Come on

Follow me @teguhspambudi

Saturday, February 26, 2011

Tumbuh Lebih dari Semusim

Di mana-mana bisnis keluarga seringkali menyajikan drama: jatuh bangkrut atau hidup berlumur sengketa. Toh tetap saja ada yang bertahan dan tumbuh melewati generasi demi generasi.

Kita mungkin sering mendengar tentang tingkat bertahannya bisnis keluarga yang rentan: hanya 30% yang bisa mengalihkan ke generasi kedua, dan cuma 12% yang sanggup menyerahkan ke generasi ketiga.

Faktanya, di pentas global pun kenyataan itu tetap sering terjadi. Banyak perusahaan keluarga yang akhirnya tumbang sebelum genap satu abad. Bahkan ketika para pendirinya pun masih menghirup udara, mereka telah gulung tikar. Tak cukup semusim perusahaan telah tertiup angin.

Awal Februari ini, ambil contoh. Boston Globe melaporkan Harvard Square, perusahaan stationary legendaris akhirnya resmi gulung tikar. Perusahaan milik Mallory Slate (73 tahun) serta saudara laki-lainya itu ditutup karena tidak kunjung mendapat pembeli. Sejak tahun 2009, Slate sudah wara-wiri cari penawar. Tapi para calon pembeli rupanya tidak melihat ada harapan perusahaan ini bisa bersaing dengan kompetitiornya.

Mallory sebelumnya sudah berupaya keras merevitalisasi bisnis keluarganya di pertengahan 1980-an dari tekanan perusahaan pemasok kebutuhan alat tulis kantor berskala besar. Tapi mereka benar-benar tak lagi bisa bersaing. Apa daya, otot-otot finansial mereka kian melemah. Alhasil, jaringan toko mereka di sejumlah tempat, dengan sangat terpaksa, satu persatu memasang tanda: closed.

Pada Boston Globe, Mallory bercerita bahwa lingkugan bisnis sudah tak lagi nyaman buatnya. Di tengah tekanan pesaing yang begitu kuat, dia juga menilai masyarakat tidak lagi banyak menulis dengan tangan serta menggunakan produk-produk berbasis kertas. Sementara itu, anggota keluarga sudah tidak ada yang tertarik. Mereka lebih memilih berkarir di luar dunia ritel. Akhirnya, lonceng kematian pun berdentang. Setelah berdiri 75 tahun, Harvard Square menutup tirainya.

Bisnis keluarga Slate mungkin terhitung kecil. Tapi barangkali dia jauh lebih beruntung dibanding kegegeran di Makau baru-baru ini, dan masih berlangsung hingga sekarang. Stanley Ho, si raja judi Makau, bertempur dengan dua anaknya, Pansy dan Daisy. Mereka memerebutkan saham 31,7% senilai US$ 1,4 miliar di perusahaan kasinonya. Dua anak ini adalah anak dari istri keduanya. Ho sendiri punya 16 anak dari 4 istri. Ho menuduh dua putrinya itu secara ilegal mengambil alih aset-asetnya.

Usia Ho sudah 89 tahun. Tapi untuk urusan bisnis keluarga yang dirintisnya ini, Pak Tua itu rupanya tak mau kompromi. Dia tak mau kekayaannya yang ditaksir Forbes mencapai US$ 3,1 miliar jatuh secara tidak benar. Kekisruhan mereka diperkirakan masih akan berlanjut.

Bisnis keluarga memang sering melahirkan drama. Mari kita geser sedikit ke India. 4 Juli 2004, Priyamvada Birla, janda Madhav Prasad Birla, mangkat. Madhav adalah salah seorang dari Birla bersaudara yang membangun kerajaan bisnis Birla.

Bukan kematiannya yang bikin masalah. Priyamvada membuat ulah begitu surat wasiat dibuka. Rupanya dia mewariskan kekayaannya, termasuk sahamnya di Pilani Investment kepada akuntannya, R. S. Lodha. Dengan wasiat itu, maka otomatis Lodha masuk dalam keluarga Birla. Tanpa ayal, guncanglah Birla Group. Mereka menolak orang dari luar keluarga mengelola perusahaan.

Kericuhan di Birla, ditambah sebelumnya keributan di keluarga Ambani – sengketa bisnis Anil dan Mukesh Ambani –, membuat raksasa-raksasa bisnis India yang kebanyakan adalah perusahaan keluarga kini mulai berpikir serius untuk menata struktur kepemilikan keluarga masing-masing. Bahkan banyak yang membuat roadmap dan family constitution yang mengakomodasi keterlibatan anggota keluarga, mulai dari anak hingga cucu. “Mereka jadi lebih serius,” ujar Salil Bhandari, Mitra Pengelola BGJC, perusahaan konsultan di Delhi. Dengan demikian, kakak-adik boleh saja bertengkar, tapi sistem yang ada tak membuat hubungan persaudaraan pecah, menimbulkan sengketa kepemilikan.

Bisnis keluarga di India, relatif berbeda ketimbang di belahan Barat. Di negeri ini, kebanyakan bisnis keluarga merupakan gabungan dari sejumlah keluarga. Bagi kalangan profesional yang bekerja di sebuah perusahaan keluarga, siap-siap saja mereka menerima pil pahit: memerlukan waktu bertahun-tahun untuk bisa menduduki posisi pengambil keputusan dalam perusahaan.

Lantaran struktur kepemilikan yang melibatkan banyak keluarga, di India bahkan ada anekdot bahwa hasil riset global berlaku di sini: bisnis keluarga tak akan bisa bertahan lebih dari tiga generasi. Sebabnya, tali-temali kepentingan antarkeluarga begitu rumit. Memang tidak ada data yang utuh, tapi bukti menunjukkan riset di atas terjadi. Keluarga Birla pecah setelah 3 generasi. Ambani retak pada generasi ke-2. Sementara Bajaj, seperti halnya Birla, pecah pada generasi ke-3.

Selain struktur kepemilikan yang kompleks, titik picu keributan akhir-akhir ini juga menjadi kian menarik ketika bisnis keluarga di India saling berebut talenta terbaik dengan perusahaan multinasional. Bagi anggota keluarga yang kompeten, mereka bisa seperti mata pedang: menjadi sumber daya bagi keluarganya, atau hengkang ke multinasional. Menimbang persaingan ini, banyak keluarga yang kini sudah mengakomodasi talenta-talenta internal itu sebaik-baiknya. Buat mereka disediakan tempat di masa depan sehingga sang talenta tahu bagaimana peran yang bisa dimainkannya.

Setelah ribut di Birla dan Ambani, pergeseran dalam cara mengelola bisnis keluarga semakin terasa. Selain ada roadmap dan family constitution, kini perusahaan keluarga di India sudah sering melibatkan anak dan cucu untuk bicara perencanaan suksesi. Bila terjadi adu argumen, maka penasehat keluarga akan masuk memberi pandangan. Pergeseran lain adalah melibatkan anak-anak perempuan dalam diskusi tersebut, termasuk membicarakan posisi mereka. Sebelumnya, kebanyakan perusahaan India sangat tabu melakukan ini. Rencana bisnis keluarga biasanya hanya membicarakan nasib anak-anak wanita, bukan melibatkan mereka.

Salah satu grup yang dipuji adalah Godrej Group. Dua anak perempuan Adi Godrej, Tanya Dubash dan Nisa, terlibat aktif dalam grup. Grup Piramal, raksasa kesehatan India, juga menuai puji. Putri Ajay Piramal, Nandini memainkan peran penting saat Piramal membeli bisnis obat generik miliki Abbott. Hal lebih drastis terjadi di keluarga konglomerat Jindal. Kendali operasi konglomerasi itu kini di tangan Savitri Jindal.

Terlepas dari potensi konflik, bisnis keluarga, biar bagaimanapun tetap memiliki kekuatan tersendiri. Di AS, salah satu perusahaan terbesar adalah perusahaan keluarga, Koch Industries. Di dunia fashion, rata-rata raksasa global juga perusahaan keluarga yang sudah kenyang pasang-surut bisnis. L’Oreal dan Louis Vuitton, contohnya. L’Oreal kini makin ekspansif. Ia terus melebarkan sayapnya, terutama ke pasar sedang berkembang, termasuk Indonesia. Begitu pula dengan Louis Vuitton yang kini dipegang sang cucu, Patrick Louis Vuitton. Mereka berupaya terus melaju dalam naungan keluarga. Di luar nama-nama itu, masih ada Ford, Motorolla, News Corp, dan Faber Castell yang sudah melewati 8 generasi.

Bicara tentang kekuatan bisnis keluarga, artikel di majalah Inc tahun 1992 rasanya tetap menarik untuk disimak. Bertajuk Why Family Businesses Are Best, dalam artikel itu disebutkan mengapa bisnis keluarga memiliki kekuatan, yakni karena anggota keluarga mengetahui kualitas satu sama lain, saling menghargai, cenderung lebih bisa berkompromi. Bahkan, ada hubungan telepati yang tidak dimiliki perusahaan non-keluarga lantaran tumbuh bersama.

Di samping nama besar-nama besar seperti disebutkan di atas, salah satu perusahaan keluarga yang dipuji di AS adalah Mrs. G TV and Appliance. Perusahaan berbasis di Lawrenceville, New Jersey ini disebut agak langka karena sanggup bertarung dengan jaringan Lowe’s dan Home Depot.

Dibesut pada 1935 oleh Abe dan Beatrice Greenberg, perusahaan itu kini berada di tangan generasi ke-3. Di tengah gempuran jaringan lokal milik Lowe’s dan Home Depot, perusahaan ini sanggup mencetak penjualan US$ 10 juta. Jumlah pendapatan yang cukup besar untuk sebuah perusahaan keluarga di kota kecil.

Debbie Schaeffer, CEO Mrs. G mengungkap apa rahasia kekuatan bisnis keluarga yang menjadi pilar kesuksesan perusahaannya. Menurutnya, salah satunya adalah fokus pada hubungan satu sama lain untuk menciptakan relationship-based culture. Budaya ini diturunkan dari satu generasi demi generasi. Dari dekade demi dekade, sebagai keluarga mereka berbisnis dengan mengedepankan hubungan yang erat satu sama lain.

Ikatan keluarga yang kuat juga bisa menjadi rem yang pakem untuk saling mengingatkan dan bertindak penuh kehati-hatian (prudence). Inilah yang terjadi pada Firstrust Bank. Bank yang berbasis di Philadelphia ini didirikan keluarga Green tahun 1934. Sementara yang lainnya bertumbangan karena krisis subprime mortgage, Firstrust sanggup melewati gejolak ekonomi tanpa kerugian sedikit pun. “Juga tanpa memerlukan bailout pemerintah atau investasi pihak manapun,” tulis Philadelphia Inquirer, 27 Desember lalu.

Tentu saja plus-minus akan selalu ada dalam bisnis keluarga. Tapi buat bisnis keluarga yang tumbuh melewati generasi demi generasi, lazimnya nilai-nilai keluarga menjadi fondasi yang penting, bahkan kerap di atas kepentingan bisnis itu sendiri, yang seringkali disempitkan hanya untuk menimbun laba. Termasuk salah satu yang dipentingkan itu adalah memelihara hubungan dengan pelanggan.

Dalam konteks ini, Schaeffer punya cerita menarik. “Kakekku adalah pebisnis yang pintar,” ujarnya, “tapi, nenekku adalah orang yang selalu melihat bahwa hubungan baik adalah segalanya. Dia mencintai pelanggan. Jika seseorang datang, membutuhkan kulkas dan tidak bisa membelinya, dia akan duduk dan bicara selama setengah jam, ngobrol tentang keluarga dan pekerjaannya. Kemudian tak berapa lama, pelanggan itu akan keluar dari toko dengan kulkas yang diinginkannya. Nenek cuma bilang, ‘cicil US$ 5 per minggu, ya’.” Schaeffer bilang nilai ini diwariskan generasi demi generasi. Dan dengan tersirat, dia menegaskan bahwa relationship-based culture semacam ini seringkali tak dimiliki perusahaan non-keluarga, apalagi yang telah melewati musim demi musim.

Saturday, February 12, 2011

Membesarkan Bisnis Digital

Untuk melangkah lebih jauh, para digitalpreneur perlu tahap yang mesti dijalani. Uang, bukanlah segalanya.

Digital business. Terdengar keren, bukan? Begitu juga digital entrepreneur. Sebuah label yang enak didengar. Tapi sebagaimana lazimnya wirausahawan, para digitalpreneur – sebutan untuk digital entrepreneur – tak selalu menemui jalan mulus untuk berkembang. Terlebih bagi mereka yang masih berada di level start-up, yang baru melangkah, tahap demi tahap harus dilewati sebelum sukses direguk. Lalu, bagaimana strategi untuk membesarkan bisnis digital yang tengah dibesut?

SWA mewawancarai sejumlah pelaku dan pemerhati dunia bisnis digital untuk mengupas hal di atas. Berikut adalah jurus-jurus praktisnya, yang memfokuskan pada beberapa aspek, yaitu: ide, produk, bisnis model, team work, dan mentalitas.

Pertama: find brilliant idea, find the niche!

Berbisnis di ranah digital, sejatinya sama saja dengan bisnis lainnya. Apapun jenis usaha yang akan dijalani digital entrepreneur, seyogyanya tidaklah sekedar mengekor kompetitor yang malah menambah sesak. Pikirkan ceruk yang mungkin belum dilakukan pihak lain. Atau, kalaupun mau mengambil jalur me-too atau follower, jangan lupa mengimbuhi dengan nilai tambah pada fitur-fiturnya.

Ambil contoh bila ingin masuk ke jalur portal berita. Detik.com telah berdiri kokoh. Menyainginya, perlu infrastruktur yang kuat, setidaknya dari sisi financial dan human capital. Tempointeraktif, Viva News dan Kompas.com bisa berdiri bersaingan dengan dukungan ini, namun mereka tetap harus bisa menyuguhkan diferensiasi, entah itu tampilan atau fiturnya, termasuk komunitas yang digarapnya. Yang kemudian mengambil ceruk lebih ke sisi entertainment adalah Kapanlagi.com atau Okezone. Atau, Fimela.com yang menampilkan tampilan yang clean, sebagai pembeda dari Perempuan.com yang sama-sama mengambil segmen kaum wanita. Sementara itu, pemain lain memilih untuk menjadi news agregator seperti Gresnews.com atau Bataviase. Langkah ini penting karena bertarung terbuka dengan ide yang sama di dunia digital, bisa berujung pada kemandekan jika tak menyuguhkan diferensiasi. Intinya, keluarlah dari red ocean. Contoh ide yang menarik adalah gantibaju.com. Tak seperti pelaku e-commerce lain, ia membuat dan menjual baju dengan cara memanfaatkan crowdsourcing.

Kedua: product, product, product!

Setiap ide akan mewujud pada produk. Tapi sebrilian apapun ide, akan kembali pada sejauh mana produk atau jasa Anda. Pada akhirnya kualitas produk yang akan menentukan diserap tidaknya oleh pasar. Siapa itu pasar? Kastemer, sudah pasti. Karena itu, suara pelanggan laik untuk didengar. Seperti laci, aspirasi mereka harus dibuka. Produsen tak bisa memosisikan dengan asumsi pribadi bahwa produk yang mereka tawarkan adalah yang dibutuhkan pelanggan.

Misalnya Bhinneka.com. Awalnya situs e-commerce ini dikerjakan dengan sangat sederhana, begitu juga dengan varian produknya, lebih pada katalog display semata. Setelah menampung aspirasi pengunjung, Hendrik Tio, founder sekaligus Direktur Pengelola PT Bhinneka Mentari Dimensi mendapati bahwa kebutuhan kastemer semakin kompleks. Tidak sebatas harga, tapi detil spesifikasi produk, informasi stok yang tersedia, juga ingin berinteraksi dengan menyampaikan komentar, dan membandingkan produk satu dengan lainnya.

Hendrik mengakomodasi ini semua, termasuk karakter orang Indonesia yang suka tawar menawar harga. Disediakan kolom bargaining. "Dengan cara seperti itu kami juga tumbuh karena mengetahui keinginan mereka," ujarnya.

Ide hebat, produk pun oke, lantas apakah itu selalu menjajikan uang datang. Ihwal “show me the money” adalah persoalan klasik di dunia bisnis digital. Bahkan Twitter yang hebat pun belum menghasilkan uang, sementara Amazon bertahun-tahun merugi sebelum mencetak laba. Apa kuncinya?

Ketiga: Money? It’s about business model.

Model bisnis. Ini jawabnya. Ada seorang calon digital entrepreneur akan merilis situsnya yang berisi tentang video wawancara orang-orang top. Hebat idenya. Dia pun semangat bercerita tentang gagasannya. Tapi mulutnya langsung bungkam ketika ditanya: dari mana sumber pendapatannya? Apakah orang yang melihat wawancara itu harus membayar? Kalau iklan, siapa yang mau beriklan? Orang-orang itu?

Tantangan terbesar pada digitalpreneur, terutama para start-up, dalam pengamatan Natali Ardianto adalah memusatkan perhatian dari sisi online saja. Artinya, berpikir bahwa dengan situs atau online tools-nya, dia bisa mendatangkan uang. Padahal, “Marketing offline-nya (juga) harus berjalan baik,” tutur Chief Technology Officer PT Warato Indonesia yang juga salah seorang pendiri Urbanesia.

Tapi yang paling mendasar, lanjut Natali, adalah kebanyakan digitalpreneur yang memusatkan sumber pendapatan pada iklan! Seolah-olah, hanya iklanlah yang menjadi sumber uang dari bisnisnya, terutama lewat situsnya. “Mungkin sekitar 70-80% jawabannya advertising. Padahal itu tidak bisa diandalkan,” timpal Andi S. Budiman, konsultan yang sebelumnya menjadi eksekutif PT Mitranet (Mojopia.com) sambil tersenyum. Di sini, orang bisa belajar kecerdasan Groupon dalam membuat model bisnis: mengutip marjin dari berjualan voucher restoran. Bisnis tak mesti seperti Google, si raja iklan. “Kita harus mencari apa yang menjadi masalah dalam masyarakat, kebutuhannya sesungguhnya yang belum terpenuhi,” ujar Natali. Contohnya, dia melanjutkan, direktori supir atau direktori pembantu rumah tangga. Kepandaian melihat apa yang dibutuhkan masyarakat, akan menentukan bangunan model bisnis yang bisa dibuat.

Andi mengamini. Kepada para start-up yang datang untuk berkonsultasi, dia selalu menyarankan agar menyiapkan model bisnisnya terlebih dahulu sebelum meluncurkan bisnis digitalnya. Hingga hari ini, Andi melihat banyak yang jangankan bicara model bisnis, bahkan tidak tahu produk dan jasanya itu untuk siapa.

Keempat: build killer team, the thinker-the seller!

Namun demikian, bisnis model yang bagus akan kurang “greng” jika tak punya kemampuan memasarkan. Di sinilah diperlukan kerjasama yang baik dalam sebuah perusahaan bisnis digital. Ini aspek team work. Maka: buatlah killer team. Bikinlah tim yang bisa menggerakkan bisnis. Dan ini lazimnya akan kembali pada para founder. Upayakan, para pendiri adalah gabungan antara the thinker, the seller. Misalnya, kata Natali, co-founder pertama orang TI, co-founder kedua harus orang bisnis (marketing atau sales). Karena jika semua orang teknik, yang tidak ada yang memikirkan aspek penjualan.

Untuk urusan pemasaran itu sendiri, Daniel Haryanto dan Prasetiya Mulya Business School Pemasaran melihat bahwa keberhasilan digitalpreneur akan ditentukan sejauhmana kemampuan mereka mengolah strategi dengan fokus dan banyak berrinovasi. Salah satunya dengan menggunakan jejaring sosial media untuk menyebar info, viral marketing dan word of mouth. Sarannya: pandai-pandailah menggunakan tools yang ada dalam hal membangun relasi dengan kastemer sesuai segmen yang disasar.

Anggaplah produk, model bisnis, dan kemampuan memasarkan sudah oke punya, laba pun sudah diraih. Lalu bagaimana dengan membesarkan bisnis? Haruskah mendatangkan investor?

Kelima: Need investor? Think it again! Look at your vision!

Disadari atau tidak, ada semacam kecenderungan di kalangan para digitalpreneur untuk segera meluncurkan bisnisnya, untuk kemudian 2-3 tahun kemudian mencari angel investor. Bahkan ada yang dari awal sudah ingin menjual bisnisnya. Kebanyakan mereka memang bercermin dari nasib pemain sejenis di mancanegara yang diguyur uang pada investor. Terlebih di dalam negeri pun sudah ada presedennya seperti Koprol diakuisisi Yahoo! Atau Urbanesia yang diinjeksi East Venture.

“Investor itu sebenarnya kan cari keuntungan, kalau bisnisnya dinilai bisa menghasilkan revenue, pastinya akan di akuisisi,” kata Natali. Dia menyarankan para digitalpreneur, terlebih mereka yang start-up, tidak perlu tergesa-gesa mencari investor. Jika terburu-buru mencari investor, katanya, itu justru menunjukkan perusahaannya tengah bermasalah, atau kekurangan dana. Dia yakin, bila bisnisnya bagus, investor akan datang dengan sendirinya.

Fakta memang menyatakan demikian. Investor masa kini tak seperti jaman dotcom bubble satu dekade lampau. Sekarang mereka lebih kritis melihat potensi sebuah bisnis digital, terutama model bisnisnya. Tapi, kalaupun ada investor yang datang, sang digitalpreneur juga mesti bertanya: apa memang saya butuh investor? Adakah sumber pendanaan lain? Bank, misalnya. Investor pastinya memiliki kehendak tertentu – minimal menempatkan orang – sehingga situasi akan lebih kompleks bagi digitapreneur karena ada aspek kontrol pihak luar.

Beberapa waktu lalu, investor dari Afrika Selatan, Naspers berencana membeli sebuah bisnis digital buatan anak Indonesia. Harga yang ditawar cukup bagus, ditambah agio saham. Tapi sang digitalpreneur justru yang kebingungan. Dia tak tahu mau diapakan uang miliaran rupiah itu.

Dana memang penting. Untuk berkembang, investor bisa diperlukan, bisa juga tidak dibutuhkan, tergantung situasinya. Tapi kasus ini, merujuk pendapat Daniel Haryanto, menunjukkan betapa pentingnya visi seorang digitalpreneur. Dia harus tahu mau diapakan dan dikemanakan bisnisnya sehingga bisa menakar sejauh mana kebutuhannya akan financial capital.

Ambil misal Tokobagus.com. Arnold Sebastian dan Remco Hendrik Lupker membesut Tokobagus.com pada tahun 2003. Tapi situs ini tidak langsung dikibarkan karena menunggu pasar e-commerce menggeliat. Baru pada 2005, setelah e-commerce mulai hidup, situs dimana perusahaan dan perorangan dapat menjual serta membeli produk maupun jasa ini diluncurkan. Kini, seiring membesarnya bisnis, para pendiri melihat pentingnya Jakarta sebagai pusat operasi. Kantornya yang semula di Denpasar, Bali, mulai Januari 2011 dipindahkan ke Jakarta. “Kami mempertimbangkan akses yang lebih mudah jika di Jakarta,” kata Arnold. Di Ibu kota, Tokobagus.com akan lebih mudah mengadakan koordinasi dengan mitra bisnis yang kian membesar. Inilah visi.

Visi seorang digitalpreneur sangat menentukan. Uang bukanlah segalanya. Uang justru bisa jadi sumber masalah bila diasumsikan bahwa dengan uang, kejayaan bisa diraih. Untuk berkembang, selain diperlukan uang, juga kemampuan pengelolaan manusia, pengetahuan serta tekonologi yang berkembang pesat. Di sinilah sudah selayaknya para digitalpreneur memiliki mentor yang bisa membimbingnya. Tentunya mentor yang benar. Dengan bimbingan yang tepat, maka bisnis akan bisa berkembang lebih pesat lagi.

Pokoknya, seperti disarankan Hendrik Tio, bisnis digital sejatinya seperti bisnis lain: perlu sebuah proses. Jangan pernah berpikir untuk segera sukses. Bintang-bintang top kelas dunia, macam Google, Facebook, dan Twitter pun perlu proses yang harus dijalani. Proses yang di dalamnya berisikan: ketekunan dan kejelian membaca arah pasar. Mentalitas laiknya seorang entrepreneur. ***

=====================

Lima “I” Bagi Investor

Apa yang dipertimbangkan investor ketika akan masuk digital bisnis?

Kevin Sanjoto, investor yang mengucurkan uang untuk Golfnesia.com, menjelaskan bahwa yang menjadi pertimbangan investor untuk mau menyuntik modal adalah prinsip 5 “I”, yakni: Idea, Inovation, Integration, Implementation, dan Improvement.

Idea berarti memiliki konsep yang menarik dan memiliki peluang yang kuat. Inovation adalah kemampuan melakukan terobosan ide menjadi sebuah kesempatan bisnis. Integration adalah kemampuan melakukan integrasi ide tersebut dalam bentuk web, platform atau aplikasi. Singkatnya, ada transformasi ide ke wujud nyata. Implementation menyangkut kesanggupan pebisnis untuk melakukan implementasi dalam arti luas, dimana tidak terbatas dalam sistem dan platform tetapi juga pemasaran. Terakhir, improvement, kemampuan dan kegigihan untuk melakukan perbaikan dari beberapa prinsip di atas. “Dengan memegang prinsip tersebut, saya yakin investor akan mudah sumringah," katanya. ***



Catatan: tulisan lebih lengkap tertuang di SWA edisi 17 Februari 2011. Thanks to Ario, Herning, Rias dan Dian.