Come on

Follow me @teguhspambudi

Monday, September 3, 2012

Mereka Telah Berkolaborasi dengan Diasporanya

Share this history on :



Sejumlah negara telah menciptakan perubahan ekonomi lewat kerjasama dengan kalangan diasporanya. Inisiatif pemerintah dan kompetensi menjadi kata kunci.


Akhir Maret lalu, pemerintahan di sub-Sahara Afrika, yakni Ethiopia, Ghana dan Nigeria melakukan terobosan. Mereka menerbitkan apa yang disebut obligasi diaspora buat warga negara mereka yang tinggal di mancanegara. Ethiopia, Ghana dan Nigeria memang tergolong negara-negara yang banyak warganya -- atau setidaknya yang punya pertalian darah -- telah menetap di sejumlah negara maju. Ketiganya berharap warganya tersebut akan memborong obligasi. Dalam taksiran Bank Dunia dan Bank Pembangunan Afrika, obligasi diaspora ini bisa menyedot dana hingga US$ 1 miliar setahunnya. Keyakinan ini didasarkan pada arus uang remittance (kiriman) ke Afrika yang tumbuh hampir 4 kali lipat antara 1990-2010 mencapai US$ 40 miliar  di tahun 2011 mengacu data Bank Dunia dan ADB. 

Melihat potensi yang besar, Mthuli Ncube, Chief Economist ADB bahkan berani menyarankan satu terobosan pemikiran: dalam rangka meningkatkan akses ke pasar modal internasional, bank-bank di Afrika bisa menerbitkan obligasi yang dijamin aliran kiriman uang para diaspora. Bear keyakinan mereka akan sukses.

Bagi sejumlah negara Afrika, kini memang semakin menguat kesadaran untuk menggunakan diaspora seperti apa yang dikatakan Steffen Roth yakni sebagai nation’s capital. Di New York, Boston dan beberapa kota besar di AS, sekarang sudah menjadi kelaziman digelar acara pertemuan diaspora Afrika untuk membahas apa yang bisa dikembangkan lebih jauh. Bahkan sudah muncul bebrapa majalah untuk memfasilitasi orang-orang diaspora Afrika. Diantaranya: www.reconnectafrica.com dan www.diasporabusinessmagazine.com.

Menyimak apa yang dilakukan negara-negara Afrika, dalam kerangka berpikir Yevgeny Kuznetsov dari World Bank Institute, kegiatan menghimpun kiriman uang masih berada pada tahap dasar dampak yang diharapkan dari diaspora. Secara keseluruhan, ada lima dampak diaspora: (1) remittance; (2) donation; (3) investment; (4) knowledge and innovation network; dan (5) institutional development and reform. Kiriman uang dan donasi memang bisa disalurkan untuk dunia bisnis. Namun level 4 dan 5 merupakan tingkatan terbaik yang bisa dimaksimalkan oleh negara dari diasporanya. Level ini adalah tahap dimana terjadi brain circulation, sirkulasi pengetahuan dan kompetensi untuk memberikan dampak yang lebih besar dan berkelanjutan bagi satu negara ketimbang kiriman uang belaka. Lengkapnya lihat bagan Hierarchy of Diaspora Impact.


Taiwan adalah salah satu contoh brain circulation yang baik. Di tahun 1970-an, negara ini adalah daerah pinggiran dalam urusan entrepreneurship dan innovation di dunia. Mereka kemudian menjadi salah satu pusat inovasi terkemuka di dunia. Rahasianya?

Kemampuan memaksimalkan jaringan diaspora, terutama dalam urusan optimalisasi pengetahuan serta kompetensi. Sewaktu pemerintah Taiwan memutuskan mendorong industri venture capital (VC) di awal tahun 1980-an, mereka bukan hanya tak memiliki kapabilitas, tapi juga cetak biru untuk melakukannya. Banyak pihak menentang ide ini lantaran konsep venture capital terdengar asing dalam praktik bisnis Taiwan di mana anggota keluarga mengontrol seluruh aktivitas bisnis, khususnya keuangan. Melalui proses interaksi yang intens antara Pemerintah dengan orang-orang diaspora Taiwan di Silicon Valley, berdirilah sejumlah institusi seperti Seed Fund yang memberikan bantuan dana bagi para entrepreneur yang ingin berbisnis di Taiwan.

Pemerintah Taiwan juga mengundang kalangan diasporanya untuk merelokasi bisnisnya ke Taiwan. Buat mereka, Taiwan mendirikan sejumlah teknopark agar bisnis berjalan bagus. Salah satunya, pada 15 Desember 1980 dibangunlah Hsinchu Science and Industrial Park yang berdampingan dengan National Chiao Tung University dan National Tsing Hua University. Taiwan memang ingin membangun seperti Silicon Valley yang berdampingan dengan Stanford.

Salah satu yang menikmati progam ini adalah Miin Wu. Datang ke AS di awal 1970-an untuk mengejar gelar sarjana teknik elektro, Wu akhirnya meraih gelar doktor dari Stanford University pada tahun 1976. Selepas lulus, Wu melihat ilmu yang digunakannya belum bisa diimplementasikan di Taiwan. Dia pun bertahan di negeri Abang Sam. Dia merintis karir di sejumlah perusahaan Silicon Valley, termasuk Siliconix dan Intel. Dia juga sempat mengecap pengalaman sebagai salah satu pendiri VLSI Technology.

Tahun 1980-an ekonomi Taiwan berkembang. Wu memutuskan mudik. Tak berapa lama, pada 1989, perusahaan semikonduktor pertama di Taiwan, Macronix Co. dikibarkannya di Hsinchu Science and Industrial Park. Wu juga menjadi anggota aktif Silicon Valley's Monte Jade Science and Technology Association yang membangun hubungan bisnis antara komunitas teknis di Silicon Valley and Taiwan.

Berkembang pesat, tahun 1995, Macronix mendaftar di bursa Taiwan, dan setahun kemudian menjadi perusahaan pertama yang terdaftar di Nasdaq. Berkekuatan lebih dari 4000 karyawan, Macronix kini menjadi salah satu pabrikan dan pemasok integrated circuits (IC) serta kartu memori terbesar untuk wilayah Asia, Eropa dan AS. Di Hsinchu inilah Wu membangun Macronix. Kini ratusan perusahaan berdiri di sini, membetot anak-anak Taiwan yang menimba ilmu di mancanegara.

Pemerhati diaspora, Prof. AnnaLee Saxenian menegaskan bahwa untuk menciptakan perubahan ekonomi dan institusional yang diharapkan, maka kalangan diaspora dengan kompetensinya harus berkolaborasi dengan para pembuat keputusan. Dengan cara ini diharapkan akan ada perubahan yang inkremental hingga transformasi yang besar.

Saxenian benar. Kunci kesuksesan Taiwan dalam memaksimalkan diasporanya adalah kerjasama Pemerintah Taiwan dan jaringan orang-orang diaspora yang kompeten, terutama di Silicon Valley. Para diaspora menjalankan peran yang disebut Yevgeny Kuznetsov sebagai para “pengungkit ala Archimedes”. Mereka menginisiasi perubahan, membawa keahlian secara teknis dan kompetensi dalam urusan industri venture capital.

Belajar dari kesuksesan Taiwan, selain inisiatif pemerintah, posisi para diaspora juga sangatlah penting. Itulah yang kemudian ditiru para diaspora Chili. Para diaspora Chili membangun jaringan yang mereka sebut ChileGlobal, sebuah jaringan internasional yang terdiri dari para pemilik bisnis dan eksekutif papan atas (lebih dari 100 orang) yang punya hubungan darah dengan Chili. Jaringan ini dibentuk untuk mereka yang ingin berkontribusi bagi perekonomian dan pembangunan Chili. Pengelolaan ChileGlobal dipegang oleh Fundación Imagen de Chile, organisasi nirlaba. Tentang mereka, bisa diakses di www.chileglobal.net/ atau www.chileglobal.org/english-version/.

Otak di balik ChileGlobal adalah Ramón L. García. Pada tahun 1997, Ramon yang seorang wirausahawan di bidang genetika dan bioteknologi mengontak Fundación Chile, organisasi yang berkutat di bidang energi terbarukan. Ramon yang juga PhD dari University of Iowa adalah CEO
InterLink Biotechnologies, perusahaan yang didirikannya di Princeton tahun 1991. Setelah berdiskusi, Fundación dan Interlink mendirikan perusahaan baru yang bergerak dalam bidang penelitian. Mereka mengelola proyek-proyek untuk mentransfer teknologi ke Chili yang dipandang menjadi titik kunci buat meningkatkan daya saing, khususnya di sektor agribisnis. Dengan kombinasi pengetahuan Ramon atas Chile, pendidikan tingginya, pemahamannya atas praktik manajerial, dia sukses mentransfer teknologi ke negeri tercintanya. Per Januari 2008, Ramón telah menciptakan 3 perusahaan bioteknologi bersama Fundación Chile.

Tahun 2005, terilhami oleh inisiatif Ramon, berdirilah ChileGlobal. Lewat ChileGlobal dibuatlah aneka workshop untuk mendorong hubungan dan mentoring antara perusahaan startups Chili dengan kalangan diaspora yang sudah sukses. Pihak Pemerintah Chili turut terlibat dalam mendorong pertemuan ini.

Masih di tahun yang sama, Pemerintah Meksiko juga tak mau kalah dalam memanfaatkan diasporanya untuk turut membangun perekonomian. Tahun 2005, mereka mendirikan Mexican Talent Network yang berupaya menghimpun orang-orang hebat di mancanegara. Mexican Talent Network bertujuan mendorong kerjasama antara para profesional yang tinggal di luar negeri untuk membantu proyek pembangunan Meksiko serta mempropomosikan citra Meksiko di pentas global.

Di luar Taiwan, Chili dan Meksiko, yang cukup maju dalam memaksimalkan para diaspora adalah Skotlandia lewat programnya GlobalScot. GlobalScot adalah program yang super serius yang digalang Pemerintah. Di sini berhimpun jejaring dari lebih 950 orang sukses Skotlandia di seluruh dunia yang saling mentransfer pengetahuan serta kompetensi untuk mendirikan aneka proyek yang bermanfaat buat negaranya. Untuk melakukan itu, mereka menjalin kerjasama dengan perusahaan-perusahaan yang berdomisili di Skotlandia. Sejak berdiri tahun 2001, GlobalScot kian berkembang, menghimpun diaspora Skotlandia yang sukses di beragam negara. Mereka berhimpun di www.sdi.co.uk/globalscot.aspx/.

Peran diaspora memang sangat penting dalam membantu suatu negara. Di India, PM Manmohan Singh yang lulusan Oxford dan Cambridge memainkan peran dalam mereformasi perekonomian di awal 1990-an dengan cara menarik para diaspora India. Fasilitas, insentif, dan peluang kemitraan dibuka di India buat anak-anak terbaik yang ingin membangun negerinya. Pemerintah juga mengembangkan universitas-universitas si seluruh pelosok negeri sebagai mitra untuk penelitian. Begitu juga dengan balai latihan, terus dibuat agar kompetensi warga lokal bisa mengimbangi rekan-rekannya yang baru pulang dari mancanegara atau tetap di luar negeri yang membutuhkan tenaga-tenaga ahli di India. The Economist menaksir ada 22 juta diaspora India yang bila bisa dimaksimalkan akan sangat berpengaruh bagi negeri tersebut.

Menurut Kuznetsov, sesungguhnya diaspora adalah sumber pertolongan sekaligus sumber daya yang sangat bermanfaat untuk membantu pembangunan sebuah negara, tidak hanya dari sisi kiriman uang tapi transfer teknologi dan kompetensi. Persoalannya tinggal bagaimana pemerintah negara tersebut dan para diasporanya bersinergi positif seperti yang dipraktikkan Taiwan, India, Chili, Meksiko dan Skotlandia.

Hampir semua negara kini berlomba berkolaborasi dengan kalangan diasporanya. Bahkan Armenia telah membuat Armenia 2020 yang berupaya menggerakkan kalangan diasporanya membangun negeri itu hingga tahun 2020. Spesifik dan terdesain. Indonesia tampaknya memang tak boleh tertinggal gelombang besar ini. ***


0 comments: