Come on

Follow me @teguhspambudi

Monday, September 9, 2013

Rahasia Kehebatan Si Raja Kaca

Produknya menjadi bintang industri telepon seluler. Dengan kian berkembangnya teknologi layar sentuh, mereka pun akan kian dibutuhkan. Tapi kecemerlangan itu tak bisa terjadi tanpa tiga rahasia yang dibangun lebih dari satu abad.


KULTUR INOVASI 
Amory Houghton pastinya tidak akan pernah tahu bagaimana digdayanya kelak perusahaan kaca yang dibelinya di kota Corning, New York tahun 1851. Kini siapa yang tak mengenal Gorilla Glass sebagai kaca premium yang digunakan terutama oleh industri smartphone. Produk keluaran Corning Inc. ini menjadi jaminan kaca ponsel yang anti gores dan tak mudah pecah. Tercatat, sedikitnya 1 miliar hand held devices telah menggunakannya. Dan akan semakin banyak jumlah yang menggunakannya dari waktu ke waktu.

Tentu saja pecapaian ini merupakan buah dari perjalanan yang panjang, terutama dalam lingkungan perusahaan yang dibeli Amory, Corning Inc. Gorilla Glass, sebut contoh. Produk primadona ini merupakan buah dari akar yang sudah ditanam lebih dari satu abad lamanya sehingga para peneliti Corning mampu menjawab kebutuhan pasar.

Cerita Gorilla Glass dimulai tahun 2006. Steve Jobs mendatangi CEO Corning Inc., Wendell Weeks. Jobs meminta dibuatkan kaca untuk layar iPhone yang akan diluncurkannya. Kaca yang ringan, kuat dan anti gores. Kaca yang berbeda dengan telepon seluler biasa. Saat itu, umumnya layar ponsel masih banyak berupa layar plastik yang begitu mudah rusak ketika ponsel jatuh. Pun mudah tergores sehingga mengurangi penampilan.

Mencium peluang bisnis, sebuah tim kecil di divisi specialty material Corning segera mencari arsip-arsip yang memuat formula tentang pembuatan kaca yang sangat kuat tapi fleksibel, sesuatu yang disebut Chemcor, yang pernah gagal saat diperkenalkan pada tahun 1962 untuk industri otomotif. Formula ini akan mereka uji cobakan pada telepon seluler, sekaligus menjawab tantangan Jobs.

Jalan menuju sukses tak selalu mudah. Biaya produksi untuk eksperimentasi ini mencapai US$ 300 ribu. James Steiner, bos tim divisi ini menentang ide tersebut. “Saya benar-benar tak bisa memahami konsep penggunaan kaca untuk telepon seluler,” Steiner mengenang.

Beruntung, sang team leader, Mark Matthews adalah orang yang persisten dengan ide yang diyakini benar. Dan dia telah membuktikan sebelumnya. Pada tahun 2003, Matthews sukses memimpin penjualan produk kaca khusus ke Texas Instruments untuk proyektor digital.

Sekali lagi, mempercayai insting Matthews, Steiner pun memberi lampu hijau untuk melakukan proyek percobaan di Danville, Virginia. “Matthes mengambil semua risiko begitu mengetahui saya tak terlalu antusias tentang rencana ini,” kata Steiner.

Kini, setelah lewat beberapa tahun beredar di pasar, lembaran kaca alkali-aluminosilikat yang dilabeli merek Gorilla Glass ini mencetak sukses besar. LG, Samsung, Motorolla memilihnya untuk beragam ponselnya. Asus serta Dell memilihnya untuk sejumlah laptop-nya. Dan tentu saja iPhone.

Gorilla Glass mencetak penjualan US$ 100 juta dan diproyeksi mencapai US$ 500 juta di tahun 2015. Produk ini menjadi kontributor signifikan bagi Corning yang total penjualan 2012 mencapai US$ 8 miliar.

Jelaslah bahwa inovasi menjadi jantungnya Corning. Tapi ini tidak muncul begitu saja. Akarnya begitu dalam, dimulai sejak era Amory. Saat mengambil perusahaan kaca kecil di Corning ini, keluarga Houghton sangat percaya – bahkan cenderung menjadikannya sebagai “agama” – pada apa yang disebut sebagai riset dan pengembangan. Sejak awal, perusahaan ini memutuskan berinvestasi pada ilmu tentang pembuatan kaca untuk menghindari persaingan dengan para produsen kaca berbiaya rendah (low-cost). Mulai dengan mematenkan kaca sinyal untuk industri jalan raya dan kelautan, Corning memroduksi serangkaian inovasi yang berasal dari pemahamannya atas kaca dan keramik.

Jadi, jauh sebelum CK Prahalad dan Gary Hamel mengartikulasikan konsep core competence, manajemen Corning secara intuitif memahami pentingnya perusahaan berinvestasi pada “core competence”. Tak heran, perusahaan ini pun menjadi spesialis kaca yang disegani sehingga disambat pihak lain. Kapabilitas teknologinya membuat mereka mampu merespons permintaan pasar dengan cepat.

Pada tahun 1880, ambil contoh, Thomas Edison yang setahun sebelumnya menemukan lampu pijar, datang ke Corning untuk membuat kaca bohlam bagi penemuan terbarunya itu, yang kemudian memunculkan manufaktur kaca bohlam kecepatan tinggi. Inovasi yang lain adalah Pyrex yang diperkenalkan pada tahun 1915 dan produksi masal tabung TV di tahun 1940-an. Tapi Corning juga piawai untuk produk lain. Diantaranya: ceramic subtrates untuk catalytic converters di era 1970-an dan serat optik di tahun 1980-an.

Kultur inovasi menjadi kunci. Pada kasus Gorilla Glass, seperti disinggung di atas, proses fusi yang digunakan Corning untuk produk ini berawal di tahun 1962. Ketika itu Corning berupaya membuat kaca yang lebih tipis dapi dan lebih kuat untuk kendaraan bermotor. Sewaktu para pabrikan kendaraan menolaknya dengan alasan biaya, Corning menyimpan teknologi itu hingga tahun 2006, saat CEO Apple, Steve Jobs mengontak Wendell Weeks mencari kaca anti gores dan ringan buat iPhone.


CEO Corning, Wendell Weeks terus mendorong inovasi.
Sumber : Forbes

Namun kultur inovasi hanyalah satu hal yang sudah berakar ditanam Amory. Yang menarik adalah bagaimana proses R&D di tubuh Corning bisa melewati tahap demi tahap hingga sukses secara komersial.

Seperti perusahaan top lainnya, Corning punya sistem untuk mengelola ide melewati sejumlah tahapan. Mereka memiliki apa yang disebut sebagai “Tahap 1-5” dengan urutan sebagai berikut: research, applied research, development, scale-up, dan production.

Kehebatan di Corning adalah tahap demi tahap ini mayoritas berjalan baik: dari konsep ke sukses secara komersial. “Jika saya punya 100 siswa di kelas dan saya tanya mereka ‘berapa dari Anda yang punya tahap-tahap proses di perusahaan Anda?’ Sekitar 95 orang mengangkat tangan,” kata Rebecca M. Henderson, Guru Besar Harvard Business School yang mempelajari inovasi di Corning. “Tapi kalau saya bertanya, ‘berapa banyak dari Anda yang tahapan prosesnya berhasil?’ hanya sekitar 15 orang yang mengangkat tangan. Untuk perusahaan dengan ukuran dan kompleksitas seperti Corning, apa yang mereka capai adalah luar biasa.”

Apa rahasianya?


TIGA RAHASIA
Ada tiga. Pertama, organisasi yang solid, yang multidisiplin. Apa yang tampak dari Corning adalah mereka menunjukkan bahwa inovasi dapat dikelola oleh individu atau tim kecil yang berdiri terpisah, tapi dengan kelompok multidisiplin di seluruh lini organisasi sebagai penopangnya. Yang menjadi konduktor adalah 2 lembaga: Corporate Technology Council yang dipimpin CTO, David L. Morse, dan Growth & Strategy Council, dipimpin Chairman dan CEO, Wendell Weeks.

Organisasi yang pertama (Corporate Technology Council) berkonsentrasi pada early stage. Mereka mengevaluasi ide-ide yang ada dan memutuskan yang mana yang akan didanai. Sementara organisasi berikutnya (Growth & Strategy Council) mengelola tahap ide menuju komersialisasi. Mereka bergerak lebih detail, menyoroti biaya dan rencana eksekusi.

Pada tahap awal, pada early stage, Corning memiliki amunisi hebat untuk menciptakan produk, yang juga diwariskan sejak lama. Salah satu sumber daya penting adalah para tenaga ahli di Sullivan Park Research Center, di Erwin, New York, lokasi tempat fasilitas R&D. Di Sullivan Park yang seluas 2 juta m2 inilah sejumlah terobosan teknis dilakukan seperti tabung cathode-ray, advanced purification materials, dan serat optik kualitas tinggi. Untuk menggodok Gorilla Glass, contohnya, sedikitnya 100 ilmuwan terlibat dalam proyek ini, baik terlibat penuh ataupun paruh waktu. “Para ilmuwan kami akan bekerja di tempat di mana mereka meyakini bisa memberikan dampak dan diapresiasi,” kata Steiner.

Gorilla Glass, kaca yang kuat, tipis dan fleksibel.
Sumber: Corning

Dalam kasus Gorilla Glass, begitu uji produk telah selesai, Steiner segera bergerak ke seluruh organisasi, meminta bantuan serta masukan tim sains, manajemen dan penjualan. Tak banyak waktu terbuang. “Anda harus menempatkan seluruh sumber daya di belakang sebuah peluang, dan segera melompat,” ujar Matthews, sang pemimpin proyek. Sampel mulai dilakukan pada Desember 2007. Empat bulan kemudian Corning meluncur di pasar dan mendapat sambutan antusias.

Itu yang pertama: tim yang solid. Yang kedua, connecting to customer yang juga telah lama dibudayakan. Selama pengembangan Gorilla, Steiner memastikan bahwa para ilmuwan yang terlibat dalam proyek ini bertemu dengan calon pembeli potensial. “Kami harus menciptakan permintaan, dan para ilmuwan kami adalah senjata komersial paling ampuh (untuk memahami pasar),” katanya. Dengan berbincang pada pelanggan secara intens, para peneliti bisa mengantisipasi kebutuhan pasar.

Di lingkungan Corning, sudah menjadi budaya bila para ilmuwan memberikan prototipe produk di tahap awal dalam rangka mencari umpan balik sekaligus kemungkinan pengembangan yang dibutuhkan pasar. Para peneliti Corning memang diminta secara proaktif bertemu dengan para pelanggan, terutama dari perusahaan-perusahaan besar seperti Samsung dan Sony untuk memahami sekaligus mengantisipasi kebutuhan teknologi seperti organic light-emitting diodes (OLEDs) dan televisi 3D.

Rahasia ketiga adalah dukungan total dari jajaran manajemen puncak. Menurut David L. Morse, menghubungkan para ilmuwan dengan pelanggan adalah satu hal. Hal berikutnya yang signifikan adalah kepemimpinan yang memahami pekerjaan para ilmuwan. “Meluncurkan produk,” kata Morse, “itu seperti orang yang memegang air buat para pelari marathon. Mereka harus ada di sisinya, melatihnya, dan berpatisipasi di dalamnya. Kami harus membantu mereka dengan menyediakan seluruh sumber daya.”

Lantaran iklim kerja yang solid serta dukungan atasan yang total, bukan rahasia bila para ilmuwan di Corning akhirnya terkenal enggan berpindah ke “lain hati”. Mereka loyal. “Bahkan setelah pensiun pun mereka sering datang setiap hari,” kata Morse. Dan para pimpinan Corning memfasilitasi para veteran ini. Mereka menciptakan apa yang disebut sebagai program Safe Haven. Lewat program ini, para pensiunan tersebut diperkenankan untuk menulis dan mengajukan proposal penelitian yang akan didanai perusahaan, atau difasilitasi agar bisa didanai pihak lain.

Budaya inilah yang kuat mengakar di dalam tubuh Corning. Dan mereka sangat bangga dengan budaya tersebut. Terbukti, untuk urusan investasi riset dan pengembangan produk, manajemen Corning tak henti mengucurkan dana. Pada saat banyak perusahaan memangkas biaya inovasi bisnisnya, Wendell Weeks mengucurkan hanpir 10% dari pendapatannya untuk RD&E (research, development, and engineering).

Sekarang, Corning fokus mereinvestasikannya pada produk-produk intinya: serat optik, kristal cair dan tentu saja kaca Gorilla Glass. Mereka yakin masa depan cerah di ketiga sektor tersebut. Terlebih pada Gorilla Glass. Mengapa?

“Pada pasar consumer electronics, aspek sentuhan telah menjadi kebutuhan di mana-mana. Bahkan bayi pun main iPad dengan sentuhan. Mereka ini akan tumbuh besar dan berharap bisa mendapat respons dari barang elektronik yang mereka sentuh. Semuanya yang membutuhkan respons sentuhan akan ada di mana-mana, di kulkas, komputer, dan segala hal di sekolah,” kata Morse. Apa artinya? “Perusahaan akan membutuhkan kaca yang tipis dan kuat untuk seluruh aplikasi ini.”

Tapi laiknya lahan yang gurih, tak semua pihak rela Corning merajai segmen layar sentuh ini sendirian. Belakangan, Gorilla Glass mendapat tantangan hebat dari GT Advanced. Perusahaan ini meluncurkan produk dengan merek Sapphire, dan dengan janji serupa: produk layar anti gores dan anti pecah.

Tantangan GT Advanced Technologies tidak main-main. Dalam satu kesempatan pada ajang Mobile World Congress 2013 yang digelar Februari lalu, GT Advanced mendemokan kekuatan material yang dipakai produknya, yakni lembaran batu safir saat digesek secara keras dengan material kasar seperti batu. Hasilnya? Layar Sapphire tetap mulus. Berbeda dengan layar Gorilla Glass menjadi pembanding dalam demo tersebut, yang mudah tergores saat digesek dengan batu.


Sapphire, pesaing berat Corning.
Sumber: Google

Harga Sapphire memang lebih mahal 3 kali lipat dibanding Gorilla Glass. Untuk memasang layar Saphhire pada sebuah smartphone, produsen mesti memayar US$ 15, sementara Gorilla Glass US$ 5. Tapi GT Advanced berkoar produk mereka jauh lebih hebat dibanding keluaran Corning. “Sebagus apapun Gorilla Glass tetaplah kaca yang bisa pecah. Ini berbeda dengan Sapphire. Kendati ponsel terjatuh dari ketinggian dan hancur, Sapphire tidak akan tergores sedikitpun”, ucap Dan Squiller, COO GT Advanced.

Tentu saja pihak Corning tak mau berdiam diri. Belakangan mereka merilis Gorilla Glass 3 yang diklaim lebih unggul dibanding Sapphire. Bagaimana produk ini meyakinkan pasar, tentu masih ditunggu. Tapi Steiner dan timnya kini terus berpacu karena menyadari sekali mereka kalah dari Sapphire yang juga kini masih dalam tahap pengembangan, reputasi yang sudah dibangun lebih dari satu abad akan ternoda. ***