Betapa
pentingnya arti kreativitas bagi perusahaan tergambar lewat studi yang digelar IBM.
Tahun 2010, IBM melakukan studi atas 1500 CEO global. Hasilnya, para pemuncak korporasi
itu mengidentifikasi bahwa kreativitas berada di urutan nomor wahid dalam hal
kompetensi pemimpin. Para CEO itu percaya sepenuhnya: kreativitas akan
mendorong pertumbuhan perusahaan.
Menyadari
pentingnya kreativitas, sejumlah perusahaan pun berupaya mendorong karyawannya
terus kreatif, terutama dalam menciptakan produk. Di Kraft Foods Inc.,
misalnya. Manajemen Kraft menciptakan budaya kreativitas dan inovasi, terutama
bagi 3300 karyawannya yang bekerja di 15 pusat penelitian Kraft di seluruh
dunia. Bisa dikatakan, merekalah yang menjadi ujung tombak dalam menghasilkan
produk-produk unggulan di pasar.
Carol Oman, Associate Principal
Scientist of Consumer Innovation, Kraft Foods Research, Development & Quality
menceritakan kebijakan yang dibuat Kraft terkait kreativitas karyawannya.
Secara umum, dia menuturkan, tim pengembangan produk baru disebar di seluruh
unit bisnis, diorganisasikan di sekitar bagian yang mengurusi produk dan merek.
Alur penciptaan produk baru di Kraft
memiliki pola tersendiri. Lazimnya semua bermula dari consumer insight.
Dari sini diketahui apa yang diinginkan dan dibutuhkan konsumen, termasuk
persoalan-persoalan yang sekiranya dihadapi konsumen dan tak bisa mereka
pecahkan sendiri. Namun ini hanyalah tahap awal, titik munculnya sebuah isu di
kalangan konsumen. selanjutnya, dalam kultur kreatif di Kraft, proses
penciptaan produk baru yang memenuhi kebutuhan konsumen akan melewati dua fase:
diverging dan converging.
Fase pertama, diverging, adalah sesi
ketika pikiran orang-orang bebas berkelana untuk mengembangkan ide-ide mereka
untuk menjawab tantangan yang muncul dari consumer insight. Semua orang
dalam tim dipancing berpikir kreatif. Namun sekalipun gagasan bebas
berkeliaran, para kreator ini harus tetap fokus pada isu utama. Fase ini dalam
budaya Kraft disebut sebagai fase ideation.
Dalam sesi ini, hal yang sangat
ditekankan pada anggota tim kreator adalah wajib mengetahui latar belakang
mereka berkumpul berikut sasaran yang ingin dicapai. Mereka harus mengetahui
mengapa ada di sana, apa yang akan dilakukan, serta sejarah tantangan yang dihadapi.
Mengapa hal itu penting?
Manajemen Kraft meyakini bahwa ide yang
bersifat “aha”, tidak datang sendiri dari seorang yang superjenius.
Ide-ide brilian, biasanya tumbuh dari pengetahuan masa kini dan pengalaman
(sejarah), juga dari kolaborasi sejumlah orang, bukan seseorang. Mengetahui
mengapa duduk bersama dan pentingnya berkolaborasi merupakan persiapan untuk brainstroming
yang sukses karena orang akan bekerja ke arah tujuan yang sama.
Setelah muncul sejumlah gagasan,
masuklah fase kedua, converging. Ini adalah tahap mengritik dan
menyeleksi ide. Dalam kultur Kraft, tahap ini sering juga disebut fase
evaluasi. Bagian ini tak bisa dihilangkan karena ide yang muncul tidak bersifat
final dan mutlak, apalagi gagasan yang muncul juga banyak sehingga terkadang diperlukan
modifikasi agar dari seluruh gagasan yang muncul, yang terpilih adalah sesuatu
yang benar-benar berguna. “Ini fase kritikal. Dengan adanya evaluasi, kami akan
bisa menyortir, memprioritaskan dan menyuling semua ide sehingga akan
benar-benar muncul solusi yang tepat buat konsumen,” kata Carol.
Dari fase diverging ke converging,
ungkap Carol, biasanya ada fase inkubasi. Ide-ide yang muncul dalam fase diverging
dibiarkan mengendap terlebih dahulu. Setelah itu barulah tim memikir ulang ide
yang ada lewat evaluasi yang menyeluruh sampai dihasilkan solusi yang tepat. “Waktu
inkubasi biasanya terbatas karena kecepatan ke pasar sangatlah penting. Proses
dapat terjadi dalam sejam, sebulan, tergantung pada banyak faktor,” Carol
menjelaskan. Bila sudah mantap dengan keputusannya, tim akan datang ke
manajemen Kraft dengan konsep yang dianggap memenuhi kebutuhan konsumen. “Selanjutnya,
prototipe produk diciptakan dan dites ke konsumen. Kemudian dibuat produknya, baru
setelah itu diluncurkan ke pasar,” dia menambahkan.
Untuk
menciptakan iklim yang kreatif, manajemen Kraft berupaya melakukannya sejak
dari awal. Pada saat seleksi karyawan untuk tim produksi, manajemen Kraft
mengakui sangatlah tidak mudah untuk mengukur serta memprediksi kreativitas.
Biasanya, mereka meminta calon karyawannya menjelaskan apa solusi kreatif yang
telah mereka buat dalam karir dan hidupnya. Dengan cara ini diharapkan calon
karyawan memiliki tiga hal penting: punya pengetahuan dan pengalaman sebelumnya
dengan masalah yang bersifat harus dipecahkan; memahami ilmu dan teknologi;
terbiasa dengan pemikiran kreatif.
Kreativitas, Carol memaparkan,
merupakan kemampuan yang sangat berharga pada diri karyawan. “Namun itu bukan
satu-satunya kualitas yang dicari manajemen Kraft saat menarik karyawan. Aspek
fleksibilitas serta keinginan mencoba pendekatan baru dan berbeda menjadi
faktor penting. Kemampuan bekerja sama dalam tim, mengapresiasi keberagaman
pemikiran, latar belakang, opini dan pengalaman, juga kemampuan melihat big
picture adalah sifat-sifat yang memperkuat kreativitas,” dia menjelaskan
panjang lebar.
Lantaran tak mudah mendeteksi atau
mengukur level kreativitas karyawan di awal rekrutmen, Kraft berusaha
menciptakan kultur yang akan membangkitkan kreativitas seseorang dalam
perusahaan. Manajemen Kraft percaya bahwa kemampuan kreatif seseorang datang
dari beragam sumber: bakat alam, belajar dari orang lain, praktik, termasuk
juga mempelajari peranti kreatif. Semakin sering berpikir kreatif, kata Carol, maka
seseorang akan semakin kreatif.
Dalam upaya itu, para pemimpin di Kraft
Food harus menciptakan suasana seperti musik jazz yang memungkinkan orang
melakukan improvisasi. Mereka memimpin dengan pola mempengaruhi. Para pemimpin berbagi
keahlian dan konsultasi dalam proyek-proyek inovasi. Mereka mendorong tumbuh
kembangnya pola pikir divergent dan convergent. Manajemen Kraft percaya
bahwa kreativitas dapat diajarkan. Dan orang bisa fokus pada kemampuan kreatifnya
dengan cara memaksimalkannya melalui praktik.
Itulah yang dibangun di Kraft.
“Sesungguhnya kreativitas bukan sekedar menciptakan musik atau menulis buku.
Ini tentang mengobservasi, memahami, meneliti, menghubungkan, mengklarifikasi, memodifikasi
dan membuat hal baru,” kata Carol. Agar bisa melakukan observasi dan hal-hal di
atas (memahami, dst.), di lingkungan Kraft, area kerja dibuat senyaman mungkin agar
lahir kreativitas dan kolaborasi ide. Sejumlah ruangan disediakan perangkat-perangkat
kreatif, minimal white boards dan flipcharts. Ada juga peranti
mainan untuk berpikir (toys to think) agar orang mau berimajinasi
mencari inspirasi.
Hasilnya adalah seperti yang dikenal
publik saat ini. Lewat proses dan sistem yang memicu tumbuhnya kultur kreatif,
Kraft Foods adalah salah satu pemain terdepan untuk produk-produk makanan. Di
dapur, kulkas dan meja makan, produk-produknya menjadi pilihan di banyak
negara.
Perusahaan lain yang sangat menaruh
perhatian pada kreativitas adalah Starbucks. Saking pentingnya kreativitas,
perusahaan yang merevolusi gaya minum kopi di dunia ini membuat posisi khusus: Chief
Creative Officer yang ditempati Arthur Rubinfeld.
Kreativitas boleh dikata menjadi
jantungnya Starbucks. Dan menariknya, di balik gerai serta produk-produk
Starbucks yang inovatif, ada sebuah proses yang terkait sangat erat. Idea
Sandbox, konsultan yang membantu Starbucks dalam hal mengelola program
kreativitas dan inovasi, mengungkap bahwa ada 5 langkah yang dilakukan di
Starbucks untuk menumbuhkan kultur kreatif.
Yang pertama, marketing author series. Manajemen
Starbucks membuat sejumlah rangkaian seminar pemasaran. Guru-guru pemasaran,
inovasi dan kreativitas dibawa ke markas besar Starbucks untuk berdiskusi dan
berbagi seputar konsep-konsep mutakhir. Kedua, creativity lab. Membuat
ruang konferensi serta laboratorium kreatif yang didesain untuk tempat
melakukan brainstroming gagasan. Ketiga, creativity curriculum and website.
Membuat website berisi kurikulum untuk memperkuat kemampuan dalam hal
kreativitas dan problem solving.
Adapun yang
keempat adalah group challenge. Dibuat sebuah kelompok yang bersifat
interaktif dan kolaboratif. Anggota tim dipancing untuk saling berbagi
informasi, saran serta solusi yang harus dipecahkan bersama. Terakhir (kelima)
adalah apa yang disebut in the know presentations, yakni kajian yang
komprehensif berbasis riset yang mengupas posisi Starbucks berikut tren
pemasaran di seluruh dunia.
Hasilnya
adalah kultur kreatif yang luar biasa. Salah satu yang terlihat adalah desain
kafe. Saking hebatnya gerai-gerai kafe Starbucks, Juni 2012, studi yang digelar
Ravi Mehta, guru besar administrasi bisnis
di University of Illinois at Urbana-Champaign menyebut bahwa lingkungan yang
seperti kafe kopi yang tidak terlalu tenang, dengan ambien yang moderat, yang
tidak sehening perpustakaan justru memicu kreativitas seseorang. Ide-ide baru,
kata Mehta yang melakukan penelitian bersama koleganya, Rui (Juliet) Zhu dan
Amar Cheema, muncul dalam suasana seperti ini.
Jangan heran bila gerai Starbucks dipuji sebagai
tempat untuk melahirkan pemikiran kreatif. Desain sangatlah diperhatikan oleh
manajemen Starbucks. Sejak dimulai dari satu gerai di Seattle, desain gerai
memang digunakan untuk membantu menjual gaya hidup minum kopi kepada pelanggan.
Tim dari Starbucks Global Creative bahkan secara teratur mengubah tema desain
gerai kopi mereka yang kini mencapai 19.972 outlet, yang dibuat
sekreatif mungkin di setiap negara (tersebar di 60 negara). Baru-baru ini,
gerai yang mendapat pujian adalah gerai kopi Starbucks di Jepang. Gerai di
dekat biara Dazaifu Tenman-gu, Fukuoka ini dipuji sebagai gerai yang sangat
kreatif. Didesain arsitek Jepang yang terkenal, Kengo Kuma, bagian dinding dan
langit-langit gerai ini didominasi batang-batang kayu yang bersilangan secara
simetris, yang sangat menarik.
Starbucks Global
Creative adalah tim yang terdiri dari 100 orang. Mereka bertanggung jawab dalam
urusan kemasan materi iklan dan pemasaran, termasuk juga dari sisi visual
merchandising. Dalam tim ini ada juga store design group yang
bertanggung jawab pada aspek yang spesifik yakni furniture, fitting dan
layout gerai. Adapun untuk merek-merek produk, dikelola oleh brand group
yang memikirkan lini produk baru, juga identitas baru -- yang belakangan
memancing heboh.
Dalam
hal produk, Starbucks mengembangkan pola kreativitas yang menarik. Gerai kopi
ini tak hanya mengandalkan kekuatan tim kreatif globalnya, tapi juga mengundang
para konsumennya menyumbang saran. Hingga kini, Starbucks bersama komunitas
konsumennya telah menciptakan lebih dari 87 ribu jenis minuman. Beberapa yang
terkenal, diantaranya adalah Zebra Mochas dan Cinnamon Roll Frappuccinos.
Kraft dan Starbucks hanyalah sedikit
perusahaan yang menyadari pentingnya kultur kreatif sebagai pilar pertumbuhan
perusahaan. Di luar mereka, ada banyak perusahaan yang bergerak dengan nafas
yang sama. Pertanyaannya: bagaimana perusahaan-perusahaan itu tetap kreatif?
Alicia
Arnold, dalam tulisannya, Building a Creative Organization (BusinessWeek,
9 September 2010), meyakini bahwa perusahaan-perusahaan yang kreatif tak bisa
dilepaskan dari kemampuannya mengelola 4P: people, products, process dan
press.
Aspek people adalah membentuk
tim yang akan melibatkan diri dalam proses penggalian ide, mengklarifikasi,
mengembangkan dan mengimplementasi gagasan. Setelah itu process. Mampu
menerapkan gagasan kreatif dalam proses yang benar. Di sini, perusahaan mesti
tahu sejumlah proses kreatif, salah satunya adalah Osborne-Parnes Creative
Problem Solving Process (CPS). Berikutnya adalah products: memancing customer
insights untuk menstimulasi pemikiran-pemikiran kreatif agar dihasilkan
produk yang dibutuhkan konsumen. Terakhir adalah press. Yang dimaksud di
sini adalah iklim organisasi yang memunculkan kultur kreatif.
Keempat “P” ini, kata Alicia” akan
mendorong perusahaan lebih maju dari waktu ke waktu. Dan melihat apa yang
dipraktikkan Kraft serta Starbucks, hal-hal di atas dipraktikkan dengan
antusias. ***
0 comments:
Post a Comment