Penjualan Samsung Galaxy S 3 yang
laris manis mengingatkan peristiwa sekitar tahun 1998. Saat itu saya baru punya
handphone Samsung SGH 100 dengan membeli kartu perdana Telkomsel Rp 500 ribu
dan persyaratan KTP serta tetek bengek lainnya. Beda betul dengan jaman
sekarang yang begitu gampang beli kartu perdana. Dengan harga murah pula: Rp
5000.
Tapi bukan itu isunya. Waktu itu
Samsung baru muncul. Sang Raja adalah Nokia. Saya ingat seorang kawan yang pegang
Samsung karena fasilitas kantor diminta segera mengganti ponselnya oleh seorang
distributor Nokia. Tak cuma meminta untuk mengganti, sang distributor malah
langsung membawa ponsel Nokia. “Nih Mas. Ini baru handphone. Apa itu Samsung?
Samsung kan kulkas, tv. Bukan handphone,” begitu katanya.
Jaman berganti. Sekarang siapa
yang berani bilang seperti itu?
Tapi Samsung memang awalnya
diremehkan. Sea Jin-Chang, dalam bukunya yang menarik, Sony vs Samsung (2008), mencatat bahwa sampai awal 1990-an, Samsung
Electronics hanyalah sebuah perusahaan asal Asia yang tidak jelas. Perusahaan
yang berdiri pada 1969 sebagai anak usaha Samsung Group ini cuma dikenal
sebagai eksportir produk OEM yang sifatnya generik, bahkan penghasil produk
memancing yang dijual ke toko-toko diskon seperti Sears, Wal-Mart, dan K-mart.
Saat itu, kendati mencetak laba
bersih, Samsung Electronics tidak memiliki produk elektronik yang mengagumkan.
Ia tak bisa mencetak TV layar lebar atau proyektor yang memukau. Namun, hal itu
rupanya hanya perkara waktu. Beberapa tahun kemudian, Samsung mengejutkan dunia
dengan TV plasma, LCD, serta produk-produk elektronik lainnya, termasuk telepon
genggam. Samsung bahkan mampu menaklukkan Sony di beberapa segmen produk, dan
menjadi salah satu perusahaan yang paling mengagumkan di dunia versi BusinessWeek.
From zero to hero. Begitulah Samsung dijuluki.
Apa kunci Samsung melakukan hal
tersebut?
Satu faktor utama adalah
kompetensi inti. Samsung bergerak dengan penguasaan pada industri semi
konduktor. Penguasaannya pada hal tersebut mengantarkan perusahaan yang
didirikan Byung-chull Lee itu sanggup memproduksi beragam produk elektronik
kelas dunia. Ia bahkan menjadi salah satu pemimpin pasar dunia untuk sektor TV
LCD dan plasma. Belakangan, Samsung malah mampu mengobrak-abrik pasar smartphone lewat seri Samsung Galaxy dan
ikut gelombang pasar tablet dengan sistem operasi Android, menyaingi iPad.
Tahun 2011, Samsung memasarkan 300 juta handset,
rekor untuk perusahaan Negeri Ginseng tersebut.
Sedikit merujuk ke ranah
akademisi. Perihal kompetensi inti, konsep tersebut secara literer boleh dikata
diperkenalkan pertama kali pada tahun 1990 oleh C. K. Prahalad dan Gary Hamel.
Dua akademisi itu menulis hal berikut:
Core competencies are the collective learning in the organisation,
especially how to coordinate diverse production skills and integrate multiple
streams of technologies...core competence is communication, involvement and a
deep commitment to working across organisational boundaries...core competence
does not diminish with use. Unlike physical assets, which do deteriorate over
time, competencies are enhanced as they are applied and shared.
Bagi keduanya, kompetensi inti
akan memberikan sejumlah keunggulan bagi perusahaan. Pertama, akses ke beragam
pasar. Lalu, kedua, menciptakan persepsi di benak konsumen tentang kehebatan
produk yang dihasilkan. Dan ketiga, kompetensi inti adalah hal yang sulit untuk
diimitasi pesaing karena merupakan harmonisasi yang kompleks antara apa yang
disebut Prahalad dan Hamel sebagai individual
technologies and production skills.
Seperti halnya sebuah pohon,
demikian keduanya menggambarkan, kompetensi inti adalah akar. Ia akan berbuah,
menghasilkan core product, dan pada
gilirannya memunculkan produk-produk lain, yang kelak bisa diwadahi dalam
unit-unit bisnis yang berdiri terpisah seiring pertumbuhan bisnis. Perusahaan
yang sanggup mempertahankan dominasi di core
product, lanjut kedua akademisi tersebut, akan memiliki kekuatan yang bisa
menentukan evolusi produk inti (core
product). Dan menimbang dinamika bisnis yang begitu cepat serta sukar
diprediksi, perusahaan disarankan untuk memfokuskan diri pada kompetensi inti
masing-masing, seraya mengalihdayakan (outsource)
hal-hal yang dipandang bukan menjadi kompetensi intinya.
Di tempat lain, kompetensi pula
yang mengantarkan Apple menapak sukses seraya menahbiskan diri sebagai salah satu
perusahaan paling inovatif di dunia. Kemampuan mendiang Steve Jobs dalam urusan
software serta desain membuatnya
meninggalkan para pesaing. Sejumlah karyanya sangat memukau, diperbincangkan
dan selalu ditunggu-tunggu. Salah satu masterpiece-nya,
iPod bahkan sanggup merevolusi apa yang sebelumnya merupakan sebuah inovasi
besar: walkman karya masterpiece
dari Akio Morita, sang pendiri Sony.
Dengan kompetensinya, Apple kini
menghujani publik dengan produk yang beragam, dan dengan persepsi produk yang
bermutu tinggi: enak dipandang plus canggih. Sekarang, siapa tak mengenal
iPhone, iPod, MacBooks, dan iMac?
Kompetensi pada peranti lunak
serta desain membuat Apple fokus pada apa yang disebut Prahalad dan Hamel
sebagai hal-hal yang esensial dalam bisnis yang digelutinya. Bagaimana dengan
aspek bisnis lainnya?
Steve Jobs menunjukkan bahwa
untuk hal-hal yang bukan kompetensi inti, perusahaan bisa mengadopsi yang
terbaik, yang menjadi standar dalam industri yang digeluti.
Tahun 1996, setelah kembali ke
Apple dan diangkat menjadi CEO Apple, Jobs merekrut mantan eksekutif IBM dan
Compaq, Timothy Cook untuk membenahi rantai pasokan. Tanpa membuang waktu, yang
selanjutkan dilakukan Cook adalah meng-copy
apa yang dilakukan Dell guna mengefisienkan channel
inventory-nya. Pada ujung distribusi, Apple sukses mengaplikasi direct-to-customer channels seperti
lewat online sales dan dedicated stores yang sekarang kian
menjamur dengan nama Apple Store. Di Apple Store itulah, seluruh produk
inovatif kreasi Jobs dipajang dengan tingkat turn over yang tinggi karena selalu diserbu konsumen.
Apple tidak mengambil langkah
seperti halnya Gateway yang pendekatannya dijuluki “shoot-anything-that-moves”. Gateway berawal sebagai process innovator, lalu seperti halnya
Dell, menjadi pelopor direct distribution
di sektor personal computer. Tak
berhenti di sini, Gateway juga berupaya menjadi product differentiator, dengan cara mempertahankan pabrik-pabriknya
yang mahal, lebih banyak berinvestasi ketimbang Dell di R&D, dan menggelar
kampanye iklan yang mahal.
Sayang, dengan mencoba berinovasi
di segala hal, Gateway justru gagal membangun competitive advantage yang kuat di segala lini. Gateway tak
berhasil menciptakan produk yang berbeda untuk keluar dari perangkap
persaingan, malah dililit biaya operasi yang lebih mahal.
Kompetensi inti adalah penguasaan
pada lini antara proses dan produk, sekaligus teknologi yang menopang di
belakangnya.
Di bawah kendali Jobs, tim
produksi Apple menguasai peranti lunak dan piawai dalam melahirkan desain yang
menarik. Namun, bukan berarti Apple mesti menghasilkan segalanya. Dalam
menciptakan iPod, umpamanya. Bahkan iPod yang merevolusi music media player membutuhkan tambahan komponen dari pihak lain: basic circuitry dari PortalPlayer, hard drive mini dari Toshiba, baterai
dari Sony, dan digital-to-analog
converter dari Wolfson.
Untuk merangkai inovasinya yang
brilian itu, Apple fokus pada aspek yang menjadi kekuatannya, yakni rekayasa
serta integrasi hardware-software,
dan desain yang elegan. Kini, tidaklah mudah untuk mengimitasi kehebatan Apple
yang punya skill sekaligus model
bisnis yang sanggup mengikat beberapa produk mulai dari music player (iPod), PC yang keren (MacBook), aplikasi yang elegan
untuk memainkan dan mengorganisasi file musik (iTunes), termasuk
toko-toko online berisi lagu-lagu dari seluruh studio rekaman terkemuka (iTunes
Music Store) dalam satu simpul. Kini, siapa sanggup tandingi Apple untuk
melakukan itu semua?
Juni 2012, pencipta iPhone dan
iPad itu telah menyisihkan raksasa minyak Exxon Mobil sebagai perusahaan paling
menguntungkan di dunia, berdasarkan nilai sahamnya. Per 5 Juni 2012, saham
Apple terakhir diperdagangkan pada US$ 363,69 per saham, dengan nilai total
kapitalisasi pasar US$ 337,2 miliar. Sebaliknya saham Exxon Mobil berada di
posisi US$ 68,03 dolar per saham, dengan nilai kapitalisasi pasar US$ 330,8
miliar. Pada 29 Februari 2012, nilai kapitalisasi pasar Apple bahkan pernah
mencapai US$ 500 miliar dengan harga saham US$ 628,44/lembar. Apple memang belum
melampaui rekor yang dicatat Microsoft pada tahun 1999. Perusahaan komputer
milik Bill Gates ini mencatatkan kapitalisasi senilai US$ 846 miliar. Tapi
sekarang kapitalisasinya hanya US$ 255 miliar. Apple meraih kejayaan lewat
kompetensinya.
Di tempat lain, dan dalam
skalanya tersendiri, hal serupa juga ditempuh HTC. Handset-maker dari Taiwan ini terus berjaya dan memesona dunia
lewat produk-produk telepon selulernya termasuk yang sudah berteknologi layar
sentuh.
Dirunut ke belakang, perusahaan
ini bisa melakukan hal demikian karena seperti halnya Samsung, HTC lama menjadi
original design manufacturer (ODM)
dan secara diam-diam mengembangkan high-end
smartphones untuk sejumlah operator telepon kelas dunia, termasuk Verizon
serta Orange.
Masuknya HTC ke handset telepon adalah lewat pemikiran
yang matang. Mulanya, ketika didirikan pada 1997, perusahaan yang dimiliki Cher
Wang ini berencana membuat laptop. Terlebih, CEO-nya, Peter Chou lama berkiprah
di Digital Equipment Corporation (DEC), produsen komputer legendaris. Akan
tetapi, karena melihat masa depan terletak pada internet mobile dan devices yang mendukungnya, maka laju HTC
diarahkan ke sana. Dengan kompetensinya, perusahaan ini mendeklarasikan
kesanggupannya pada perusahaan Barat untuk mendesain dan membuat high-end hand-helds serta mobile phones. iPaq adalah produksi
pertama HTC.
Menyadari kompetensinya sebagai original design manufacturer, pada tahun
2006 HTC mulai mengembangkan mereknya sendiri dengan seluruh risiko yang ada.
Dikatakan risiko karena manajemen harus meyakinkan pemegang saham dan hilangnya
existing business lantaran sejumlah
pelanggan menganggapnya sebagai rival. Toh fakta bicara, hanya dalam 3 tahun,
HTC kini semakin berkibar dengan produk-produknya. Peter Chou bahkan
terang-terangan menyatakan ingin perusahaannya setenar Apple, raksasa smartphone.
Yang menarik, di tengah kejayaan
yang ada, Peter Chou telah melihat tantangan berat telah menghadang: marjin
yang menciut karena hadirnya para pemain dari China dengan keunggulan labour cost-nya. Cara menghadangnya,
"We need to establish a new
competency before we get into trouble," terang Chou (The Economist, 9 Juli 2009). Dan HTC
telah membuktikan diri lewat produk-produk barunya seperti HTC Sense yang
memukau.
So, kompetensi. Itulah kuncinya, bro! jangan pernah main-main dengan kompetensi inti! Juga, jangan
pernah sombong kala di atas.
0 comments:
Post a Comment