Come on

Follow me @teguhspambudi

Thursday, August 9, 2012

Kompensasi buat Bos Besar

Share this history on :


Siapakah perusahaan publik yang berani yang memberikan gaji tinggi buat eksekutifnya, yang mungkin bagi kebanyakan orang hanya mimpi untuk meraihnya?

Oke, tanpa perlu berpanjang lebar, Astra International Tbk. berada di urutan pertama dalam urusan ini. Tahun lalu, Rp 575,75 miliar dikucurkan perusahaan ini untuk dewan direksinya (BOD). Bila dirata-rata, gaji tiap direksinya mencapai Rp 63,97 miliar dalam setahun atau Rp 5,3 miliar/bulan. Sebagai catatan, gaji dalam pengertian di sini terdiri dari gaji, tunjangan, bonus, kompensasi, dan lain-lain.

Berikutnya menyusul Indofood Sukses Makmur yang mengucurkan sebesar Rp 288,03 miliar (rata-rata direksi Rp 32 miliar). Setelah itu, PT Timah mencapai 246,81 (Rp 49,36 miliar). Peringkat 4 mengguyur gaji adalah Bank Mandiri, Rp 183,76 miliar dan menyusul PT Telkom, Rp 181 miliar. Namun untuk gaji rata-rata BOD-nya, Telkom mencapai Rp 22,63 miliar perorang, sementara Mandiri Rp 16,71 miliar. Gaji rata-rata BOD Mandiri bahkan di bawah PT United Tractor, Rp 18,4 miliar. Perusahaan alat berat itu sendiri mengguyur Rp 110,39 miliar buat dewan direksinya, berada di peringkat ke-7, di bawah BCA yang sebesar Rp 158,59 miliar (rata-rata Rp 15,86 miliar/direktur).

Urutan dalam pemberian gaji ini juga relatif sama dalam urusan mengguyur kompensasi ke kamar sebelah, kepada dewan komisaris (BOC). Tahun lalu Astra International memberikan Rp 222,25 miliar bagi komisarisnya. Setelah itu menyusul Indofood (Rp 111,19 miliar) dan Timah (Rp 95,27 miliar).

Melihat data yang tersaji, secara umum dapat dikatakan pada tahun 2011 terjadi peningkatan penggajian eksekutif yang sangat signifikan. Dan bagi Irham Dilmy, Advisor Amrop, itu tidak mengejutkan. Sebab, bisnis telah menggeliat kembali. Kurun 2009-2010 gaji para eksekutif puncak bisa dikata relatif stagnan karena terpengaruh krisis 2008. “Tahun 2011 gangguan mulai mereda. Di tahun 2011, (gaji eksekutif) lebih spektakuler dan lebih baik dibanding 2010. Dan ternyata memang iya, kelihatan!,” katanya. Lantas bagaimana dengan 2012? Menurutnya, krisis di zona Eropa boleh jadi akan berpengaruh. “Nanti kita lihat di akhir tahun,” katanya diplomatis.

Bagi orang kebanyakan, angka-angka dalam tabel mungkin terlihat serba “wah”. Benarkah demikian?

“Kalau sekarang (direksi Mandiri) digaji Rp 16,7 miliar (setahun), itu wajar-wajar saja,” kata Robby Djohan, mantan Dirut Mandiri. Menurutnya, untuk mengukur kepantasan, tinggal lihat satu indikator kunci: profit perusahaan. Dengan laba bersih Mandiri Rp 12,4 triliun di tahun 2011, dia merasa gaji yang ada sekarang malah kurang ideal. “Idealnya bisa US$ 2-3 juta pertahun. Apalagi Bank Mandiri adalah bank yang sangat besar,” dia menegaskan. Dan fenomena gaji besar ini, menurutnya bukan hal baru. “Gaji besar, tanggung jawab juga besar. Saya bekerja sebagai CEO Niaga itu 14 jam sehari. Tahun 1980, saya digaji US$ 1 juta, dan waktu itu belum ada gaji direksi yang sebesar itu. Apa itu artinya? Artinya, saya dituntut lebih oleh perusahaan.”

Artinya pula, cara terbaik kepantasan gaji adalah dengan melihat achievement yang bersangkutan atau pay per performance. “Perhitungan salary dan bonus (memang harus) dikaitkan erat dengan pencapaian perusahaan,” timpal Dilmy. Dengan demikian, pada Mandiri, gaji direksi hanya 1,4% dari laba bersih 2011 yang sebesar Rp 12,4 triliun. Besar? “Ketika saya menjabat sebagai CEO, saya tidak tahu persis bagaimana penghitungannya. Tapi saya punya cara yang ideal untuk menetapkan gaji. Pertama yang dilihat adalah seberapa besar market bisnisnya dan industrinya. Kedua, saya pasti selalu membayar gaji Dirut lebih mahal dari market. Kenapa? Karena saya mempekerjakan talenta-talenta hebat. Ketiga, 10% dari profit perusahaan disisihkan untuk gaji direksi. Itulah yang saya lakukan,” jelas Robby.

Lewat cara pandang seperti itu (gaji dikaitkan dengan achievement) maka yang dikantungi direksi Astra International pun menjadi tampak kecil: hanya 2,69% dari laba bersih yang mencapai Rp 21,3 triliun. Yang tak kalah penting, ujar seorang eksekutif Astra, apa yang tercantum dalam laporan keuangan adalah yang sebenar-benarnya. Artinya, memang sebesar itulah yang diraih direksi. Tidak ada tambahan-tambahan lain yang sifatnya non-bujeter. Tidak ada yang ditutup-tutupi dari perusahaan yang tahun lalu mencatatkan kapitalisasi terbesar di Bursa Efek Indonesia (BEI) dengan nilai Rp 299,57 triliun. Dengan kata lain, akuntabilitasnya dapat terjamin.

Menjadi direksi perusahaan-perusahaan besar dengan puluhan hingga ratusan ribu karyawan tentu tak mudah. Ada tanggung jawab ekonomi, sosial dan lingkungan yang tak sepele. Direksi adalah navigator maju mundurnya perusahaan. Tak heran, besarnya gaji eksekutif, di mata Gatot Mudiantoro Suwondo merupakan hal yang wajar. Jika ingin memiliki sumber daya yang bagus, kata Dirut BNI ini, tentunya harus disertai nilai yang bagus pula. “Jadi, nilai atapun fasilitas yang didapat, sepadan dengan tanggung jawab yang dijalankan,” katanya. Dia pun menegaskan bahwa sepengetahuannya, gaji ataupun fasilitas yang didapatkan eksekutif di BNI tergolong lebih rendah dibandingkan dengan bank-bank lainnya.

Faktanya, rata-rata yang didapat direksi BNI berada di peringkat 24, sebesar Rp 7,51 miliar setahun. Dibanding bank lain, rata yang mereka kantungi berada di bawah Mandiri (Rp 16,71 miliar), BCA (Rp 15,86 miliar), CIMB Niaga (Rp 9,93 miliar), dan bahkan BTPN (Rp 7,59 miliar). Khusus BTPN, bank ini memang tengah getol-getolnya membetot talenta terbaik untuk bersaing sehingga memberi rasio gaji yang cukup tinggi: 4,8%. Tahun lalu, dengan laba bersih Rp 1,4 triliun, direksinya digelontori Rp 68,34 miliar.

Jadi, berapa yang didapat Gatot? “Ya, saya dapat seperti biasa saja lah,” ucapnya sembari diiringi gelak tawa. Yang penting, dia menambahkan, setiap eksekutif mampu menciptakan value creation bagi perusahaannya. Di BNI, laba bersihnya naik dari Rp 4,1 triliun (2010) menjadi Rp 5,9 triliun tahun lalu. Adapun rasio gaji 2011 terhadap laba bersih sebesar 1,25%.

Di tempat lain, Dwi Soetjipto juga hanya bisa tergelak ketika ditanya perihal gaji yang diraupnya setiap bulan. Salary, kata Dirut Semen Gresik ini, bukan menjadi kehirauan utamanya. Yang penting adalah potensi untuk berprestasi, ruang mengembangkan kinerja dan kenyamanan kerja. “Bisa enjoy atau tidak di tempat itu?.”

Tahun lalu Semen Gresik mengucurkan Rp 36,45 miliar untuk direksinya sehingga rata-rata mengantungi Rp 5,21 miliar setahun. Dengan laba bersih Rp 3,9 triliun, rasio gaji menjadi 0,92%. “Kalau dibanding pasar, masih jauh. Tapi pemegang saham menetapkan untuk tidak menaikkan, meski masih dibawah rata-rata pasar,” katanya. Apakah itu sudah memuaskan?

Dwi merasa sih semua itu sudah sangat berkecukupan. “Toh, kebutuhan kita itu-itu saja,” tuturnya diplomatis. Dia dan direksi lain, menurutnya tetap menerima, tetap berkarya semaksimal mungkin. “Kami orang-orang pekerja, itu tidak mempengaruhi kami, ini sudah mencukupi,” dia menegaskan lagi.

Hal senada juga disampaikan Ririek Adriansyah, Direktur CRM Telkom. Ketika ditanya mengenai kesesuaian antara besarnya cakupan tugas atau tanggung jawab dengan gajinya, dia diplomatis menggelengkan kepala. “Ha…ha…ha…Saya tidak tahu yang itu. Sama sekali belum tahu tentang itu. Yang masalah pay-nya saya tidak tahu,” ungkap Ririek yang baru diangkat menjadi Direktur CRM Telkom awal Mei 2012. Yang dia tahu pemegang saham memintanya mengejar target yang dipatok. Kalau bisa melebihinya. Adapun tentang fasilitas-fasilitas yang diberikan kepadanya, dia pun hanya menjawab bahwa fasilitas yang diberikan mengikuti standar. Namun dia tidak merinci dan menjelaskan rujukan standardisasinya. “Ah, itu standar semua,” katanya. Rasio gaji direksi Telkom terhadap laba bersihnya sebesar 1,16%.

Bicara soal fasilitas di BUMN, Dilmy menyatakan ada perbedaan dengan perusahaan swasta. “Yang besar di BUMN itu justru tantiem dan bonus. Setiap perusahaan BUMN yang Top 10 seperti Pertamina, Telkom, PGN, Semen Gresik, Antam, direktur utamanya menerima bonus sekitar Rp 2-3 miliar per tahun,” katanya. “Cuma kerja di BUMN itu kan lebih susah. Stakeholder yang harus dilayani banyak. Kalau di perusahaan swasta yang penting adalah pemegang saham. Di sini (BUMN) ada DPR, Menteri. Untuk dapat gaji besar itu gak gampang,” Dilmy menambahkan.

Pada akhirnya, dalam melihat besaran kompensasi yang diterima bos-bos besar ini memang mesti melihatnya secara lengkap. Artinya, bukan hanya besaran gaji dan bonus yang diterima. Seperti disinggung di atas, kepantasan yang diterima direksi adalah dengan melihat achievement yang bersangkutan, dengan juga mempertimbangkan value creation yang diciptakan: lapangan kerja, pajak, dsb. Namun pada titik ini, Budi Soetjipto, Dosen Paska Sarjana FE UI mengingatkan bahwa ada satu tugas yang seringkali luput untuk diperhatikan dari sisi achievement bos-bos besar tersebut, yakni: create and developing leader. “Direksi harus menyiapkan layer berikutnya,” katanya.

Dia merasa perlu untuk mengingatkan ini karena banyak terjadi bajak-membajak eksekutif dari perusahaan lain, atau bahkan dari industri yang berbeda. Tentu ini bukan sebuah dosa karena pemilik perusahaan menginginkan yang terbaik. Juga bukan masalah sepanjang pasokannya tersedia. Tapi akan jadi masalah bila di pasar minim pasokan sehingga harganya menjadi overprice. Dan bila tidak didapatkan, maka kontinuitas kinerja perusahaan bisa terganggu.

Tugas ini jelas tak mudah. Namun untuk itulah sesungguhnya bos-bos besar itu dibayar. Mereka bukan hanya mesti memikirkan bisnis, tapi juga pengembangan manusia agar pasokan talenta hebat selalu tersedia.

===============
Thanks to: Ario Fajar, Denoan Rinaldi, Herning Banirestu, Radito Wicaksono, Siti Ruslina & Dian Solihati

0 comments: