Karirnya
terbentang: startup employee saat dot-com
boom. Lalu host tv kabel.
Kemudian mendirikan perusahaan sendiri sebelum menjelma jadi angel investor
terkemuka. Kini, dia adalah startup advisor yang siap menancapkan kukunya
di mana-mana.
Seorang Hiperaktif
ROBERT Kevin Rose boleh jadi tidaklah setenar Mark Zuckerberg si pembesut Facebook atau duet
Larry Page dan Sergey Brinn yang menjadi pebinis besar lewat Google. Namun di
kalangan industri Internet, Rose tetaplah figur yang menarik sebagai sosok anak
muda inspiratif, lengkap dengan segala kekuatan serta kelemahannya.
Ingatan orang akan
Rose muncul pertengahan Juli 2012, sewaktu situs yang dilahirkannya, Digg
dibeli Betaworks
hanya senilai US$ 500 ribu. Saat itu orang-orang ribut tentang harganya yang begitu murah.
Maklum, 6 tahun sebelumnya, orang berbincang tentang harga Digg yang begitu
tinggi, yang telah memancing baron media sekelas Rupert Murdoch, politis
sekaliber Al Gore, dan sang raksasa, Google datang menawarkan puluhan hingga
ratusan juta dollar.
Digg adalah buah
karya Rose setelah melewati jalan berliku. Lahir pada 21 Februari,
1977, di Redding, Kalifornia,
Rose kecil tumbuh dengan diagnosis menderita attention deficit disorder
(ADD) yang membuatnya hiperaktif. Di sekolah dia kurang fokus serta kesulitan
bergaul dengan teman sebayanya. “Komputer adalah satu-satunya sahabatku,” dia
tertawa mengenang (FastCompany, 15 Januari 2013). Rose pertama kali
bersentuhan dengan komputer di usia 8 tahun, menggunakan Commodore 64.
Sejak berkenalan
dengan komputer, perlahan-lahan, minatnya pada dunia komputasi pun tumbuh
semakin besar. Sementara rekan-rekan sebayanya asyik bermain dan pacaran, Rose
anteng mengutak-atik bahasa pemrograman komputer di kamarnya. Dia mulai kenal coding
saat menginjak kelas 7.
Kiranya komputer
memang membetot minatnya teramat dalam. Tak heran, Rose mengambil jurusan ilmu
komputer Universitas of Nevada, Las Vegas. Sembari kuliah, dia bekerja paruh
waktu sebagai teknisi di tempat pengujian nuklir Nevada. Lantaran kehidupan di
Silicon Valley adalah hal yang diimpikannya, Rose tak menamatkan sekolah. Dia
keluar dari sekolah untuk menjadi programmer full time. Lalu menjadi asisten
produksi serta presenter televisi kabel TechTV (yang telah dibeli G4, kanal
gaya hidup kaum pria), dengan gaji US$ 30 ribu pertahun.
Segera, Rose
menjalin koneksi dengan tokoh-tokoh papan atas di Lembah Silikon. Kebanyakan
didapatnya lewat acara tv kabel yang digawanginya, The Screen Savers.
Lewat acara ini, dia memilah serta memilih berita dan tren teknologi, yang
kemudian mengantarnya berkenalan dengan sejumlah tokoh, termasuk co-founder
Apple, Steve Wozniak.
Pertemuan dengan
Wozniak adalah salah satu titik balik dalam kehidupan Rose. Pertemuan ini membuatnya
iri ketika mendengar sang legenda bercerita tahun-tahun awal Apple berdiri. Rasa
iri yang mendorongnya untuk berbuat lebih besar daripada yang dikerjakannya
sekarang.
Suatu sore, Rose
duduk di depan komputernya dan mulai berupaya menggali (dig) berita-berita
yang menurutnya menarik, yang belum ada di kanal-kanal berita media besar.
Ternyata, proses ini menyulitkan dan makan waktu. Rose pun berpikir: andai dia
dapat membuat layanan yang memudahkan orang seperti dirinya yang ingin mencari
berita penting tapi tertimbun diantara sederet berita. Dalam benaknya, muncul
sebuah ide: melahirkan sebuah situs komunitas yang memungkinkan orang mem-posting
dan memeringkat berita atau artikel dari situs berita atau blog. Artikel yang
tampil di halaman muka situs komunitas ini akan menjadi berita paling populer
pada hari itu.
Tanpa ragu, Rose
kemudian mengambil US$ 1000
dari tabungannya. Dia pun menyewa seorang programmer lepas
dengan tarif US$ 12
perjam untuk membuat halaman situs yang
diinginkannya: dig.com. Namun, saat ingin
membeli
domain untuk situs yang akan dibangunnya, dia terantuk.
Domain ini sudah menjadi milik Disney. Tak putus asa, dia pun menggunakan kata digg.
Akan tetapi, situs ini juga sudah dimiliki orang lain. Akhirnya, Rose pun
mengucurkan US$ 1200 untuk membeli domain Digg.com. Pada 5 Desember
2004, laman ini resmi meluncur. Rose menyewa server dengan harga US$ 99 per bulan.
Mulanya, Rose tak
pernah berpikir muluk-muluk. Dari sisi bisnis, tujuan lahirnya Digg sangatlah
sederhana. “Kalau dari sini saya bisa bayar sewa apartemen, minum teh, dan sewa
kantor kecil, itu sudah lebih dari yang saya inginkan,” katanya ketika
berbincang dengan Reader’s Digest (Agustus, 2009). Namun, siapa nyana, sukses
menyapa begitu cepat. Digg menarik ribuan pengunjung dalam sebulan. Kurang dari
setahun, trafik mencapai 200 ribu/bulan. Situs ini memang menggebrak. Digg
memungkinkan orang memilih mana artikel yang paling penting untuk dibaca orang.
Rose pun menjadi media
darling. Sosoknya diidentikkan sebagai anak muda yang melek teknologi. Dia
menjadi salah seorang pemimpin dalam gerakan web 2.0. Apalagi setelah pemodal
ventura datang memberinya US$ 2,8 juta. Makin berkibarlah dia.
Dari seorang anak
yang hiperaktif, pemrogram yang drop-out, karyawan dan presenter, Digg telah
membuat Rose melompat ke panggung ketenaran yang sebelumnya dinikmati aktor
atau penyanyi. Dan dia mengambil peran itu. Bahkan mulai berani berdiri sejajar
dengan para raksasa yang ingin mengambil buah karyanya.
Tahun 2006, Digg
adalah properti hot di dunia Internet. BusinessWeek menempatkan
wajah baby face Rose di sampul majalah ini dengan menceritakan bagaimana
anak muda ini mencetak US$ 60 juta dalam 18 bulan. Tak heran, Rupert Murdoch yang
tengah keranjingan bisnis Internet – setahun sebelumnya membeli MySpace senilai
US$ 580 juta, yang kemudian diakuinya sebagai blunder besar – datang menawarkan
US$ 60 juta. Dia melihat Digg bisa masuk jaringan kerajaan berita miliknya.
Lalu, Al Gore juga datang ingin memasukkannya dalam kanal miliknya, Current TV.
Terakhir, Google pun mampir menawari US$ 200 juta.
Semua tawaran itu ditolak
Rose. Bersama mentor yang belum lama dikenalnya, Adelson yang kemudian menjadi
CEO Digg, Rose mendirikan startup lain, Revision3. Di sinilah dia
membuat program Diggnation, yang digawanginya bersama Alex Albrecht. Diggnation adalah saluran televisi internet yang mengupas artikel-artikel populer di
Digg.
Seperti halnya
Digg, Dignation juga sukses besar. Setiap minggunya, 250 ribu pengujung mampir
melihat duet Rose dan Albrecht memandu acara.
Sejatinya, Rose tak
pernah mempertimbangkan karir di dunia televisi. Namun dia adalah natural
talker – bicara teratur, lancar dan matang secara emosional. Dan dalam
beberapa bulan kemudian dia pun telah menjadi host terkenal di video Internet.
“Kevin selalu punya penciuman yang tajam tentang apa yang hot di dunia Internet,”
ujar Daniel
Burka, mantan direktur desain Digg.
Sang Arketip
Kesuksesan Digg serta
Diggnation membuat Rose kian melambung. Dia menjadi magnet buat anak-anak muda.
Mereka ingin sukses seperti Rose. Bagi para entrepreneur seusianya, Rose
adalah arketip (orang yang menjadi model) wirausahawan baru. Tak seperti
Zuckerberg, yang kuliah di Harvard dan Phillips Exeter, buat mereka, Rose adalah sosok
non-jenius yang membumi yang kreativitasnya turut mengubah dunia. Apalagi Rose
memunculkan ide bahwa menjadi founder bukan berarti tak mudah dihubungi
dan tak asyik diajak ngobrol. Sosoknya telah menginspirasi banyak orang,
termasuk CEO
Pinterest, Ben Silbermann, yang mengaku terinspirasi oleh Rose untuk mendirikan perusahaan sendiri.
Rose bukanlah orang
yang nyaman dengan satu kesuksesan. Di tengah melabungnya Digg, dia dilanda
rasa bosan. Dia pun bertualang mendirikan startup lain, atau menjadi
investor untuk startup yang dalam intuisinya akan menjadi hot. Di
satu sisi, langkah ini menimbulkan kegusaran di internal Digg, terutama dengan
Adelson. Mereka berseteru karena Rose mendirikan situs Pownce tanpa
mengajaknya. Akhirnya Rose keluar dari Digg pada Maret 2011. Sementara di sisi
lain, petualangannya menjadi serial entrepreneur mengangkat reputasinya.
Intuisi Rose memang
terkenal tajam dalam membidik calon-calon startup jempolan, sehingga
belakangan dia disebut salah seorang master bisnis Internet. Contohnya, Rose
bertemu Neil Young, pendiri Ngmoco (Next Generation MObile Company) sewaktu masih menjadi eksekutif di perusahaan game papan atas, Electronic
Arts sebelum tercapai deal. Rose tertarik dengan konsep situs pembuat game untuk iOS dan Android
ini. Ngmoco berdiri Juli 2008.
Sewaktu tertarik
untuk mendukung Square, sang founder-nya,
Jack Dorsey baru setuju setelah Rose membuat iklan di YouTube yang
di-share ke follower-nya di Twitter. Dalam kasus Fab.com, CEO dan
cofounder-nya, Jason Goldberg menyatakan bahwa investornya langsung setuju ketika Rose meminta bergabung. Sebenarnya, pendiri TechCrunch, Michael
Arrington juga mengajak untuk bergabung. Namun, sementara Goldberg
mengatakan “Tidak” pada Arrington, dia mengucapkan
“Ya” pada Rose yang aktif
mengirimi surel dengan nada antusias untuk bergabung dengan Fab. “Kevin
lebih asyik orangnya,” kata Goldberg.
Salah seorang yang
ditemukan Rose adalah Danny Trinh (22 tahun), desainer jejaring sosial yang kini tengah ngetop, Path.
"Danny punya indra penglihatan yang hebat untuk melihat apa yang
keren,” kata Rose. Trinh sendiri mengaku
sangat terinspirasi oleh Rose. Dia pindah ke San
Francisco di usia 17 untuk magang di Digg.
Karena besarnya
pengaruh Rose, maka tidaklah mengherankan jika sewaktu Digg dibeli dengan harga
“murah” pada Juli 2012, mau tak mau orang pun melihat kembali pada pembesutnya
itu. Tapi sewaktu Betaworks membeli Digg, Rose sesungguhnya sudah lama meninggalkan situs ini. Maret 2011 dia meninggalkan Digg dan mendirikan inkubator untuk menciptakan
aneka aplikasi. Namanya: Milk. Perusahaan ini diisi para pengembang. Sayang, perusahaan
ini kurang berkembang.
Kendati di Milk
kurang berhasil, reputasi Rose tidaklah berkurang sama sekali. Buktinya, Google
Ventures datang mengajaknya bergabung. Sekali lagi, ini tak lepas dari kiprah
Rose sebagai investor yang daya endusnya dikagumi.
Setelah bosan
dengan Digg, Rose yang pada dasarnya memang hiperaktif, memang terus bergerak,
membuat dirinya menjadi investor pada perusahaan yang baru tahap awal. Rekam
jejaknya sejauh ini terbilang mengesankan. Rose adalah serial entrepreneur
yang berinvestasi di Twitter, Square, Fab, Facebook, Path, dan
Zynga – belum terhitung situs lain. Beberapa sudah dijualnya
tanpa pemberitaan seperti Chomp yang dibeli Apple senilai US$ 50 juta, OMGPop
yang dibeli Zynga US$ 200 juta, serta Ngmoco yang akhirnya dibeli perusahaan
game Jepang senilai US$ 400 juta.
Dari 11
investasinya yang telah go public, diakuisisi, atau gagal, Rose meraup
22 kali dari nilai investasinya. Dia masih punya saham di Fab (nilainya kini ditaksir
US$ 600 juta), Square (US$ 3,25 miliar). “Kemampuan prediksi Kevin tentang
produk yang disukai konsumen sangat hebat,” ujar Tim Ferriss, penulis yang juga
sahabat Rose. “Dia seperti berjalan ke meja roulette dan memilih angka
kemenangan terus menerus.”
Dengan kemampuan
seperti itu, pantaslah orang bertanya ketika Rose menerima tawaran perusahaan
modal ventura, Google Ventures pada Maret 2012 untuk bergabung sebagai general
partner. Orang bertanya: mengapa Rose yang sudah malang melintang sebagai angel
investor independen bersedia menjadi partner?
“Saya ingin dikenal
sebagai investor yang akurat yang pernah ada. Dalam lima tahun ke depan, saya
ingin orang melihat portofolio saya dan mengatakan, ‘Gila, dia benar-benar
investor hebat’,” kata Rose. Dengan dukungan dana US$ 300 juta setahun, Rose memang
tak perlu pusing mengerjakan tugasnya mencari dan membina startup yang
kebanyakan belum proven sama sekali. Dia punya financial security.
Sudah begitu, dia pun digaji besar dan dapat deviden. Plus: terhindar dari
kerugian bila terjadi kegagalan investasi.
Google Ventures
sendiri pastinya punya pertimbangan sendiri sehingga membetot Rose masuk. Bertumbuhnya
kelas profesional di kalangan angel investor – yang disebut super
angels, yang menopang lusinan bahkan ratusan startup dalam setahun –
memantik industri modal ventura menjadi sangat kompetitif. Rose punya kharisma,
jaringan, dan satu fakta yang tak bisa ditolak: banyak anak muda dan pengelola startup
ingin seperti dirinya. Kelebihan-kelebihan ini tak dimiliki sembarang orang.
Sekarang, tugas yang
diemban dari Google Ventures menuntut Rose berkeliling ke banyak tempat,
bertemu dengan para founder perusahaan startup yang baru mulai
berjalan. Yang menarik, sementara kebanyakan koleganya di Google
Ventures bekerja di markas besar perusahaan ini di Mountain View, Rose
bergerak antara kafe-kafe San Fransisco dan rumahnya di Potrero Hill. Dalam
sehari, dia bisa berpindah-pindah kafe untuk bekerja: rapat dengan para founder
yang menjual gagasannya dan membutuhkan dana tunai untuk pengembangan
bisnisnya.
“Banyak orang
memersepsikan Kevin sebagai pemalas, karena sepertinya dia berada di kafe
sepanjang hari,” ujar Daniel Burka, yang turut bergabung di Google Ventures
sebagai design partner. “Dia memang berada di kafe sepanjang hari, tapi
bersama orang-orang pandai, orang-orang berjiwa wirausahawan. Dia sesungguhnya
bekerja keras,” lanjut Burka yang sebelumnya pernah terlibat dalam desain
Firefox.
Kalaupun ada yang
menilai kelemahan Rose yang paling menonjol adalah rasa percaya dirinya yang
sangat tinggi. “Dia tidak dikelilingi orang yang lebih tua darinya, yang lebih
bijak,” kata salah seorang temannya. “Dia ingin dikelilingi dengan orang-orang
yang mengaguminya. Ini saya pikir kelemahan karena tidak mencari orang yang
mengatakan ‘tidak’ padanya.”
Rose sendiri tak
ambil pusing dengan segala komentar mengenai dirinya. Yang pasti, “Agak aneh,
rasanya sekarang. Saya berselancar di Internet sebagai bagian dari pekerjaan,”
katanya. Dalam sehari sedikitnya dia menghabiskan waktu hingga 3 jam untuk
mencari produk baru, ide dan perusahaan. “Anda harus punya waktu berpikir
tentang ide dan bagaimana caranya ide itu bisa diimplementasikan dalam 12 hingga
18 bulan ke depan,” dia menyambung.
Sejauh ini, atas
nama Google, Rose telah mendukung 6 perusahaan, termasuk Rally.org, situs
crowd-funding untuk acara sosial. Sekalipun sekarang membuat investasi
untuk Google Ventures, dia tak memerlukan persetujuan untuk mencapai
persetujuan angka investasi. Rose punya otoritas tinggi untuk memutuskan akan
berinvestasi di mana. Inilah juga yang membuatnya senang.
Toh sekalipun
pekerjaan di Google Ventures menyenangkan, Rose tak pernah berpikir akan
tinggal lama di perusahaan ini. “Saya juga tak akan pindah ke venture
capital yang lain,” katanya. Atau, mendirikan perusahaan modal ventura
sendiri. Dia memang tak ingin menjadi full-time
investor sepanjang hidupnya. Tapi buru-buru dia menyergah,
“Kecuali saya punya killer idea.”
Para pengagumnya
jelas menanggap apa yang diutakan Rose di atas baru sebatas angan. Maklum, pada
dasarnya Rose adalah orang yang sangat aktif. Untuk sementara, mereka menunggu
gebrakan apa lagi yang akan dibuat sang master lewat Google Ventures. ***
--------------------------------------
Researched by Armiadi Murdiansah
0 comments:
Post a Comment