Come on

Follow me @teguhspambudi

Thursday, June 6, 2013

Menjadi Builder dan Integrator

Share this history on :
Tugas generasi penerus adalah mengembangkan dan menyelaraskan kepentingan keluarga sehingga bisnis tumbuh kembang dalam harmoni. Apa yang mesti dilakukannya? Apa pula peran pinisepuh?

JAUH-JAUH hari, Edward Hess, penulis The Successful Family Business: A Proactive Plan for Managing the Family and the Business (2005) menyebut sisi indah sebuah bisnis keluarga yang tidak ditemui di tempat lain. “Kebutuhan, harapan, ketakutan keluarga menjadi bagian dari pengambilan keputusan yang harus dipertimbangkan sang pemimpin perusahaan. Dan hanya dalam perusahaan keluarga terdapat persaingan saudara serta sepupu, kecemburuan, sekaligus pertarungan memperebutkan kasih sayang orang tua, juga persetujuan dan dukungan keuangan mereka. This is the beauty of and challenge of managing a family business." Begitu catatan Hess.


Edward Hess mengupas "indahnya" dinamika bisnis keluarga


Bagi kalangan profesional yang menjadi CEO perusahaan keluarga, persoalannya mungkin akan lebih sederhana ketimbang sang generasi penerus yang datang dari keluarga (next generation). Bila sang profesional tak mampu mengelola yang disebut Hess sebagai family dynamics (dinamika keluarga) itu, dengan entengnya dia bisa saja hengkang dari perusahaan, mencari kesempatan di tempat lain. Sebaliknya dengan sang penerus dari keluarga, tentunya dia tak semudah itu. Harapan yang ditanggungnya sedemikian besar dari kerabatnya yang ingin bisnis keluarga makin membesar di tangannya. Meminjam istilah studi PriceWaterhouseCoopers, Fostering Family Value(s), Managing Culture and Behaviour in the Family Business, anggota keluarga memiliki “stewardship responsibility toward future generations”. Dia punya tanggung jawab untuk keturunan berikutnya. Sesuatu yang tentunya tidak dimiliki orang luar.

Bicara tentang tugas para next generation, di mata AB Susanto, tugas utama mereka adalah mengembangkan bisnis, bahkan membuatnya menjadi lebih hebat lagi, dan menjaga harmoni keluarga. “Bisnis jelas harus berkembang. Secara alamiah jumlah anggota keluarga akan bertambah. Kalau kuenya tetap segitu-segitu saja, jatah kue makin sedikit, dong,” kata Chairman Jakarta Consulting Group ini. Tapi, Susanto menyergah, keluarga juga harus harmonis. Sebab, “Keluarga konflik, bisnis bisa berantakan.”

Dengan demikian, sejatinya ada dua tugas utama para next gen: menjadi builder dan integrator. Builder berarti berperan membangun bisnis berkembang lebih hebat. Sementara integrator bermakna mengintegrasikan serta menyelaraskan kepentingan anggota keluarga. “Kedua hal ini sangat penting. Kalau ada salah satu yang timpang maka bisnis yang telah dibangun bisa saja tidak jalan. Family business harus terus berkembang, growing together in harmony,” ujar Susanto.

Pertanyaannya kemudian: bagaimana caranya agar next gen bisa mengemban dua peran tersebut?

Untuk membuat bisnis lebih berkembang, maka seorang generasi penerus harus fokus pada dua hal utama: value creation serta profit maximisation. Dia harus bisa memberi nilai tambah bagi perusahaannya sehingga dapat terus memaksimalkan profit untuk keberlanjutan perusahaannya. Caranya adalah secara kreatif mengelola sumber pertumbuhan (source of growth) dan seluruh value drivers yang sudah terbukti manjur (proven) dalam perusahaan tersebut, mulai dari connection to customer, strategi, operational excellence, hingga yang paling penting: aspek management depth, keunggulan tim manajemen profesional yang telah bersama membesarkan perusahaan.

Untuk mengembangkan bisnis, strategi memegang peranan penting. Begitu juga dengan operasi bisnis yang produktif-efisien. Akan tetapi, tim manajemen yang profesional merupakan hal krusial. Selain oleh anggota keluarga terpercaya, idealnya seorang next gen didampingi oleh kalangan profesional terbaik, yang bisa bertindak sebagai “2M”: MITRA dan MENTOR yang akan mentransfer pengetahuan sekaligus pengalaman dunia bisnis.

KEKELIRUAN
Namun di sinilah sering terjadi kekeliruan yang dilakukan seorang generasi penerus. Bukan cerita baru seorang next gen datang membawa tim manajemennya sendiri karena menganggap tim lama sudah tidak lagi cocok dengannya.

Ini adalah yang disebut ivory tower mentality (mentalitas menara gading). Dikirim ke sekolah-sekolah terbaik di dunia, dia memang mendapat pengetahuan bisnis yang mumpuni, apalagi bila sempat magang di perusahaan multinasional. Pulang ke perusahaan keluarga, dia menganggap apa yang diketahuinya adalah yang terbaik buat perusahaan dan melihat orang-orang sekitarnya kurang memahami tren berikut teori bisnis modern. Dengan gayanya tersendiri dia pun membawa orang-orang kepercayaannya. Dia lupa dua hal yang tak didapatnya dari sekolah bisnis: jam terbang dan wisdom.

Kalaulah tim manajemen lama memang amburadul, tidak perform, boleh saja hal semacam itu dilakukan. Namun bila bisnis sudah berjalan baik dan tinggal dikembangkan lebih baik lagi, maka mitra dan mentor sangatlah diperlukan sekalipun sang generasi penerus meraih summa cum laude dalam ilmu bisnis.

Semestinya ini bisa dihindari. Akan tetapi, kendala umum yang terjadi, seperti diungkap oleh Andreas Raharso, justru hal ini. Generasi penerus yang sebetulnya sangat profesional karena lulusan sekolah Ivy League dan pernah bekerja di MNC global, ujar Andreas, ternyata tidak cakap dalam berhubungan dengan generasi tua yang mereka gantikan. “Mereka harus profesional, namun yang lebih penting mereka harus mampu memahami generasi yang mereka gantikan. Saya rasa kurang adil bila generasi muda selalu menyalahkan bahwa generasi tua tidak memahami mereka. Saya rasa mereka yang lebih muda harus terlebih dahulu memahami generasi yang lebih tua,” kata Direktur Global R&D Centre for Strategy Execution Hay Group.

Apa artinya ini semua?

Itu artinya: sebelum mengelola aspek bisnis dan menyelaraskan kepentingan keluarga, managing self adalah hal penting dalam diri seorang next gen. Seorang generasi penerus dalam sebuah perusahaan keluarga, pada dasarnya adalah melakukan manufacturing hope. Dia mengelola harapan keluarga yang dibebankan pada pundaknya. Mengelola ambisi pribadi, menangani value drivers dan sumber pertumbuhan, mengatasi ketakutan, dan menyelaraskannya dengan kepentingan keluarga, pastinya memerlukan kemampuan pengelolaan mental yang baik. Salah satu aspek mental yang menurut Susanto sering mengganggu adalah rasa iri terhadap kalangan profesional. Profesional ini dapat gaji, insentif, bonus. Nah, penerus tidak boleh iri karena seharusnya profesional seperti ini. Yang diharapakan oleh owner atau anak owner kan dari deviden,” katanya.

Sudah barang tentu ini terdengar menggelikan. “Tapi itu di lapangan, saya masing sering lihat owner iri dengan profesionalnya,” ujar Susanto masygul.

Membangun mental tentu memerlukan proses. Juga dukungan orang tua. Seperti kata pepatah: it takes two to tango, seorang penerus perlu sentuhan orang tuanya. Di sini, agar next gen benar-benar bisa menjadi builder dan integrator, peran orang tua sangatlah dibutuhkan. Untuk membuat mereka bisa mengembangkan diri serta perusahaan, sentuhan pinisepuh amat krusial. Apa yang bisa mereka lakukan?

Hal pertama adalah orang tua harus benar-benar serius melakukan regenerasi. Tak boleh main-main. Apalagi maju mundur. “Yang agak gawat, berkali-kali bilang mau mundur tapi balik lagi balik lagi karena nggak matang perencanaannya,” kata Susanto yang kerap menjumpai situasi seperti ini selama menjadi konsultan bisnis keluarga. Maknanya: kalau memang sudah ingin mempercayakan tongkat estafet pada generasi penerus, maka harus benar-benar dilakukan dengan serius, dengan matang. Orang tua harus meninggalkan apa yang ditulis Larry dan Laura Collin dalam bukunya, Family, Inc. (2008) sebagai “farewell paranoia”: ketakutan mengucapkan sayonara pada bisnisnya.


Para pendiri kerap dihinggapi "farewell paranoia".
Ingin terus berkuasa. Tak rela menyerahkan singgasana.

Selanjutnya, selain memantapkan diri lengser krepabon, orang tua juga mesti membereskan dua aspek utama dalam bisnis keluarga agar gerak langkah sang penerus sudah clear sejak awal, yakni: family dan ownership. Seperti diungkap dalam McKinsey Quaterly (2010), The Five Attributes of Enduring Family Businesses, pada aspek family, sang pendiri mesti membuat semacam family constitution yang jelas, yang meregulasi bagaimana peran seluruh anggota keluarga, baik sebagai shareholders, board members, atau manajer. Adapun dalam sisi ownership, diatur hal-hal seputar kepemilikan, termasuk regulasi jual beli saham.

McKinsey: Five Atributes of Enduring Family Business

Pengaturan hal semacam di atas teramat fundamental. “Family constitution sangat penting disepakati. Permasalahan yang Anda temukan dalam bisnis keluarga, segala konflik, disebabkan oleh persetujuan semacam itu belum dibuat di depan. Saat pendiri usaha masih ada, kesempatan untuk membuat sebuah family constitution tidak dimanfaatkan. Begitu si pendiri meninggal, generasi mudanya akan berselisih satu sama lain karena mempunyai pemahaman yang berbeda-beda tentang bagaimana mereka seharusnya meneruskan usaha tersebut. Sebenarnya ini tidak sulit diwujudkan, tapi banyak orang melalaikannya,” kata Dean Tong, Partner and Managing Director Boston Consulting Indonesia.

Salah satu contohnya di Indonesia adalah yang telah dipraktikkan dengan baik dalam keluarga Hamami di Tiara Marga Trakindo (TMT) Group. Mereka sudah memiliki family constitution yang menjadi pedoman keluarga dalam mengelola perusahaan. Salah satu contoh pasalnya: anak-cucu pendiri, bila ingin bekerja di TMT Group harus melalui pintu tes yang sama dengan karyawan lain. Kalau nilai tes tak sampai standar, maka akan ditolak dan dipersilakan bekerja di perusahaan di luar grup.

Begitu juga di keluarga Sudarpo Sastrosatomo, pemilik kerajaan bisnis Samudera Indonesia. Diatur dengan jelas siapa yang bergabung di board, komisaris dan posisi manajerial. Mereka juga digembleng dengan aturan yang baku: meniti dari bawah sebelum duduk ke posisi atas. Jabatan bukanlah sesuatu yang diberikan (given), tapi diraih.

FAMILY CAPITAL
Hal berikutnya yang dituntut dari orang tua adalah mentransfer apa yang diistilahkan oleh Hay Group sebagai family capital. Hay Group menyebut komponen family capital adalah heritage, kin interaction dan civic structure. Sederhananya, family capital terkait dengan values serta culture yang ada, hidup, dan berkembang dalam sebuah keluarga.

Yang patut digarisbawahi, family capital antarkeluarga pastinya berbeda satu sama lain. Namun, seorang generasi penerus dapat menjadikan family capital­-nya menjadi competitive advantange bila digunakan sesuai situasi serta kondisi yang melingkupi perusahaan keluarga tersebut. Andreas mencontohkan keluarga Ayala di Filipina. “Mereka memutuskan untuk tidak pernah terjun dalam politik agar bisnis bisa langgeng,” dia mengungkap. Terbukti ini menjadi competitive advantage yang menopang kekokohan bisnis.

Robby Djohan, tokoh bisnis Indonesia yang juga melakoni bisnis keluarga, juga menekankan hal tersebut. Menurutnya, jika tidak ada nilai bersama yang tercipta, maka bisnis keluarga hanya tinggal menunggu waktu untuk hancur. It’s a matter of time. Dengan demikian, bila sang penerus tak memiliki kesamaan nilai, maka lebih baik dia mundur sejak awal daripada menimbulkan masalah di kemudian hari. Lalu, “Bagi warisan,” katanya.

Bagaimanapun, nilai-nilai keluarga memang menjadi perekat dintara seluruh anggota. Bila ini tiada, keluarga menjadi centang perenang: satu ke utara, yang lain ke selatan. Akan tetapi, selain values dan culture, orang tua juga mesti duduk bersama sang penerus serta kalangan profesional untuk mentrasfer visi mereka.

Dean Tong melihat kesamaan visi menjadi penopang seorang next gen mengemban tugasnya sebagai builder dan integrator. “Di antara generasi lama, generasi baru, dan juga tenaga profesional yang bekerja di perusahaan itu, seringkali tak ada keselarasan visi. Pendiri bisnis yang adalah generasi lama memiliki tujuan yang ingin dicapai. Tetapi, generasi baru tidak paham atau tidak menghargai itu sebab tujuan tersebut tidak diartikulasikan lebih dulu oleh si pendiri. Lebih lagi bagi tenaga profesional, mereka sekadar menerima perintah,” katanya.

Yang mesti dicermati, regulasi sisi family serta ownership yang tertuang dalam sebuah family constitution boleh jadi berlangsung dalam satu kurun waktu tertentu: penyusunan hingga pemberlakuan secara konsisten. Berbeda dengan transfer values, culture dan visi. Aktivitas ini bisa berproses dalam waktu lama. Tak heran, next gen terkadang sudah dikenalkan sejak lama oleh orang tuanya. Tapi itu memang ongkos yang harus dibayar.

Bila sisi family serta ownership sudah diregulasi, lalu values, culture dan visi sudah ditransfer secara berkesinambungan, maka sang penerus memiliki fondasi yang kuat untuk melakoni perannya di sisi pengelolaan bisnis. Mengapa disebut fondasi yang kuat karena potensi persaingan dalam tubuh keluarga tersebut bersalin menjadi potensi kerja sama yang luar biasa: from rivalry to collaboration.

Memang, sangat dimungkinkan rivalitas anggota keluarga menjadi sumber ketegangan kreatif bagi seorang generasi penerus untuk tumbuh lebih matang dalam mengelola bisnisnya. Namun di kebanyakan perusahaan, peran menjadi builder serta integrator jauh lebih mudah dijalankan dalam keluarga yang harmonis. Strategi dan inovasi untuk mengembangkan bisnis akan lebih gampang digelar dalam sebuah iklim yang kondusif, ketimbang diganggu persaingan, kecemburuan dan iri dengki. ***

0 comments: