Come on

Follow me @teguhspambudi

Saturday, February 12, 2011

Membesarkan Bisnis Digital

Share this history on :

Untuk melangkah lebih jauh, para digitalpreneur perlu tahap yang mesti dijalani. Uang, bukanlah segalanya.

Digital business. Terdengar keren, bukan? Begitu juga digital entrepreneur. Sebuah label yang enak didengar. Tapi sebagaimana lazimnya wirausahawan, para digitalpreneur – sebutan untuk digital entrepreneur – tak selalu menemui jalan mulus untuk berkembang. Terlebih bagi mereka yang masih berada di level start-up, yang baru melangkah, tahap demi tahap harus dilewati sebelum sukses direguk. Lalu, bagaimana strategi untuk membesarkan bisnis digital yang tengah dibesut?

SWA mewawancarai sejumlah pelaku dan pemerhati dunia bisnis digital untuk mengupas hal di atas. Berikut adalah jurus-jurus praktisnya, yang memfokuskan pada beberapa aspek, yaitu: ide, produk, bisnis model, team work, dan mentalitas.

Pertama: find brilliant idea, find the niche!

Berbisnis di ranah digital, sejatinya sama saja dengan bisnis lainnya. Apapun jenis usaha yang akan dijalani digital entrepreneur, seyogyanya tidaklah sekedar mengekor kompetitor yang malah menambah sesak. Pikirkan ceruk yang mungkin belum dilakukan pihak lain. Atau, kalaupun mau mengambil jalur me-too atau follower, jangan lupa mengimbuhi dengan nilai tambah pada fitur-fiturnya.

Ambil contoh bila ingin masuk ke jalur portal berita. Detik.com telah berdiri kokoh. Menyainginya, perlu infrastruktur yang kuat, setidaknya dari sisi financial dan human capital. Tempointeraktif, Viva News dan Kompas.com bisa berdiri bersaingan dengan dukungan ini, namun mereka tetap harus bisa menyuguhkan diferensiasi, entah itu tampilan atau fiturnya, termasuk komunitas yang digarapnya. Yang kemudian mengambil ceruk lebih ke sisi entertainment adalah Kapanlagi.com atau Okezone. Atau, Fimela.com yang menampilkan tampilan yang clean, sebagai pembeda dari Perempuan.com yang sama-sama mengambil segmen kaum wanita. Sementara itu, pemain lain memilih untuk menjadi news agregator seperti Gresnews.com atau Bataviase. Langkah ini penting karena bertarung terbuka dengan ide yang sama di dunia digital, bisa berujung pada kemandekan jika tak menyuguhkan diferensiasi. Intinya, keluarlah dari red ocean. Contoh ide yang menarik adalah gantibaju.com. Tak seperti pelaku e-commerce lain, ia membuat dan menjual baju dengan cara memanfaatkan crowdsourcing.

Kedua: product, product, product!

Setiap ide akan mewujud pada produk. Tapi sebrilian apapun ide, akan kembali pada sejauh mana produk atau jasa Anda. Pada akhirnya kualitas produk yang akan menentukan diserap tidaknya oleh pasar. Siapa itu pasar? Kastemer, sudah pasti. Karena itu, suara pelanggan laik untuk didengar. Seperti laci, aspirasi mereka harus dibuka. Produsen tak bisa memosisikan dengan asumsi pribadi bahwa produk yang mereka tawarkan adalah yang dibutuhkan pelanggan.

Misalnya Bhinneka.com. Awalnya situs e-commerce ini dikerjakan dengan sangat sederhana, begitu juga dengan varian produknya, lebih pada katalog display semata. Setelah menampung aspirasi pengunjung, Hendrik Tio, founder sekaligus Direktur Pengelola PT Bhinneka Mentari Dimensi mendapati bahwa kebutuhan kastemer semakin kompleks. Tidak sebatas harga, tapi detil spesifikasi produk, informasi stok yang tersedia, juga ingin berinteraksi dengan menyampaikan komentar, dan membandingkan produk satu dengan lainnya.

Hendrik mengakomodasi ini semua, termasuk karakter orang Indonesia yang suka tawar menawar harga. Disediakan kolom bargaining. "Dengan cara seperti itu kami juga tumbuh karena mengetahui keinginan mereka," ujarnya.

Ide hebat, produk pun oke, lantas apakah itu selalu menjajikan uang datang. Ihwal “show me the money” adalah persoalan klasik di dunia bisnis digital. Bahkan Twitter yang hebat pun belum menghasilkan uang, sementara Amazon bertahun-tahun merugi sebelum mencetak laba. Apa kuncinya?

Ketiga: Money? It’s about business model.

Model bisnis. Ini jawabnya. Ada seorang calon digital entrepreneur akan merilis situsnya yang berisi tentang video wawancara orang-orang top. Hebat idenya. Dia pun semangat bercerita tentang gagasannya. Tapi mulutnya langsung bungkam ketika ditanya: dari mana sumber pendapatannya? Apakah orang yang melihat wawancara itu harus membayar? Kalau iklan, siapa yang mau beriklan? Orang-orang itu?

Tantangan terbesar pada digitalpreneur, terutama para start-up, dalam pengamatan Natali Ardianto adalah memusatkan perhatian dari sisi online saja. Artinya, berpikir bahwa dengan situs atau online tools-nya, dia bisa mendatangkan uang. Padahal, “Marketing offline-nya (juga) harus berjalan baik,” tutur Chief Technology Officer PT Warato Indonesia yang juga salah seorang pendiri Urbanesia.

Tapi yang paling mendasar, lanjut Natali, adalah kebanyakan digitalpreneur yang memusatkan sumber pendapatan pada iklan! Seolah-olah, hanya iklanlah yang menjadi sumber uang dari bisnisnya, terutama lewat situsnya. “Mungkin sekitar 70-80% jawabannya advertising. Padahal itu tidak bisa diandalkan,” timpal Andi S. Budiman, konsultan yang sebelumnya menjadi eksekutif PT Mitranet (Mojopia.com) sambil tersenyum. Di sini, orang bisa belajar kecerdasan Groupon dalam membuat model bisnis: mengutip marjin dari berjualan voucher restoran. Bisnis tak mesti seperti Google, si raja iklan. “Kita harus mencari apa yang menjadi masalah dalam masyarakat, kebutuhannya sesungguhnya yang belum terpenuhi,” ujar Natali. Contohnya, dia melanjutkan, direktori supir atau direktori pembantu rumah tangga. Kepandaian melihat apa yang dibutuhkan masyarakat, akan menentukan bangunan model bisnis yang bisa dibuat.

Andi mengamini. Kepada para start-up yang datang untuk berkonsultasi, dia selalu menyarankan agar menyiapkan model bisnisnya terlebih dahulu sebelum meluncurkan bisnis digitalnya. Hingga hari ini, Andi melihat banyak yang jangankan bicara model bisnis, bahkan tidak tahu produk dan jasanya itu untuk siapa.

Keempat: build killer team, the thinker-the seller!

Namun demikian, bisnis model yang bagus akan kurang “greng” jika tak punya kemampuan memasarkan. Di sinilah diperlukan kerjasama yang baik dalam sebuah perusahaan bisnis digital. Ini aspek team work. Maka: buatlah killer team. Bikinlah tim yang bisa menggerakkan bisnis. Dan ini lazimnya akan kembali pada para founder. Upayakan, para pendiri adalah gabungan antara the thinker, the seller. Misalnya, kata Natali, co-founder pertama orang TI, co-founder kedua harus orang bisnis (marketing atau sales). Karena jika semua orang teknik, yang tidak ada yang memikirkan aspek penjualan.

Untuk urusan pemasaran itu sendiri, Daniel Haryanto dan Prasetiya Mulya Business School Pemasaran melihat bahwa keberhasilan digitalpreneur akan ditentukan sejauhmana kemampuan mereka mengolah strategi dengan fokus dan banyak berrinovasi. Salah satunya dengan menggunakan jejaring sosial media untuk menyebar info, viral marketing dan word of mouth. Sarannya: pandai-pandailah menggunakan tools yang ada dalam hal membangun relasi dengan kastemer sesuai segmen yang disasar.

Anggaplah produk, model bisnis, dan kemampuan memasarkan sudah oke punya, laba pun sudah diraih. Lalu bagaimana dengan membesarkan bisnis? Haruskah mendatangkan investor?

Kelima: Need investor? Think it again! Look at your vision!

Disadari atau tidak, ada semacam kecenderungan di kalangan para digitalpreneur untuk segera meluncurkan bisnisnya, untuk kemudian 2-3 tahun kemudian mencari angel investor. Bahkan ada yang dari awal sudah ingin menjual bisnisnya. Kebanyakan mereka memang bercermin dari nasib pemain sejenis di mancanegara yang diguyur uang pada investor. Terlebih di dalam negeri pun sudah ada presedennya seperti Koprol diakuisisi Yahoo! Atau Urbanesia yang diinjeksi East Venture.

“Investor itu sebenarnya kan cari keuntungan, kalau bisnisnya dinilai bisa menghasilkan revenue, pastinya akan di akuisisi,” kata Natali. Dia menyarankan para digitalpreneur, terlebih mereka yang start-up, tidak perlu tergesa-gesa mencari investor. Jika terburu-buru mencari investor, katanya, itu justru menunjukkan perusahaannya tengah bermasalah, atau kekurangan dana. Dia yakin, bila bisnisnya bagus, investor akan datang dengan sendirinya.

Fakta memang menyatakan demikian. Investor masa kini tak seperti jaman dotcom bubble satu dekade lampau. Sekarang mereka lebih kritis melihat potensi sebuah bisnis digital, terutama model bisnisnya. Tapi, kalaupun ada investor yang datang, sang digitalpreneur juga mesti bertanya: apa memang saya butuh investor? Adakah sumber pendanaan lain? Bank, misalnya. Investor pastinya memiliki kehendak tertentu – minimal menempatkan orang – sehingga situasi akan lebih kompleks bagi digitapreneur karena ada aspek kontrol pihak luar.

Beberapa waktu lalu, investor dari Afrika Selatan, Naspers berencana membeli sebuah bisnis digital buatan anak Indonesia. Harga yang ditawar cukup bagus, ditambah agio saham. Tapi sang digitalpreneur justru yang kebingungan. Dia tak tahu mau diapakan uang miliaran rupiah itu.

Dana memang penting. Untuk berkembang, investor bisa diperlukan, bisa juga tidak dibutuhkan, tergantung situasinya. Tapi kasus ini, merujuk pendapat Daniel Haryanto, menunjukkan betapa pentingnya visi seorang digitalpreneur. Dia harus tahu mau diapakan dan dikemanakan bisnisnya sehingga bisa menakar sejauh mana kebutuhannya akan financial capital.

Ambil misal Tokobagus.com. Arnold Sebastian dan Remco Hendrik Lupker membesut Tokobagus.com pada tahun 2003. Tapi situs ini tidak langsung dikibarkan karena menunggu pasar e-commerce menggeliat. Baru pada 2005, setelah e-commerce mulai hidup, situs dimana perusahaan dan perorangan dapat menjual serta membeli produk maupun jasa ini diluncurkan. Kini, seiring membesarnya bisnis, para pendiri melihat pentingnya Jakarta sebagai pusat operasi. Kantornya yang semula di Denpasar, Bali, mulai Januari 2011 dipindahkan ke Jakarta. “Kami mempertimbangkan akses yang lebih mudah jika di Jakarta,” kata Arnold. Di Ibu kota, Tokobagus.com akan lebih mudah mengadakan koordinasi dengan mitra bisnis yang kian membesar. Inilah visi.

Visi seorang digitalpreneur sangat menentukan. Uang bukanlah segalanya. Uang justru bisa jadi sumber masalah bila diasumsikan bahwa dengan uang, kejayaan bisa diraih. Untuk berkembang, selain diperlukan uang, juga kemampuan pengelolaan manusia, pengetahuan serta tekonologi yang berkembang pesat. Di sinilah sudah selayaknya para digitalpreneur memiliki mentor yang bisa membimbingnya. Tentunya mentor yang benar. Dengan bimbingan yang tepat, maka bisnis akan bisa berkembang lebih pesat lagi.

Pokoknya, seperti disarankan Hendrik Tio, bisnis digital sejatinya seperti bisnis lain: perlu sebuah proses. Jangan pernah berpikir untuk segera sukses. Bintang-bintang top kelas dunia, macam Google, Facebook, dan Twitter pun perlu proses yang harus dijalani. Proses yang di dalamnya berisikan: ketekunan dan kejelian membaca arah pasar. Mentalitas laiknya seorang entrepreneur. ***

=====================

Lima “I” Bagi Investor

Apa yang dipertimbangkan investor ketika akan masuk digital bisnis?

Kevin Sanjoto, investor yang mengucurkan uang untuk Golfnesia.com, menjelaskan bahwa yang menjadi pertimbangan investor untuk mau menyuntik modal adalah prinsip 5 “I”, yakni: Idea, Inovation, Integration, Implementation, dan Improvement.

Idea berarti memiliki konsep yang menarik dan memiliki peluang yang kuat. Inovation adalah kemampuan melakukan terobosan ide menjadi sebuah kesempatan bisnis. Integration adalah kemampuan melakukan integrasi ide tersebut dalam bentuk web, platform atau aplikasi. Singkatnya, ada transformasi ide ke wujud nyata. Implementation menyangkut kesanggupan pebisnis untuk melakukan implementasi dalam arti luas, dimana tidak terbatas dalam sistem dan platform tetapi juga pemasaran. Terakhir, improvement, kemampuan dan kegigihan untuk melakukan perbaikan dari beberapa prinsip di atas. “Dengan memegang prinsip tersebut, saya yakin investor akan mudah sumringah," katanya. ***



Catatan: tulisan lebih lengkap tertuang di SWA edisi 17 Februari 2011. Thanks to Ario, Herning, Rias dan Dian.

0 comments: