Tugas
generasi penerus adalah mengembangkan dan menyelaraskan kepentingan keluarga
sehingga bisnis tumbuh kembang dalam harmoni. Apa yang mesti dilakukannya? Apa
pula peran pinisepuh?
JAUH-JAUH hari, Edward Hess, penulis The Successful Family Business: A Proactive Plan
for Managing the Family and the Business (2005) menyebut sisi indah sebuah
bisnis keluarga yang tidak ditemui di tempat lain. “Kebutuhan, harapan,
ketakutan keluarga menjadi bagian dari pengambilan keputusan yang harus
dipertimbangkan sang pemimpin perusahaan. Dan hanya dalam perusahaan keluarga
terdapat persaingan saudara serta sepupu, kecemburuan, sekaligus pertarungan
memperebutkan kasih sayang orang tua, juga persetujuan dan dukungan keuangan
mereka. This is the
beauty of and challenge of managing a family business." Begitu catatan Hess.
Edward Hess mengupas "indahnya" dinamika bisnis keluarga |
Bagi
kalangan profesional yang menjadi CEO perusahaan keluarga, persoalannya mungkin
akan lebih sederhana ketimbang sang generasi penerus yang datang dari keluarga
(next generation). Bila sang profesional tak mampu mengelola yang
disebut Hess sebagai family dynamics (dinamika keluarga) itu, dengan
entengnya dia bisa saja hengkang dari perusahaan, mencari kesempatan di tempat
lain. Sebaliknya dengan sang penerus dari keluarga, tentunya dia tak semudah
itu. Harapan yang ditanggungnya sedemikian besar dari kerabatnya yang ingin bisnis
keluarga makin membesar di tangannya. Meminjam istilah studi
PriceWaterhouseCoopers, Fostering Family Value(s), Managing Culture and Behaviour
in the Family Business, anggota keluarga memiliki “stewardship
responsibility toward future generations”. Dia punya tanggung jawab untuk
keturunan berikutnya. Sesuatu yang tentunya tidak dimiliki orang luar.
Bicara
tentang tugas para next generation, di mata AB Susanto, tugas utama
mereka adalah mengembangkan bisnis, bahkan membuatnya menjadi lebih hebat lagi,
dan menjaga harmoni keluarga. “Bisnis jelas harus berkembang. Secara alamiah
jumlah anggota keluarga akan bertambah. Kalau kuenya tetap segitu-segitu saja,
jatah kue makin sedikit, dong,” kata Chairman Jakarta Consulting
Group ini. Tapi, Susanto menyergah, keluarga juga harus harmonis. Sebab, “Keluarga
konflik, bisnis bisa berantakan.”
Dengan
demikian, sejatinya ada dua tugas utama para next gen: menjadi builder
dan integrator. Builder berarti berperan membangun bisnis berkembang
lebih hebat. Sementara integrator bermakna mengintegrasikan serta menyelaraskan
kepentingan anggota keluarga. “Kedua hal ini
sangat penting. Kalau ada salah satu yang timpang maka bisnis yang telah
dibangun bisa saja tidak jalan. Family business harus terus berkembang, growing together in harmony,” ujar
Susanto.
Pertanyaannya
kemudian: bagaimana caranya agar next gen bisa mengemban dua peran
tersebut?
Untuk
membuat bisnis lebih berkembang, maka seorang generasi penerus harus fokus pada
dua hal utama: value creation serta profit
maximisation. Dia harus bisa memberi nilai tambah bagi perusahaannya
sehingga dapat terus memaksimalkan profit untuk keberlanjutan perusahaannya.
Caranya adalah secara kreatif mengelola sumber pertumbuhan (source of growth)
dan seluruh value drivers yang sudah terbukti manjur (proven) dalam
perusahaan tersebut, mulai dari connection to customer, strategi, operational
excellence, hingga yang paling penting: aspek management depth, keunggulan
tim manajemen profesional yang telah bersama membesarkan perusahaan.
Untuk mengembangkan bisnis, strategi memegang peranan
penting. Begitu juga dengan operasi bisnis yang produktif-efisien. Akan tetapi,
tim
manajemen yang profesional merupakan hal krusial. Selain oleh anggota keluarga
terpercaya, idealnya seorang next gen didampingi
oleh kalangan profesional terbaik, yang bisa bertindak sebagai “2M”: MITRA dan
MENTOR yang akan mentransfer pengetahuan sekaligus pengalaman dunia bisnis.
KEKELIRUAN
Namun di sinilah sering terjadi kekeliruan yang
dilakukan seorang generasi penerus. Bukan cerita baru seorang next gen datang
membawa tim manajemennya sendiri karena menganggap tim lama sudah tidak lagi
cocok dengannya.
Ini adalah yang disebut ivory tower mentality
(mentalitas menara gading). Dikirim ke sekolah-sekolah terbaik di dunia, dia
memang mendapat pengetahuan bisnis yang mumpuni, apalagi bila sempat magang di
perusahaan multinasional. Pulang ke perusahaan keluarga, dia menganggap apa
yang diketahuinya adalah yang terbaik buat perusahaan dan melihat orang-orang
sekitarnya kurang memahami tren berikut teori bisnis modern. Dengan gayanya
tersendiri dia pun membawa orang-orang kepercayaannya. Dia lupa dua hal yang
tak didapatnya dari sekolah bisnis: jam terbang dan wisdom.
Kalaulah tim manajemen lama memang amburadul, tidak perform,
boleh saja hal semacam itu dilakukan. Namun bila bisnis sudah berjalan baik dan
tinggal dikembangkan lebih baik lagi, maka mitra dan mentor sangatlah
diperlukan sekalipun sang generasi penerus meraih summa cum laude dalam
ilmu bisnis.
Semestinya ini bisa dihindari. Akan tetapi, kendala umum yang terjadi, seperti diungkap
oleh Andreas Raharso, justru hal ini. Generasi penerus yang sebetulnya sangat profesional
karena lulusan sekolah Ivy League dan pernah bekerja di MNC global, ujar
Andreas, ternyata tidak cakap dalam berhubungan dengan generasi tua yang mereka
gantikan. “Mereka harus profesional, namun yang lebih penting mereka harus
mampu memahami generasi yang mereka gantikan. Saya rasa kurang adil bila
generasi muda selalu menyalahkan bahwa generasi tua tidak memahami mereka. Saya
rasa mereka yang lebih muda harus terlebih dahulu memahami generasi yang lebih
tua,” kata Direktur Global R&D Centre for Strategy Execution Hay Group.
Apa artinya ini semua?
Itu
artinya: sebelum mengelola aspek bisnis dan menyelaraskan kepentingan keluarga,
managing self adalah hal penting dalam diri seorang next gen. Seorang
generasi penerus dalam sebuah perusahaan keluarga, pada dasarnya adalah
melakukan manufacturing hope. Dia mengelola harapan keluarga yang
dibebankan pada pundaknya. Mengelola ambisi pribadi, menangani value drivers
dan sumber pertumbuhan, mengatasi ketakutan, dan menyelaraskannya dengan
kepentingan keluarga, pastinya memerlukan kemampuan pengelolaan mental yang
baik. Salah satu aspek mental yang menurut Susanto sering mengganggu adalah
rasa iri terhadap kalangan profesional. “Profesional ini
dapat gaji, insentif, bonus. Nah, penerus tidak boleh iri karena seharusnya
profesional seperti ini. Yang diharapakan oleh owner atau anak owner
kan dari deviden,” katanya.
Sudah
barang tentu ini terdengar menggelikan. “Tapi itu di lapangan, saya masing
sering lihat owner iri dengan profesionalnya,” ujar Susanto masygul.
Membangun mental tentu memerlukan proses. Juga
dukungan orang tua. Seperti kata pepatah: it takes two to tango, seorang
penerus perlu sentuhan orang tuanya. Di sini, agar next gen
benar-benar bisa menjadi builder dan integrator, peran orang tua
sangatlah dibutuhkan. Untuk membuat mereka bisa mengembangkan diri serta
perusahaan, sentuhan pinisepuh amat krusial. Apa yang bisa mereka lakukan?
Hal
pertama adalah orang tua harus benar-benar serius melakukan regenerasi. Tak
boleh main-main. Apalagi maju mundur. “Yang agak gawat, berkali-kali bilang mau
mundur tapi balik lagi balik lagi karena nggak matang perencanaannya,”
kata Susanto yang kerap menjumpai situasi seperti ini selama menjadi konsultan
bisnis keluarga. Maknanya: kalau memang sudah ingin mempercayakan tongkat
estafet pada generasi penerus, maka harus benar-benar dilakukan dengan serius,
dengan matang. Orang tua harus meninggalkan apa yang ditulis Larry dan Laura
Collin dalam bukunya, Family, Inc. (2008) sebagai “farewell paranoia”:
ketakutan mengucapkan sayonara pada bisnisnya.
Para pendiri kerap dihinggapi "farewell paranoia". Ingin terus berkuasa. Tak rela menyerahkan singgasana. |
Selanjutnya, selain memantapkan diri lengser
krepabon, orang tua juga mesti membereskan dua aspek utama dalam bisnis
keluarga agar gerak langkah sang penerus sudah clear sejak awal, yakni: family
dan ownership. Seperti diungkap dalam McKinsey Quaterly (2010), The
Five Attributes of Enduring Family Businesses, pada aspek family,
sang pendiri mesti membuat semacam family constitution yang jelas, yang meregulasi
bagaimana peran seluruh anggota keluarga, baik sebagai shareholders, board
members, atau manajer. Adapun dalam sisi ownership, diatur hal-hal
seputar kepemilikan, termasuk regulasi jual beli saham.
McKinsey: Five Atributes of Enduring Family Business |
Pengaturan hal semacam di atas teramat fundamental.
“Family
constitution sangat
penting disepakati. Permasalahan yang Anda temukan dalam bisnis keluarga,
segala konflik, disebabkan oleh persetujuan semacam itu belum dibuat di depan.
Saat pendiri usaha masih ada, kesempatan untuk membuat sebuah family
constitution tidak dimanfaatkan. Begitu si pendiri meninggal, generasi
mudanya akan berselisih satu sama lain karena mempunyai pemahaman yang
berbeda-beda tentang bagaimana mereka seharusnya meneruskan usaha tersebut.
Sebenarnya ini tidak sulit diwujudkan, tapi banyak orang melalaikannya,” kata
Dean Tong, Partner and Managing Director Boston Consulting Indonesia.
Salah satu contohnya di Indonesia adalah yang telah dipraktikkan dengan baik dalam keluarga Hamami di Tiara Marga Trakindo (TMT) Group. Mereka sudah memiliki family
constitution
yang menjadi pedoman keluarga dalam mengelola perusahaan. Salah satu contoh pasalnya:
anak-cucu pendiri, bila ingin bekerja di TMT Group
harus melalui pintu tes yang sama
dengan karyawan lain. Kalau nilai tes tak sampai standar, maka akan ditolak dan
dipersilakan bekerja di perusahaan di luar grup.
Begitu
juga di keluarga Sudarpo Sastrosatomo, pemilik kerajaan bisnis Samudera Indonesia. Diatur dengan jelas siapa yang bergabung di board,
komisaris dan posisi manajerial. Mereka juga digembleng dengan aturan yang
baku: meniti dari bawah sebelum duduk ke posisi atas. Jabatan bukanlah sesuatu
yang diberikan (given), tapi diraih.
FAMILY CAPITAL
Hal berikutnya yang dituntut dari orang tua adalah
mentransfer apa yang diistilahkan oleh Hay Group sebagai family capital.
Hay Group menyebut komponen family capital adalah heritage, kin
interaction dan civic structure. Sederhananya, family capital
terkait dengan values serta culture yang ada, hidup, dan
berkembang dalam sebuah keluarga.
Yang patut digarisbawahi, family capital
antarkeluarga pastinya berbeda satu sama lain. Namun, seorang generasi penerus
dapat menjadikan family capital-nya menjadi competitive advantange bila
digunakan sesuai situasi serta kondisi yang melingkupi perusahaan keluarga
tersebut. Andreas mencontohkan keluarga Ayala di Filipina. “Mereka memutuskan untuk tidak pernah terjun
dalam politik agar bisnis bisa langgeng,” dia mengungkap. Terbukti ini menjadi competitive
advantage yang menopang kekokohan bisnis.
Robby Djohan, tokoh bisnis Indonesia yang juga
melakoni bisnis keluarga, juga menekankan hal tersebut. Menurutnya, jika tidak ada nilai bersama yang tercipta, maka bisnis keluarga hanya
tinggal menunggu waktu untuk hancur. It’s a matter of time. Dengan
demikian, bila sang penerus tak memiliki kesamaan nilai, maka lebih baik dia
mundur sejak awal daripada menimbulkan masalah di kemudian hari. Lalu, “Bagi
warisan,” katanya.
Bagaimanapun, nilai-nilai keluarga memang menjadi perekat
dintara seluruh anggota. Bila ini tiada, keluarga menjadi centang perenang:
satu ke utara, yang lain ke selatan. Akan tetapi, selain values
dan culture, orang tua juga mesti duduk bersama sang penerus serta kalangan
profesional untuk mentrasfer visi mereka.
Dean
Tong melihat kesamaan visi menjadi penopang seorang next gen mengemban
tugasnya sebagai builder dan integrator. “Di antara generasi lama, generasi baru, dan juga
tenaga profesional yang bekerja di perusahaan itu, seringkali tak ada
keselarasan visi. Pendiri bisnis yang adalah generasi lama memiliki tujuan yang
ingin dicapai. Tetapi, generasi baru tidak paham atau tidak menghargai itu
sebab tujuan tersebut tidak diartikulasikan lebih dulu oleh si pendiri. Lebih
lagi bagi tenaga profesional, mereka sekadar menerima perintah,” katanya.
Yang mesti dicermati, regulasi
sisi family serta ownership yang tertuang dalam sebuah family
constitution boleh jadi berlangsung dalam satu kurun waktu tertentu:
penyusunan hingga pemberlakuan secara konsisten. Berbeda dengan transfer values,
culture dan visi. Aktivitas ini bisa berproses dalam waktu lama. Tak
heran, next gen terkadang sudah dikenalkan sejak lama oleh orang tuanya.
Tapi itu memang ongkos yang harus dibayar.
Bila sisi family serta ownership
sudah diregulasi, lalu values, culture dan visi sudah ditransfer
secara berkesinambungan, maka sang penerus memiliki fondasi yang kuat untuk melakoni
perannya di sisi pengelolaan bisnis. Mengapa disebut fondasi yang kuat karena
potensi persaingan dalam tubuh keluarga tersebut bersalin menjadi potensi kerja
sama yang luar biasa: from rivalry to collaboration.
Memang, sangat dimungkinkan
rivalitas anggota keluarga menjadi sumber ketegangan kreatif bagi seorang
generasi penerus untuk tumbuh lebih matang dalam mengelola bisnisnya. Namun di
kebanyakan perusahaan, peran menjadi builder serta integrator
jauh lebih mudah dijalankan dalam keluarga yang harmonis. Strategi dan inovasi untuk
mengembangkan bisnis akan lebih gampang digelar dalam sebuah iklim yang
kondusif, ketimbang diganggu persaingan, kecemburuan dan iri dengki. ***
0 comments:
Post a Comment