Come on

Follow me @teguhspambudi

Friday, April 3, 2009

Duh, Carly ...

Share this history on :
(Tulisan ini dibuat 03 Maret 2005. Melengkapi "Master Efisiensi di HP")

Setelah bertahan lebih dari lima tahun, wanita kuat ini terdepak dari posisi puncak HP. Apa saja kesalahan yang telah dilakukannya?

Teguh S. Pambudi


"I regret the board and I have differences about how to execute HP"s strategy, I respect their decision.”

Lamat-lamat, kalimat itu meluncur dari bibir Carleton "Carly" S. Fiorina. Berat dan pahit, memang. Namun, di O Hare Hyatt Hotel, Chicago, di hadapan Dewan Direksi Hewlett-Packard Co. yang memintanya mundur dari posisi CEO, ia tak bisa mengelak selain tunduk patuh. Tanggal 7 Februari 2005 itu (diumumkan ke publik dua hari kemudian), peristiwa tragis dunia bisnis pun terjadi. Bak drama, tirai besar di panggung bisnis bernama HP akhirnya benar-benar diturunkan. Dan seorang pemeran utama bernama Carly mesti merelakan bahwa lakon telah benar-benar tamat baginya. Dengan tragis pula karena tak berakhir happy ending.

Ya, tak berakhir bahagia. Wanita berambut pirang dengan potongan lurus hampir sebahu itu dianggap gagal memenuhi janji-janjinya yang dikoarkannya hampir tiga tahun lalu, tepatnya 3 Mei 2002. Saat itu, setelah berhasil menyingkirkan suara-suara sumbang, Carly merealisasi impiannya yang diluncurkannya pada 3 September 2001: merger dengan Compaq. Kepada para investor, janji wanita yang menduduki kursi CEO HP pada 17 Juli 1999 itu amat jelas: menjadikan HP perusahaan TI yang superpower dan memberi kemakmuran bagi para pemegang saham.

Ketika itu, Carly benar-benar digdaya. Bahkan, seorang Walter Hewlett pun telah merasakan kedigdayaan itu. Bayangkan, sebagai anak William Hewlett, pendiri HP, Walter ditendang dari posisi Direktur karena berseberangan dengan Carly serta para sekondannya. Ia khawatir merger dengan Compaq akan mendilusi bisnis printing dan imaging HP, di samping kesulitan memadukan kultur dua perusahaan yang berbeda. Walter akhirnya menjual sahamnya di perusahaan yang berdiri pada 1938 itu.

Apa yang dikhawatirkan Walter itu sebenarnya tak terlalu terbukti. Memang, akibat merger, pemegang saham HP terdilusi 37% di bisnis printing, setelah mereka sepenuhnya (100%) menguasai bisnis ini. Akan tetapi, bisnis printing & imaging terus tumbuh dengan mantap. Tahun lalu, penjualan bisnis ini mencapai US$ 24,2 miliar, dengan laba operasional US$ 3,8 miliar. Namun, secara keseluruhan, HP bisa dikatakan memble. Di bisnis PC, bintang Lembah Silikon ini terus dihajar Dell, sementara di komputasi korporat, dilibas IBM di pasar server dan EMC Corp. di storage. Tak mengherankan, tahun lalu, dengan pendapatan US$ 80 miliar, laba HP cuma US$ 3,5 miliar dengan rasio-rasio keuangan yang juga lemah seperti return on assets-nya yang 4,6%, dan return on equity (ROE)-nya yang hanya 9,3% (sementara ROE median dari ranking Fortune 500 adalah 14%).

Alhasil, wajar juga, akhirnya para pemegang saham yang telah lama gusar dengan "ingkar" janjinya Carly menjadi kian tak sabar. Dan terjadilah Tragedi Hotel O Hare itu. Tragedi yang justru menimbulkan tepuk tangan di kalangan para penentang Carly. Tepuk tangan?

Ya. Tersungkurnya Carly tak ayal membuat para penentangnya yang selama ini tak menyukai kebijakannya bersorak. Begitu Robert P. Wayman, CFO HP yang menjabat CEO interim, mengumumkan mundurnya Carly, satu e-mail di kalangan mereka yang tak menyukai wanita itu, seperti dikutip BusinessWeek, 21 February 2005, merayakannya dengan sinis. "Dingdong, the witch is dead," begitu bunyinya.

Laiknya hidup, selain memiliki banyak pengagum, Carly juga punya banyak penentang. Namun, terlepas dari like-dislike, terpentalnya wanita ini menimbulkan pertanyaan: Apa sebenarnya penyebab kejatuhannya? Pelajaran apa yang bisa diambil dari peristiwa ini?

Ambisi yang kelewat besar bisa jadi sumber awal kejatuhan ini. Dalam The Rise & Fall of Carly Fiorina di cbsnews.com (10 Februari 2005), Larry Magid, analis teknologi, menulis bahwa sejak kehadirannya, Carly ingin menjadikan HP "all thing to all people" Pada bisnis PC, ia ingin bersaing dengan strategi low-cost commodity-nya Dell. Sementara itu, di kelas yang lebih tinggi, ia ingin menyaingi IBM dalam bisnis konsultansi dan custom services. Karena itulah, ia ngotot merger dengan Compaq, berlandaskan pemikiran Darwinian, "Bukan spesies-spesies terkuat yang akan terus hidup. Juga, bukan yang paling cerdas. Tapi spesies yang paling tanggap terhadap perubahan." Merger adalah panasea buat masa depan HP. Begitu keyakinan wanita kelahiran Austin, Texas, 6 September 1954 ini.

Hebat memang, visinya. Namun, nafsu besar seperti itu boleh dikata datang di masa yang kurang tepat, akhir tahun 1990-an ketika tech boom mulai kian mengempis. Toh, Carly jalan terus. Untuk mendukung visinya, ia mengeksplorasi aspek inovasi. Wanita ini meluncurkan slogan "Invent" ke seluruh penjuru dunia. Bahkan saking rajin menyambangi banyak tempat untuk menyosialisasi visinya itu, julukan "Celebrity CEO" melekat padanya.

"Ini sebenarnya ide yang keren, yang merefleksikan dukungannya yang kuat di bidang R & D (riset & pengembangan). Namun, apa pun invensi yang dihasilkan, kurang menginspirasi perbaikan nasib HP,"tulis Larry. Ia membandingkan dengan Apple yang menghadapi ancaman kehancuran di akhir tahun 1990-an. Di bawah kepemimpinan Steve Jobs -- yang masuk kembali setelah keluar untuk mendirikan PIXAR -- Apple kembali bersinar. Perusahaan ini tak hanya menghasilkan komputer-komputer baru, tapi juga sukses menginvensi industri baru lewat iTunes dan iPod.

"Carly yakin bahwa arah TI adalah konsultansi, virtual, personal. Dia yakin bahwa Microsoft akan digantikan Linux. Dia yakin bahwa kekuatan HP akan ada pada inovasinya kelak. Itulah sebabnya, dia mencanangkan slogan baru "Invent" pada semua mesin HP yang memang tampak elegan dan bagus,"jelas Steve Sujatmiko, Mitra Pengelola Red Piramid, konsultan manajemen strategis. Malang, merger yang diciptakan untuk mencapai visi HP sebagai raksasa di dunia TI berubah menjadi dinosaurus yang lamban. Dan dalam hematnya, salah satu faktor kegagalan Carly adalah pada level operasional. Wanita ini tak punya eksekutor-eksekutor hebat.

Bisa jadi analisis ini benar. Tak lama setelah merger, mitranya, Michael A. Capellas, mantan CEO Compaq, mengundurkan diri dari posisi orang kedua HP. Lalu, sejak kedatangannya ke HP, Carly sendiri kurang bisa merangkul SDM-SDM andal, bahkan memecat eksekutif yang berseberangan dengannya. Beberapa figur terkenal yang mental di tangannya adalah Antonio Perez, kini menjadi Presiden Eastman Kodak, dan Mary McDowell, sekarang menjadi eksekutif senior di Nokia.

Terlepas dari ketakmampuan merangkul bawahan, banyak analis yang melihat faktor kapabilitas sang CEO sendiri menjadi penyebab kegagalan. Di balik ambisi besarnya, Carly dinilai tak sanggup menciptakan strategi yang jitu untuk perusahaan sebesar HP. Tepatnya, tak bisa meramu strategi yang pas untuk setiap bisnis, yang notabene berhadapan dengan para raksasa di kelasnya masing-masing seperti Dell di PC dan IBM di komputasi korporat.

Contohnya, di bisnis PC. Sebelum merger, Compaq sebetulnya sanggup menciptakan perlawanan hebat terhadap Dell -- yang terkenal amat efisien -- lewat model penjualan langsung ke konsumen. Namun, begitu merger, model direct selling kurang mendapat tempat. Mengapa? HP tak bisa secara agresif mendorong penjualan PC-nya dengan cara mem-by pass para peritelnya, terutama ketika akan menjual printer-nya. Bila ini dilakukan, para peritel bisa marah. Akibatnya, HP pun bertahan dengan model lama, bertarung dengan model bisnis Dell yang efisien dengan hasil yang mudah ditebak: jeblok. Menurut data Gartner, tahun 2004 total PC yang terjual mencapai 189 juta unit, naik 11,8% dibanding tahun 2003. Dari pasar sebesar itu, Dell menguasai 16,4% sementara HP cuma 14,6%. Penguasaan pangsa pasar HP ini, menurut Gartner, relatif stagnan karena tahun 2003 juga berada di kisaran 14%. Ini berbeda dari Dell, yang di tahun 2003 menguasai 14,9%.

Sebagai CEO, Carly dinilai kurang cerdas untuk mengatasi hal ini. Padahal, ia orang penjualan. Ia juga dinilai kurang tanggap dengan usulan untuk memisahkan bisnis printer sebagai entitas tersendiri agar fokus menghadapi para pesaing di medan laga masing-masing. Carly enggan meniru IBM, misalnya, yang melepas bisnis PC-nya ke pabrikan komputer Cina, Lenovo (dahulu Legend), senilai US$ 1,25 miliar agar bisa fokus di komputasi korporat. Agaknya, visi membuat HP menjadi "all thing to all people" telah menjeratnya. Karena ingin konsisten, ia jadi tak leluasa bergerak. Konsistensi yang sesungguhnya tak perlu di tengah tuntutan fleksibilitas strategi bisnis.

"Kebodohan" Carly lainnya adalah dalam area investasi. Ia memang berupaya menggenjot investasi agar kinerja bisnis corporate investment dan software-nya cemerlang, dengan membeli sejumlah perusahaan peranti lunak. Nyatanya, beberapa anggota dewan direksinya sendiri kecewa ketika sang bos justru kurang semangat memburu Veritas Software Corp., pembuat peranti penyimpanan data yang cukup sukses. Veritas akhirnya jatuh ke tangan Symantec, pencipta Norton Anti Virus. Dan seperti tertera di Tabel, tahun 2004 bisnis corporate investment dan software HP merugi.

Buntut dari lemahnya kapabilitas ini, munculnya tulisan-tulisan yang amat sinis. Jon D. Markman, umpamanya. Dalam Lessons of Carly Fiorina"s Fall yang dimuat di thestreet.com (10 Februari 2005), ia menuding bahwa Dewan Direksi HP tahun 1999 sebenarnya punya andil dari kekacauan ini. Merekalah, tudingnya, yang membawa Carly masuk dan melakukan perubahan radikal. Padahal, kinerjanya belumlah terlalu proven untuk memimpin perusahaan sebesar HP.

Sebelum analisis Markman muncul, Majalah Fortune dalam Why Carly"s Big Bet is Falling (7 Februari 2005) telah menyebutkan itu. Majalah bisnis terkemuka ini bahkan dengan jujur mengakui ada sejumlah kekeliruan yang dibuatnya sebagai media dengan menobatkan Carly sebagai Most Powerful Women di dunia bisnis, yang turut memancing Direksi HP membetotnya menduduki singgasana. Padahal, seperti diutarakan Markman, kinerjanya belumlah terlalu istimewa.

Sebelum memimpin HP, Carly adalah eksekutif penjualan yang terkenal dinamis di Lucent Technologies Inc. Ia adalah pemimpin HP pertama yang datang dari luar perusahaan. Terkenal amat decisive, Carly juga termasyhur sebagai komunikator yang baik. Salah satu ucapannya yang terkenal dilontarkannya di depan para lulusan Universitas Stanford (tempat ia mendapat gelar BA), pada 2001. "Jadikan keberanian dan bergerak maju sebagai pilihan. Dan jangan biarkan pilihanmu melumpuhkanmu," begitu cetusnya. Ini sejalan dengan sikap kerasnya yang beberapa kali ditanamkan pada karyawan HP, "Jangan takut mengambil keputusan, jangan takut membuat kesalahan."

Setelah meraih MBA dari Universitas Maryland dan gagal dalam perkawinan, Carly bergabung dengan AT&T Corp. sebagai sales representative di tahun 1980. Kariernya menanjak dan masuk jajaran eksekutif, sekaligus turut membidani pemisahan divisi equipment and R&D-nya AT&T menjadi Lucent Technologies Inc. tahun 1996. Menikahi manajer AT&T, Frank Fiorina, yang telah memiliki dua putri dari pernikahan sebelumnya, keluarga ini menjadi model pergantian peran dalam keluarga: Frank tinggal di rumah, mendukung karier istrinya yang berkembang luar biasa pesat.

Orang boleh saja berkomentar bahwa apa yang ditulis sehabis kejatuhan Carly dengan menjelek-jelekkannya adalah sikap tak ksatria. Namun, apakah istri Frank Fiorina ini memang benar-benar buruk?

Tidak selalu. Menurut Steve, kalau mau dianalisis, Carly tak sepenuhnya jelek sebagai seorang CEO. Penghematan, misalnya. "Ia membuktikan bahwa merger itu menghasilkan penghematan sebesar US$ 3 miliar," katanya. "Tapi dia keliru karena mengira bahwa penghematan itu menyenangkan para investor dan analis," lanjutnya. Di tempat lain, Elisa Lumbantoruan membenarkan hal ini. Presiden Direktur HP Indonesia ini bahkan menyebutkan bahwa mantan bosnya itu sebetulnya mampu memenuhi target yang ditetapkan Dewan Direksi (BOD) saat merger, yakni membukukan pendapatan sebesar US$ 80 miliar. "BOD tetap memuji bahwa Carly memiliki strategi yang bagus. Tetapi, BOD melihatnya dari perspektif shareholder. Menurut penilaian mereka, share value HP terhadap market relatif tidak mengalami pertumbuhan yang cukup cepat. Jadi, share value-nya di bawah ekspektasi para BOD. Itu alasan utamanya," ungkapnya.

Apa pun, Carly sendiri sebetulnya telah berupaya berbenah -- sekalipun di mata sebagian analis tetap kurang brilian. Di antaranya, berkolaborasi dengan Intel Corp. membuat prosesor Itanium buat server high-end. Malang, produk ini gagal di pasar. Padahal, HP telah menghentikan pengembangan prosesor miliknya sendiri yang juga diarahkan untuk server high-end, bernama PA-RISC. Dan akhirnya malang pula buat Carly, kursi CEO lepas darinya setelah hampir 6 tahun diduduki.

Kini, untuk sementara Carly digantikan Wayman, CFO yang sudah mengabdi 36 tahun di HP. Sementara itu, Patricia C. Dunn, Direktur HP sejak 1998, ditunjuk menjadi Chairman Non-eksekutif Dewan Direksi. Beberapa nama pengganti telah beredar untuk mengisi kursi yang ditinggalkan sang CEO. Di antaranya, Michael A. Capellas dan John Joyce, Chief Global Services IBM. Calon lain, Edward J. Zander, CEO Motorola yang kendati baru setahun di perusahaan telekomunikasi itu telah menunjukkan kinerja cemerlang. Dari internal perusahaan, Vyomesh Joshi, Presiden Eksekutif HP menjadi salah satu kandidat yang disebut berpeluang.

Namun, siapa pun kelak yang akan menggantikan, toh buat CEO baru, persoalan tidak semudah mengedipkan mata. "Ini tugas Herkules. Mahaberat," ujar Jay R. Galbraith, penulis Building Organization Around the Global Customer. Sejauh ini, opsi dominan yang diberi kalangan analis dan investor buat para calon CEO adalah bersikap realistis; HP tidak bisa mengerjakan semuanya. Apa yang dikerjakan perusahaan ini terlalu besar sementara sumber daya dan kemampuan manajerial untuk bertempur dengan para raksasa di kelasnya, terbilang minim. Kalangan analis dan investor di Wall Street tetap bersikukuh bahwa memecah legenda hidup Lembah Silikon ini merupakan pilihan logis dan terbaik. Biarkan tiap divisi menjadi entitas tersendiri, dan kembalikan HP sebagai perusahaan yang kokoh di sektor printing dan imaging. Atau, dalam bahasa lain, buat dua perusahaan, yang satu fokus pada pelanggan korporat, sementara yang lain melayani klien individual.

Selagi belum ada CEO yang pasti sebagai pengganti Carly, HP kini bergerak as usual. Yang menggembirakan, begitu kabar mundur menggema, saham bergerak naik. Namun, jelas ini bersifat amat tentatif. Para investor tentu akan terus memonitor perkembangan.

Life without Carly. Begitulah kini kehidupan di lingkungan HP. Maklum, sosok wanita yang satu ini teramat high profile. Di Indonesia, Elisa sendiri menanggapi perkembangan yang ada dengan santai. "Turunnya Carly tidak membuat kami resah atau panik. Bagi kami, pergantian CEO adalah hal yang biasa. Kami sudah mengadakan employee communications meeting untuk mendengarkan pendapat setiap karyawan. Tak ada yang perlu dikhawatirkan," ucapnya. Ia juga menambahkan bahwa secara keseluruhan, dari total pendapatan HP di Indonesia, sekitar 40%-nya masih dikontribusi Technology Solution Group yang mencakup server, storage, services dan software. Sekitar 30% masing-masing disumbang dari Kelompok Printing (printer dan suplainya) dan Personal System Group (notebook, PDA, PC dan produknya).

Carly sendiri kini belum diketahui akan mengerjakan apa. Kalaupun ada yang masih terasa menghibur dan dianggap happy ending dari kejatuhannya adalah paket kompensasi sebesar US$ 21 juta. Namun, tentu, bagi seorang seperti dia, uang bukan nomor satu. Reputasilah yang menjadi nomor wahid, yang notabene kini telah berlumur noda. Kepada karyawan HP, ia berpesan singkat. "HP adalah perusahaan hebat, dan saya berharap seluruh insan HP meraih sukses di masa depan," ujarnya. Lantas, tamatkah karier mantan wanita yang berkali-kali menduduki Most Powerful Women versi Fortune ini?

Sebagian orang tak meyakininya. Stephenson, mantan Manajer Lucent yakin Carly yang tertarik dengan dunia politik -- dan telah menjadi bagian dari tim sukses Arnold Schwarzenegger menuju kursi Gubernur Kalifornia -- akan banting setir ke dunia ini. "Kalau Anda tahu Carly, yakinlah, ini bukan bab terakhir baginya," ujar Stephenson.

Mungkin, dan kejatuhan ini jelas bukan kiamat. Namun di HP, ding dong ... lakon itu sudah tamat. Bye Carly.

0 comments: