Come on

Follow me @teguhspambudi

Friday, June 8, 2012

Kuncinya: Kompetensi Inti

Share this history on :




Penjualan Samsung Galaxy S 3 yang laris manis mengingatkan peristiwa sekitar tahun 1998. Saat itu saya baru punya handphone Samsung SGH 100 dengan membeli kartu perdana Telkomsel Rp 500 ribu dan persyaratan KTP serta tetek bengek lainnya. Beda betul dengan jaman sekarang yang begitu gampang beli kartu perdana. Dengan harga murah pula: Rp 5000.

Tapi bukan itu isunya. Waktu itu Samsung baru muncul. Sang Raja adalah Nokia. Saya ingat seorang kawan yang pegang Samsung karena fasilitas kantor diminta segera mengganti ponselnya oleh seorang distributor Nokia. Tak cuma meminta untuk mengganti, sang distributor malah langsung membawa ponsel Nokia. “Nih Mas. Ini baru handphone. Apa itu Samsung? Samsung kan kulkas, tv. Bukan handphone,” begitu katanya.

Jaman berganti. Sekarang siapa yang berani bilang seperti itu?

Tapi Samsung memang awalnya diremehkan. Sea Jin-Chang, dalam bukunya yang menarik, Sony vs Samsung (2008), mencatat bahwa sampai awal 1990-an, Samsung Electronics hanyalah sebuah perusahaan asal Asia yang tidak jelas. Perusahaan yang berdiri pada 1969 sebagai anak usaha Samsung Group ini cuma dikenal sebagai eksportir produk OEM yang sifatnya generik, bahkan penghasil produk memancing yang dijual ke toko-toko diskon seperti Sears, Wal-Mart, dan K-mart.

Saat itu, kendati mencetak laba bersih, Samsung Electronics tidak memiliki produk elektronik yang mengagumkan. Ia tak bisa mencetak TV layar lebar atau proyektor yang memukau. Namun, hal itu rupanya hanya perkara waktu. Beberapa tahun kemudian, Samsung mengejutkan dunia dengan TV plasma, LCD, serta produk-produk elektronik lainnya, termasuk telepon genggam. Samsung bahkan mampu menaklukkan Sony di beberapa segmen produk, dan menjadi salah satu perusahaan yang paling mengagumkan di dunia versi BusinessWeek.

From zero to hero. Begitulah Samsung dijuluki.

Apa kunci Samsung melakukan hal tersebut?

Satu faktor utama adalah kompetensi inti. Samsung bergerak dengan penguasaan pada industri semi konduktor. Penguasaannya pada hal tersebut mengantarkan perusahaan yang didirikan Byung-chull Lee itu sanggup memproduksi beragam produk elektronik kelas dunia. Ia bahkan menjadi salah satu pemimpin pasar dunia untuk sektor TV LCD dan plasma. Belakangan, Samsung malah mampu mengobrak-abrik pasar smartphone lewat seri Samsung Galaxy dan ikut gelombang pasar tablet dengan sistem operasi Android, menyaingi iPad. Tahun 2011, Samsung memasarkan 300 juta handset, rekor untuk perusahaan Negeri Ginseng tersebut.

Sedikit merujuk ke ranah akademisi. Perihal kompetensi inti, konsep tersebut secara literer boleh dikata diperkenalkan pertama kali pada tahun 1990 oleh C. K. Prahalad dan Gary Hamel. Dua akademisi itu menulis hal berikut:

Core competencies are the collective learning in the organisation, especially how to coordinate diverse production skills and integrate multiple streams of technologies...core competence is communication, involvement and a deep commitment to working across organisational boundaries...core competence does not diminish with use. Unlike physical assets, which do deteriorate over time, competencies are enhanced as they are applied and shared.

Bagi keduanya, kompetensi inti akan memberikan sejumlah keunggulan bagi perusahaan. Pertama, akses ke beragam pasar. Lalu, kedua, menciptakan persepsi di benak konsumen tentang kehebatan produk yang dihasilkan. Dan ketiga, kompetensi inti adalah hal yang sulit untuk diimitasi pesaing karena merupakan harmonisasi yang kompleks antara apa yang disebut Prahalad dan Hamel sebagai individual technologies and production skills.

Seperti halnya sebuah pohon, demikian keduanya menggambarkan, kompetensi inti adalah akar. Ia akan berbuah, menghasilkan core product, dan pada gilirannya memunculkan produk-produk lain, yang kelak bisa diwadahi dalam unit-unit bisnis yang berdiri terpisah seiring pertumbuhan bisnis. Perusahaan yang sanggup mempertahankan dominasi di core product, lanjut kedua akademisi tersebut, akan memiliki kekuatan yang bisa menentukan evolusi produk inti (core product). Dan menimbang dinamika bisnis yang begitu cepat serta sukar diprediksi, perusahaan disarankan untuk memfokuskan diri pada kompetensi inti masing-masing, seraya mengalihdayakan (outsource) hal-hal yang dipandang bukan menjadi kompetensi intinya.

Di tempat lain, kompetensi pula yang mengantarkan Apple menapak sukses seraya menahbiskan diri sebagai salah satu perusahaan paling inovatif di dunia. Kemampuan mendiang Steve Jobs dalam urusan software serta desain membuatnya meninggalkan para pesaing. Sejumlah karyanya sangat memukau, diperbincangkan dan selalu ditunggu-tunggu. Salah satu masterpiece-nya, iPod bahkan sanggup merevolusi apa yang sebelumnya merupakan sebuah inovasi besar: walkman karya masterpiece dari Akio Morita, sang pendiri Sony.

Dengan kompetensinya, Apple kini menghujani publik dengan produk yang beragam, dan dengan persepsi produk yang bermutu tinggi: enak dipandang plus canggih. Sekarang, siapa tak mengenal iPhone, iPod, MacBooks, dan iMac?

Kompetensi pada peranti lunak serta desain membuat Apple fokus pada apa yang disebut Prahalad dan Hamel sebagai hal-hal yang esensial dalam bisnis yang digelutinya. Bagaimana dengan aspek bisnis lainnya?

Steve Jobs menunjukkan bahwa untuk hal-hal yang bukan kompetensi inti, perusahaan bisa mengadopsi yang terbaik, yang menjadi standar dalam industri yang digeluti.

Tahun 1996, setelah kembali ke Apple dan diangkat menjadi CEO Apple, Jobs merekrut mantan eksekutif IBM dan Compaq, Timothy Cook untuk membenahi rantai pasokan. Tanpa membuang waktu, yang selanjutkan dilakukan Cook adalah meng-copy apa yang dilakukan Dell guna mengefisienkan channel inventory-nya. Pada ujung distribusi, Apple sukses mengaplikasi direct-to-customer channels seperti lewat online sales dan dedicated stores yang sekarang kian menjamur dengan nama Apple Store. Di Apple Store itulah, seluruh produk inovatif kreasi Jobs dipajang dengan tingkat turn over yang tinggi karena selalu diserbu konsumen.

Apple tidak mengambil langkah seperti halnya Gateway yang pendekatannya dijuluki “shoot-anything-that-moves”. Gateway berawal sebagai process innovator, lalu seperti halnya Dell, menjadi pelopor direct distribution di sektor personal computer. Tak berhenti di sini, Gateway juga berupaya menjadi product differentiator, dengan cara mempertahankan pabrik-pabriknya yang mahal, lebih banyak berinvestasi ketimbang Dell di R&D, dan menggelar kampanye iklan yang mahal.

Sayang, dengan mencoba berinovasi di segala hal, Gateway justru gagal membangun competitive advantage yang kuat di segala lini. Gateway tak berhasil menciptakan produk yang berbeda untuk keluar dari perangkap persaingan, malah dililit biaya operasi yang lebih mahal.

Kompetensi inti adalah penguasaan pada lini antara proses dan produk, sekaligus teknologi yang menopang di belakangnya.

Di bawah kendali Jobs, tim produksi Apple menguasai peranti lunak dan piawai dalam melahirkan desain yang menarik. Namun, bukan berarti Apple mesti menghasilkan segalanya. Dalam menciptakan iPod, umpamanya. Bahkan iPod yang merevolusi music media player membutuhkan tambahan komponen dari pihak lain: basic circuitry dari PortalPlayer, hard drive mini dari Toshiba, baterai dari Sony, dan digital-to-analog converter dari Wolfson.

Untuk merangkai inovasinya yang brilian itu, Apple fokus pada aspek yang menjadi kekuatannya, yakni rekayasa serta integrasi hardware-software, dan desain yang elegan. Kini, tidaklah mudah untuk mengimitasi kehebatan Apple yang punya skill sekaligus model bisnis yang sanggup mengikat beberapa produk mulai dari music player (iPod), PC yang keren (MacBook), aplikasi yang elegan untuk memainkan dan mengorganisasi file musik (iTunes), termasuk toko-toko online berisi lagu-lagu dari seluruh studio rekaman terkemuka (iTunes Music Store) dalam satu simpul. Kini, siapa sanggup tandingi Apple untuk melakukan itu semua?

Juni 2012, pencipta iPhone dan iPad itu telah menyisihkan raksasa minyak Exxon Mobil sebagai perusahaan paling menguntungkan di dunia, berdasarkan nilai sahamnya. Per 5 Juni 2012, saham Apple terakhir diperdagangkan pada US$ 363,69 per saham, dengan nilai total kapitalisasi pasar US$ 337,2 miliar. Sebaliknya saham Exxon Mobil berada di posisi US$ 68,03 dolar per saham, dengan nilai kapitalisasi pasar US$ 330,8 miliar. Pada 29 Februari 2012, nilai kapitalisasi pasar Apple bahkan pernah mencapai US$ 500 miliar dengan harga saham US$ 628,44/lembar. Apple memang belum melampaui rekor yang dicatat Microsoft pada tahun 1999. Perusahaan komputer milik Bill Gates ini mencatatkan kapitalisasi senilai US$ 846 miliar. Tapi sekarang kapitalisasinya hanya US$ 255 miliar. Apple meraih kejayaan lewat kompetensinya.

Di tempat lain, dan dalam skalanya tersendiri, hal serupa juga ditempuh HTC. Handset-maker dari Taiwan ini terus berjaya dan memesona dunia lewat produk-produk telepon selulernya termasuk yang sudah berteknologi layar sentuh.

Dirunut ke belakang, perusahaan ini bisa melakukan hal demikian karena seperti halnya Samsung, HTC lama menjadi original design manufacturer (ODM) dan secara diam-diam mengembangkan high-end smartphones untuk sejumlah operator telepon kelas dunia, termasuk Verizon serta Orange.

Masuknya HTC ke handset telepon adalah lewat pemikiran yang matang. Mulanya, ketika didirikan pada 1997, perusahaan yang dimiliki Cher Wang ini berencana membuat laptop. Terlebih, CEO-nya, Peter Chou lama berkiprah di Digital Equipment Corporation (DEC), produsen komputer legendaris. Akan tetapi, karena melihat masa depan terletak pada internet mobile dan devices yang mendukungnya, maka laju HTC diarahkan ke sana. Dengan kompetensinya, perusahaan ini mendeklarasikan kesanggupannya pada perusahaan Barat untuk mendesain dan membuat high-end hand-helds serta mobile phones. iPaq adalah produksi pertama HTC.

Menyadari kompetensinya sebagai original design manufacturer, pada tahun 2006 HTC mulai mengembangkan mereknya sendiri dengan seluruh risiko yang ada. Dikatakan risiko karena manajemen harus meyakinkan pemegang saham dan hilangnya existing business lantaran sejumlah pelanggan menganggapnya sebagai rival. Toh fakta bicara, hanya dalam 3 tahun, HTC kini semakin berkibar dengan produk-produknya. Peter Chou bahkan terang-terangan menyatakan ingin perusahaannya setenar Apple, raksasa smartphone.

Yang menarik, di tengah kejayaan yang ada, Peter Chou telah melihat tantangan berat telah menghadang: marjin yang menciut karena hadirnya para pemain dari China dengan keunggulan labour cost-nya. Cara menghadangnya, "We need to establish a new competency before we get into trouble," terang Chou (The Economist, 9 Juli 2009). Dan HTC telah membuktikan diri lewat produk-produk barunya seperti HTC Sense yang memukau.

So, kompetensi. Itulah kuncinya, bro! jangan pernah main-main dengan kompetensi inti! Juga, jangan pernah sombong kala di atas.


0 comments: