikan kebebasan pada tiap orang dari tenaga penjualan hingga staf kantor pusat kapabilitas untuk menciptakan serta mengusulkan jalan baru untuk pertumbuhan lewat inovasi produk. Lalu, dia juga percaya suara dari pasar harus benar-benar diperhatikan dan diseleksi. Maka dalam upaya memunculkan produk unggulan, Lego mengembangkan model crowd-sourcing. Sekitar 100 orang penggemar fanatik dimintai bantuan untuk mengembangkan produk. Knudstorp juga membuat Cuusoo, situs crowd-sourcing



SIRKULASI HOLISTIK
“Dari perspektif saya, supply chain adalah sistem sirkulasi. Anda harus membenahinya,” kata Knudstorp. Ide pengembangan produk dan inovasi merupakan bagian dari sirkulasi itu. Namun berbeda dengan satu dekade sebelumnya. Model inovasi yang kini diberlakukan tak lagi sama. Menyadari banjir ide akan muncul sewaktu-waktu, Knudstorp pun melakukan langkah-langkah sistematis. Untuk mengelola crowd-sourcing, dia menerapkan pola crowd-control. Ada karyawan yang ditugaskan mengelola komunitas fans fanatik. Juga ada licensing development group, yang menciptakan panduan untuk para mitra dalam membuat produk Legok. Dan di situs Cuusoo, satu produk baru akan dibuat jika 10 ribu orang memilihnya.

Di atas semuanya, poin yang sangat berbeda dibanding fase transformasi sebelumnya adalah Knudstorp mengembangkan matrik inovasi untuk menakar potensi dan risiko sebuah inovasi. Dengan matriks ini, perusahaan bisa mengukur bagaimana inovasi harus dibangun, di mana harus berinvestasi, dan bagaimana proyeksi hasil akhir.

Di tangan Knudstorp, organisasi dan inovasi memang menjadi lebih terstruktur. Tentu saja ini tak terlepas dari pengalaman buruk Lego dekade 1993-2003. Bagi Knudstorp, ide tetap harus ditata. Orang dalam boleh mengusulkan ide. Begitu juga orang luar. Namun semua akan ditakar lewat matriks inovasi.

Akan tetapi, ide hanyalah satu titik dalam sirkulasi supply chain versi Knudstorp. Dia beserta timnya melihat persoalan secara holistik, menganalisis setiap aspek mulai dari sumber bahan baku, hingga manufaktur dan distribusi.

“Saya kira, kesalahan yang sering diperbuat perusahaan adalah mendekati aspek supply chain dengan melihatnya sebagai satu topik, inovasi sebagai hal lain, begitu juga dengan kualitas produk. Padahal, cara terbaik adalah melihatnya sebagai sesuatu yang saling terhubung satu sama lain,” ujar Knudstorp.

Tak heran, mengimbangi perubahan di sisi produk, manajemen Lego membenahi sisi operasi. Efisiensi digenjot total. Mereka melakukan renegosiasi dengan lebih dari 11 ribu pemasok (lebih banyak dari pemasok Boeing untuk membuat pesawat) untuk mendapatkan harga terbaik. Knudstorp juga memindahkan kantor ke dekat pabrik. Lalu produksi balok mainan dialihdayakan ke pabrik yang lebih murah di Hungaria, Kladno (Republik Ceko), Cina serta Meksiko. Mereka pun mengkaji ulang proses produksi agar produk meluncur tepat pada waktunya. Dan di ujung proses, pada sisi distribusi, Lego menutup 5 pusat distribusi di Denmark, Jerman serta Prancis. Sebagai gantinya, mereka membuat sebuah pusat distribusi di Republik Ceko yang dioperasikan oleh DHL.

Untuk mendorong transformasi berjalan baik dan sesuai harapan, Knudstorp aktif mengumpulkan para eksekutifnya. Dia membuat sebuah war room guna mengkaji, mendiskusikan serta mengembangkan strategi. Adapun di level para planners serta perwakilan penjualan, logistik, TI dan manufaktur, dia meminta mereka mengoordinasi perubahan di level operasi.

Knudstorp seringkali mengunjungi war room, mengecek pekerjaan para eksekutifnya. Dan manakala dia melihat ada pekerjaan yang belum terselesaikan, dia akan menanyakan langsung mengapa itu terjadi. “This is still here?” adalah pertanyaan yang sering diajukannya begitu melihat satu persoalan masih menempel di papan tulis. Knudstorp memang tipikal bos yang demanding.

Proses transformasi memang melelahkan. Terutama bagi Knudstorp yang sering terjun langsung ke lapangan. Namun hasil seluruh transformasi yang digerakannya sangat memuaskan. Sejak 2004, langkah-langkah transformasi yang digelar sudah menyelamatkan lebih dari US$ 67 juta. Tahun 2005, laba kembali diraih, sebesar US$ 72 juta. Sejak tahun 2009, penjualan tumbuh 24% pertahun, dan labanya tumbuh 41%. Karyawan bertambah hingga 10 ribu orang. Memang Lego tidak lagi secara teratur masuk perusahaan paling inovatif di dunia seperti dulu, tapi ia tumbuh mantap melewati pesaingnya seperti Hasbro dan Mattel.

Di atas itu semua, Knudstorp mengungkap bahwa transformasi yang dilakukannya telah membawa dampak besar bagi perusahaan. Mereka jadi semakin menyadari bahwa menciptakan produk yang tepat, diijual ke pasar pada saat yang tepat, dan dengan harga yang tepat sangatlah esensial. “Transformasi yang kami lakukan membuat Lego menjadi fokus pada pengembangan bisnis dan inovasi, juga pengembangan organisasi sebagai tempat bekerja yang lebih kreatif lagi. Itu adalah sebuah kemewahan,” kata Knudstorp.

Begitulah. Seperti balok-balok mainan, Knudstorp dan manajemen Lego melakukan transformasi. Mereka menyusun langkah seperti menata balok satu demi satu agar satu bentuk bisa dibuat. Mereka merasionalisasi dan merampingkan pengembangan produk, menata sumber bahan baku, manufaktur dan distribusinya.***


Sunday, November 4, 2012

Raksasa Kosmetik dari Negeri Samba



Diam tapi pasti, jagoan lokal ini terus merangsek pasar global. Kuncinya: gigih membuka pasar.

Tak keliru bila menyebut Brazil, kebanyakan orang hanya tahu atau teringat tarian Samba, Copacabana dan aksi-aksi atraktif para pemain sepak bolanya di lapangan hijau. Ketiganya memang identik dengan negeri di belahan Amerika Latin itu. Namun di luar ketiganya, sesungguhnya Brazil memiliki perusahaan-perusahaan jempolan. Salah satunya adalah Natura Cosméticos yang kiprahnya mengesankan.

Seperti diungkap Harvard Business Review (Juli-Agustus 2012), Natura adalah raksasa Brazil yang telah 30 tahun malang melintang di bisnis kosmetik dan menjadi kuat dari waktu ke waktu. Indikasi kekuatannya cukup menarik: pendapatan di tahun 2010 – termasuk dari pasar internasionalnya mencapai US$ 2,8 miliar sementara laba bersih sebelum pajak sebesar US$ 660 juta. Dengan raihan seperti itu, Natura masuk 20 besar perusahaan kecantikan dunia. Lalu, dengan marjin laba 24,5% membuatnya menjadi perusahaan kosmetik paling menguntungkan, di atas Avon yang sebesar 12%, Estée Lauder (18%), dan L’Oréal (19%).

Dalam konteks global, Natura adalah refleksi dari tumbuhnya dunia bisnis di luar negara-negara maju, khususnya di panggung bisnis kecantikan. Sekitar 20 tahun lalu, AS, Eropa Barat dan Jepang menguasai 2/3 pasar bisnis kosmetik, aroma dan toiletries dunia. Kini pasar itu makin menyebar. Hebatnya, market size Brazil menyodok menjadi nomor 3 di panggung bisnis kecantikan global, dengan nilai US$ 308 miliar. China menjadi nomor 4. Lalu Rusia nomor 8, sementara India nomor 14. Semua itu tentunya tak bisa dilepaskan dari meningkatkan pendapatan masyarakat di negara-negara tersebut sehingga daya belinya bertambah.

Khusus untuk Natura, posisinya sungguh menarik. Kebanyakan pasar negara-negara berkembang masih dikuasai pemain besar. Pasar Cina, Rusia, dan India, umpamanya, didominasi perusahaan Barat dan Jepang seperti L’Oréal dan LVMH dari Prancis; Procter & Gamble, Avon, dan Estée Lauder dari AS; Unilever dari Belanda; dan Shiseido dari Jepang. Di Brazil situasinya berbeda. Di sini Natura adalah jagoannya. Ia nomor wahid, penguasa pasar. Tahun 2004, Natura resmi mendongkel posisi Unilever. Tahun 2010, Natura menguasai 14% pasar, disusul Unilever (9,7%) sementara Avon nomor 3 (9,1%).

Tentu saja perjalanan ke posisi puncak itu tidak diraih dalam semalam. Semuanya bermula di tahun 1969 ketika Antonio Luiz da Cunha Seabra yang waktu itu berusia 27 tahun, mendirikan sebuah laboratorium dan toko kosmetik kecil di São Paulo yang diberinya nama Natura.

Saat itu waktu berjalan sedemikian lambat bagi perkembangan bisnis ini. Natura berjalan seperti siput. Selidik punya selidik, Antonio melihat penyebabnya adalah cara bisnisnya tidaklah tepat. Natura hanya menunggu konsumen datang. Sungguh sebuah jurus yang tidak bisa mempercepat laju bisnis. Tahun 1974, setelah mencoba aneka model bisnis untuk mendistribusikan produknya, Antonio pun mencoba strategi yang ditempuh Avon, yang selama satu dekade sukses menjalankan bisnisnya di Brazil: model penjualan door-to-door. Natura meniru langkah pesaingnya.

Sesungguhnya metode ini bukan pilihan mudah. Untuk membangun jaringan direct-selling perlu biaya yang cukup besar di samping makan waktu mengingat hubungan dengan konsumen harus dibangun satu demi satu, hari demi hari. Apalagi jaringan Avon sudah sedemikian kuat. Tapi Antonio merasa pilihan ini tepat karena sekalipun terasa mahal dan berat di awal, di kemudian hari akan sangat menguntungkan. Sebab, sekali jaringan direct-selling tercipta, Natura bisa berekspansi dengan biaya rendah termasuk saat ekonomi bergejolak. Maklum, ujung tombaknya adalah para sales consultant yang bergerak tanpa dibatasi keberadaan gerai.

Perlahan-lahan model ini digulirkan. Dan keputusan Antonio benar adanya. Natura mendapat momentum besar di awal tahun 1980-an sewaktu inflasi datang. Di tahun-tahun itu, harga-harga melonjak, nilai tukar juga bergejolak. Lantaran hantaman inflasi, banyak produk pesaing di department store perlahan-lahan menghilang. Rupanya, lonjakan harga dan kontrol nilai tukar membuat banyak perusahaan internasional meninggalkan Brazil atau menghentikan investasinya.

Selama periode yang dikenal sebagai “dekade yang hilang” itulah peruntungan Natura membaik. Ia mengambil alih posisi pemain-pemain internasional yang terpaksa meninggalkan gelanggang karena himpitan inflasi. Sebagai produk lokal dan dipasarkan dengan model direct selling, Natura dengan gesitnya mengisi celah yang kosong, yang ditinggalkan para pesaingnya. Ia menari dari satu lokasi ke lokasi lain mengandalkan konsultan penjualannya.

Ujungnya sangat menggembirakan Antonio. Antara tahun 1979-1989, pendapatan Natura tumbuh 43% setiap tahunnya. Jagoan lokal ini bahkan secara pasti merangsek ke posisi atas, mendekati Unilever dan Avon. Di kurun itu pula, Antonio beserta dua eksekutifnya, Guilherme Leal dan Pedro Passos membeli saham pemilik lainnya untuk mengganti nama perusahaan menjadi Natura Cosméticos. Tidak tanggung-tanggung, merasa pasar lokal sudah bisa ditekuk meski belum didominasi, trio ini pun segera menggelar visi besar: membawa Natura ke level global.


MELANGKAH KE LUAR
Setelah mulai menjadi jagoan di Brazil, trio Antonio, Leal dan Passos memang semakin ingin membawa Natura bukan sekedar jago kandang. Seraya berikhtiar menumbangkan Unilever dan Avon, ketiganya ingin membawa Natura ke panggung yang lebih tinggi. Natura juga ingin masuk ke kosmetik kelas premium dan perawatan tubuh untuk kelas menengah-atas.

Untuk meraih posisi itu, sisi produk pun dibenahi. Terutama dari aspek diferensiasi dan filosofi produk. Antonio cs. sadar bahwa industri kecantikan adalah industri yang dikritik karena berseluncur di atas kekhawatiran kaum hawa, mempromosikan stereotip kecantikan yang bersifat rasis, menakut-nakuti tentang ancaman menua (aging), dan melebih-lebihkan atribut fungsional produk. Antonio ingin Natura hadir memberikan perbedaan: perusahaan yang berbasis pada etos dan moral, memiliki hubungan yang sehat antara perusahaan dengan stakeholders-nya, mulai dari pelanggan, konsultan penjualan, pemasok, dan lebih luas lagi, dengan masyarakat serta lingkungan.

Berbasis filosofi ini, Natura menjadi pelopor pasar kosmetik alam, menentang animal testing seperti halnya Body Shop dan menjadi perusahaan Brazil pertama yang mengadopsi Global Reporting Initiative. Tahun 2000, Natura meluncurkan produk yang dibuat dari bahan olahan hutan-hutan di Brazil yang dieksplorasi lewat metode produksi berkelanjutan. Lini produk ini disebut The Ekos.

Antonio sangat serius dalam membangun Natura menjadi perusahaan berbasis alam. Satu dekade sebelum Unilever meluncurkan kampanye ikonik, Real Beauty, Natura bahkan telah mempromosikan kampanye Truly Beautiful Woman, yang menampilkan wanita biasa di atas 30 tahun, yang pandangannya telah bergeser dari “ketakutan menjadi tua”, menjadi wanita yang ingin meningkatkan rasa percaya diri. Kelak, atas kekonsistenannya menggunakan produk alami dan mengupayakan proses produksi yang ramah lingkungan, Natura menempati posisi ke-2 (di belakang Novo Nordisk) daftar 100 Most Sustainable Corporations in the World 2012 versi majalah Corporate Knights.

Perihal keinginan Antonio cs. masuk ke pasar global sesungguhnya bukanlah sekedar gagah-gagahan. Sejak lama Antonio berhasrat mengepakkan sayap buat bisnisnya. Suatu hari di pertengahan 1980-an, sewaktu berjalan di Fifth Avenue, New York, dia berpikir bahwa di tengah persaingan pasar kosmetik, sesungguhnya Natura memiliki tempat di pasar global. Namun, di mana akan memulai? Mengejar orang-orang kaya di pasar AS? Masuk ke tempat seperti Portugal di mana konsumen berbicara dengan bahasa yang sama? Atau tetap di kandang? Pikiran itu berkecamuk.

Akhirnya, setelah melihat Natura semakin diterima di Brazil, Antonio menguatkan niatnya keluar kandang. Chile pun dirangsek. Distributor lokal dirangkul untuk menjual produk Natura. Setelah itu, Antonio mengucurkan US$ 100 ribu untuk menciptakan Numina – merek kosmetik khusus untuk ekspor ke Florida dan Portugal.

Akan tetapi, langkah keluar gelanggang itu ternyata tidaklah semudah mengedipkan mata. Dalam dunia kecantikan, seperti halnya anggur dan keju, faktor country of origin sangatlah penting. Bila Paris dan New York dikenal luas sebagai kota kecantikan global, Brazil sangat jauh dari asosiasi produk kecantikan. Negeri ini justru dikenal dengan hutannya yang basah beserta keragaman hayatinya yang memukau, juga tentu saja “sihir” sepak bolanya dan tarian samba. Inilah kendala kompetitif yang menghadang Antonio. Brazil bukan jagonya produk kecantikan. Tanpa bisa dielakkan, langkah masuk Chile, Florida dan Portugal gagal. Ambisi global pun tersendat.

GIGIH
Namun Antonio tak patah arang. Dia dan rekan-rekannya mengarahkan Natura ke tempat lain. Kali ini mereka bergerak ke Bolivia dan Peru dengan model yang sama seperti di Chile: membangun jejaring melalui kemitraan dengan distributor lokal. Hasilnya?

Jalan terjal kembali dihadapi. Natura gagal. Antonio rupanya agak meremehkan perbedaan mendasar diantara negara-negara tetangganya, yakni bukan bahasa Portugal yang menjadi bahasa ibu, melainkan Spanyol. Kendala bahasa ini cukup berpengaruh terhadap penjualan produk. Kemudian, cara direct sales rupanya juga kurang begitu diterima. Konsumen di negara-negara itu cenderung lebih menyukai saluran ritel untuk mendapatkan produk-produk kosmetik. Kembali, seperti halnya di Chile, operasi di Bolivia dan Peru tak mendatangkan laba seperti yang diharapkan.

Para petinggi Natura segera mempelajari kegagalan tersebut. Sembari terus memperkuat pasar lokal, mereka tetap ingin ikut bermain di pasar global. Satu pelajaran yang sangat kentara dari kegagalan bertanding di luar kandang adalah model direct sales yang ampuh diterapkan di Brazil, ternyata tidak selalu tokcer bila diaplikasikan di tempat lain. Pengalaman di pasar domestik tak menjamin kesuksesan di pasar regional.

Hingga tahun 1999, langkah melebarkan sayap ini bisa dikatakan kurang berhasil. Tapi Antonio adalah tipikal wirausahawan tahan banting. Sebelum tahun 1999 ditutup, Alessandro Carlucci, yang saat itu menjabat Direktur Penjualan Natura (kini dia menjadi CEO), dikirim ke Argentina dengan satu tugas: membangun jaringan penjualan yang kuat dan benar-benar berkomitmen dengan Natura.

Tak lama setelah Carlucci datang, tahun 2001 tantangan menghadang. Argentina masuk jurang resesi setelah mendevaluasi mata uangnya hingga 40%. Di tengah situasi demikian, banyak pesaing yang merespons dengan menaikkan harga jual. Namun Carlucci mengambil jalan berbeda. Dia tak menaikkan harga.

Sesungguhnya ini langkah yang berat. Tapi ini dimungkinkan bisa terlaksana karena Antonio telah mengintegrasikan fasilitas logistik, produksi dan R&D yang dibangun di luar São Paulo beberapa tahun sebelumnya. Dengan fasilitas yang terintegrasi ini, produk Natura tetap bisa dibuat kompetitif, sehingga tetap bisa dijual dengan harga terjangkau, termasuk di Argentina ketika negeri itu dilanda resesi. Dan hasil dari kebijakan di Argentina ini benar-benar cespleng: pasar Argentina jatuh hati pada Natura. Dari nol, Carlucci mampu menggandeng 7000 sales consultant, dan kemudian membengkak menjadi 20 ribu orang. Penjualan pun akhirnya terus melonjak. Di negerinya Lionel Messi itu, Natura tumbuh 30% setiap tahun.

Melihat keberhasilan itu, manajemen Natura segera mentransfer kesuksesan di Argentina ke tempat lain. Distribusi penjualan ditempuh dengan model direct sales seperti halnya di Brazil dan Argentina. Mereka yakin jejaring penjualan sangat ampuh untuk mendongkrak kinerja pasar. Bahkan saking yakinnya, Natura tidak hanya bermain di Amerika Latin, tapi juga melebarkan cengkeramannya ke negara maju. Mereka berani bermain lebih jauh. Tak tanggung-tanggung, dua gerai dibuka di Saint-Germain-des-Prés, Prancis.

Sekalipun Prancis tidak terbuka untuk direct selling seperti Inggris Raya dan Jerman, manajemen Natura merasa harus membuka di sana. Selain merasa punya ikatan yang kuat dengan Prancis dalam hal sumber untuk kemasan, bahan mentah dan pengetahuan, mereka melihat Prancis, khususnya Paris, adalah jantungnya dunia kecantikan yang bisa menjadi titik untuk melompat lebih tinggi lagi di jagat dunia bisnis kosmetik.

Menimbang Paris sangatlah elit, Natura hanya menawarkan lini produk Ekos di kota ini. Harapannya: memancing orang datang dan melihat alternatif produk kecantikan dari dunia ketiga. Hasilnya?

Sayang, langkah ekspansi ini jeblok. Pasar tak menyambut antusias. Namun, kembali, manajemen Natura tak patah semangat. Pasalnya, sisi positif tetap mereka raih dari pembukaan gerai ini. Dari pengunjung yang datang, yang mencoba sampel produk, karyawan mendapat input tentang produk-produk yang disukai konsumen. Termasuk juga zat-zat yang terlarang untuk digunakan. Intinya: secara tidak langsung, Natura menyedot ilmu produk-produk kecantikan dari padepokan yang paling canggih.

Karena sisi positif di Prancis itulah manajemen Natura tak kapok untuk berekspansi. Bagaimanapun, pasar global lebih menggiurkan ketimbang hanya berkutat di dalam negeri. Kegagalan di Paris bahkan membuat manajemen Natura melihat strategi lain yang bisa diterapkan untuk bermain di tengah ketatnya persaingan. Strategi itu adalah mengawinkan model penjualan direct selling dan jalur ritel.

Berangkat dari hal ini, manajemen Natura pun masuk ke Meksiko. Negeri Sombrero ini dianggap lahan yang cocok untuk Natura karena masyarakatnya punya passion untuk kosmetik dan telah terbiasa dengan tradisi direct sales. Struktur ekonomi dan demografis Meksiko juga relatif sama dengan Brazil.



STRATEGI HYBRID
Akan tetapi, masuk ke Meksiko adalah langkah yang sangat berani. Natura adalah latecomer. Sebabnya, Avon telah bercokol di negeri itu sejak 1956 dan meraup sukses besar. Negeri Sombrero itu adalah pasar kedua terbesar Avon di luar AS. Di Meksiko, Avon bahkan tak hanya menjual produk kecantikan, tapi juga perhiasan, mainan dan peralatan masak.

Toh para petinggi Natura tidak gentar dibuatnya. Berangkat dari pengalaman di Paris, mereka tak hanya mulai mengembangkan jaringan direct selling yang selama ini menjadi andalannya, tapi juga membuka toko. Strategi flanking digelar. Toko bernama Casa Natura didirikan di Polanco, dekat Mexico City. Tak seperti toko di Paris, ini lebih meyerupai sales representatives untuk mempertemukan antara Natura dan konsumennya, antara konsumen yang satu dengan yang lain, saling bertukar pengalaman, mengetes produk dan juga training bagi para sales consultant.

Strategi ini berhasil. Masuk Meksiko tahun 2007, kinerja Natura segera melejit. Dalam waktu lima tahun, model hybrid (gerai dan direct sales) ini diterima pasar. Meksiko menjadi pasar luar negeri terbesar bagi Natura. Berangkat dari satu gerai, pada 2012 sudah ada 5 gerai Casa Natura di Meksiko.

Keberhasilan di Meksiko membuat manajemen Natura ingin semakin melebarkan sayap ekspansinya. Mereka membidik AS. Juga Cina. Namun demikian jalan itu rupanya tidaklah mudah. Setelah kegagalan di Florida, Natura belum lagi memberanikan diri masuk pasar kecantikan Negeri Abang Sam. Hadangan paling berat, tentu saja jaringan direct sales milik Avon yang pastinya akan sukar diruntuhkan. Adapun pasar Cina tidak dimasuki karena regulasi di negeri ini  melakukan tes pada binatang.

Alhasil, langkah Natura memang masih sebatas di Amerika Latin dan Amerika Tengah. Namun hal itu sudah membuka mata para pelaku bisnis produk kecantikan global tentang pemain tangguh dari Brazil. Bahkan bukan mustahil, Natura kini menjadi calon perusahaan kosmetik berbasis alam untuk diakusisi di pentas bisnis yang makin gahar.

Lima tahun terakhir, pertempuran di bisnis produk kecantikan memang terhitung cukup keras. Perusahaan-perusahaan produk kecantikan raksasa telah mengambil sejumlah perusahaan kecantikan berbasis alam. Tahun 2006, L’Oréal membeli jagoan Inggris, Body Shop. Lalu tahun 2009, Colgate mencaplok Tom’s of Maine, sementara jagoan direct selling dari Jepang, Pola Orbis membeli Jurlique dari Australia di tahun 2011.

Sejauh ini belum ada indikasi gerakan mencaplok Natura. Sebaliknya, manajemen perusahaan Brazil itu sendiri terlihat semakin berambisi melebarkan sayapnya. Memang, dibanding pasar Brazil, sumbangan dari operasi internasionalnya terhitung masih kecil. Dari Argentina, Chile, Peru, pendapatan mencapai US$ 139 juta di tahun 2010. Adapun dari Kolombia dan Meksiko, pendapatan 2010 mencapai US$ 53 juta. Namun kinerja pasar internasional ini terus meningkat.

Kendati demikian, belajar dari sulitnya masuk Prancis, Antonio beserta eksekutifnya kali ini tidak telalu gegabah lagi. Sembari menguatkan dominasi di Brazil, mereka fokus menancapkan kukunya semakin dalam di Amerika Latin dan Tengah. Untuk itu, mereka habis-habisan berbenah. Dari sisi SDM, Natura telah membangun Natura Management System. Orang-orang terbaik dari Brazil dan para MBA dari Amerika Latin direkrut. Tugas mereka adalah mempelajari keunikan bisnis produk kecantikan di level global.

Ya, bisnis yang satu ini memang unik. Pengalaman Natura menunjukkan betapa menjual produk bukan hanya persoalan penggunaan jalur distribusi yang tepat. Faktor kultur dan demografis pun mesti diperhatikan. Terutama di wilayah Amerika Latin yang kondisi alamnya sering berbeda antarnegara. Di Chile yang daerahnya lebih tinggi dari permukaan laut, misalnya. Di sini parfum lebih sering menguap. Sementara orang-orang Meksiko lebih suka produk yang lebih kering. Semua keunikan ini tentunya mesti dipelajari dengan baik di samping memahami kultur setempat sehingga proses komunikasinya lebih mengena. Seiring dengan hal itu, manajemen Natura juga terus membenahi sisi produksinya. Tingkat efisiensi logistik terus diperhatikan agar produk tetap kompetitif.

Rupanya Antonio makin yakin hanya dengan cara-cara seperti itulah Natura bisa terus mempertahankan kedigdayaannya sebagai jagoan kosmetik dari Negeri Samba dengan rentang pengaruh global.***