Come on

Follow me @teguhspambudi

Thursday, April 2, 2009

Raja e-Commerce Negeri Sakura

Share this history on :
Dalam waktu singkat, bisnis yang dibesutnya berkembang pesat dan mengantarnya menjadi salah satu orang terkaya paling muda di Jepang. Apa kunci suksesnya?

Teguh S. Pambudi

Di usianya yang ke-43, Hiroshi Mikitani adalah orang terkaya nomor 8 di Jepang. Kekayaan ayah satu orang anak ini mencapai US$ 3,8 miliar.

Memang kekayaan tersebut masih jauh dibanding orang terkaya di Negeri Matahari Terbit, Hiroshi Yamauchi, yang mencapai US$ 7,8 miliar. Orang low profile berusia 80 tahun ini adalah Chairman Nintendo yang dalam dua tahun terakhir menikmati lonjakan penjualan Wii yang menghantam PlayStation dan XBox. Kekayaannya juga masih jauh dibanding peringkat dua yang diduduki lelaki 71 tahun, Akira Mori (US$ 7,7 miliar).

Akan tetapi, yang terbilang istimewa adalah selain satu-satunya yang berusia 40-an tahun dalam daftar 10 orang terkaya Jepang, Mikitani menapak jadi orang kaya dari titik nol – dari bangunan bisnis yang awalnya tidak dipercaya orang, dan dalam waktu yang boleh dibilang singkat, 10 tahun.

Perjalanan Mikitani sebagai pengusaha bermula tahun 1995 ketika dia meninggalkan karier yang menjanjikan sebagai bankir investasi untuk membangun perusahaan konsultan Internet yang melayani sejumlah klien, di antaranya Softbank Corp. (pemiliknya, Masayoshi Son, kini orang terkaya Jepang dengan nilai US$ 5,1 miliar). Tak puas dengan bisnis yang ada, tahun 1997 Mikitani meluncurkan Rakuten, cybermall pertama di Jepang yang menawari para peritel untuk memajang produknya dengan pola komisi.

Tahun 1997, apa yang dilakukan Mikitani terbilang agak nekat. Pasalnya, belum banyak orang Jepang yang melihat online shopping sebagai bisnis yang menguntungkan. Hanya 5 juta orang di negeri itu yang menggunakan Internet, itu pun kebanyakan hanya untuk mengirim e-mail. Online shopping? Nyaris tak terdengar. Kalau pun ada dimiliki oleh beberapa perusahaan raksasa.

Toh, Mikitani jalan terus. Dia bahkan menancapkan ambisi yang bagi segelintir orang tak ubahnya mimpi di siang bolong: menjadikan Rakuten tak ubahnya Amazon dan eBay sekaligus, menawarkan jasa belanja dan lelang online. “I knew that the Internet would eventually take off in Japan, and I wanted to be a part of it,” katanya dengan yakin.

Awalnya, ambisi itu memang terlihat seperti mimpi yang akan segera musnah. Cybermall hanya menjadi tempat bagi 13 toko yang ingin menjual barangnya ke masyarakat. Sangat sedikit. Namun siapa nyana. Hanya dalam tiga tahun, jumlah itu melesat menjadi 2 ribu peritel dengan rentang produk yang beragam, dari ikan hingga bir. Lebih mengesankan lagi, Rakuten sanggup berkembang menjadi bisnis yang menguntungkan: labanya mencapai US$ 2,4 juta dengan nilai penjualan US$ 5,7 juta.

Manakala ekonomi Jepang tengah mengalami efek resesi global, kinerja perusahaan berbasis Internet ini sungguh mengejutkan sehingga orang pun bertanya: apa saja rahasianya?

Salah satu jawabannya: model bisnis. Model bisnis yang dikembangkan Rakuten terbilang sederhana, laiknya pengelola mal atau toko di jalur tradisional (off line). Ibarat hypermart, Rakuten menjadi tempat buat mereka yang ingin berjualan. Dan Mikitani sendiri mendapat fee dari mitra-mitranya dari setiap transaksi. Tak ubahnya model komisi.

Model bisnis inilah yang kemudian jadi platform dan mengantarkan Mikitani sebagai raja e-commerce online di Jepang. Berangkat dari cybermall, portofolio bisnisnya terus membesar. Dalam naungan Rakuten Group, kini ada 6 jasa Internet yang dikembangkan. Pertama, e-commerce marketplace (ritel online). Kedua, kredit dan pembayaran (layanan kredit konsumsi). Ketiga, portal dan media (semacam gateway ke Internet). Keempat, travel (pemesanan hotel dan travel). Kelima, sekuritas (layanan pialang sekuritas). Ke-6, sport profesional (mengelola tim baseball, merencanakan dan menjual merchandise-nya).

Seluruh layanan tersebut online. Dan Mikitani mengungkap, kunci sukses dia bisa menggerakkan portofolio bisnisnya bukanlah bertumpu pada model bisnis semata, melainkan juga melalui Rakuten Eco-System – ekosistem yang menghubungkan antara konsumen, industri (travel), merchant, dan sekuritas, dengan Rakuten yang berdiri di tengahnya sebagai medium. Dan ekosistem ini bisa berjalan karena Mikitani memiliki database terbesar di Jepang: 44 juta anggota.

Database sungguh bukan perkara sepele untuk model bisnis yang digunakan Mikitani. Dengan jumlah anggota yang besar, dia bisa saling menghubungkan antara satu layanan dengan layanan yang lain, dan bisa memainkan aneka program diskon untuk menggaet peminat lebih banyak. Misalnya, yang membeli produk di toko tertentu, akan mendapat diskon paket travel tertentu dan menginap di hotel tertentu.

Dengan cara ini, Rakuten menjadi destinasi online paling populer di Jepang. Lebih dari 18 juta orang log on ke Rakuten setiap harinya guna membeli aneka produk kebutuhan di sedikitnya 18 ribu merchant, mulai dari ikan segar hingga boneka dan asuransi. Dengan cara ini pulalah uang mengalir ke pundi-pundi Mikitani dalam waktu cepat, mengantarnya menjadi salah seorang terkaya di Jepang. Tahun 2007, transaksi bisnisnya sudah mencapai 980 miliar yen.

Kendati sukses dalam waktu singkat, Mikitani yang gemar berpakaian kasual terlihat selalu sederhana. Namun, jangan keliru menilainya. Di balik kesederhanaannya, dia workaholic. Dengan seorang istri yang berada di sisinya, dia bekerja sedikitnya 15 jam sehari, 6 hari seminggu. Selain golf, dia tak punya hobi lain.

Menengok ke belakang, hidup Mikitani mungkin tak akan seluar biasa seperti sekarang. Lulus dari Harvard Business School, dengan menggondol titel MBA pada 1993, dia mungkin akan menjadi bankir investasi papan atas di Industrial Bank of Japan. Selama studi di Harvard, dia belajar ihwal tantangan menjalankan bisnis dan melihat mulai bermunculannya sejumlah perusahaan Internet di Silicon Valley. Dia sendiri dibentuk oleh budaya Amerika jauh sebelum pergi ke Harvard. Semasa kecil, Mikitani sempat dua tahun tinggal di New Haven, Connecticut AS di mana ayahnya yang ekonom mengajar di Yale University.

Selulus dari Harvard, Mikitani kembali ke Industrial Bank of Japan, sebelum akhirnya memutuskan mendirikan Rakuten. “Saya ingin mendirikan bisnis Internet yang riil, sebuah model yang akan diikuti perusahaan Jepang lainnya,” katanya.

Kini, didukung 4 ribu karyawan, Mikitani disibukkan dengan ambisi besar yang direntangnya: menjadi destinasi belanja dan perdagangan online di Asia. Taiwan, Cina, dan Korea dalam bidikannya. Salah satu langkah penting yang sudah diayunkan adalah mengakuisisi Ctrip, situs perjalanan Cina. Juga, mengakuisisi Linkshare, perusahaan yang berbasis di New York, yang ahli dalam menganalisis kinerja penjualan dan pemasaran. Sebelumnya, pada Oktober 2005, dia mengejutkan dunia bisnis Jepang dengan membeli 15,46% saham Tokyo Broadcasting System.

Agar rencana besarnya itu tercapai, Mikitani juga memperkokoh sisi organisasinya. Dia membangun nilai perusahaannya sebagai more than a company. Adapun budaya korporatnya adalah Rakutenism, yang di antaranya menonjolkan pentingnya kepuasan pelanggan dan kecepatan layanan.

Saat mendirikan pada 1997, tak ada yang melihat Rakuten akan sebesar sekarang. Sewaktu Rakuten berdiri, tak ada yang berani bertaruh bahwa ia adalah the Next Big Thing di panggung e-commerce masa mendatang. Namun, itulah buah keyakinan seorang Mikitani yang dibangun dengan kesungguhan.

0 comments: