Come on

Follow me @teguhspambudi

Saturday, March 12, 2016

Belajar dari Game of Thrones

Share this history on :
Jadi, apa yang bisa dipelajari dari Game of Thrones (GoT)?

Saya tak akan membahas sisi filosofisnya, juga pertarungan politik yang penuh intrik memikat. Saya akan melihat dari sisi marketing, khususnya word of mouth.

Mari kita flash back dulu.

MENYIMPAN MISTERI

Adegan Jon Snow yang tergeletak bersimbah darah setelah ditikam lebih dari 10 anak buahnya di malam yang gelap dan dingin masih membayang pada sebagian orang yang menyaksikan episode terakhir film Game of Thrones (GoT) Season 5, Juni tahun lalu. Bagaimana tidak, Jon sang pemimpin Night’s Watch yang sejak awal memancing simpati penonton lantaran memiliki karakter yang baik – berjiwa pemberani dan penolong – ternyata mesti bernasib tragis seperti saudara tirinya, Robb Stark: tewas mengenaskan karena pengkhianatan. Tikaman belati membuatnya rebah.

Jon Snow yang bersimbah darah, menyimpan misteri

Kendati telah lewat beberapa bulan setelah film seri itu usai, tak sedikit yang masih membicarakan serial drama fantasi yang diadaptasi dari novel fantasi "A Song of Ice and Fire" karya George R. R. Martin itu. Tapi tentu saja pembicaraan tertinggi terjadi saat episode terakhir berjudul Mother’s Mercy itu tayang. Terutama di linimasa Twitter. Mereka menyoroti tewasnya Jon. Rasa kecewa, sedih, marah dan terkejut, bercampur aduk. Bagaimanapun, Jon adalah salah satu tokoh favorit para penggemar.

Memang sukar dipungkiri, GoT telah menjadi kesuksesan fenomenal. Saat Mother’s Mercy tayang, di AS penonton melonjak hingga 8,1 juta orang. Itu adalah jumlah pemirsa terbanyak sejak serial ini tayang pertama kali pada 2011. Sebelumnya, penonton terbanyak adalah pada episode terakhir Season 4 (2014) yang meraih 7,14 juta penonton.

Sungguh, kesuksesan ini belum terbayangkan sebelum pembuatan film ini. Ya, sewaktu David Benioff dan D. B. Weiss mengutarakan keinginan mereka pada George R. R. Martin untuk mengadaptasi novelnya buat tayangan televisi, sang novelis sendiri menyatakan keraguannya. Menurutnya, cerita yang ingin diangkat sangatlah kompleks sehingga tidaklah mudah untuk menayangkannya di televisi. Bagaimana tidak kompleks, kisah ini melibatkan 7 keluarga bangsawan dengan simbol-simbolnya sendiri yang unik, 4 agama yang berbeda, juga 14 bahasa. Sangat kolosal. Bagi Martin, tampak agak sulit untuk mengerjakannya.

Namun Benioff dan Weiss bukanlah tipikal penakut. Mereka seperti pemegang prinsip berikut: winners never quit, quitters never win. Mereka percaya semua kompleksitas itu bisa diadaptasi dan dipindahkan ke televisi. Akhirnya Martin pun luluh. Pada 17 April 2011, GoT Season 1 tayang di AS.

Musim pertama ini langsung sukses. GoT mampu menarik 2,2 juta penonton. Setelah itu, sejarah mencatat tayangan ini terus merebut hati pemirsa, bahkan bukan hanya di AS, tapi menjadi sensasi global.

Memang, pembuatan GoT sangatlah mahal. Anggaran tiap episodenya sedikitnya mencapai US$ 6 juta, dan mencapai US$ 60-70 juta setiap season. Yang membuat mahal, selain kostum yang unik, lokasi shooting-nya pun eksotis. Di Eropa mereka mengambil gambar di Irlandia, Malta, Kroasia, dan Islandia, sementara di Afrika mereka mengambil lokasi di Maroko. Lokasi-lokasi yang sungguh memanjakan mata pemirsa. Adapun untuk GoT season 6, kebanyakan mengambil tempat di Irlandia.

Melonjaknya jumlah penonton dari musim ke musim, pada gilirannya juga melahirkan keuntungan bagi produsennya, HBO. Mereka menerima limpahan materi seiring popularitas yang melonjak. Keuntungannya berkali-kali lipat dari biaya produksi setiap season. Tak ayal, GoT menjadi ladang emas yang luar biasa. “Mungkin tak ada tayangan yang paling menguntungkan bagi jaringan televisi melebihi GoT bagi HBO. Memproduksi penuh film ini, lalu menjadi fenomena global setelah satu musim, adalah pertaruhan yang terbayar dengan mengesankan,” tulis majalah Variety.

Keuntungan ini makin berlipat begitu melihat produk turunannya juga dijualbelikan, mulai dari DVD hingga pernak-pernik merchandise. "HBO punya pasar DVD dan produk online yang hebat,” ungkap Jon Lafayette, editor bisnis di Broadcasting & Cable. Di website-nya, HBO menawarkan produk-produk kaos dan replika terkait GoT seharga dari US$ 12-700, termasuk replika tahta besi, Iron Thrones yang menjadi biang sengketa dalam kisah GoT.

Tentu saja ada selalu rahasia di balik kesuksesan sebuah produk. Lantas, apa yang membuat GoT begitu luar biasa?

WOMM YANG HEBAT

Gaya story telling yang menarik, salah satunya. Pertempuran 7 Great Houses (keluarga besar) di benua fiksi Westeros & Essos untuk menduduki tahta besi The Iron Throne di ibukota Westeros yaitu King's Landing memang menjadi pusaran cerita ini. Dalam upaya perebutan itu, digambarkan bagaimana pengkhianatan, peperangan, intrik, hingga cinta terlarang melumuri episode demi episode. Tapi akhir cerita yang menegangkan dari tiap episodelah yang membuat banyak penonton jatuh hati. Sebab, sejak awal penonton disuguhi kejutan demi kejutan di episode pamungkas. Penonton selalu menunggu-nunggu akhir episode dengan satu pertanyaaan: “Who will die next?” Ya, siapa lagi yang akan meregang nyawa?

Itu dari sisi gaya story telling. Akan tetapi, pemasaran yang menarik menjadi salah satu faktor utama yang membuat word of mouth marketing (WoMM) luar biasa sehingga produk ini begitu laris.

Ya, belajar dari GoT, storyline yang hebat kini tak cukup untuk sukses. Perlu strategi pemasaran yang hebat pula, dengan memanfaatkan kemajuan teknologi. Itulah yang dilakukan HBO untuk GoT. Sejak merilis season pertama, HBO aktif melakukan kampanye pemasaran untuk melahirkan gelombang WoMM tentang pertempuran memerebutkan Iron Throne. HBO memromosikannya lewat seluruh kanal, mulai dari media cetak, elektronik, dan yang paling massif adalah media sosial.

Media sosial menjadi bagian penting dari kesuksesan kampanye pemasaran GoT. HBO telah melakukan pekerjaan fantastis dalam mengintegrasikan pemirsa dengan kampanye pemasarannya. Seluruh kanal media sosial popular dimanfaatkannya. Di Facebook, umpamanya. Mereka membuat laman Facebook yang mengombinasikan beragam konten untuk menarik para pengunjung datang secara konsisten. Sewaktu Season 5 akan tayang, apa yang di-posting adalah cuplikan filmnya (materi promosi) diiringi real-life media (wawancara di atas karpet merah dan liputan majalah), begitu juga dengan merchandise-nya. Tak ketinggalan, juga menampilkan model user generated content (kebanyakan dalam bentuk cosplay dari para fans) yang mungkin terbilang aktivitas pemasaran paling brilian karena melibatkan para penggemar.

Di ranah Twitter, kontennya juga beragam, dengan menampilkan sejumlah scene. Komentar fans juga di-retweeted. Tak heran saat itu ada lebih dai 2,6 juta follower yang mengikuti akun resmi GoT (sekarang 3,08 juta). Di media ini, HBO memanfaatkan salah satu kekuatan Twitter yakni hastag (tagar) dan piawai memainkannya. Jumlah tagar yang diluncurkan cukup banyak. Diantaranya: #GoTSeason5; #GameofThronesSeason5; #TheWarsToCome; dan #CatchDrogon.

Di Google+ mereka juga bermain. Namun sepertinya kanal ini tidak terlalu menarik pengunjung dan follower. Hal yang sama juga terjadi di Instagram. HBO juga memanfaatkannya kendati tidak terlalu nge-joss. Berbeda dengan di YouTube. Selain di Twitter, di YouTube-lah produk ini begitu digdaya.

Belakangan, HBO menggunakan Vine untuk membangun gelombang WoMM atas film seri ini. Trailer yang ditampilkan lewat Vine membetot minat banyak orang sehingga GoT pun makin “panas” sebelum ditayangkan. Penonton, atau calon penonton dibuat kian penasaran.

Dari apa yang terjadi pada GoT, Vine juga bisa dinyatakan sebagai medium pemasaran yang kuat serta efektif dengan impak yang masif untuk kesuksesan film ini. Layanan Vine membuat orang mudah untuk memfilmkan serta mengedit ringkas untuk kemudian di-share ke beragam platform. Intinya, HBO kreatif dalam mengintegrasikan media sosial ke dalam kampanye pemasarannya.

Menariknya, HBO tak melupakan media cetak untuk menimbulkan hype di jagat pemasaran. Di New York Times, siluet naga peliharaan Daenerys Targaryen membuat pikiran para pembacanya menari-nari tentang salah satu naga kesayangan wanita berambut putih-perak ini. Buktinya, setelah promosi ini muncul, orang terpancing untuk menyebarkannya lewat Reddit, Imgur, Twitter dan Facebook.

Word of mouth generates more word of mouth. Itulah hukum yang terjadi. Dan HBO benar-benar piawai memanfaatkan aset cetak dan digital untuk menimbulkan efek WoMM. Bahkan karena saking ramainya orang membicarakan film ini, yang tak punya TV kabel pun kerap mendengar apa itu Whitewalkers yang dingin, menakutkan, kejam dan mendatangkan horor. Atau tokoh-tokoh lain seperti Daenerys Targaryen si cantic pemilik tiga naga, si kerdil Tyrion Lannister yang cerdik, dan Peter Baelish yang licik. Begitu juga merananya nasib putra-putri Eddard (Ned) Stark: Robb, Jon Snow, Sansa, Arya, Bran dan Rickon Stark.

Bagi pemerhati pemasaran, GoT adalah contoh terintegrasinya pemasaran yang menimbulkan efek WoMM yang hebat. Ke depannya, popularitas film ini diprediksi masih akan terus melejit. Dan sebagai bisnis, produk-produk turunannya pun masih melaju. Maklum, GoT telah melahirkan banyak fans fanatik. Beberapa waktu lalu, sebagian dari mereka bahkan melakukan tur ke beberapa lokasi di Dubrovnik yang digunakan untuk GoT Season 5.

Pada akhir GoT Season 5, ditegaskan GoT Season 6 akan tayang kembali pada tahun mendatang sebagai musim keenamnya. Dan kini, pada 24 April 2016, HBO menyebut film ini akan tayang kembali.

MELANJUTKAN POLA LAMA

Menyambut GoT Season 6, HBO sendiri tampaknya terus memanfaatkan gaya pemasaran ini untuk memunculkan WoMM yang hebat. Dalam beberapa spoiler, di Facebook dan YouTube, sudah dimunculkan sejumlah adegan yang membuat orang semakin tak sabar untuk segera menontonnya.

Melihat dari trailer, jawaban atas misteri Jon Snow tetap berlanjut sekalipun pemerannya, Kid Harrington di Daily Mail mengonfirmasi dia ikut syuting. Anggota keluarga Stark lainnya, dipastikan hadir. Bran bahkan berada bersama musuh paling menakutkan di serial ini, White Walkers. Sementara Sansa Stark lolos dari maut bersama Theon Greyjoy saat loncat dari kastil. Adapun Arya Stark tetap buta.

Sansa Stark dan Theon Greyjoy,selamat setelah meloncat dari kastil

Sansa Stark, tetap buta

Sejauh ini, cara WoM yang seperti edisi sebelumnya juga telah ditempuh oleh HBO. Diantaranya mengeluarkan tagar #GameofThronesSeason6 di Twitter. Begitu pula di laman Facebook. Cuma memang belum terlalu panas. Tapi ini bisa dimengerti. Biasanya, viral itu memanas begitu filmnya tayang. Komentar para penonton yang puas atau kecewa akan segera terlontar menjadi viral.


Jadi, bagaimana dengan Jon Snow?


HBO masih menyimpannya. Tapi kuat dugaan, Jon dimunculkan karena tekanan penggemar. Saat akhir GoT 5, Kid Harrington berujar, "Saya tidak menyangka kematian Jon ada di episode 5. Saat ini saya hanya bisa mengatakan bahwa karakter peranan saya telah mati dan tak akan hidup lagi. Jadi, saya tidak akan kembali di musim berikutnya.” Nah... ini mirip Sherlock Holmes yang dulu dihidupkan lagi oleh Arthur Conan Doyle karena permintaan penggemar.

Menariknya, gambar Jon Snow ini jadi salah satu cover GoT season 6. HBO tampaknya tahu benar, memang ini yang ditunggu-tunggu penggemar GoT. Maklum, orang memang selalu butuh pahlawan...

Poster HBO dengan wajah Jon Snow yang misterius

Well... apapun jalan ceritanya nanti, GoT adalah contoh fenomenal dalam WoMM. Dan terkait film tersebut, tokoh serta pemeran boleh pergi, tapi penonton pastinya terus menanti: who will die next?

0 comments: