Come on

Follow me @teguhspambudi

Monday, June 17, 2013

Lap Terakhir “Buaya Sungai Yangtze”

Di tengah kejayaannya, dia justru mengambil langkah mundur. Tongkat estafet pun diserahkan dengan alasan anak mudah lebih tahu bisnis terkini.

SEBUAH MEMO
15 Januari 2013. Sepucuk memo membuka konfirmasi atas yang selama ini menjadi isu. “Fellow Aliren, internet adalah milik anak muda. Pada usia 48 tahun, saya tidak lagi ‘muda’ untuk melakoni bisnis internet.” Tulisan itu dibuat Jack Ma, pendiri dan bos Alibaba Group. “Aliren” adalah panggilannya untuk para karyawan. Dengan memo ini, Ma pun pamit mundur sebagai CEO. Dia menyerahkan tongkat estafet pada penggantinya, Jonathan Lu untuk melanjutkan pekerjaan yang telah dirintisnya, di sebuah perusahaan raksasa yang mengagumkan.

Ya, Alibaba Group kini memang luar biasa. Kelompok usaha ini menjadi kekuatan e-commerce bukan hanya di China, tapi juga di dunia. Kuartal IV/2012, laba bersihnya melonjak 170% mencapai US$ 642 juta, menjadikannya perusahaan internet paling menguntungkan di China. Pesaingnya, Tencent mencetak US$ 550 juta, sementara Baidu US$ 448 juta. Alibaba kini bahkan tengah menuju perusahaan pertama yang akan mengelola transaksi online senilai US$ 1 triliun dalam satu tahun.

Selain Alibaba.com, senjata utama Alibaba untuk menuju ke arah itu adalah 3 situs andalannya. Pertama, Taobao. Ini adalah online marketplace mirip eBay yang menguasai 90% pasar China. Situs ini adalah salah satu dari 20 website yang paling banyak dikunjungi. Kedua, Tmall, mal online yang menguasai 51% segmen business-to-consumer (B2C) di China, mengacu pada studi iResearch, konsultan peneliti internet di Beijing. Tmall yang mirip Amazon ini menolong merek-merek global seperti Disney dan Levi’s menjangkan kelas menengah China. Tahun lalu, Tmall and Taobao mencetak prestasi istimewa: menjual produk senilai total US$ 175 miliar. Alibaba sendiri, pada satu hari di bulan November 2012, bahkan bisa menjual US$ 3 miliar. Adapun andalan yang terakhir adalah Alipay, layanan pembayaran elektronik.

Kehebatan Alibaba Group tak bisa dilepaskan dari tangan dingin Ma. Di negeri di mana para taipan kebanyakan adalah putra-putri politisi papan atas, Ma terhitung lain sendiri. Lelaki ini tergolong orang biasa. Dua kali gagal sekolah ke universitas, Ma belajar bahasa Inggris dari radio dan menjadi seorang guru. Internet dikenalnya selama bepergian ke Amerika sebagai penerjemah di pertengahan tahun 1990-an. Perjalanan itulah yang mengubah hidupnya, dan kelak, hidup banyak orang-orang sebangsanya.

Jalan ke arah itu dimulai dari hal yang sederhana. Satu waktu, setelah mengenal internet, Ma mencoba mengetikkan kata “Chinese beer” ke dalam sebuah search engine. Tak ada hasil. Maka dia pun melihat sebuah peluang. Di Hangzhou, Ma memulai Alibaba.com pada tahun 1999 untuk membantu perusahaan kecil menemukan pelanggan dan pemasok tanpa bantuan broker yang menuntut biaya banyak.

Hingga pertengahan 1990-an, pertumbuhan internet di China perlahan tapi pasti berjalan melesat. Namun, perkembangan itu relatif tidak dilaporkan media-media China yang memang penuh dengan sensor. Memulai Alibaba tidaklah mudah bagi Ma. Tapi dia tetap melihat peluang di mana-mana. China punya banyak pengusaha kecil yang perlu dihubungkan satu sama lain secara lebih efisien.

Aumsinya terbukti. Alibaba mendapat apresiasi hebat. Di tengah kehancuran dotkom di tanah Amerika, situs ini terus melaju. Bahkan bukan hanya masyarakat lokal yang menggunakannya. Seiring dengan kian terbukanya China dan berkembangnya ekonomi negeri itu, perusahaan-perusahaan global makin membutuhkannya. Para pembuat mesin di Turki atau Inggris, misalnya, menggunakannya untuk menemukan pemasok murah di China tanpa mesti pergi ke sana. Keunggulan Alibaba adalah pembeli dapat membaca review yang ditulis orang lain tentang setiap penjual, yang menghasilkan rasa percaya diantara para pengunjung. Besutan Ma ini kadang mirip eBay, tapi sebenarnya lebih mirip Yellow Pages online.

Sukses dengan rintisannya, Ma terus bergerak maju. Dia melengkapi amunisinya. Taobao dan Tmall lahir. Lalu, untuk mendorong trafik lewat situsnya, dibangunnya sistem pembayaran online, Alipay pada tahun 2004. Dan seperti situs pertama, semuanya bergerak melampaui ekspektasi awal sehingga Alibaba Group pun mendominasi nilai ritel online China yang terus membesar dari hari ke hari.


Jack Ma, tokoh di balik fenomenalnya Alibaba

Pertumbuhan Alibaba Group yang sangat cepat segera memantik perhatian. Mereka menantang pemain-pemain besar, terutama Amazon dan eBay. Toh sejak awal Ma sadar posisi. Menurutnya, Alibaba akan sukses dengan inovasi dan fokus untuk memenangkan keunggulan kompetitifnya di China dan tidak langsung terpancing berekspansi global. “eBay mungkin hiu di samudra luas,” kata Ma satu waktu, “tapi saya adalah buaya di sungai Yangtze. Jika kami bertempur di samudera, kami kalah, tapi kalau bertempur di sungai, kami yang menang.” Samudera luas adalah ibarat pasar global, sementara Yangtze menggambarkan China daratan dan sekitarnya.

Sejarah mencatat “Buaya Sungai Yangtze” ini benar-benar mengembangkan Alibaba Group dengan kecepatan yang luar biasa. Memang tantangan terus berdatangan, termasuk dari saudara lokal yang juga mengembangkan platform e-commerce, Dangdang Inc. dan Tencent Holding. Namun sebagai perintis, Alibaba berlari semakin di depan. Bahkan kelompok usaha ini bukan hanya menjadi online bazaar terbesar di muka bumi. Untuk China, mereka menempati posisi khusus.

“Orang sering bertanya apa perbedaan antara e-commerce di AS dan di China,” kata Ma dalam pertemuan dengan para investor yang digelar Credit Suisse di Hong Kong. “Di AS, e-commerce hanyalah hidangan penutup (desert), cuma pelengkap. Di China, e-commerce adalah hidangan utama (main course). Kami membangun infrastruktur China,” katanya.

Pernyataan itu benar adanya. Kiprah Alibaba Group lebih dari sekedar situs. Mereka mendorong produktivitas di sektor ritel dan logistik yang tidak efisien. Lebih dari perusahaan lain, Alibaba mendorong percepatan ekonomi yang biasanya tumbuh dengan model investment-heavy menjadi driven by consumption. Bahkan dengan layanan terbarunya, AliFinance, mereka membantu meliberalisasi keuangan China. Dalam waktu singkat. AliFinance sudah menjadi big microlender untuk perusahaan-perusahaan kecil. Ini membantu meliberalisasi keuangan China. Bank-bank pemerintah yang besar-besar di China, telah lama memandang sebelah mata kalangan kecil.

Alhasil, Ma membuat Alibaba duduk terhormat di jantung apa yang disebut pengamat sebagai “kapitalisme bambu” – sebuah kondisi di mana kapitalisme tumbuh di tengah dominasi partai dan negara. “Kalau Alibaba kolaps, sedikitnya 500 ribu UKM China akan bangkrut dan jutaan orang akan terkena dampak buruknya,” kata Ma.

Yang menarik, bukan semata magnitude yang ditimbulkan Alibaba. Kekuatan terbesar Alibaba sekarang adalah data pelanggannya. Situsnya mencatat lebih dari 60% lalu lintas paket barang yang dikirim di China. Alibaba lebih tahu dari pada siapapun tentang kebiasaan belanja dan kelayakan kredit kelas menengah China, plus data jutaan pedagang China. Kabarnya, Partai Komunis bahkan cemburu karena Alibaba memiliki data warga China.

SANG PENERUS
Toh, Ma adalah tipikal pengusaha yang tahu perihal “exit strategy”. Di tengah kebesaran Alibaba, dia mengambil langkah mundur. Tahun ini ibarat lap terakhir. Kehidupan begitu pendek. Saya tak ingin berusia 80 tahun dan tetap menjalankan perusahaan,” katanya. “Mundur sebagai CEO adalah keputusan sulit, terutama bagi saya yang menurut sebagian orang berada di puncak karir. Tapi saya kini berusia 48 tahun, tidak lagi ‘muda’ untuk bisnis internet.” Kata-kata yang kemudian ditegaskan dalam memonya pada 15 Januari 2013.

Jonathan Lu, Chief Data Officer Alibaba yang telah lebih dari satu dekade menjalanan peran eksekutif, ditunjuk Ma menjadi CEO dan menyiapkan diri membawa Alibaba meniti masa depan yang bukan hanya penuh harapan, tapi juga tantangan.

Ma telah mengungkap bahwa Alibaba Group akan melakukan IPO. Hingga kini tak dijelaskan kapan persisnya hal itu akan dilakukan. Namun penunjukkan Lu mengindikasikan bahwa Ma ingin perusahaan yang telah dibesutnya itu dipimpin oleh sosok yang memiliki pemahaman mendalam tentang bisnis e-commerce.

Lu (43 tahun) direkrut pada tahun 2000 untuk mengembangkan penjualan Alibaba di China Selatan. Dia telah memimpin pengembangan unit payment, Alipay, dan menjadi presiden unit tersebut. Pada tahun 2008, dia ditugaskan mengelola Taobao dan menjadi head-nya pada tahun 2010. Kedua unit ini sukses di tangannya dan menjadi kunci pertumbuhan Alibaba Group. Pada tahun 2011, Lu dipilih Ma untuk memimpin Alibaba setelah sempat terjadi masalah fraud. Berbeda dengan Ma yang piawai bahasa Inggris dan Mandari, Lu lebih nyaman bicara bahasa Mandarin.

Dengan peralihan posisi dari Ma ke Lu yang digelar pada Mei 2013, maka masa depan Alibaba kini di tangan generasi baru. Lu akan memimpin Alibaba melakukan IPO yang diprediksi kalangan analis akan lebih besar daripada Facebook.


Lu sang penerus. Di tangannya harapan besar disampirkan

Pada titik ini, Ma terlihat sangat hati-hati. IPO Facebook dilakukan dengan valuasi tinggi: US$ 104 miliar. Tapi apa yang terjadi sekarang? Kapitalisasi pasarnya di posisi US$ 63 miliar. Ma tak ingin Alibaba menjadi the next Facebook – dinilai tinggi, tapi akhirnya terjun bebas. Dia ingin penilaian yang lebih konservatif. Dia ingat bagaimana perusahaan terbesar sekarang, Apple yang sekarang dinilai US$ 420 miliar, dulunya hanya dinilai US$ 90 miliar di tahun 2009. Terlepas dari sikap hati-hati itu, pasar menaksir Alibaba berkisar antara US$ 55 miliar-120 miliar.

Dengan posisinya sekarang, Lu membawa Alibaba menghadapi fase penting: masa depan. Tahun 2020, pasar e-commerce China diprediksi akan lebih besar dibanding gabungan pasar Amerika, Inggris, Jerman dan Prancis. Nilai ini tak berlebihan. Lembaga konsultan global, McKinsey menaksir China akan mengambil alih AS sebagai pasar ritel online terbesar di dunia di tahun 2015. “Ritel online di China tak hanya menjadi kanal pengganti untuk pembelian offline. Ini mendorong konsumsi secara inkremental,” tulis McKinsey. Ma sendiri memprediksi hampir sepertiga orang China akan online dalam 5 tahun ke depan. Ini berarti Alibaba akan mentransformasi konsumsi di negara dengan populasi terbesar di dunia ini. Dan bukan hanya itu: mereka akan makin menantang Amazon serta eBay karena Lu juga ditugaskan membawa Alibaba berekspansi global dengan menangkap kalangan China perantauan serta bergerak ke sejumlah kawasan di mana ekonomi tengah tumbuh.

Lantas, apa peran yang akan diambil Ma?

Ma adalah salah satu orang tajir China dengan kekayaan sekitar US$ 3,8 miliar per Maret 2013. Lelaki ini tak terlalu menunjukkan minat pada teknologi. Dia tak menghabiskan banyak waktu untuk online, atau asyik berselancar dengan iPad. Waktu luangnya dia habiskan lebih banyak untuk poker, atau sesekali ikut terapi pengobatan tradisional. Dia bergabung dengan aktor laga, Jet Li untuk membangkitkan kesadaran tentang tai chi serta bela diri China tradisional. Kepedulian pada lingkungan juga menjadi minatnya. Tahun 2010, Ma bergabung dalam dewan global Nature Conservancy. “Sebenarnya, bisnis bukanlah cinta pertamanya,” kata Orville Schell, mantan dekan sekolah jurnalis di University of California at Berkeley, yang juga kawan dekatnya.

Seperti halnya Bill Gates yang mengispirasinya, Ma akan bergerak ke balik layar sebagai executive chairman yang hanya berurusan dengan strategi serta pengembangan SDM. Apakah dia akan menulis buku?

Perkara ini sering ditanyakan orang karena banyak yang ingin tahu bagaimana dia membangun kerajaan bisnisnya. Tapi telah lama dia menjawab secara diplomatis. “Saya tak punya rencana menulis buku tentang Alibaba karena mereka yang dapat menulis buku, tak tahu bagaimana menjalankan bisnis. Dan siapa yang dapat menjalankan bisnis, tidak tahu bagaimana menulis buku,” katanya. “Tapi,” dia menyergah, “mungkin saja sih saya menulis buku. Cuma judulnya, ‘Alibaba and His 1001 Mistakes’. Karena dari kesalahan yang kami buat akan bisa menolong orang lain untuk sukses.”

Ma boleh saja merendah. Tapi orang tetap tertarik untuk melihat apakah ini benar-benar lap terakhir. Atau dari balik layarnya, dia justru makin powerful untuk menyetir perusahaannya. ***

Thursday, June 6, 2013

Menjadi Builder dan Integrator

Tugas generasi penerus adalah mengembangkan dan menyelaraskan kepentingan keluarga sehingga bisnis tumbuh kembang dalam harmoni. Apa yang mesti dilakukannya? Apa pula peran pinisepuh?

JAUH-JAUH hari, Edward Hess, penulis The Successful Family Business: A Proactive Plan for Managing the Family and the Business (2005) menyebut sisi indah sebuah bisnis keluarga yang tidak ditemui di tempat lain. “Kebutuhan, harapan, ketakutan keluarga menjadi bagian dari pengambilan keputusan yang harus dipertimbangkan sang pemimpin perusahaan. Dan hanya dalam perusahaan keluarga terdapat persaingan saudara serta sepupu, kecemburuan, sekaligus pertarungan memperebutkan kasih sayang orang tua, juga persetujuan dan dukungan keuangan mereka. This is the beauty of and challenge of managing a family business." Begitu catatan Hess.


Edward Hess mengupas "indahnya" dinamika bisnis keluarga


Bagi kalangan profesional yang menjadi CEO perusahaan keluarga, persoalannya mungkin akan lebih sederhana ketimbang sang generasi penerus yang datang dari keluarga (next generation). Bila sang profesional tak mampu mengelola yang disebut Hess sebagai family dynamics (dinamika keluarga) itu, dengan entengnya dia bisa saja hengkang dari perusahaan, mencari kesempatan di tempat lain. Sebaliknya dengan sang penerus dari keluarga, tentunya dia tak semudah itu. Harapan yang ditanggungnya sedemikian besar dari kerabatnya yang ingin bisnis keluarga makin membesar di tangannya. Meminjam istilah studi PriceWaterhouseCoopers, Fostering Family Value(s), Managing Culture and Behaviour in the Family Business, anggota keluarga memiliki “stewardship responsibility toward future generations”. Dia punya tanggung jawab untuk keturunan berikutnya. Sesuatu yang tentunya tidak dimiliki orang luar.

Bicara tentang tugas para next generation, di mata AB Susanto, tugas utama mereka adalah mengembangkan bisnis, bahkan membuatnya menjadi lebih hebat lagi, dan menjaga harmoni keluarga. “Bisnis jelas harus berkembang. Secara alamiah jumlah anggota keluarga akan bertambah. Kalau kuenya tetap segitu-segitu saja, jatah kue makin sedikit, dong,” kata Chairman Jakarta Consulting Group ini. Tapi, Susanto menyergah, keluarga juga harus harmonis. Sebab, “Keluarga konflik, bisnis bisa berantakan.”

Dengan demikian, sejatinya ada dua tugas utama para next gen: menjadi builder dan integrator. Builder berarti berperan membangun bisnis berkembang lebih hebat. Sementara integrator bermakna mengintegrasikan serta menyelaraskan kepentingan anggota keluarga. “Kedua hal ini sangat penting. Kalau ada salah satu yang timpang maka bisnis yang telah dibangun bisa saja tidak jalan. Family business harus terus berkembang, growing together in harmony,” ujar Susanto.

Pertanyaannya kemudian: bagaimana caranya agar next gen bisa mengemban dua peran tersebut?

Untuk membuat bisnis lebih berkembang, maka seorang generasi penerus harus fokus pada dua hal utama: value creation serta profit maximisation. Dia harus bisa memberi nilai tambah bagi perusahaannya sehingga dapat terus memaksimalkan profit untuk keberlanjutan perusahaannya. Caranya adalah secara kreatif mengelola sumber pertumbuhan (source of growth) dan seluruh value drivers yang sudah terbukti manjur (proven) dalam perusahaan tersebut, mulai dari connection to customer, strategi, operational excellence, hingga yang paling penting: aspek management depth, keunggulan tim manajemen profesional yang telah bersama membesarkan perusahaan.

Untuk mengembangkan bisnis, strategi memegang peranan penting. Begitu juga dengan operasi bisnis yang produktif-efisien. Akan tetapi, tim manajemen yang profesional merupakan hal krusial. Selain oleh anggota keluarga terpercaya, idealnya seorang next gen didampingi oleh kalangan profesional terbaik, yang bisa bertindak sebagai “2M”: MITRA dan MENTOR yang akan mentransfer pengetahuan sekaligus pengalaman dunia bisnis.

KEKELIRUAN
Namun di sinilah sering terjadi kekeliruan yang dilakukan seorang generasi penerus. Bukan cerita baru seorang next gen datang membawa tim manajemennya sendiri karena menganggap tim lama sudah tidak lagi cocok dengannya.

Ini adalah yang disebut ivory tower mentality (mentalitas menara gading). Dikirim ke sekolah-sekolah terbaik di dunia, dia memang mendapat pengetahuan bisnis yang mumpuni, apalagi bila sempat magang di perusahaan multinasional. Pulang ke perusahaan keluarga, dia menganggap apa yang diketahuinya adalah yang terbaik buat perusahaan dan melihat orang-orang sekitarnya kurang memahami tren berikut teori bisnis modern. Dengan gayanya tersendiri dia pun membawa orang-orang kepercayaannya. Dia lupa dua hal yang tak didapatnya dari sekolah bisnis: jam terbang dan wisdom.

Kalaulah tim manajemen lama memang amburadul, tidak perform, boleh saja hal semacam itu dilakukan. Namun bila bisnis sudah berjalan baik dan tinggal dikembangkan lebih baik lagi, maka mitra dan mentor sangatlah diperlukan sekalipun sang generasi penerus meraih summa cum laude dalam ilmu bisnis.

Semestinya ini bisa dihindari. Akan tetapi, kendala umum yang terjadi, seperti diungkap oleh Andreas Raharso, justru hal ini. Generasi penerus yang sebetulnya sangat profesional karena lulusan sekolah Ivy League dan pernah bekerja di MNC global, ujar Andreas, ternyata tidak cakap dalam berhubungan dengan generasi tua yang mereka gantikan. “Mereka harus profesional, namun yang lebih penting mereka harus mampu memahami generasi yang mereka gantikan. Saya rasa kurang adil bila generasi muda selalu menyalahkan bahwa generasi tua tidak memahami mereka. Saya rasa mereka yang lebih muda harus terlebih dahulu memahami generasi yang lebih tua,” kata Direktur Global R&D Centre for Strategy Execution Hay Group.

Apa artinya ini semua?

Itu artinya: sebelum mengelola aspek bisnis dan menyelaraskan kepentingan keluarga, managing self adalah hal penting dalam diri seorang next gen. Seorang generasi penerus dalam sebuah perusahaan keluarga, pada dasarnya adalah melakukan manufacturing hope. Dia mengelola harapan keluarga yang dibebankan pada pundaknya. Mengelola ambisi pribadi, menangani value drivers dan sumber pertumbuhan, mengatasi ketakutan, dan menyelaraskannya dengan kepentingan keluarga, pastinya memerlukan kemampuan pengelolaan mental yang baik. Salah satu aspek mental yang menurut Susanto sering mengganggu adalah rasa iri terhadap kalangan profesional. Profesional ini dapat gaji, insentif, bonus. Nah, penerus tidak boleh iri karena seharusnya profesional seperti ini. Yang diharapakan oleh owner atau anak owner kan dari deviden,” katanya.

Sudah barang tentu ini terdengar menggelikan. “Tapi itu di lapangan, saya masing sering lihat owner iri dengan profesionalnya,” ujar Susanto masygul.

Membangun mental tentu memerlukan proses. Juga dukungan orang tua. Seperti kata pepatah: it takes two to tango, seorang penerus perlu sentuhan orang tuanya. Di sini, agar next gen benar-benar bisa menjadi builder dan integrator, peran orang tua sangatlah dibutuhkan. Untuk membuat mereka bisa mengembangkan diri serta perusahaan, sentuhan pinisepuh amat krusial. Apa yang bisa mereka lakukan?

Hal pertama adalah orang tua harus benar-benar serius melakukan regenerasi. Tak boleh main-main. Apalagi maju mundur. “Yang agak gawat, berkali-kali bilang mau mundur tapi balik lagi balik lagi karena nggak matang perencanaannya,” kata Susanto yang kerap menjumpai situasi seperti ini selama menjadi konsultan bisnis keluarga. Maknanya: kalau memang sudah ingin mempercayakan tongkat estafet pada generasi penerus, maka harus benar-benar dilakukan dengan serius, dengan matang. Orang tua harus meninggalkan apa yang ditulis Larry dan Laura Collin dalam bukunya, Family, Inc. (2008) sebagai “farewell paranoia”: ketakutan mengucapkan sayonara pada bisnisnya.


Para pendiri kerap dihinggapi "farewell paranoia".
Ingin terus berkuasa. Tak rela menyerahkan singgasana.

Selanjutnya, selain memantapkan diri lengser krepabon, orang tua juga mesti membereskan dua aspek utama dalam bisnis keluarga agar gerak langkah sang penerus sudah clear sejak awal, yakni: family dan ownership. Seperti diungkap dalam McKinsey Quaterly (2010), The Five Attributes of Enduring Family Businesses, pada aspek family, sang pendiri mesti membuat semacam family constitution yang jelas, yang meregulasi bagaimana peran seluruh anggota keluarga, baik sebagai shareholders, board members, atau manajer. Adapun dalam sisi ownership, diatur hal-hal seputar kepemilikan, termasuk regulasi jual beli saham.

McKinsey: Five Atributes of Enduring Family Business

Pengaturan hal semacam di atas teramat fundamental. “Family constitution sangat penting disepakati. Permasalahan yang Anda temukan dalam bisnis keluarga, segala konflik, disebabkan oleh persetujuan semacam itu belum dibuat di depan. Saat pendiri usaha masih ada, kesempatan untuk membuat sebuah family constitution tidak dimanfaatkan. Begitu si pendiri meninggal, generasi mudanya akan berselisih satu sama lain karena mempunyai pemahaman yang berbeda-beda tentang bagaimana mereka seharusnya meneruskan usaha tersebut. Sebenarnya ini tidak sulit diwujudkan, tapi banyak orang melalaikannya,” kata Dean Tong, Partner and Managing Director Boston Consulting Indonesia.

Salah satu contohnya di Indonesia adalah yang telah dipraktikkan dengan baik dalam keluarga Hamami di Tiara Marga Trakindo (TMT) Group. Mereka sudah memiliki family constitution yang menjadi pedoman keluarga dalam mengelola perusahaan. Salah satu contoh pasalnya: anak-cucu pendiri, bila ingin bekerja di TMT Group harus melalui pintu tes yang sama dengan karyawan lain. Kalau nilai tes tak sampai standar, maka akan ditolak dan dipersilakan bekerja di perusahaan di luar grup.

Begitu juga di keluarga Sudarpo Sastrosatomo, pemilik kerajaan bisnis Samudera Indonesia. Diatur dengan jelas siapa yang bergabung di board, komisaris dan posisi manajerial. Mereka juga digembleng dengan aturan yang baku: meniti dari bawah sebelum duduk ke posisi atas. Jabatan bukanlah sesuatu yang diberikan (given), tapi diraih.

FAMILY CAPITAL
Hal berikutnya yang dituntut dari orang tua adalah mentransfer apa yang diistilahkan oleh Hay Group sebagai family capital. Hay Group menyebut komponen family capital adalah heritage, kin interaction dan civic structure. Sederhananya, family capital terkait dengan values serta culture yang ada, hidup, dan berkembang dalam sebuah keluarga.

Yang patut digarisbawahi, family capital antarkeluarga pastinya berbeda satu sama lain. Namun, seorang generasi penerus dapat menjadikan family capital­-nya menjadi competitive advantange bila digunakan sesuai situasi serta kondisi yang melingkupi perusahaan keluarga tersebut. Andreas mencontohkan keluarga Ayala di Filipina. “Mereka memutuskan untuk tidak pernah terjun dalam politik agar bisnis bisa langgeng,” dia mengungkap. Terbukti ini menjadi competitive advantage yang menopang kekokohan bisnis.

Robby Djohan, tokoh bisnis Indonesia yang juga melakoni bisnis keluarga, juga menekankan hal tersebut. Menurutnya, jika tidak ada nilai bersama yang tercipta, maka bisnis keluarga hanya tinggal menunggu waktu untuk hancur. It’s a matter of time. Dengan demikian, bila sang penerus tak memiliki kesamaan nilai, maka lebih baik dia mundur sejak awal daripada menimbulkan masalah di kemudian hari. Lalu, “Bagi warisan,” katanya.

Bagaimanapun, nilai-nilai keluarga memang menjadi perekat dintara seluruh anggota. Bila ini tiada, keluarga menjadi centang perenang: satu ke utara, yang lain ke selatan. Akan tetapi, selain values dan culture, orang tua juga mesti duduk bersama sang penerus serta kalangan profesional untuk mentrasfer visi mereka.

Dean Tong melihat kesamaan visi menjadi penopang seorang next gen mengemban tugasnya sebagai builder dan integrator. “Di antara generasi lama, generasi baru, dan juga tenaga profesional yang bekerja di perusahaan itu, seringkali tak ada keselarasan visi. Pendiri bisnis yang adalah generasi lama memiliki tujuan yang ingin dicapai. Tetapi, generasi baru tidak paham atau tidak menghargai itu sebab tujuan tersebut tidak diartikulasikan lebih dulu oleh si pendiri. Lebih lagi bagi tenaga profesional, mereka sekadar menerima perintah,” katanya.

Yang mesti dicermati, regulasi sisi family serta ownership yang tertuang dalam sebuah family constitution boleh jadi berlangsung dalam satu kurun waktu tertentu: penyusunan hingga pemberlakuan secara konsisten. Berbeda dengan transfer values, culture dan visi. Aktivitas ini bisa berproses dalam waktu lama. Tak heran, next gen terkadang sudah dikenalkan sejak lama oleh orang tuanya. Tapi itu memang ongkos yang harus dibayar.

Bila sisi family serta ownership sudah diregulasi, lalu values, culture dan visi sudah ditransfer secara berkesinambungan, maka sang penerus memiliki fondasi yang kuat untuk melakoni perannya di sisi pengelolaan bisnis. Mengapa disebut fondasi yang kuat karena potensi persaingan dalam tubuh keluarga tersebut bersalin menjadi potensi kerja sama yang luar biasa: from rivalry to collaboration.

Memang, sangat dimungkinkan rivalitas anggota keluarga menjadi sumber ketegangan kreatif bagi seorang generasi penerus untuk tumbuh lebih matang dalam mengelola bisnisnya. Namun di kebanyakan perusahaan, peran menjadi builder serta integrator jauh lebih mudah dijalankan dalam keluarga yang harmonis. Strategi dan inovasi untuk mengembangkan bisnis akan lebih gampang digelar dalam sebuah iklim yang kondusif, ketimbang diganggu persaingan, kecemburuan dan iri dengki. ***