Come on

Follow me @teguhspambudi

Thursday, October 4, 2012

Kultur dalam Perusahaan Kreatif

Share this history on :



Di balik produk dan layanan yang kreatif, terdapat kultur yang mendorong karyawan memiliki kreativitas yang tinggi. Kraft dan Starbucks adalah contohnya.

Betapa pentingnya arti kreativitas bagi perusahaan tergambar lewat studi yang digelar IBM. Tahun 2010, IBM melakukan studi atas 1500 CEO global. Hasilnya, para pemuncak korporasi itu mengidentifikasi bahwa kreativitas berada di urutan nomor wahid dalam hal kompetensi pemimpin. Para CEO itu percaya sepenuhnya: kreativitas akan mendorong pertumbuhan perusahaan.

Menyadari pentingnya kreativitas, sejumlah perusahaan pun berupaya mendorong karyawannya terus kreatif, terutama dalam menciptakan produk. Di Kraft Foods Inc., misalnya. Manajemen Kraft menciptakan budaya kreativitas dan inovasi, terutama bagi 3300 karyawannya yang bekerja di 15 pusat penelitian Kraft di seluruh dunia. Bisa dikatakan, merekalah yang menjadi ujung tombak dalam menghasilkan produk-produk unggulan di pasar.





Carol Oman, Associate Principal Scientist of Consumer Innovation, Kraft Foods Research, Development & Quality menceritakan kebijakan yang dibuat Kraft terkait kreativitas karyawannya. Secara umum, dia menuturkan, tim pengembangan produk baru disebar di seluruh unit bisnis, diorganisasikan di sekitar bagian yang mengurusi produk dan merek.

Alur penciptaan produk baru di Kraft memiliki pola tersendiri. Lazimnya semua bermula dari consumer insight. Dari sini diketahui apa yang diinginkan dan dibutuhkan konsumen, termasuk persoalan-persoalan yang sekiranya dihadapi konsumen dan tak bisa mereka pecahkan sendiri. Namun ini hanyalah tahap awal, titik munculnya sebuah isu di kalangan konsumen. selanjutnya, dalam kultur kreatif di Kraft, proses penciptaan produk baru yang memenuhi kebutuhan konsumen akan melewati dua fase: diverging dan converging.

Fase pertama, diverging, adalah sesi ketika pikiran orang-orang bebas berkelana untuk mengembangkan ide-ide mereka untuk menjawab tantangan yang muncul dari consumer insight. Semua orang dalam tim dipancing berpikir kreatif. Namun sekalipun gagasan bebas berkeliaran, para kreator ini harus tetap fokus pada isu utama. Fase ini dalam budaya Kraft disebut sebagai fase ideation.

Dalam sesi ini, hal yang sangat ditekankan pada anggota tim kreator adalah wajib mengetahui latar belakang mereka berkumpul berikut sasaran yang ingin dicapai. Mereka harus mengetahui mengapa ada di sana, apa yang akan dilakukan, serta sejarah tantangan yang dihadapi. Mengapa hal itu penting?

Manajemen Kraft meyakini bahwa ide yang bersifat “aha”, tidak datang sendiri dari seorang yang superjenius. Ide-ide brilian, biasanya tumbuh dari pengetahuan masa kini dan pengalaman (sejarah), juga dari kolaborasi sejumlah orang, bukan seseorang. Mengetahui mengapa duduk bersama dan pentingnya berkolaborasi merupakan persiapan untuk brainstroming yang sukses karena orang akan bekerja ke arah tujuan yang sama.

Setelah muncul sejumlah gagasan, masuklah fase kedua, converging. Ini adalah tahap mengritik dan menyeleksi ide. Dalam kultur Kraft, tahap ini sering juga disebut fase evaluasi. Bagian ini tak bisa dihilangkan karena ide yang muncul tidak bersifat final dan mutlak, apalagi gagasan yang muncul juga banyak sehingga terkadang diperlukan modifikasi agar dari seluruh gagasan yang muncul, yang terpilih adalah sesuatu yang benar-benar berguna. “Ini fase kritikal. Dengan adanya evaluasi, kami akan bisa menyortir, memprioritaskan dan menyuling semua ide sehingga akan benar-benar muncul solusi yang tepat buat konsumen,” kata Carol.

Dari fase diverging ke converging, ungkap Carol, biasanya ada fase inkubasi. Ide-ide yang muncul dalam fase diverging dibiarkan mengendap terlebih dahulu. Setelah itu barulah tim memikir ulang ide yang ada lewat evaluasi yang menyeluruh sampai dihasilkan solusi yang tepat. “Waktu inkubasi biasanya terbatas karena kecepatan ke pasar sangatlah penting. Proses dapat terjadi dalam sejam, sebulan, tergantung pada banyak faktor,” Carol menjelaskan. Bila sudah mantap dengan keputusannya, tim akan datang ke manajemen Kraft dengan konsep yang dianggap memenuhi kebutuhan konsumen. “Selanjutnya, prototipe produk diciptakan dan dites ke konsumen. Kemudian dibuat produknya, baru setelah itu diluncurkan ke pasar,” dia menambahkan.

Untuk menciptakan iklim yang kreatif, manajemen Kraft berupaya melakukannya sejak dari awal. Pada saat seleksi karyawan untuk tim produksi, manajemen Kraft mengakui sangatlah tidak mudah untuk mengukur serta memprediksi kreativitas. Biasanya, mereka meminta calon karyawannya menjelaskan apa solusi kreatif yang telah mereka buat dalam karir dan hidupnya. Dengan cara ini diharapkan calon karyawan memiliki tiga hal penting: punya pengetahuan dan pengalaman sebelumnya dengan masalah yang bersifat harus dipecahkan; memahami ilmu dan teknologi; terbiasa dengan pemikiran kreatif.

Kreativitas, Carol memaparkan, merupakan kemampuan yang sangat berharga pada diri karyawan. “Namun itu bukan satu-satunya kualitas yang dicari manajemen Kraft saat menarik karyawan. Aspek fleksibilitas serta keinginan mencoba pendekatan baru dan berbeda menjadi faktor penting. Kemampuan bekerja sama dalam tim, mengapresiasi keberagaman pemikiran, latar belakang, opini dan pengalaman, juga kemampuan melihat big picture adalah sifat-sifat yang memperkuat kreativitas,” dia menjelaskan panjang lebar.

Lantaran tak mudah mendeteksi atau mengukur level kreativitas karyawan di awal rekrutmen, Kraft berusaha menciptakan kultur yang akan membangkitkan kreativitas seseorang dalam perusahaan. Manajemen Kraft percaya bahwa kemampuan kreatif seseorang datang dari beragam sumber: bakat alam, belajar dari orang lain, praktik, termasuk juga mempelajari peranti kreatif. Semakin sering berpikir kreatif, kata Carol, maka seseorang akan semakin kreatif.

Dalam upaya itu, para pemimpin di Kraft Food harus menciptakan suasana seperti musik jazz yang memungkinkan orang melakukan improvisasi. Mereka memimpin dengan pola mempengaruhi. Para pemimpin berbagi keahlian dan konsultasi dalam proyek-proyek inovasi. Mereka mendorong tumbuh kembangnya pola pikir divergent dan convergent. Manajemen Kraft percaya bahwa kreativitas dapat diajarkan. Dan orang bisa fokus pada kemampuan kreatifnya dengan cara memaksimalkannya melalui praktik.

Itulah yang dibangun di Kraft. “Sesungguhnya kreativitas bukan sekedar menciptakan musik atau menulis buku. Ini tentang mengobservasi, memahami, meneliti, menghubungkan, mengklarifikasi, memodifikasi dan membuat hal baru,” kata Carol. Agar bisa melakukan observasi dan hal-hal di atas (memahami, dst.), di lingkungan Kraft, area kerja dibuat senyaman mungkin agar lahir kreativitas dan kolaborasi ide. Sejumlah ruangan disediakan perangkat-perangkat kreatif, minimal white boards dan flipcharts. Ada juga peranti mainan untuk berpikir (toys to think) agar orang mau berimajinasi mencari inspirasi.

Hasilnya adalah seperti yang dikenal publik saat ini. Lewat proses dan sistem yang memicu tumbuhnya kultur kreatif, Kraft Foods adalah salah satu pemain terdepan untuk produk-produk makanan. Di dapur, kulkas dan meja makan, produk-produknya menjadi pilihan di banyak negara.

Perusahaan lain yang sangat menaruh perhatian pada kreativitas adalah Starbucks. Saking pentingnya kreativitas, perusahaan yang merevolusi gaya minum kopi di dunia ini membuat posisi khusus: Chief Creative Officer yang ditempati Arthur Rubinfeld.

Kreativitas boleh dikata menjadi jantungnya Starbucks. Dan menariknya, di balik gerai serta produk-produk Starbucks yang inovatif, ada sebuah proses yang terkait sangat erat. Idea Sandbox, konsultan yang membantu Starbucks dalam hal mengelola program kreativitas dan inovasi, mengungkap bahwa ada 5 langkah yang dilakukan di Starbucks untuk menumbuhkan kultur kreatif.

Yang pertama, marketing author series. Manajemen Starbucks membuat sejumlah rangkaian seminar pemasaran. Guru-guru pemasaran, inovasi dan kreativitas dibawa ke markas besar Starbucks untuk berdiskusi dan berbagi seputar konsep-konsep mutakhir. Kedua, creativity lab. Membuat ruang konferensi serta laboratorium kreatif yang didesain untuk tempat melakukan brainstroming gagasan. Ketiga, creativity curriculum and website. Membuat website berisi kurikulum untuk memperkuat kemampuan dalam hal kreativitas dan problem solving.

Adapun yang keempat adalah group challenge. Dibuat sebuah kelompok yang bersifat interaktif dan kolaboratif. Anggota tim dipancing untuk saling berbagi informasi, saran serta solusi yang harus dipecahkan bersama. Terakhir (kelima) adalah apa yang disebut in the know presentations, yakni kajian yang komprehensif berbasis riset yang mengupas posisi Starbucks berikut tren pemasaran di seluruh dunia.

Hasilnya adalah kultur kreatif yang luar biasa. Salah satu yang terlihat adalah desain kafe. Saking hebatnya gerai-gerai kafe Starbucks, Juni 2012, studi yang digelar Ravi Mehta, guru besar administrasi bisnis di University of Illinois at Urbana-Champaign menyebut bahwa lingkungan yang seperti kafe kopi yang tidak terlalu tenang, dengan ambien yang moderat, yang tidak sehening perpustakaan justru memicu kreativitas seseorang. Ide-ide baru, kata Mehta yang melakukan penelitian bersama koleganya, Rui (Juliet) Zhu dan Amar Cheema, muncul dalam suasana seperti ini.

Jangan heran bila gerai Starbucks dipuji sebagai tempat untuk melahirkan pemikiran kreatif. Desain sangatlah diperhatikan oleh manajemen Starbucks. Sejak dimulai dari satu gerai di Seattle, desain gerai memang digunakan untuk membantu menjual gaya hidup minum kopi kepada pelanggan. Tim dari Starbucks Global Creative bahkan secara teratur mengubah tema desain gerai kopi mereka yang kini mencapai 19.972 outlet, yang dibuat sekreatif mungkin di setiap negara (tersebar di 60 negara). Baru-baru ini, gerai yang mendapat pujian adalah gerai kopi Starbucks di Jepang. Gerai di dekat biara Dazaifu Tenman-gu, Fukuoka ini dipuji sebagai gerai yang sangat kreatif. Didesain arsitek Jepang yang terkenal, Kengo Kuma, bagian dinding dan langit-langit gerai ini didominasi batang-batang kayu yang bersilangan secara simetris, yang sangat menarik.


Starbucks Global Creative adalah tim yang terdiri dari 100 orang. Mereka bertanggung jawab dalam urusan kemasan materi iklan dan pemasaran, termasuk juga dari sisi visual merchandising. Dalam tim ini ada juga store design group yang bertanggung jawab pada aspek yang spesifik yakni furniture, fitting dan layout gerai. Adapun untuk merek-merek produk, dikelola oleh brand group yang memikirkan lini produk baru, juga identitas baru -- yang belakangan memancing heboh.

Dalam hal produk, Starbucks mengembangkan pola kreativitas yang menarik. Gerai kopi ini tak hanya mengandalkan kekuatan tim kreatif globalnya, tapi juga mengundang para konsumennya menyumbang saran. Hingga kini, Starbucks bersama komunitas konsumennya telah menciptakan lebih dari 87 ribu jenis minuman. Beberapa yang terkenal, diantaranya adalah Zebra Mochas dan Cinnamon Roll Frappuccinos.

Kraft dan Starbucks hanyalah sedikit perusahaan yang menyadari pentingnya kultur kreatif sebagai pilar pertumbuhan perusahaan. Di luar mereka, ada banyak perusahaan yang bergerak dengan nafas yang sama. Pertanyaannya: bagaimana perusahaan-perusahaan itu tetap kreatif?

Alicia Arnold, dalam tulisannya, Building a Creative Organization (BusinessWeek, 9 September 2010), meyakini bahwa perusahaan-perusahaan yang kreatif tak bisa dilepaskan dari kemampuannya mengelola 4P: people, products, process dan press.

Aspek people adalah membentuk tim yang akan melibatkan diri dalam proses penggalian ide, mengklarifikasi, mengembangkan dan mengimplementasi gagasan. Setelah itu process. Mampu menerapkan gagasan kreatif dalam proses yang benar. Di sini, perusahaan mesti tahu sejumlah proses kreatif, salah satunya adalah Osborne-Parnes Creative Problem Solving Process (CPS). Berikutnya adalah products: memancing customer insights untuk menstimulasi pemikiran-pemikiran kreatif agar dihasilkan produk yang dibutuhkan konsumen. Terakhir adalah press. Yang dimaksud di sini adalah iklim organisasi yang memunculkan kultur kreatif.

Keempat “P” ini, kata Alicia” akan mendorong perusahaan lebih maju dari waktu ke waktu. Dan melihat apa yang dipraktikkan Kraft serta Starbucks, hal-hal di atas dipraktikkan dengan antusias. ***


0 comments: