Come on

Follow me @teguhspambudi

Monday, April 6, 2009

Mengentaskan Para Pangeran

Share this history on :
Menyiapkan putra makota bukanlah perkara mudah. Ada 4 ujian yang umumnya akan dijalani. Dan bagi orang tua, semua sinyal yang muncul dari anak harus diperhatikan serta didengar.


Teguh S. Pambudi


“Mami, bisa nggak ya saya seperti Papi?” ujar Peni (bukan nama sebenarnya) pada sang bunda seraya mengempaskan badannya di sofa. Belum genap tiga bulan memegang tampuk salah satu perusahaan dalam kelompok bisnis keluarganya, dia sudah merasa tertekan sewaktu menghadapi rentetan permintaan sejumlah klien yang menuntut kesabaran serta toleransi tinggi. “Saya capek, Mami,” katanya. Kepada wanita yang melahirkannya, Peni lalu tak segan mengungkap kekhawatirannya. Kecemasan seorang anak yang tengah dimagangkan sang ayah yang ingin buah hatinya meneruskan perusahaan rintisannya. Kekhawatiran bahwa dia tak akan sehebat sang ayah.

Adegan di atas bukanlah rekaan. Cerita nyata di atas adalah apa yang disebut inside the princess room, yang muncul di sebuah perusahaan Tanah Air. Dan yakinlah, hal semacam ini juga banyak terjadi di bilik paling pribadi para putra-putri makota di panggung bisnis. Keraguan, kecemasan dan keyakinan, semuanya saling bertaut. Ke luar menampilkan ketegaran, padahal di dalam hati bersemayam kegalauan.

Munculnya perasaan di atas merupakan hal yang wajar karena ketika seorang pebisnis berupaya menempa para pangerannya, sesungguhnya salah satu aspek yang memang tengah digojlok adalah emosinya. Hal lain yang juga diuji adalah ketahanan fisik, kapasitas intelektualnya, berikut ketajaman intuisinya. Empat hal (emosi, fisik, intelektual, dan intuisi) tersebutlah yang paling diasah, terlepas pola penempaannya; dilakukan dalam lingkup perusahaan keluarga, ataupun di tempat lain. Juga, terlepas dari model penempaanya; dengan menggunakan mentor atau dibiarkan sendiri.

Khusus bagi orang-orang tua itu -- terutama mereka yang ingin anaknya melanjutkan bisnis --, pertanyaan kemudian adalah; bagaimana caranya agar para pangeran itu matang sehingga bisa mentas dengan meyakinkan?

Sebelum menjawab hal tersebut, mengacu ke Ivan Lansberg dalam tulisannya The Test of a Prince, (Harvard Business Review, September 2007), sejatinya ada 4 tes yang untuk melihat sejauh mana kematangan seorang putra makota.

Pertama, qualifying test. Uji ini lebih merujuk pada kapabilitas yang sifatnya formal seperti melihat latar belakang pendidikan, pengalaman kerja, dan pengembangan kepribadian yang dimiliki sang pangeran. Juga menelisik bagaimana kinerja yang diinginkan darinya. Misalnya sejauh mana penyelesaian proyek yang diberikan padanya.

Kedua, self-imposed test. Ini melihat bagaimana sang pangeran membuat sesuatu yang kemudian diukur oleh orang tua dan para stakeholders. Contohnya, ketika mempresentasikan visi serta strategi yang dibuatnya, sang putra makota harus bisa membuat parameter yang bisa diukur efektivitasnya, sekaligus menjelaskan bagaimana semua itu bisa dicapai. Kemampuan meyakinkan tentang apa yang bisa dilakukan, akan menimbulkan persepsi sejauh mana kredibilitasnya.

Ketiga, circumcial test. Ini merupakan ujian yang sifatnya tidak terencana dan datang tiba-tiba. Bentuknya bisa beragam. Demikian pula situasi dan kondisinya, bisa sangat tidak beraturan. Umumnya berujud dalam bentuk krisis. Adapun yang keempat, political test. Biasanya berbentuk tantangan dari para pesaing yang ingin meruntuhkan pengaruh sang pangeran. Caranya tidak tunggal; meremehkan kemampuannya, menjegal rencana-rencananya, atau membangun koalisi untuk menandinginya. Pokoknya, membuat putra makota terlihat bodoh dan orang yang tak kapabel.

Menurut Ivan, tentu saja tak seluruh tes tersebut akan dihadapi para pangeran mengingat situasi serta kondisi yang dihadapi tiap orang tidaklah sama. Yang terpenting, lanjutnya, para pangeran mesti menyadari bahwa keempat ujian ini merupakan iterative test. Dari sudut pandang psikologi, uji iteratif adalah “the way followers 'write' a leader's story in their minds”. Jadi bagaimana para pangeran melewati tes yang ada, itulah yang akan terekam di benak orang lain, terutama orang tua, pemegang saham, dan karyawannya.

Karena itulah, kalau ada pertanyaan “bagaimana caranya agar para pangeran itu matang sehingga bisa mentas dengan meyakinkan?”, maka jawaban pertama adalah memberi mereka ruang untuk mengekspresikan dan mengasah seluruh kapabilitasnya. Lalu, mengerahkan sumber daya yang dibutuhkan mereka. Hanya saja, yang harus diwaspadai adalah bila menggunakan mentor -- dengan sebutan apapun, misalnya “Assistant to CEO”. Sebab kalau sang asisten terlampau dominan, tulis Ivan, ini bisa mengikis kemampuan sang pangeran untuk memberikan yang terbaik dari dirinya.

Itu jawaban pertama. Yang kedua, adalah orang tua harus terus memonitornya. Mereka harus bisa melihat indikator-indikator sukses tidaknya sang putra makota melewati tes yang ada. Kalau gagal?

Proses dalam seluruh tes iteratif biasanya memang tak berjalan sempurna. Dan saat melihat tanda-tanda negatif, yakni kegagalan sang pangeran, maka Ivan memberi 4 jalan keluar yang bisa dilakukan oleh orang tua atau stakeholders. Pertama, protect and coach: melindungi, tapi lalu mengajarnya. Kedua, blow the whistle: beritahu segera untuk melakukan tindakan korektif. Ketiga, hide and wait: diam saja dan tunggu sampai sang pangeran gagal untuk kemudian jatuh, dan digantikan orang lain. Keempat, exit the company: tinggalkan perusahaan dan pindah ke tempat lain.

Semua pilihan tersebut tergantung pada penilaian atas kapabilitas sang pangeran; masih bisa diandalkan atau tidak. Namun tentu saja idealnya adalah melatih dan melempangkan yang bengkok, sampai kondisinya memang menunjukkan yang bersangkutan tak memiliki leadership yang kuat alias memang tak bisa menjadi pengendali bisnis.

Bicara melatih (coaching) para putra makota, AB Susanto dari Jakarta Consulting Group mengaku menggembangkan model assessment untuk membantu orang tua yang ingin menempa anaknya. Metodenya adalah apreciative inquiry. “Kita ingin mengasah sisi kuatnya saja, yang positif, habis-habisan. Saya tidak akan konsentrasi dengan kelemahannya,” urainya. Yang pasti, Susanto ingin menekankan kepada pangeran dan puteri penerus bahwa banyak hal yang saling terkait dalam perusahaan. “Bisnisnya buruk bisa karena organisasinya tidak bagus. Bisa karena tidak memperhatikan kastemer. Bisa juga karena reputasinya yang buruk,” cetusnya. Jadi, mereka mesti memperhatikan itu semua. “Kami mengharapkan putra mahkota bukan sekadar menjadi pemimpin operasional, namun juga harus bisa menjadi strategic leader,” ujarnya.

Tentu saja tak ada jaminan bahwa proses yang dilewati para pangeran akan mengantarkan pada hasil yang sama. Akan tetapi, Kresnayana Yahya dari Enciety Consulting, Surabaya melihat para pangeran yang tumbuh di tengah keluarga yang mengutamakan nilai (values), cenderung berpotensi sukses. ”Mereka yang dibesarkan dalam pandangan jauh ke depan, dan sangat sederhana pola dan gaya hidupnya, pada umumnya berhasil membentuk jiwa usaha dan semangat berkeringat, dan kemampuan melanjutkan bisnis keluarga secara sangat inovatif,” katanya.

Bagi Riri Satria, urusan sistem nilai ini bukan perkara main-main. Untuk menentukan kemampuan putra makota, maka ada tiga hal yang menandainya; kompetensi, motivasi, serta sistem nilai. Kompetensi mencakup pengetahuan, keterampilan, serta attitude. Motivasi biasanya ditunjukkan oleh keyakinan, keseriusan, serta ketabahan. Dan, ”Semuanya dikendalikan oleh sistem nilai yang dianut,” ujar Consulting Director People Performance Consulting Indonesia ini.

Di mancanegara, tak sedikit putra makota yang mental karena gagal dalam tesnya masing-masing. Diantaranya adalah Christopher Galvin di Motorola, Edgar Bronfman Jr. di Seagram, dan William Clay Ford Jr. di Ford.

Namun ada yang juga sukses. Salah satu yang terkenal adalah Brian Roberts, CEO Comcast, raksasa telekomunikasi AS. Karyawan perusahaan yang berbasis di Philadelphia ini banyak yang mengenal Brian sejak kanak-kanak. Mereka ingat bagaimana sang bocah bergelayutan pada jas ayahnya, Ralph Roberts, salah seorang pendiri Comcast. Anak itu bahkan sudah tertarik bisnis kabel, sejak kecil; dia sudah memotong kupon yang dikirim Comcast ke pelanggan.

Seiring bertambahnya usia, Ralph mengajarkan anaknya hal-hal yang akan diperlukan dalam mengelola perusahaan. Ketika masih di sekolah menengah, secara teratur dia mengajak anaknya rapat bersama bankir dan pengacara Comcast. Pada usia 15, di hari pertama summer job, Brian pun merasakan bagaimana karyawan Comcast berhubungan dengannya. Seperti diceritakannya pada Wharton Alumni Magazine (Spring 2000), ketika dia muncul dengan jas dan dasi, penyelianya mewanti-wanti; “Saya tak peduli anak siapa kamu. Kamu akan bekerja pada saya, maka bekerjalah.”

Lulus sarjana keuangan dari Universitas Pennsylvania pada 1981, Brian ingin bergabung dengan Comcast. Namun, Ralph ingin anaknya itu bekerja dulu di tempat lain. Brian pun ngotot sampai akhirnya sang ayah memberi pekerjaan. Awalnya, dia mengira akan ditempatkan di corporate finance. Namun, Ralph menempatkannya di sebuah proyek di Trenton, New Jersey. Posisinya adalah seorang trainee. Pekerjaannya? Membentangkan kabel dan menjual kabel door-to-door.

Pada 1986 ketika Comcast mengambil Turned Broadcasting Sustem, Ralph menempatkan anaknya itu menjadi anggota direksi. Dan setelah melewati aneka ujian, baru pada 1990 Brian diangkat menjadi Presiden Comcast, di usia 31 tahun. Ralph sendiri menjadi Chairman Comcast. Sejak itu Brian terkenal dengan reputasinya sebagai dealmaker yang agresif. Pada tahun 2002 ketika Comcast mengakuisisi AT&T Broadband, investor mengritiknya atas akuisisi senilai US$ 25 miliar di tengah lemahnya ekonomi. Namun ketika dua perusahaan selesai mengintegrasikan operasinya, marjin laba meningkat dan pada 2003, majalah Institutional Investor menyebut Brian sebagai salah satu CEO Terbaik AS. Kini dia terus mengendalikan Comcast, perusahaan beromset US$ 25 miliar/tahun.

Di luar Brian, masih banyak anak yang tengah ditempa sang ayah. Salah satu yang top adalah raja baja, Lakhsmi Narayan Mittal. Lelaki yang tahun lalu memiliki kekayaan pribadi US$ 51 miliar itu tengah menggembleng Aditya Mittal dengan menempatkannya sebagai Group Chief Financial Officer Arcellor Mittal. Bagaimana kelak Aditya yang berusia 31 tahun itu benar-benar mentas, pastinya masih dinanti publik.

Kembali ke ihwal cara mengentaskan para pangeran. Memberi ruang serta mengontrolnya, merupakan cara yang terbaik sepanjang yang bersangkutan menunjukkan minat berikut kapabilitas yang mumpuni. Dan bila tanda-tanda negatif sudah muncul, segeralah ambil tindakan, yang menurut Ivan ada 4 jalan (protect and coach, dst.).

Melihat tanda-tanda ini sedari dini sungguhlah penting. Riri Satria punya cerita menarik yang layak direnungkan. Sebagai seorang dosen di sekolah manajemen, dia pernah memiliki mahasiswa yang merupakan seorang putri yang disiapkan orang tuanya untuk melanjutkan bisnis keluarga. Kepada Riri, anak itu bercerita, situasinya tidaklah mudah. Pihak luar melihatnya sebagai orang yang sudah senang, memiliki segala-galanya, mau apa saja tersedia. Padahal yang terjadi adalah tekanan yang sangat besar, yang tidak jarang membuatnya stress.

“Saat mau presentasi di kelas, saya perhatikan dia merokok di luar ruangan, dan wajahnya gelisah. Oh, rupanya dia mau mempresentasikan business plan, untuk perusahaan sendiri, dan dia ditantang untuk mewujudkan itu semua oleh orang tuanya, tidak hanya di atas kertas,” kata Riri mengenang. Dia tahu mahasiswinya itu punya pengetahuan dan keterampilan bisnis secara teoritik atau konseptual. “Nilainya (akademiknya) tinggi dan sangat cerdas menurut saya. Tetapi rupanya masalah mental dan kesiapan inilah yang tidak mudah untuk diwujudkan,” katanya.

Dalam proses mengentaskan putra makota, orang tua yang baik mestinya memang melihat semua proses yang dijalani anaknya. Keluhan mahasiswi Riri, dan juga Peni, adalah cetusan para putra makota yang tak bisa diabaikan begitu saja. Mereka harus sering didengar. “Mami, bisa nggak ya saya seperti Papi?” termasuk sinyal untuk segera melakukan cara pertama yang diberikan Ivan; protect and coach. Ingat, uji iteratif yang dilakoni sang anak, akan menjadi pencitraan yang muncul di kepala para follower. Apa jadinya kalau Peni menceritakan kecemasan itu di depan karyawannya?

Jawabannya cuma satu; runtuhlah kredibilitasnya!

0 comments: