Come on

Follow me @teguhspambudi

Sunday, November 4, 2012

Raksasa Kosmetik dari Negeri Samba

Share this history on :


Diam tapi pasti, jagoan lokal ini terus merangsek pasar global. Kuncinya: gigih membuka pasar.

Tak keliru bila menyebut Brazil, kebanyakan orang hanya tahu atau teringat tarian Samba, Copacabana dan aksi-aksi atraktif para pemain sepak bolanya di lapangan hijau. Ketiganya memang identik dengan negeri di belahan Amerika Latin itu. Namun di luar ketiganya, sesungguhnya Brazil memiliki perusahaan-perusahaan jempolan. Salah satunya adalah Natura Cosméticos yang kiprahnya mengesankan.

Seperti diungkap Harvard Business Review (Juli-Agustus 2012), Natura adalah raksasa Brazil yang telah 30 tahun malang melintang di bisnis kosmetik dan menjadi kuat dari waktu ke waktu. Indikasi kekuatannya cukup menarik: pendapatan di tahun 2010 – termasuk dari pasar internasionalnya mencapai US$ 2,8 miliar sementara laba bersih sebelum pajak sebesar US$ 660 juta. Dengan raihan seperti itu, Natura masuk 20 besar perusahaan kecantikan dunia. Lalu, dengan marjin laba 24,5% membuatnya menjadi perusahaan kosmetik paling menguntungkan, di atas Avon yang sebesar 12%, Estée Lauder (18%), dan L’Oréal (19%).

Dalam konteks global, Natura adalah refleksi dari tumbuhnya dunia bisnis di luar negara-negara maju, khususnya di panggung bisnis kecantikan. Sekitar 20 tahun lalu, AS, Eropa Barat dan Jepang menguasai 2/3 pasar bisnis kosmetik, aroma dan toiletries dunia. Kini pasar itu makin menyebar. Hebatnya, market size Brazil menyodok menjadi nomor 3 di panggung bisnis kecantikan global, dengan nilai US$ 308 miliar. China menjadi nomor 4. Lalu Rusia nomor 8, sementara India nomor 14. Semua itu tentunya tak bisa dilepaskan dari meningkatkan pendapatan masyarakat di negara-negara tersebut sehingga daya belinya bertambah.

Khusus untuk Natura, posisinya sungguh menarik. Kebanyakan pasar negara-negara berkembang masih dikuasai pemain besar. Pasar Cina, Rusia, dan India, umpamanya, didominasi perusahaan Barat dan Jepang seperti L’Oréal dan LVMH dari Prancis; Procter & Gamble, Avon, dan Estée Lauder dari AS; Unilever dari Belanda; dan Shiseido dari Jepang. Di Brazil situasinya berbeda. Di sini Natura adalah jagoannya. Ia nomor wahid, penguasa pasar. Tahun 2004, Natura resmi mendongkel posisi Unilever. Tahun 2010, Natura menguasai 14% pasar, disusul Unilever (9,7%) sementara Avon nomor 3 (9,1%).

Tentu saja perjalanan ke posisi puncak itu tidak diraih dalam semalam. Semuanya bermula di tahun 1969 ketika Antonio Luiz da Cunha Seabra yang waktu itu berusia 27 tahun, mendirikan sebuah laboratorium dan toko kosmetik kecil di São Paulo yang diberinya nama Natura.

Saat itu waktu berjalan sedemikian lambat bagi perkembangan bisnis ini. Natura berjalan seperti siput. Selidik punya selidik, Antonio melihat penyebabnya adalah cara bisnisnya tidaklah tepat. Natura hanya menunggu konsumen datang. Sungguh sebuah jurus yang tidak bisa mempercepat laju bisnis. Tahun 1974, setelah mencoba aneka model bisnis untuk mendistribusikan produknya, Antonio pun mencoba strategi yang ditempuh Avon, yang selama satu dekade sukses menjalankan bisnisnya di Brazil: model penjualan door-to-door. Natura meniru langkah pesaingnya.

Sesungguhnya metode ini bukan pilihan mudah. Untuk membangun jaringan direct-selling perlu biaya yang cukup besar di samping makan waktu mengingat hubungan dengan konsumen harus dibangun satu demi satu, hari demi hari. Apalagi jaringan Avon sudah sedemikian kuat. Tapi Antonio merasa pilihan ini tepat karena sekalipun terasa mahal dan berat di awal, di kemudian hari akan sangat menguntungkan. Sebab, sekali jaringan direct-selling tercipta, Natura bisa berekspansi dengan biaya rendah termasuk saat ekonomi bergejolak. Maklum, ujung tombaknya adalah para sales consultant yang bergerak tanpa dibatasi keberadaan gerai.

Perlahan-lahan model ini digulirkan. Dan keputusan Antonio benar adanya. Natura mendapat momentum besar di awal tahun 1980-an sewaktu inflasi datang. Di tahun-tahun itu, harga-harga melonjak, nilai tukar juga bergejolak. Lantaran hantaman inflasi, banyak produk pesaing di department store perlahan-lahan menghilang. Rupanya, lonjakan harga dan kontrol nilai tukar membuat banyak perusahaan internasional meninggalkan Brazil atau menghentikan investasinya.

Selama periode yang dikenal sebagai “dekade yang hilang” itulah peruntungan Natura membaik. Ia mengambil alih posisi pemain-pemain internasional yang terpaksa meninggalkan gelanggang karena himpitan inflasi. Sebagai produk lokal dan dipasarkan dengan model direct selling, Natura dengan gesitnya mengisi celah yang kosong, yang ditinggalkan para pesaingnya. Ia menari dari satu lokasi ke lokasi lain mengandalkan konsultan penjualannya.

Ujungnya sangat menggembirakan Antonio. Antara tahun 1979-1989, pendapatan Natura tumbuh 43% setiap tahunnya. Jagoan lokal ini bahkan secara pasti merangsek ke posisi atas, mendekati Unilever dan Avon. Di kurun itu pula, Antonio beserta dua eksekutifnya, Guilherme Leal dan Pedro Passos membeli saham pemilik lainnya untuk mengganti nama perusahaan menjadi Natura Cosméticos. Tidak tanggung-tanggung, merasa pasar lokal sudah bisa ditekuk meski belum didominasi, trio ini pun segera menggelar visi besar: membawa Natura ke level global.


MELANGKAH KE LUAR
Setelah mulai menjadi jagoan di Brazil, trio Antonio, Leal dan Passos memang semakin ingin membawa Natura bukan sekedar jago kandang. Seraya berikhtiar menumbangkan Unilever dan Avon, ketiganya ingin membawa Natura ke panggung yang lebih tinggi. Natura juga ingin masuk ke kosmetik kelas premium dan perawatan tubuh untuk kelas menengah-atas.

Untuk meraih posisi itu, sisi produk pun dibenahi. Terutama dari aspek diferensiasi dan filosofi produk. Antonio cs. sadar bahwa industri kecantikan adalah industri yang dikritik karena berseluncur di atas kekhawatiran kaum hawa, mempromosikan stereotip kecantikan yang bersifat rasis, menakut-nakuti tentang ancaman menua (aging), dan melebih-lebihkan atribut fungsional produk. Antonio ingin Natura hadir memberikan perbedaan: perusahaan yang berbasis pada etos dan moral, memiliki hubungan yang sehat antara perusahaan dengan stakeholders-nya, mulai dari pelanggan, konsultan penjualan, pemasok, dan lebih luas lagi, dengan masyarakat serta lingkungan.

Berbasis filosofi ini, Natura menjadi pelopor pasar kosmetik alam, menentang animal testing seperti halnya Body Shop dan menjadi perusahaan Brazil pertama yang mengadopsi Global Reporting Initiative. Tahun 2000, Natura meluncurkan produk yang dibuat dari bahan olahan hutan-hutan di Brazil yang dieksplorasi lewat metode produksi berkelanjutan. Lini produk ini disebut The Ekos.

Antonio sangat serius dalam membangun Natura menjadi perusahaan berbasis alam. Satu dekade sebelum Unilever meluncurkan kampanye ikonik, Real Beauty, Natura bahkan telah mempromosikan kampanye Truly Beautiful Woman, yang menampilkan wanita biasa di atas 30 tahun, yang pandangannya telah bergeser dari “ketakutan menjadi tua”, menjadi wanita yang ingin meningkatkan rasa percaya diri. Kelak, atas kekonsistenannya menggunakan produk alami dan mengupayakan proses produksi yang ramah lingkungan, Natura menempati posisi ke-2 (di belakang Novo Nordisk) daftar 100 Most Sustainable Corporations in the World 2012 versi majalah Corporate Knights.

Perihal keinginan Antonio cs. masuk ke pasar global sesungguhnya bukanlah sekedar gagah-gagahan. Sejak lama Antonio berhasrat mengepakkan sayap buat bisnisnya. Suatu hari di pertengahan 1980-an, sewaktu berjalan di Fifth Avenue, New York, dia berpikir bahwa di tengah persaingan pasar kosmetik, sesungguhnya Natura memiliki tempat di pasar global. Namun, di mana akan memulai? Mengejar orang-orang kaya di pasar AS? Masuk ke tempat seperti Portugal di mana konsumen berbicara dengan bahasa yang sama? Atau tetap di kandang? Pikiran itu berkecamuk.

Akhirnya, setelah melihat Natura semakin diterima di Brazil, Antonio menguatkan niatnya keluar kandang. Chile pun dirangsek. Distributor lokal dirangkul untuk menjual produk Natura. Setelah itu, Antonio mengucurkan US$ 100 ribu untuk menciptakan Numina – merek kosmetik khusus untuk ekspor ke Florida dan Portugal.

Akan tetapi, langkah keluar gelanggang itu ternyata tidaklah semudah mengedipkan mata. Dalam dunia kecantikan, seperti halnya anggur dan keju, faktor country of origin sangatlah penting. Bila Paris dan New York dikenal luas sebagai kota kecantikan global, Brazil sangat jauh dari asosiasi produk kecantikan. Negeri ini justru dikenal dengan hutannya yang basah beserta keragaman hayatinya yang memukau, juga tentu saja “sihir” sepak bolanya dan tarian samba. Inilah kendala kompetitif yang menghadang Antonio. Brazil bukan jagonya produk kecantikan. Tanpa bisa dielakkan, langkah masuk Chile, Florida dan Portugal gagal. Ambisi global pun tersendat.

GIGIH
Namun Antonio tak patah arang. Dia dan rekan-rekannya mengarahkan Natura ke tempat lain. Kali ini mereka bergerak ke Bolivia dan Peru dengan model yang sama seperti di Chile: membangun jejaring melalui kemitraan dengan distributor lokal. Hasilnya?

Jalan terjal kembali dihadapi. Natura gagal. Antonio rupanya agak meremehkan perbedaan mendasar diantara negara-negara tetangganya, yakni bukan bahasa Portugal yang menjadi bahasa ibu, melainkan Spanyol. Kendala bahasa ini cukup berpengaruh terhadap penjualan produk. Kemudian, cara direct sales rupanya juga kurang begitu diterima. Konsumen di negara-negara itu cenderung lebih menyukai saluran ritel untuk mendapatkan produk-produk kosmetik. Kembali, seperti halnya di Chile, operasi di Bolivia dan Peru tak mendatangkan laba seperti yang diharapkan.

Para petinggi Natura segera mempelajari kegagalan tersebut. Sembari terus memperkuat pasar lokal, mereka tetap ingin ikut bermain di pasar global. Satu pelajaran yang sangat kentara dari kegagalan bertanding di luar kandang adalah model direct sales yang ampuh diterapkan di Brazil, ternyata tidak selalu tokcer bila diaplikasikan di tempat lain. Pengalaman di pasar domestik tak menjamin kesuksesan di pasar regional.

Hingga tahun 1999, langkah melebarkan sayap ini bisa dikatakan kurang berhasil. Tapi Antonio adalah tipikal wirausahawan tahan banting. Sebelum tahun 1999 ditutup, Alessandro Carlucci, yang saat itu menjabat Direktur Penjualan Natura (kini dia menjadi CEO), dikirim ke Argentina dengan satu tugas: membangun jaringan penjualan yang kuat dan benar-benar berkomitmen dengan Natura.

Tak lama setelah Carlucci datang, tahun 2001 tantangan menghadang. Argentina masuk jurang resesi setelah mendevaluasi mata uangnya hingga 40%. Di tengah situasi demikian, banyak pesaing yang merespons dengan menaikkan harga jual. Namun Carlucci mengambil jalan berbeda. Dia tak menaikkan harga.

Sesungguhnya ini langkah yang berat. Tapi ini dimungkinkan bisa terlaksana karena Antonio telah mengintegrasikan fasilitas logistik, produksi dan R&D yang dibangun di luar São Paulo beberapa tahun sebelumnya. Dengan fasilitas yang terintegrasi ini, produk Natura tetap bisa dibuat kompetitif, sehingga tetap bisa dijual dengan harga terjangkau, termasuk di Argentina ketika negeri itu dilanda resesi. Dan hasil dari kebijakan di Argentina ini benar-benar cespleng: pasar Argentina jatuh hati pada Natura. Dari nol, Carlucci mampu menggandeng 7000 sales consultant, dan kemudian membengkak menjadi 20 ribu orang. Penjualan pun akhirnya terus melonjak. Di negerinya Lionel Messi itu, Natura tumbuh 30% setiap tahun.

Melihat keberhasilan itu, manajemen Natura segera mentransfer kesuksesan di Argentina ke tempat lain. Distribusi penjualan ditempuh dengan model direct sales seperti halnya di Brazil dan Argentina. Mereka yakin jejaring penjualan sangat ampuh untuk mendongkrak kinerja pasar. Bahkan saking yakinnya, Natura tidak hanya bermain di Amerika Latin, tapi juga melebarkan cengkeramannya ke negara maju. Mereka berani bermain lebih jauh. Tak tanggung-tanggung, dua gerai dibuka di Saint-Germain-des-Prés, Prancis.

Sekalipun Prancis tidak terbuka untuk direct selling seperti Inggris Raya dan Jerman, manajemen Natura merasa harus membuka di sana. Selain merasa punya ikatan yang kuat dengan Prancis dalam hal sumber untuk kemasan, bahan mentah dan pengetahuan, mereka melihat Prancis, khususnya Paris, adalah jantungnya dunia kecantikan yang bisa menjadi titik untuk melompat lebih tinggi lagi di jagat dunia bisnis kosmetik.

Menimbang Paris sangatlah elit, Natura hanya menawarkan lini produk Ekos di kota ini. Harapannya: memancing orang datang dan melihat alternatif produk kecantikan dari dunia ketiga. Hasilnya?

Sayang, langkah ekspansi ini jeblok. Pasar tak menyambut antusias. Namun, kembali, manajemen Natura tak patah semangat. Pasalnya, sisi positif tetap mereka raih dari pembukaan gerai ini. Dari pengunjung yang datang, yang mencoba sampel produk, karyawan mendapat input tentang produk-produk yang disukai konsumen. Termasuk juga zat-zat yang terlarang untuk digunakan. Intinya: secara tidak langsung, Natura menyedot ilmu produk-produk kecantikan dari padepokan yang paling canggih.

Karena sisi positif di Prancis itulah manajemen Natura tak kapok untuk berekspansi. Bagaimanapun, pasar global lebih menggiurkan ketimbang hanya berkutat di dalam negeri. Kegagalan di Paris bahkan membuat manajemen Natura melihat strategi lain yang bisa diterapkan untuk bermain di tengah ketatnya persaingan. Strategi itu adalah mengawinkan model penjualan direct selling dan jalur ritel.

Berangkat dari hal ini, manajemen Natura pun masuk ke Meksiko. Negeri Sombrero ini dianggap lahan yang cocok untuk Natura karena masyarakatnya punya passion untuk kosmetik dan telah terbiasa dengan tradisi direct sales. Struktur ekonomi dan demografis Meksiko juga relatif sama dengan Brazil.



STRATEGI HYBRID
Akan tetapi, masuk ke Meksiko adalah langkah yang sangat berani. Natura adalah latecomer. Sebabnya, Avon telah bercokol di negeri itu sejak 1956 dan meraup sukses besar. Negeri Sombrero itu adalah pasar kedua terbesar Avon di luar AS. Di Meksiko, Avon bahkan tak hanya menjual produk kecantikan, tapi juga perhiasan, mainan dan peralatan masak.

Toh para petinggi Natura tidak gentar dibuatnya. Berangkat dari pengalaman di Paris, mereka tak hanya mulai mengembangkan jaringan direct selling yang selama ini menjadi andalannya, tapi juga membuka toko. Strategi flanking digelar. Toko bernama Casa Natura didirikan di Polanco, dekat Mexico City. Tak seperti toko di Paris, ini lebih meyerupai sales representatives untuk mempertemukan antara Natura dan konsumennya, antara konsumen yang satu dengan yang lain, saling bertukar pengalaman, mengetes produk dan juga training bagi para sales consultant.

Strategi ini berhasil. Masuk Meksiko tahun 2007, kinerja Natura segera melejit. Dalam waktu lima tahun, model hybrid (gerai dan direct sales) ini diterima pasar. Meksiko menjadi pasar luar negeri terbesar bagi Natura. Berangkat dari satu gerai, pada 2012 sudah ada 5 gerai Casa Natura di Meksiko.

Keberhasilan di Meksiko membuat manajemen Natura ingin semakin melebarkan sayap ekspansinya. Mereka membidik AS. Juga Cina. Namun demikian jalan itu rupanya tidaklah mudah. Setelah kegagalan di Florida, Natura belum lagi memberanikan diri masuk pasar kecantikan Negeri Abang Sam. Hadangan paling berat, tentu saja jaringan direct sales milik Avon yang pastinya akan sukar diruntuhkan. Adapun pasar Cina tidak dimasuki karena regulasi di negeri ini  melakukan tes pada binatang.

Alhasil, langkah Natura memang masih sebatas di Amerika Latin dan Amerika Tengah. Namun hal itu sudah membuka mata para pelaku bisnis produk kecantikan global tentang pemain tangguh dari Brazil. Bahkan bukan mustahil, Natura kini menjadi calon perusahaan kosmetik berbasis alam untuk diakusisi di pentas bisnis yang makin gahar.

Lima tahun terakhir, pertempuran di bisnis produk kecantikan memang terhitung cukup keras. Perusahaan-perusahaan produk kecantikan raksasa telah mengambil sejumlah perusahaan kecantikan berbasis alam. Tahun 2006, L’Oréal membeli jagoan Inggris, Body Shop. Lalu tahun 2009, Colgate mencaplok Tom’s of Maine, sementara jagoan direct selling dari Jepang, Pola Orbis membeli Jurlique dari Australia di tahun 2011.

Sejauh ini belum ada indikasi gerakan mencaplok Natura. Sebaliknya, manajemen perusahaan Brazil itu sendiri terlihat semakin berambisi melebarkan sayapnya. Memang, dibanding pasar Brazil, sumbangan dari operasi internasionalnya terhitung masih kecil. Dari Argentina, Chile, Peru, pendapatan mencapai US$ 139 juta di tahun 2010. Adapun dari Kolombia dan Meksiko, pendapatan 2010 mencapai US$ 53 juta. Namun kinerja pasar internasional ini terus meningkat.

Kendati demikian, belajar dari sulitnya masuk Prancis, Antonio beserta eksekutifnya kali ini tidak telalu gegabah lagi. Sembari menguatkan dominasi di Brazil, mereka fokus menancapkan kukunya semakin dalam di Amerika Latin dan Tengah. Untuk itu, mereka habis-habisan berbenah. Dari sisi SDM, Natura telah membangun Natura Management System. Orang-orang terbaik dari Brazil dan para MBA dari Amerika Latin direkrut. Tugas mereka adalah mempelajari keunikan bisnis produk kecantikan di level global.

Ya, bisnis yang satu ini memang unik. Pengalaman Natura menunjukkan betapa menjual produk bukan hanya persoalan penggunaan jalur distribusi yang tepat. Faktor kultur dan demografis pun mesti diperhatikan. Terutama di wilayah Amerika Latin yang kondisi alamnya sering berbeda antarnegara. Di Chile yang daerahnya lebih tinggi dari permukaan laut, misalnya. Di sini parfum lebih sering menguap. Sementara orang-orang Meksiko lebih suka produk yang lebih kering. Semua keunikan ini tentunya mesti dipelajari dengan baik di samping memahami kultur setempat sehingga proses komunikasinya lebih mengena. Seiring dengan hal itu, manajemen Natura juga terus membenahi sisi produksinya. Tingkat efisiensi logistik terus diperhatikan agar produk tetap kompetitif.

Rupanya Antonio makin yakin hanya dengan cara-cara seperti itulah Natura bisa terus mempertahankan kedigdayaannya sebagai jagoan kosmetik dari Negeri Samba dengan rentang pengaruh global.***


0 comments: