Come on

Follow me @teguhspambudi

Sunday, November 18, 2012

Transformasi Balok demi Balok

Share this history on :


Buaian sukses serta perubahan yang lambat diantisipasi membuat kerugian serta ancaman kebangkrutan datang menyergap. Dua kali periode transformasi pun harus dijalankan untuk membangun kembali kejayaan yang nyaris hilang.


MIMPI BURUK
Tahun 2003 adalah mimpi buruk bagi Lego. Betapa tidak, akibat bisnis yang hancur-hancuran, laci kas mengering. Laporan keuangan pun menampilkan wajah horornya: rugi US$ 300 juta, dan diproyeksikan meningkat hingga US$ 400 juta di tahun 2004. Ujungnya, bayang-bayang maut menari di depan mata: kebangkrutan!

Sungguh ini tak pernah terbayang. Satu dekade sebelumnya, upaya transformasi telah diupayakan setelah stagnasi menghempas mereka. Dimulai tahun 1993, bisnis produsen mainan itu melesu. Penjualan merosot. Mainan menumpuk. Sementara laju biaya produksi tak bisa dihentikan. Tapi saat itu kerugian tak terbayangkan. Harapan masih ditebar karena tak ada ceritanya Lego merugi.

Sejarah Lego memang seperti mayoritas produknya: tumpukan balok yang indah tersusun. Cerita perusahaan ini adalah kisah bisnis yang sukses tahun demi tahun, terutama selepas Perang Dunia II. Semuanya bermula sewaktu Ole Kirk Christiansen membuat mainan dari kayu di Billund, Denmark, semasa era depresi di tahun 1932. Dia beri nama Lego yang diambil dari bahasa Denmark, “leg godt yang terjemahan bebasnya bisa diartikan “asyik bermain.

Selepas Perang Dunia II, Christiansen membeli mesin plastic injection molding dan mencoba-coba apa yang bisa diperbuatnya dengan mesin itu. Tahun 1947, dia pun mulai mengembangkan balok-balok mainan yang kemudian dikenal seperti sekarang, yang perlahan tapi pasti diserbu anak-anak di seantero jagat.

Lepas dua dekade merintis bisnis, pertumbuhan pesat Lego terjadi di tahun 1960-1970-an. Di masa itu, apapun produk yang dilempar, diserap pasar, diserbu bocah-bocah ingusan yang antusias merakit mainan. Benar-benar laris manis. Lego pun menjelma menjadi salah satu perusahaan raksasa yang disegani.

Namun laiknya roda kehidupan, putaran nasib Lego mulai bergerak ke bawah. Stagnasi dimulai tahun 1993. Dari sisi pasar, anak-anak yang beranjak tumbuh dewasa, kian meninggalkan Lego. Sementara anak-anak yang baru tumbuh, mendapatkan alternatif dari produsen lain yang menggunakan paten Lego yang telah kadaluwarsa untuk membuat mainan sejenis. Sementara dari sisi produksi, di tengah para pesaing mengalihdayakan produktivitasnya ke Cina serta negara lain yang berbiaya rendah, Lego masih berbasis di Denmark yang berongkos mahal.

Semua telah berubah. Dan celakanya, Lego terlambat melakukan perubahan!


KELIRU
Mengatasi keadaan, manajemen Lego berupaya melakukan transformasi. Perusahaan mesti disegarkan. Dibuat menjadi lebih lincah. Wujudnya, aneka perubahan dibuat. Serangkaian portofolio produk yang lebih luas dan beragam diluncurkan, seperti Bionicle (robot peperangan) dan Lego Galidor, boneka yang bisa bicara. Lalu, mengakuisisi perusahaan mainan di Kalifornia, membuat studio desain di Italia, membuka banyak Legoland Amusement Parks (taman hiburan), meluncurkan Lego Education Centre yang menawarkan aktivitas bermain setelah sekolah, juga membuat Lego Factory, di mana orang bisa membangun Lego secara virtual 3D, juga beraliansi pemasaran dengan Harry Potter dan Star Wars.

Upaya transformasi yang dilakukan manajemen Lego ini bisa dikatakan cukup radikal. Mereka tak hanya mendisrupsi model bisnis dengan cara membangun Lego virtual, tapi juga masuk ke strategi blue ocean dengan membangun theme park, area yang diyakini bisa meraih pasar baru. Semua itu dilakukan demi membangkitkan kejayaan yang rebah lantaran terlambat melakukan perubahan.

Tahun demi tahun pergulatan ini dilakukan sampai seorang konsultan yang dipekerjakan untuk membantu perusahaan menghadap direksi guna menunjukkan salahnya jalan yang tengah ditempuh. Dia rupanya resah karena semua yang digelar ternyata tak berjalan sesuai harapan. Sosok itu adalah Jørgen Vig Knudstorp

Pada saat menghadap direksi, Knudstorp menyatakan bahwa setelah menjalankan program transformasi, Lego sesungguhnya duduk di atas bara api. Memang mereka punya banyak inovasi, karena inovasi menjadi prioritas strategis dalam upaya transformasi mengingat pasar serta persaingan telah berubah drastis. Namun, dari serangkaian inovasi yang merombak model dan produk bisnis, ternyata hanya 3 produk yang positif: yang beraliansi dengan Star Wars dan Harry Potter, serta Bionicle. Tapi itu pun sangat lemah. Bahkan khusus yang terafiliasi dengan Star Wars dan Harry Potter, produk-produk Lego hanya mencetak laba ketika filmnya diputar. Bionicles memang lumayan. Permainan ini disukai. Anak-anak juga meminta orang tuanya membelikan aneka aksesori bernuansa robot. Akan tetapi, secara keseluruhan, Lego telah terbakar. Kerugian di tahun 2003 yang mencapai US$ 300 juta adalah kerugian pertama dalam sejarah kehidupan “Si Balok dari Denmark” ini.

Oktober 2004. Untuk membenahi keadaan, jajaran komisaris melakukan perombakan manajemen. Knudstorp, mantan konsultan McKinsey diangkat menjadi CEO, menggantikan Kjelf Kirk Kristiansen, cucu sang pendiri, yang telah menjabat sebagai pemimpin perusahaan itu selama 25 tahun.

Dalam sejarah Lego, penunjukkan Knudstorp merupakan terobosan besar. Sejak perusahaan berdiri, pucuk pimpinan tak pernah keluar dari trah keluarga Kristiansen. Namun sosok Knudstorp memang figur yang unik. Setelah lulus dari Universitas Aarhus, Denmark, dia merintis karir sebagai Engagement Consultant di McKinsey & Company sebelum bergabung dengan Lego sebagai Diretur Pengembangan Strategis di tahun 2001. Dia adalah konsultan di perusahaan. Dengan latar belakangnya dan posisinya di Lego, doktor ekonomi bisnis ini dipandang akan lebih jernih membedah persoalan sekalipun saat itu usianya baru menginjak 34 tahun.

Segera setelah menjadi orang nomor satu yang membawahi 7300 karyawan, Knudstorp menggelar operasi transformasi Lego selanjutnya. Minggu-minggu pertama menjabat CEO, dia menghabiskan waktu bersama Kjelf serta anggota direksi lainnya untuk membedah persoalan. Pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan Knudstorp sangat menukik: apakah Lego terlalu terdiversifikasi? Apakah biaya menjadi isu besar? Apakah Lego kehilangan sentuhan dengan pasar yang kian terobsesi dengan video game, bukan balok mainan?

Diskusi hangat berlangsung diantara mereka. Masing-masing memaparkan opini berikut hipotesisnya. Mereka memetakan persoalan. Satu poin terpampang jelas: pada transformasi 1993-2003, manajemen habis-habisan berinovasi untuk membangkitkan perusahaan. Memang dari sisi inovasi, hasilnya luar biasa. Jumlah komponen produk mainan yang dibuat meledak dari 2000 menjadi 10 ribu. Balok plastik tak lagi sederhana seperti dulu, dengan warna-warna dasar. Sangat inovatif dan menarik, tapi hasilnya amat pahit karena banyak yang tak diserap pasar sehingga tak memberi nilai bagi perusahaan. Knudstorp pun segera memangkas setengahnya.

Selanjutnya, di tengah perdebatan, satu hal juga tampak di wajah mereka: penjualan terbesar datang dari produk mainan non-elektronik. Alhasil, “Saya yakin bahwa meneruskan permainan di kompetisi yang bukan bisnis inti adalah berisiko,” ungkap Knudstorp. Maka menurutnya, Lego harus back to basic. Inovasi yang terlalu berlebihan dan masuk ke aneka bisnis membuat arah perusahaan bukannya menjadi hebat, malah semrawut. Dari hasil pemetaan itu, sang CEO beserta jajarannya sepakat bahwa balok mainan adalah masa depan perusahaan. Karena itu bisnis yang terlihat tak relevan disisihkan. Knudstorp pun melego 70% saham di Legoland kepada Blackstone Group, meraup US$ 460 juta.

Dengan memutuskan Lego harus kembali ke khittahnya sebagai produsen balok mainan, Knudstorp meminta staf intinya melakukan transformasi dari sisi produk. Pada sisi desain, dia meminta para desainer menata ulang produk-produk. Hasil telaahan masalah menunjukkan: hanya 30 produk yang menyumbang 80% pendapatan perusahaan. Yang lainnya tak memberi nilai tambah dan tidak diproduksi lagi, menumpuk di gudang.

Knudstorp ingin para desainernya merancang produk yang sesuai pasar, termasuk juga melihat apa saja produk yang bisa dibangkitkan kembali, dikemas dengan lebih segar dan sesuai selera mutakhir. Maka produk-produk legendaris dihidupkan lagi, seperti model mobil pemadam kebakaran. Model itu dinilai masih oke untuk diperbarui. Begitu juga dengan Lego Mindstorms yang sempat menjadi produk laris.

Tapi Knudstorp juga mengingatkan para desainer untuk memikirkan aspek harga bahan dasar, atau biaya produksi. Dia meyakinkan para desainernya bahwa kreativitas sebebas-bebasnya tidak tepat untuk pasar mainan global di mana tekanan biaya sangat berperan dalam keberlanjutan usaha. Knudstorp menunjukkan ada mainan yang hanya butuh sedikit resin, tapi membeli berton-ton resin senilai puluhan ribu Euro yang akhirnya mubazir.

Yang menarik adalah dari sisi inovasi produk. Knudstorp percaya inovasi tetap diperlukan. Sebab itu, secara internal, dia memberikan kebebasan pada tiap orang dari tenaga penjualan hingga staf kantor pusat kapabilitas untuk menciptakan serta mengusulkan jalan baru untuk pertumbuhan lewat inovasi produk. Lalu, dia juga percaya suara dari pasar harus benar-benar diperhatikan dan diseleksi. Maka dalam upaya memunculkan produk unggulan, Lego mengembangkan model crowd-sourcing. Sekitar 100 orang penggemar fanatik dimintai bantuan untuk mengembangkan produk. Knudstorp juga membuat Cuusoo, situs crowd-sourcing



SIRKULASI HOLISTIK
“Dari perspektif saya, supply chain adalah sistem sirkulasi. Anda harus membenahinya,” kata Knudstorp. Ide pengembangan produk dan inovasi merupakan bagian dari sirkulasi itu. Namun berbeda dengan satu dekade sebelumnya. Model inovasi yang kini diberlakukan tak lagi sama. Menyadari banjir ide akan muncul sewaktu-waktu, Knudstorp pun melakukan langkah-langkah sistematis. Untuk mengelola crowd-sourcing, dia menerapkan pola crowd-control. Ada karyawan yang ditugaskan mengelola komunitas fans fanatik. Juga ada licensing development group, yang menciptakan panduan untuk para mitra dalam membuat produk Legok. Dan di situs Cuusoo, satu produk baru akan dibuat jika 10 ribu orang memilihnya.

Di atas semuanya, poin yang sangat berbeda dibanding fase transformasi sebelumnya adalah Knudstorp mengembangkan matrik inovasi untuk menakar potensi dan risiko sebuah inovasi. Dengan matriks ini, perusahaan bisa mengukur bagaimana inovasi harus dibangun, di mana harus berinvestasi, dan bagaimana proyeksi hasil akhir.

Di tangan Knudstorp, organisasi dan inovasi memang menjadi lebih terstruktur. Tentu saja ini tak terlepas dari pengalaman buruk Lego dekade 1993-2003. Bagi Knudstorp, ide tetap harus ditata. Orang dalam boleh mengusulkan ide. Begitu juga orang luar. Namun semua akan ditakar lewat matriks inovasi.

Akan tetapi, ide hanyalah satu titik dalam sirkulasi supply chain versi Knudstorp. Dia beserta timnya melihat persoalan secara holistik, menganalisis setiap aspek mulai dari sumber bahan baku, hingga manufaktur dan distribusi.

“Saya kira, kesalahan yang sering diperbuat perusahaan adalah mendekati aspek supply chain dengan melihatnya sebagai satu topik, inovasi sebagai hal lain, begitu juga dengan kualitas produk. Padahal, cara terbaik adalah melihatnya sebagai sesuatu yang saling terhubung satu sama lain,” ujar Knudstorp.

Tak heran, mengimbangi perubahan di sisi produk, manajemen Lego membenahi sisi operasi. Efisiensi digenjot total. Mereka melakukan renegosiasi dengan lebih dari 11 ribu pemasok (lebih banyak dari pemasok Boeing untuk membuat pesawat) untuk mendapatkan harga terbaik. Knudstorp juga memindahkan kantor ke dekat pabrik. Lalu produksi balok mainan dialihdayakan ke pabrik yang lebih murah di Hungaria, Kladno (Republik Ceko), Cina serta Meksiko. Mereka pun mengkaji ulang proses produksi agar produk meluncur tepat pada waktunya. Dan di ujung proses, pada sisi distribusi, Lego menutup 5 pusat distribusi di Denmark, Jerman serta Prancis. Sebagai gantinya, mereka membuat sebuah pusat distribusi di Republik Ceko yang dioperasikan oleh DHL.

Untuk mendorong transformasi berjalan baik dan sesuai harapan, Knudstorp aktif mengumpulkan para eksekutifnya. Dia membuat sebuah war room guna mengkaji, mendiskusikan serta mengembangkan strategi. Adapun di level para planners serta perwakilan penjualan, logistik, TI dan manufaktur, dia meminta mereka mengoordinasi perubahan di level operasi.

Knudstorp seringkali mengunjungi war room, mengecek pekerjaan para eksekutifnya. Dan manakala dia melihat ada pekerjaan yang belum terselesaikan, dia akan menanyakan langsung mengapa itu terjadi. “This is still here?” adalah pertanyaan yang sering diajukannya begitu melihat satu persoalan masih menempel di papan tulis. Knudstorp memang tipikal bos yang demanding.

Proses transformasi memang melelahkan. Terutama bagi Knudstorp yang sering terjun langsung ke lapangan. Namun hasil seluruh transformasi yang digerakannya sangat memuaskan. Sejak 2004, langkah-langkah transformasi yang digelar sudah menyelamatkan lebih dari US$ 67 juta. Tahun 2005, laba kembali diraih, sebesar US$ 72 juta. Sejak tahun 2009, penjualan tumbuh 24% pertahun, dan labanya tumbuh 41%. Karyawan bertambah hingga 10 ribu orang. Memang Lego tidak lagi secara teratur masuk perusahaan paling inovatif di dunia seperti dulu, tapi ia tumbuh mantap melewati pesaingnya seperti Hasbro dan Mattel.

Di atas itu semua, Knudstorp mengungkap bahwa transformasi yang dilakukannya telah membawa dampak besar bagi perusahaan. Mereka jadi semakin menyadari bahwa menciptakan produk yang tepat, diijual ke pasar pada saat yang tepat, dan dengan harga yang tepat sangatlah esensial. “Transformasi yang kami lakukan membuat Lego menjadi fokus pada pengembangan bisnis dan inovasi, juga pengembangan organisasi sebagai tempat bekerja yang lebih kreatif lagi. Itu adalah sebuah kemewahan,” kata Knudstorp.

Begitulah. Seperti balok-balok mainan, Knudstorp dan manajemen Lego melakukan transformasi. Mereka menyusun langkah seperti menata balok satu demi satu agar satu bentuk bisa dibuat. Mereka merasionalisasi dan merampingkan pengembangan produk, menata sumber bahan baku, manufaktur dan distribusinya.***


0 comments: