Come on

Follow me @teguhspambudi

Wednesday, April 1, 2009

Lelaki di Balik Anomali Porsche

Share this history on :
Dia kembali untuk meyelamatkan perusahaan yang terancam bangkrut. Dia berhasil, bahkan menjadikan perusahaannya pabrikan otomotif paling tangguh menghadapi badai krisis. Apa strategi yang digelarnya?

Teguh S. Pambudi

Krisis finansial global yang berawal dari subprime mortgage rupanya terus memukul dengan daya hantam yang luar biasa. Dan salah satu industri yang paling terkena dampak tersebut adalah otomotif. Perlahan tapi mematikan, kini adalah saat-saat yang brutal bagi pabrikan mobil di seluruh dunia. Paling heboh tentu saja yang dialami Toyota. Kerugian operasional yang mencapai Rp 19 triliun untuk tahun fiskal 2008 (berakhir sampai akhir 31 Maret 2009) merupakan kerugian pertama dalam 70 tahun sejarah pabrik mobil yang dibangun Toyoda tersebut. Raksasa Jepang itu menyusul jagoan-jagoan otomotif yang telah terkapar sebelumnya seperti General Motors yang menelan total kerugian hingga US$ 30,9 miliar pada tahun lalu.

Namun, dalam setiap krisis, rupanya anomali sering terjadi. Dan perkenalkan, anomali tersebut bernama: Porsche AG. Sementara yang lain megap-megap dan meminta pertolongan pemerintahnya, pabrikan Jerman itu justru sehat walafiat. Menghadapi gejolak ekonomi yang sangat serius ini, ia berada dalam posisi yang kuat, serta dengan kinerja yang mantap. Laba sebelum pajaknya mencapai US$ 11,6 miliar di tahun fiskal yang berakhir Juli 2008, yang jumlahnya lebih besar dari total penjualan yang mencapai US$ 10,2 miliar. Kemudian, ia punya kapital hingga US$ 20 miliar, yang berarti lebih banyak ketimbang yang diinjeksi Pemerintah AS kepada GM, Ford dan Chrysler sekaligus. Luar biasa. Porsche disebut-sebut menjadi perusahaan yang sejauh ini paling tangguh meniti krisis global.

Tentu saja ada otak di balik ini semua. Dan otak kesuksesan ini adalah Dr. Wendelin Wiedeking, CEO Porsche selama 16 tahun terakhir. Semua prestasi ini tak terlepas dari strategi jangka panjangnya yang penuh visi, dan kemampuan finansial jangka pendek yang luar biasa.

Lahir 28 Agustus 1952 di Ahlen, Wiedeking tumbuh di Beckum, dan kuliah di Rheinisch-Westfaelische Technische Hochschule (RWTH) di Aachen. Semuanya masih berlokasi di Jerman. Sebagai anak yang cerdas, setelah lulus pada 1978, dia tetap di RWTH untuk meneruskan kuliah dan mengambil doktor di bidang engineering yang akhirnya diraih pada 1983. Selepas itu, dia pun memulai karir profesionalnya. Porsche pun menjadi pilihan, dan Wiedeking langsung didapuk menjadi Asisten Direktur Produksi dan Manajemen Material. Dia berdinas di pabrik Stuttgart-Zuffenhausen.

Ketika itu, situasi baik-baik saja buat Porsche, salah satu pabrikan mobil mewah terkenal. Perusahaan ini sukses pada tahun 1980-an seiring permintaan dari AS yang menyumbang 2/3 dari total penjualan. Tapi, demi mencari pengalaman, Wiedeking pun hengkang ke sebuah perusahaan pemasok yang menjadi mitra Porsche setelah bekerja selama 5 tahun. Dia baru pulang kembali ke Porsche pada tahun 1991 untuk menjabat kepala produksi.

Setelah pulang kandang, karirnya terus melejit. Hanya perlu setahun setelah “bersekolah” di tempat lain, pada 1992, lelaki berkacamata ini pun diangkat menjadi CEO Porsche. Hanya saja, situasi tidaklah sebaik ketika dia pergi. Seiring ekonomi AS yang tengah mengalami kemunduran, penjualan perusahaan pun turun 80% sehingga kerugian membengkak. Porsche bahkan terancam pailit.

Wiedeking adalah ahli mekanik yang terobsesi dengan hal detail dan mencintai kesempurnaan teknis. Duduk di tampuk kekuasaan ketika perusahaan tengah terpuruk membuatnya mengkaji ulang seluruh alur serta proses produksi. Yang ditemukannya cukup mengejutkan. Ternyata, Porsche bukan tumbang gara-gara rontoknya pasar utama (AS) yang menyumbang 2/3 penjualan. Persoalannya lebih dalam dari itu: metode produksi yang ketinggalan jaman!

Bayangkan, untuk sebuah perusahaan yang bertarung di pasar global, metode produksinya sangat birokratis dan bertele-tele. Sekitar 20% suku cadangnya bahkan sering dikirim terlambat 3 hari atau lebih. Wiedeking yang sangat terpesona dengan apa yang disaksikannya di pabrikan otomotif Jepang percaya bahwa hanya lean manufacturing radikal yang bisa mengobati sekaligus menyelamatkan perusahaan. Maka, dia pun membuat langkah taktis: mengundang konsultan dari Jepang yang telah menolong Toyota memraktikkan lean manufacturing. “Sebuah revolusi budaya dari atas ke bawah” adalah cara dia menggambarkan apa yang terjadi kemudian, ketika para konsultan mengorganisasikan sumber daya manusia ke dalam tim demi tim dan seorang demi seorang menghancurkan praktik kerja yang jelek. Wiedeking sendiri turut aktif bekerja termasuk mengelas di lini produksi. Sebuah aktivitas yang membuatnya kesohor sebagai CEO yang mau turun tangan langsung.

Dengan cepat, Porsche pun membalik situasi. Pabrikan ini menjadi pengusung manufaktur "just-in-time, just-in-sequence" yang sangat fanatik. Tapi revolusi yang digelar belumlah usai. Gerakan Wiedeking berikutnya adalah memfokuskan pada model-model mobil terbaru, dan mengalihdayakan produksi bagian-bagian yang mahal dari proses manufaktur. Inilah cara yang disebutnya jalan agar biaya overhead tetap rendah, tapi marjin laba terdongkrak.

Agar transformasi ini berjalan maksimal, Wiedeking mengambil gaya egaliter, provokatif, bukan tipe Asal Bapak Senang. Dia mendorong para manajernya untuk berani mengutarakan ketidaksetujuan agar dia dapat mengambil keputusan dengan informasi yang utuh. Ketika tiba saat penentuan harga atas mobil model terbaru, misalnya, Wiedeking tak hanya ingin mendengar saran dari para eksekutifnya. Karena itulah dia meminta tim perencanaan strategisnya selalu datang dengan proposal masing-masing untuk kemudian saling adu argumen satu sama lain. “Saya memprovokasi diskusi internal,” ujarnya. “Saya ingin para manajer bertempur mempertahankan keputusannya. Terkadang memang muncul pertengkaran, tak hanya antara saya dengan mereka, tapi juga antara mereka dengan lainnya.”

Strategi ini berhasil untuk membantu melahirkan inovasi. Tapi, langkah yang membuat Porsche kini menjadi anomali di tengah krisis global adalah strategi finansial yang jitu. Menyadari bahwa Porsche tidak punya banyak amunisi untuk berkompetisi frontal di pasar global, dia memutar otaknya. Hasilnya, pada tahun 2005, Wiedeking perlahan-lahan mulai membeli saham Volkswagen AG (VW) di pasar modal ketika harga sahamnya di bawah US$ 50. Kini, dengan menguasai 50% saham VW, nilai itu mencapai US$ 400, dan bisa meningkat dua kali lipat ketika Wiedeking mengungkap secara tidak langsung bahwa Porsche punya opsi untuk mengakuisisi 74% saham VW.

Pembelian VW adalah sebuah strategi yang sangat jitu. Digabungkan dengan lean manufacturing, maka kini lahirlah model manufaktur yang efisien. Model-model Porsche Cayenne tidak melulu dibuat di Jerman, tapi di Bratislava, Slovakia, dan di pabrik VW berdampingan dengan VW Touareg dan Audi Q7 – sekalipun perakitan final tetap dilakukan di pabrik Porsche di Leipzig, Jerman. Sedan mewah 4 pintu terbaru, Porsche Panamera yang akan segera diluncurkan, bahkan dibuat dengan memanfaatkan pabrik VW yang underutilized di Hannover, Jerman.

Semua strategi yang digelar itu akhirnya berbuah manis. Dewi Fortuna kembali menghampiri. Terutama dalam urusan marjin laba per mobil. Tahun lalu, laba sebelum pajak Porsche mencapai US$ 14 ribu permobil. Ini berarti dua kali lipat dibanding BMW, dan bagi pabrikan mobil di Detroit (AS) hanya sebatas mimpi yang sukar digapai. Tak heran para konsultan menyebut Porsche sebagai “mesin cetak uang yang sangat besar”. Perusahaan ini juga terpilih secara reguler oleh para manajer di Jerman sebagai the nation's best run. Dan Wiedeking sendiri yang telah mentransformasi pabrikan mobil sport Jerman dari bisnis yang hampir hancur menjadi the world's most consistently profitable automaker diganjar aneka penghargaan. Terakhir, Fortune menahbiskannya sebagai Europe Businessman of The Year 2009. "Wiedeking sangat hebat dengan membeli VW,” ujar Peter Schmidt, konsultan otomotif yang berbasis di Inggris. "Dia sangat brilian, pemimpin yang fokus yang mengambil VW dengan harga kacang dan kemudian mengambil keuntungan dari sana.”

Strategi membeli VW memang mujarab. VW juga membuat Wiedeking memiliki sebuah kendaraan untuk bermain di pasar negara-negara yang sedang tumbuh. China, umpamanya. Di negeri itu, VW menjual mobil sebanyak ia menjual mobil di Jerman, dan salah satu mereknya, Skoda sangatlah kuat di Eropa Timur. Wiedeking sendiri bahkan berharap bisa mengambil pasar Toyota di Jepang lewat VW. “VW terlalu lama membiarkan Asia diambil Jepang,” katanya yakin. Di atas semuanya, dia percaya strateginya menggabungkan Porsche dengan VW makin dikukuhkan dengan adanya kemerosotan ekonomi. “Anda bisa bayangkan apa yang akan terjadi bila kami tak melakukan ini (membeli VW)?,” katanya.

Sehebat-hebatnya melangkah, toh tentu saja tak semua berjalan mulus. Strategi Wiedeking melahirkan ketakutan dan kebencian tersendiri di VW. Serikat pekerja berdemo, tak ingin lelaki ini terus mencengkram. Bahkan pemegang saham kunci di Porsche AG, seperti Ferdinand Pinch, yang nota bene merupakan anggota keluarga Porsche menunjukkan ketidaksukaannya. Pinch (71 tahun) yang adalah sepupu Ferry Porsche dan cucu Ferdinand Porsche memainkan peran di VW sebagai Ketua Dewan Penasihat. Ferry adalah anak Ferdinand, sang pendiri.

Di tengah manuver Wiedeking, Pinch mendukung gerakan Serikat Pekerja VW, dan mengungkapkan keinginannya menggantikan Wiedeking. Koran-koran terkemuka Jerman seperti Der Spiegel ramai memberitakan hal ini dengan topik “Porsche Family Affairs”. Tapi pada akhirnya, Pinch mundur setelah pertemuan pemegang saham keluarga Porsche di bulan September 2008 secara terbuka mendukung kepemimpinan Wiedeking. Wolfgang Porsche berujar, "Seluruh anggota keluarga Porsche berada di belakang Wiedeking, dan tak akan menolerasi setiap tindakan yang akan menyakitinya." Wolfgang adalah Kepala Dewan Penasihat Porsche AG.

Wiedeking sendiri mengataan bahwa kritik yang diarahkan padanya adalah sesuatu yang bisa dipahami. “Tentu saja akan menyakitkan ketika perusahaan yang lebih kecil membeli perusahaan besar. Tapi luka itu sekarang telah sembuh,” katanya kalem. Tentang kritikan Pinch, dia berkomentar: “Saya sih tenang-tenang saja,” katanya. “Pemegang saham perlu memutuskan manajemen apa yang mereka inginkan. Jika mereka pikir perlu perubahan, maka saya akan terima,” kata pria yang disebut-sebut sebagai salah satu eksekutif bergaji tinggi di Eropa (€ 72,6 juta setahun).

Hingga sekarang, posisi Wiedeking memang aman. Tapi yang pasti, semua tengah menunggu bagaimana dia menyetir Porshce di masa yang paling brutal bagi industri otomotif ini. Masa-masa yang disebut auto’s year of living dangerously. ***

0 comments: