Come on

Follow me @teguhspambudi

Saturday, September 1, 2012

Fenomena John Lewis

Share this history on :



Ritel ini tumbuh melampaui pesaingnya dan menjadi jawara di industrinya. Rahasianya ada pada struktur dan sistem di dalamnya, yang kemudian akan diadopsi banyak perusahaan lain.

Sejak dua bulan terakhir, kalangan pebisnis Inggris disibukkan dengan rencana Pemerintah mereka yang pertama kali dilemparkan Deputi PM, Nick Clegg, Januari 2012. Clegg mengeluarkan istilah yang terdengar baru: seyogyanya perusahaan-perusahaan Inggris mengaplikasikan apa yang disebutnya "John Lewis Economy". Apa itu?

Ini adalah sebutan untuk sistem kapitalisme yang menurut Clegg lebih bertanggung jawab lewat sebuah model: perusahaan yang dikelola karyawannya (employee-owned businesses).

Tak cukup dengan pernyataan, pada Juli 2012, Clegg bahkan mengapungkan proposal yang tidak populer di mata kalangan pebisnis. Dia mengusulkan jika 10% saja karyawan sebuah perusahaan ingin memiliki saham dalam perusahaan tempat mereka bekerja, maka perusahaan harus merealisasikannya. Atau menolak dengan alasan yang terperinci dan masuk akal. Peraturan ini rencananya berlaku untuk perusahaan dengan karyawan lebih dari 250 orang.

Mengapa Clegg, atau Pemerintah Inggris muncul dengan istilah itu?

Tak sulit menjawabnya. Di tengah resesi ekonomi, Inggris menghadapi serangkaian skandal korporasi mulai dari perilaku tak etis kerajaan bisnis Rupert Murdoch hingga Barclays yang mengguncang dunia finansial. Barclays, kata Clegg, “Mengingatkan kita bahwa ekonomi sungguh-sungguh membutuhkan suntikan tanggung jawab, mengontrol kekuasaan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan, sebuah kekuataan yang berada di lebih banyak tangan.” Lantas, mengapa solusinya “John Lewis Economy”?

“John Lewis Economy” adalah istilah yang merujuk pada sebuah jaringan dept store di Inggris yang fenomenal. Dikatakan fenomenal karena John Lewis memang seperti anomali. Jaringan berkekuatan 38 gerai di seantero Inggris ini bukan hanya mampu mempertahankan penjualan yang meroket dalam 10 tahun terakhir, tapi juga tetap kemilau di tengah resesi yang tengah melanda Eropa. Tahun lalu penjualannya melonjak 6,4% mencapai US$ 13,48 miliar. Jauh mengungguli Marks & Spences dan House of Fraser yang masing-masing hanya tumbuh 2% dan 1,5%.

Memang perusahaan ini bukan tak kebal masalah. Tahun lalu labanya merosot 9%, di posisi US$ 607 juta. Tapi itu lebih karena banyaknya investasi yang mereka sebar di sejumlah bisnis. Toh secara keseluruhan kecemerlangan itu tak tertahankan: penjualan terus melesat. Mengapa bisa demikian?

Inilah yang kemudian menjadi alasan Clegg untuk melemparkan gagasannya ke pelaku bisnis. Di samping produknya yang bersaing, senjata terbesar John Lewis adalah struktur yang tidak lazim pada perusahaan modern: 100% sahamnya dimiliki 81 ribu karyawannya!

Tentu saja ini terdengar tak lazim. Porsi kepemilikan di John Lewis ini otomatis lebih besar ketimbang perusahaan publik.

Dirunut ke belakang, sistem ini merupakan hasil proses yang panjang. Didirikan oleh John Lewis di London pada tahun 1864, toko ini tumbuh cepat menjadi dept store yang sukses. Ketika pemikiran komunisme tumbuh cepat di awal abad 20, John Spedan Lewis, anak sang pendiri, mulai merasa takut masa depan toko milik ayahnya. Pasalnya, apa yang diperoleh sang ayah, saudaranya dan dia sendiri jauh melebihi gaji karyawan. Pikirnya, ini merupakan potensi masalah besar di kemudian hari.

Ketika ayahnya meninggal pada 1928, Spedan mengambil alih pengendalian. Dia pun segera membuat terobosan penting dalam operasional perusahaan: skema bagi hasil. Jadi ketika perusahaan berkinerja baik, selain ada hasil laba, karyawan juga mengantungi bonus ekstra. Dua dekade kemudian, pada tahun 1950, Spedan membuat terobosan lanjutan: menyerahkan kepemilikan penuh pada karyawan.

Sistem yang dibuat Spedan sangat khas. Karyawan John Lewis tidak memilik saham secara individual. Mereka memiliki wadah, sebuah trust yang mengelola saham karyawan. Setiap gerai memiliki forum karyawan yang memilih perwakilan yang kemudian berujung pada 14 orang dewan kemitraan. Dewan ini rapat rapat 4 kali dalam setahun. Dalam forum itu, ketua baru bisa dipilih kapan saja. “Itulah the real power,” kata Charlie Mayfield (47 tahun), yang mengetuai dewan kemitraan ini.

Sistem yang membagi kekuasaan dan bonus ini ternyata membawa manfaat sangat banyak. Sejumlah penelitian pun dilakukan untuk membedah ritel ini. Manfaat paling terasa tentu saja sense of belongingness yang kuat. Karena merasa ini adalah perusahaannya, karyawan memiliki passion yang besar untuk melayani pelanggan. Apalagi, sistem bonus yang diberikan sangat transparan dan setara. Tahun lalu, misalnya, prosentase bonus semua karyawan sama, 14% dari gaji tahunan, atau sekitar gaji selama 7 minggu. Tak terkecuali Mayfield yang juga menjadi Komisaris John Lewis. Tahun 2011 dia mengantungi US$ 179 ribu. Sebagai perbandingan, Marc Bolland, CEO Marks & Spencer mendapat bonus US$1,03 juta.

Karena sistem operasi yang fair, perasaan tenang bekerja pun lahir sehingga karyawan fokus pada pekerjaan dan perkembangan perusahaan. Bekerja di John Lewis, ungkap Elizabeth Dunbar, lebih seperti keluarga daripada karyawan biasa. "Kami saling melindungi satu sama lain, dan melindungi bisnis,” kata wanita yang berposisi sebagai stock auditor ini.

Karyawan John Lewis memang terbilang kompak. Mereka menolak tawaran untuk menjual perusahaan ke pihak investor di tahun 1999 yang menjanjikan bayaran sekitar US$ 150 ribu per karyawan. Karyawan tak mau ada pemilik baru karena khawatir mereka akan mengubah budaya perusahaan. “Sejak itu, bisnis John Lewis tumbuh menjadi lebih kuat,” ujar Poynor, seorang analis ritel.

Agar bisa mempertahankan bonus tahunan yang gemuk, perusahaan pun membuat portfolio bisnis, mengoperasikan 5 resor hotel, termasuk Brownsea Castle, puri dari abad 16 di sebelah selatan Inggris. Lalu, agar karyawan terpuaskan, mereka bisa dapat berlibur dan menyalurkan hobi mulai dari ski, snowboarding, berlayar, naik kuda, juga memasak. Dan semuanya diberi diskon.

Kebahagiaan karyawan memang sangat diutamakan di John Lewis. Biaya untuk karyawan sungguh tak kecil. Tahun lalu, manajemen John Lewis membelanjakan sekitar US$ 588 juta untuk berbagai benefit. Jumlah ini dua kali lipat lebih banyak ketimbang pesaing utamanya, Marks & Spencer yang berkekuatan 82 ribu karyawan. Lalu, mengucurkan anggaran 25% lebih banyak dibanding pesaingnya dalam pengembangan karyawan.

Merunut ke tradisi yang dikembangkan Spedan, hal itu tidak mengejutkan. Nilai-nilai yang diwariskan Spedan di perusahaannya memang sangat pro-karyawan: “kebahagiaan untuk seluruh karyawan”. Begitu slogannya.

Tentu saja itu berbalas. Turnover karyawan, misalnya, sangat rendah. Sementara turnover di industri ritel mencapai 50%, di John Lewis hanya 20. "Itu jelas-jelas penghematan biaya,” ujar Joshua Bamfield, Direktur Centre for Retail Research Inggris. Manajemen John Lewis sendiri secara tradisi juga berupaya meminimalisasi pengurangan karyawan, bahkan ketika situasi ekonomi sedang tidak bagus. Pendek kata, "Model kepemilikan ini menciptakan kondisi yang tepat untuk sukses,” ujar Mayfield, yang menjadi Komisaris John Lewis sejak 2007.

Ucapan Mayfield mendapat konfirmasi yang sahih. John Lewis tumbuh 50% lebih cepat ketimbang perekonomian Inggris. Pelanggannya pun loyal. Dari 80% penjualan John Lewis, 20% datang dari pelanggannya yang setia.

Keberhasilan John Lewis memancing sejumlah studi yang kemudian diteorikan. Salah satunya adalah studi yang digelar Cass Business School di London. Dari hasil studi atas John Lewis diyakini bahwa employee-owned businesses jauh lebih unggul ketimbang perusahaan biasa, baik dalam masa susah maupun senang. Employee-owned businesses juga lebih menguntungkan, menciptakan pekerjaan lebih cepat ketimbang perusahaan lain, juga lebih sedikit membutuhkan staf.

Dengan keunggulan seperti itu, tak heran jika Pemerintah Inggris mendorong model serupa diterapkan pada perusahaan lain. Pemerintah Inggris yakin perusahaan yang dimiliki karyawan lebih dinamis dan punya moral yang lebih tinggi. Seharusnya, kata Nick Clegg, perusahaan mengikuti model John Lewis yang mendistribusikan laba pada karyawannya. Menurut Clegg, era kapitalisme kroni di mana kesejahteraan dimonopoli sejumlah orang sehingga berpotensi korup seperti Rupert Murdoch dan Barclays sudah berakhir.

Kampanye Deputi PM itu diyakini akan menghadapi banyak tentangan, terutama dari para pemilik perusahaan. Sejauh ini, hanya 3% perusahaan di Inggris yang sifatnya employee owned. Itu pun tidak 100% seperti John Lewis yang memang terbilang ekstrim. Prosentase ini masih lebih sedikit dibanding di AS yang 10%.

Kendati begitu, sejumlah pihak di Inggris berkeyakinan kebijakan Clegg akan mendapat pendukungnya, setidaknya di kalangan start-up yang terus bermunculan. Bahkan, menurut Iain Hasdell, Ketua Employee Ownership Association di London, ada harapan jumlah perusahaan yang menerapkan model John Lewis ini akan bertambah, setidaknya sekitar 100 perusahaan. Bila ini terealisasi, iklim bisnis di Negeri Ratu Elizabeth ini diyakini akan semakin baik. ***


0 comments: