Come on

Follow me @teguhspambudi

Sunday, April 24, 2016

Parwati Surjaudaja: Katalisator yang Energik

Share this history on :
Beban yang diembannya ditunaikannya dengan baik. Posisinya sebagai pemimpin dijalankannya sebagai katalisator. Kekuatannya terletak pada detail dan passion.


PAGI YANG PRODUKTIF

Pagi hari adalah masa paling produktif bagi wanita energik ini. Setelah bangun jam 05.00, dia langsung berolahraga. Usai mengolah fisik selama satu jam lamanya, dia pun bergegas ke kantor. Kebetulan, karena rumahnya dekat, biasanya lantai yang dingin di OCBC NISP Tower, Jl. Prof. Dr. Satrio, Jakarta Selatan itu sudah dijejaknya pada jam 6.30. Jarang sekali dia datang setelah arloji di tangan menunjukkan angka 07.00. Begitu selalu rutinitas yang dijalaninya

Parwati Surjaudaja. Demikian wanita berambut pendek yang gesit ini. Memimpin bank beraset di atas Rp 100 triliun dan karyawan 7000 orang tentu tidaklah mudah. Datang pagi setelah menjaga kebugaran menjadi modal awalnya untuk mengemban tugas yang tak mudah.

Ya, bukan tanpa maksud dia rutin datang pagi. Dia sengaja tiba lebih awal untuk mengecek email berikut dokumen lain yang masuk, sekaligus memastikan apa yang akan dilakukannya hari itu. “The most productive time pagi-pagi sebenarnya, karena belum banyak yang datang,” ujarnya ringan. Aneka rapat baru dimulainya pada jam 8 pagi. Lewat jam itu, dia seperti pelari marathon: berpindah dari satu rapat ke rapat lain.

Tapi tentu saja datang pagi bukan modal segalanya untuk mengelola bank yang dipimpinnya sejak 2008 itu. Terlebih persaingan di industri perbankan nasional sangatlah ketat. Diperlukan pemimpin yang piawai dalam menyusun strategi, mengokestrasi inovasi yang kontinyu, dan memimpin armada agar mampu memenangkan pertempuran.

Menyadari hal itu, Parwati berupaya selalu menjadi penggerak atau pendorong bagi timnya agar menjadi winning team. Untuk itu, dia pun harus lebih mendisiplinkan dirinya sendiri terlebih dahulu. Datang lebih awal cuma satu contoh kedisiplinan, bahkan bentuk dari profesionalisme yang merupakan budaya kerja OCBC NISP. Sejak tahun 2012, bank ini memiliki tiga values: Professionalism, Integrity, dan Customer Focus.

Kantor Pusat OCBC NISP di Jl. Prof. Dr. Satrio, Jakarta

Kedisplinan datang pagi juga menjadi wujud dari prinsip yang selalu dipegangnya teguh: walk the talk atau always do as you say. “Apapun yang dikatakan dan dilakukan harus sama. Dengan seperti itu, akhirnya apa yang ingin kita capai atau ingin kita drive, pasti tercapai. Kalau kita cuma ngomong tapi tidak sesuai dengan kelakuan kita sendiri, akan sulit,” jelasnya.

Bukan hanya kedisiplinan untuk sesuai kata serta perbuatan, saat akan mengarahkan anggota timnya pun dia berusaha mendisiplinkan untuk selalu bertanya kepada dirinya terlebih dahulu. Dia akan men-challenge serta mengonfirmasi pada dirinya sendiri: apakah target yang ditetapkannya, baik jangka pendek maupun panjang sudah benar; apakah arah strategi untuk mencapainya sudah tepat; dan apakah seluruh asumsinya valid.

Mengapa harus meyakini terlebih dahulu?

MEYAKINI VISI

“The very essence of leadership is that you have to have a vision. It’s got to be a vision you articulate clearly and forcefully on every occasion. You can’t blow an uncertain trumpet.” Begitu kata Theodore Hesburgh, mantan Presiden Universitas Notre Dame.

Seorang pemimpin bukan hanya punya visi, tapi juga meyakini bahwa visi itu bisa terartikulasi dengan kekuatan pasukan yang ada. Dengan menggunakan kacamata four roles of leadership, Parwati menyadari perannya sebagai perintis tak ubahnya sang pembuka jalan. Dengan bertanya pada diri sendiri, dia melihat kondisi secara helicopter view. Dia mengkaji bagaimana posisi OCBC NISP dalam industri perbankan serta para pesaing. Ditelaahnya apa yang menjadi masalah, tantangan berikut peluangnya.

Selama berbincang dengan SWA, Parwati bertutur dengan penuh keteraturan di tengah semangat yang besar. Wanita yang selalu melangkah gegas dan gesit ini, tampak memikirkan setiap kata yang terlontar dengan cermat. Sore itu, di tengah langit Jakarta yang cerah, dia mengenakan baju bermotif etnik berwarna gelap dan celana hitam dengan model lurus. Senyumnya tak henti mengembang di wajahnya yang tampak belum banyak berkerut di usia 50-an. Terlebih bila bicara akan ke mana di ingin membawa OCBC NISP, dia akan penuh semangat bercerita.

Berterus terang, dia ingin menjadikan OCBC NISP masuk 10 besar bank dengan pertumbuhan yang cepat dan berkelanjutan. Caranya?

“Dilihat dari tatanan OCBC NISP, dari tatanan di dalam, segmen usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) lebih cocok buat kami,” imbuhnya. Faktanya, segmen mikro memang sangat menggiurkan. Parwati sendiri mengamati dengan seksama bagaimana BRI dan Danamon bermain di sini, dan menjadi pemain yang dominan.

Memang sektor UMKM terbilang tahan banting. Sementara kredit sektor lain mampet, sejumlah bank menjadikan kredit ke UMKM sebagai tumpuan usaha yang terbukti mampu menyelamatkan kantung mereka. BRI contohnya. Tahun lalu, bank ini membukukan pertumbuhan kredit UMKM sebanyak 16,8%, sementara di tahun 2014 tumbuh 16%.

Lantaran hal itu, Parwati pun mendorong perusahaannya konsisten, bahkan masuk lebih dalam ke pasar UMKM, yang nota bene merupakan segmen tradisional NISP saat awal beroperasi di Bandung. Salah satu yang kini digenjot habis adalah Kredit Usaha Rakyat (KUR) UKM OCBC NISP. Ini adalah produk pinjaman yang dikhususkan untuk pelaku usaha kecil dengan suku bunga 11- 12,25% per tahun. Nasabah bisa memilih antara KMK (kredit modal kerja) atau kredit investasi.

Tapi Parwati juga tak melupakan segmen korporasi besar. Apalagi dia mengetahui bahwa kekuatan tradisional OCBC adalah sektor korporat. “Segmen UMKM dan korporat ini jadi kekuatan, setelah melihat kekuatan-kekuatan sumber daya di dalam,” tuturnya.

Bicara sumber daya, Parwati sangat memperhatikannya. Sebab, bagaimanapun, kesuksesan seorang CEO akan bergantung pada bagaimana kekuatan serta keberhasilan anggota timnya hingga di level paling bawah.

Agar mereka bisa berhasil, dia menyadari perannya yang kemudian dibutuhkan adalah menyelaraskan antara apa yang menjadi visinya dengan sumber daya yang ada. khususnya, dari sisi manusia.

Parwati, selalu men-challenge diri


DETAIL 

Di atas disinggung bagaimana Parwati terus men-challenge dirinya terhadap visi serta strategi buat perusahaan. Untuk urusan menyelaraskan, maka setelah meyakini seluruh visi serta strateginya itu adalah yang terbaik bagi perusahaan, barulah dia mengajak direksi duduk meminta masukan agar semuanya makin tajam, menarik, dan on the track.

Rama P. Kusumaputra, Managing Director OCBC NISP melihat justru di sanalah kekuatan Parwati. Baginya, CEO-nya itu sungguh kuat dalam men-set strategi jangka panjang dan detail. “Ibu Parwati memiliki latar pernah menjadi konsultan, dia jadi sangat detil,” katanya. Sebelum bergabung di perusahaan keluarga, Parwati memang sempat menjadi Konsultan Senior di SGV Utomo/ Arthur Andersen (1987-1990).

Menurut Rama, ada beberapa leader yang dikenalnya sangat bagus dalam strategi jangka panjang, tapi kurang detail, lalu diserahkan ke orang lain. “Ibu Parwati juga memiliki passion yang tinggi di pekerjaannya, sudah terbiasa mengawal sesuatu dari A sampai Z. Dalam menjalankan strategi jangka panjang, dialah yang memimpin, meyakinkan semua pihak bahkan semua level. Turun ke kota-kota untuk memimpin perubahan,” paparnya.

Kendati terbilang detail, bukan berarti dalam eksekusinya jatuh dalam micromanagement. Dalam konteks ini, ibu empat anak yang beranjak dewasa itu percaya pentingnya empowerment yang terkontrol dengan baik. Dan sebagai pemimpin, katanya, dia mesti memperhatikan mulai dari kesiapan tim, kompetensi serta kebutuhannya, untuk kemudian menilai lewat indikator-indikator kunci. Dari keseluruh proses ini, dia melanjutkan, yang terpenting baginya sebagai pemimpin adalah mendengar serta menerima kritik yang membangun.

Empowerment ini penting, apalagi menghadapi generasi kerja sekarang, Gen Y dan milenial. Kita harus menyadari, bahwa kita sebagai leader tidak selalu benar. Dunia berubah cepat sekali. Kalau semua tersentralisasi dan kuasa di bawah kita, bisa dipastikan akan terlambat. Karena kita tidak pernah tahu persis di lapangan seperti apa,” jelasnya. Berhubungan dengan dua generasi ini memang membuatnya memberi penekanan khusus. Maklum, saat ini, 70% dari 7000 karyawan adalah Gen Y.

Dengan tatapan yang ramah, Parwati menjelaskan bahwa proses empowering ini terus diperbaikinya dari waktu ke waktu. Sewindu lalu, keputusan kredit sebesar apapun ada di ruangannya. Kini itu tidak terjadi lagi. Kantor cabang punya kewenangan besar sehingga bisa memutuskan perihal kredit dalam nilai yang tinggi. “Sejak pertengahan tahun kami melakukan perubahan. Sebelumnya semua di kantor pusat, kini kami dorong empowerment ini hingga ke ujung. Jadi, kepala cabang menjadi CEO bagi masing-masing kantornya. (Tapi) Soal empowerment ini kami belum sempurna, kami terus memperbaiki diri,” ujarnya.

Selain kewenangan kredit, yang juga didorongnya adalah inisiatif untuk menggali consumer insight. Temukan insight, temukan insight, temukan insight. Itu selalu pesannya. Pesan lainnya: ciptakan rasa nyaman dalam diri nasabah! “Kami ingin hubungan dengan nasabah adalah partnership. Jadi, (bersifat) jangka panjang. Artinya dalam berbisnis kita harus win-win,” dia menegaskan.

Sebelum empowerment yang sekarang diterapkannya, menurutnya orang cenderung pasif: kalau tidak ditanya, tidak memberikan masukan. Lebih-lebih lagi, sewaktu ada pinjaman bermasalah, mereka tidak mau ikut bertanggung jawab. “Dengan empowerment sekarang, bisnis lebih cepat memberikan pelayanan, mengambil keputusan juga cepat, nasabah lebih senang, orang kami juga jadi lebih senang karena dipercaya, jika ada masalah dia berani mengambil tanggung jawab,” Parwati menjelaskan.

Model pemberdayaan yang ditempuh Parwati boleh jadi tak terlepas dari gemblengan yang diterima dirinya, yang diberdayakan sang ayah, Karmaka Surjaudaja untuk mengambil tampuk pimpinan perusahaan di saat-saat yang penting di tahun 2008. Kebetulan, pada tahun-tahun itu, kesehatan Karmaka juga sedang terganggu.

Sedikit ke belakang, Parwati memang berada di titik yang penting dalam perjalanan perusahaan. Bila mengilas balik, perjalanan NISP terentang panjang. Saat awal dikibarkan, sang pendiri, Lim Khe Tjie yang juga mertua Karmaka menamakan perusahaannya NV Nederlandsch Indische Spaar En Deposito Bank. Tahun 1960-an, di tangan Karmaka yang diserahi tampuk perusahaan, NISP tumbuh menjadi bank yang solid dan prudent. Wujud kehebatan itu adalah tahun 1997. Tanpa bantuan pemerintah, bank kebanggaan warga Bandung ini sukses melewati krisis keuangan Asia dan tumbangnya perbankan di Indonesia.

Reputasi ini memancing sejumlah institusi internasional untuk “menikahi” NISP. Di tengah gelombang restrukturisasi perbankan nasional yang melahirkan raksasa-raksasa hasil merger antarbank, akhirnya NISP menerima lamaran OCBC pada 2004.

Parwati dipercaya memimpin perusahaan di masa penting ini pada 2008 kala perusahaan bersalin nama menjadi OCBC NISP. Dan berikutnya, di tahun 2011, dia memimpin merger lanjutan antara OCBC NISP dengan OCBC Indonesia.

Wanita ini mengingat momen merger itu dengan baik seakan peristiwa itu baru saja berlalu di pelupuk matanya. Menurutnya saat itu banyak karyawan sempat ragu dengan langkah merger ini. Alasaannya: tak sedikit merger bank yang berujung kegagalan. “Bahkan ada karyawan yang bilang ke saya sambil menangis. Karena trauma, (mereka) mempertanyakan langkah saya mengapa harus mengambil keputusan merger. Jadi dia pindah dari bank sebelumnya karena bank itu merger. Saat itu saya berpikir betapa mengerikan merger itu,” kenangnya.

Toh sekali layar terkembang, pantang biduk surut ke pantai. Parwati tetap harus jalan. Dan dia mampu meyakinkan karyawan bahwa merger akan membuat mereka jauh lebih baik. Dia juga sanggup merapikan proses merger sekaligus menekan “rasa sakit” akibat merger semaksimal mungkin. “Waktu itu kami berhasil membuat proses merger tidak bertahun-tahun, tapi hanya dalam waktu tiga bulan,” kata anak keempat dari lima bersaudara ini.

Jadi, Parwati berhasil mewujudkan merger dengan mulus tanpa riak besar hanya dalam waktu hitungan bulan. Kuncinya?

Menurutnya, kuncinya terletak pada manusia. 80 persen waktu dalam proses merger ini adalah bagaimana membuat orang bisa menyatu dengan baik. Faktor sukses lainnya adalah karena bisnis masing-masing tidak bertabrakan, malah punya kekuatan yang saling melengkapi: NISP di ritel, sementara OCBC di korporat.

Keberhasilan ini tentu saja menambah percaya diri Parwati sebagai pemimpin perusahaan. Maklum, memimpin perusahaan hasil merger bukan hanya memadukan kekuatan bank lokal serta bank asing, tapi juga menyelaraskan seluruh strategi yang dibuat agar bank hasil merger ini bisa tumbuh mengesankan di tengah persangat industri yang tambah ketat dari waktu ke waktu, yang berbeda dengan dekade 1990-an, apalagi saat bank ini berdiri.

4 April 2016, OCBC NISP berulang tahun yang ke-75. Parwati tak bisa menutupi rasa bangganya sebagai generasi ketiga yang mampu membesarkan perusahaan keluarganya (sekalipun sahamnya telah minoritas). Menurutnya, tak banyak bank di Indonesia yang sudah melewati 5 dasawarsa. Selain OCBC NISP, ada BRI dan Bank HS yang usianya lebih dari 70 tahun. Selebihnya berusia lebih muda.

Dia pun senang karena dari sisi governance, OCBC NISP solid. Begitu juga dari sisi kinerja keuangan. Soal performa, aset pada Desember 2008 di posisi Rp 39 triliun. Tahun 2015 mencapai Rp 120 triliun. Sementara itu laba bersih terus menanjak. Saat menjadi CEO, laba bersih di posisi Rp 350 miliar (2008), tahun 2015 di posisi Rp 1,5 triliun. Adapun tahun 2014, laba bersih tercatat Rp 1,3 triliun.

Pendapatan berbasis bunga masih menjadi motor performa ini. Pendapatan bunga bersih tercatat naik 18% dari Rp 3,74 triliun (2014) menjadi Rp 4,42 triliun (2015). Ini merupakan buah dari agresivitas pengucurkan kredit. Penyaluran kredit tumbuh 26% menjadi Rp 85,88 triliun.

KATALISATOR

Tentu saja ini membanggakan di tengah kondisi perekonomian global dan nasional yang tengah mengkeret. Toh bicara pencapaian kinerja ini tak lantas membuatnya langsung bertepuk dada. Dia sepertinya memahami pandangan John Maxwell yang mengatakan “A good leader is a person who takes a little more than his share of the blame and a little less than his share of the credit.”

Karena itu pula, saat diberi tahu dirinya menjadi The Best CEO 2016, dia pun hanya tersenyum ringan. “CEO (itu) hanya sebagai katalisator. Yang pasti ini bukan pencapaian pribadi,” katanya. Bukan tanpa alasan dia menyatakan demikian. Baginya team work-lah yang membuatnya berhasil. Yang pasti, benghargaan ini seakan menjadi kado buat ulang tahun perusahaan yang dirintis kakeknya itu.

Dia sendiri lebih fokus untuk membawa perusahaannya ini melesat lebih tinggi, cepat dan solid. Banyak target yang telah dipatok bersama. Dan itu membutuhkan sentuhannya selaku pemegang komando tertinggi.

Waktu yang beranjak petang membuatnya siap-siap untuk menyelesaikan pekerjaan dan pulang ke rumah. Seperti saat ke kantor, alumnus Master of Business Administration, Accounting, San Francisco State University, California ini juga selalu berusaha tepat waktu tiba di kediamannya. Sesampainya di rumah pada jam 19.00, dia akan bersalin peran: bila di kantor menjadi ibu bagi karyawan, di rumah dia menjadi ibu bagi anak-anaknya.

Keluarga sangatlah penting baginya. Sekalipun terhitung pekerja keras, Parwati tetap meluangkan waktu buat keluarga. Terutama saat libur. Sewaktu libur tiba, mereka pun akan menikmatinya bersama. “Saya hobi traveling. Biasanya bersama anak-anak sambil mengajarkan mereka tentang banyak hal. Biasanya setahun saya punya jadwal (berlibur),” kata perempuan yang juga menggemari kuliner ini. Kecuali Kalimantan, hampir semua provinsi di Indonesia sudah dirambahinya untuk jalan-jalan. Tapi menjejak Tanah Borneo itu sepertinya hanya soal waktu. Kini dia masih berkonsentrasi untuk membuat perusahaannya makin berkibar.

Yang jelas, menyadari keterbatasan diri di tengah bisnis yang dinamis, Parwati tak mau seperti roda yang berhenti berputar. “Sebagai CEO, harus terus belajar, tidak boleh berhenti,” dia memungkas pembicaraan. Dan satu kalimat bahasa Sunda terlontar dari bibirnya begitu SWA mengucapkan “hatur nuhun” serta pamit undur. “Sawangsulna,” ujarnya sambil tak lupa memberikan senyum. ***

0 comments: