Come on

Follow me @teguhspambudi

Sunday, March 24, 2013

Seorang Master Bernama Kevin Rose

Share this history on :

Karirnya terbentang: startup employee saat dot-com boom. Lalu host tv kabel. Kemudian mendirikan perusahaan sendiri sebelum menjelma jadi angel investor terkemuka. Kini, dia adalah startup advisor yang siap menancapkan kukunya di mana-mana.

Seorang Hiperaktif
ROBERT Kevin Rose boleh jadi tidaklah setenar Mark Zuckerberg si pembesut Facebook atau duet Larry Page dan Sergey Brinn yang menjadi pebinis besar lewat Google. Namun di kalangan industri Internet, Rose tetaplah figur yang menarik sebagai sosok anak muda inspiratif, lengkap dengan segala kekuatan serta kelemahannya.

Ingatan orang akan Rose muncul pertengahan Juli 2012, sewaktu situs yang dilahirkannya, Digg dibeli Betaworks hanya senilai US$ 500 ribu. Saat itu orang-orang ribut tentang harganya yang begitu murah. Maklum, 6 tahun sebelumnya, orang berbincang tentang harga Digg yang begitu tinggi, yang telah memancing baron media sekelas Rupert Murdoch, politis sekaliber Al Gore, dan sang raksasa, Google datang menawarkan puluhan hingga ratusan juta dollar.

Digg adalah buah karya Rose setelah melewati jalan berliku. Lahir pada 21 Februari, 1977, di Redding, Kalifornia, Rose kecil tumbuh dengan diagnosis menderita attention deficit disorder (ADD) yang membuatnya hiperaktif. Di sekolah dia kurang fokus serta kesulitan bergaul dengan teman sebayanya. “Komputer adalah satu-satunya sahabatku,” dia tertawa mengenang (FastCompany, 15 Januari 2013). Rose pertama kali bersentuhan dengan komputer di usia 8 tahun, menggunakan Commodore 64.

Sejak berkenalan dengan komputer, perlahan-lahan, minatnya pada dunia komputasi pun tumbuh semakin besar. Sementara rekan-rekan sebayanya asyik bermain dan pacaran, Rose anteng mengutak-atik bahasa pemrograman komputer di kamarnya. Dia mulai kenal coding saat menginjak kelas 7.

Kiranya komputer memang membetot minatnya teramat dalam. Tak heran, Rose mengambil jurusan ilmu komputer Universitas of Nevada, Las Vegas. Sembari kuliah, dia bekerja paruh waktu sebagai teknisi di tempat pengujian nuklir Nevada. Lantaran kehidupan di Silicon Valley adalah hal yang diimpikannya, Rose tak menamatkan sekolah. Dia keluar dari sekolah untuk menjadi programmer full time. Lalu menjadi asisten produksi serta presenter televisi kabel TechTV (yang telah dibeli G4, kanal gaya hidup kaum pria), dengan gaji US$ 30 ribu pertahun.

Segera, Rose menjalin koneksi dengan tokoh-tokoh papan atas di Lembah Silikon. Kebanyakan didapatnya lewat acara tv kabel yang digawanginya, The Screen Savers. Lewat acara ini, dia memilah serta memilih berita dan tren teknologi, yang kemudian mengantarnya berkenalan dengan sejumlah tokoh, termasuk co-founder Apple, Steve Wozniak.

Pertemuan dengan Wozniak adalah salah satu titik balik dalam kehidupan Rose. Pertemuan ini membuatnya iri ketika mendengar sang legenda bercerita tahun-tahun awal Apple berdiri. Rasa iri yang mendorongnya untuk berbuat lebih besar daripada yang dikerjakannya sekarang.

Suatu sore, Rose duduk di depan komputernya dan mulai berupaya menggali (dig) berita-berita yang menurutnya menarik, yang belum ada di kanal-kanal berita media besar. Ternyata, proses ini menyulitkan dan makan waktu. Rose pun berpikir: andai dia dapat membuat layanan yang memudahkan orang seperti dirinya yang ingin mencari berita penting tapi tertimbun diantara sederet berita. Dalam benaknya, muncul sebuah ide: melahirkan sebuah situs komunitas yang memungkinkan orang mem-posting dan memeringkat berita atau artikel dari situs berita atau blog. Artikel yang tampil di halaman muka situs komunitas ini akan menjadi berita paling populer pada hari itu.

Tanpa ragu, Rose kemudian mengambil US$ 1000 dari tabungannya. Dia pun menyewa seorang programmer lepas dengan tarif US$ 12 perjam untuk membuat halaman situs yang diinginkannya: dig.com. Namun, saat ingin membeli domain untuk situs yang akan dibangunnya, dia terantuk. Domain ini sudah menjadi milik Disney. Tak putus asa, dia pun menggunakan kata digg. Akan tetapi, situs ini juga sudah dimiliki orang lain. Akhirnya, Rose pun mengucurkan US$ 1200 untuk membeli domain Digg.com. Pada 5 Desember 2004, laman ini resmi meluncur. Rose menyewa server dengan harga US$ 99 per bulan.

Mulanya, Rose tak pernah berpikir muluk-muluk. Dari sisi bisnis, tujuan lahirnya Digg sangatlah sederhana. “Kalau dari sini saya bisa bayar sewa apartemen, minum teh, dan sewa kantor kecil, itu sudah lebih dari yang saya inginkan,” katanya ketika berbincang dengan Reader’s Digest (Agustus, 2009). Namun, siapa nyana, sukses menyapa begitu cepat. Digg menarik ribuan pengunjung dalam sebulan. Kurang dari setahun, trafik mencapai 200 ribu/bulan. Situs ini memang menggebrak. Digg memungkinkan orang memilih mana artikel yang paling penting untuk dibaca orang.

Rose pun menjadi media darling. Sosoknya diidentikkan sebagai anak muda yang melek teknologi. Dia menjadi salah seorang pemimpin dalam gerakan web 2.0. Apalagi setelah pemodal ventura datang memberinya US$ 2,8 juta. Makin berkibarlah dia.

Dari seorang anak yang hiperaktif, pemrogram yang drop-out, karyawan dan presenter, Digg telah membuat Rose melompat ke panggung ketenaran yang sebelumnya dinikmati aktor atau penyanyi. Dan dia mengambil peran itu. Bahkan mulai berani berdiri sejajar dengan para raksasa yang ingin mengambil buah karyanya.

Tahun 2006, Digg adalah properti hot di dunia Internet. BusinessWeek menempatkan wajah baby face Rose di sampul majalah ini dengan menceritakan bagaimana anak muda ini mencetak US$ 60 juta dalam 18 bulan. Tak heran, Rupert Murdoch yang tengah keranjingan bisnis Internet – setahun sebelumnya membeli MySpace senilai US$ 580 juta, yang kemudian diakuinya sebagai blunder besar – datang menawarkan US$ 60 juta. Dia melihat Digg bisa masuk jaringan kerajaan berita miliknya. Lalu, Al Gore juga datang ingin memasukkannya dalam kanal miliknya, Current TV. Terakhir, Google pun mampir menawari US$ 200 juta.


Semua tawaran itu ditolak Rose. Bersama mentor yang belum lama dikenalnya, Adelson yang kemudian menjadi CEO Digg, Rose mendirikan startup lain, Revision3. Di sinilah dia membuat program Diggnation, yang digawanginya bersama Alex Albrecht. Diggnation adalah saluran televisi internet yang mengupas artikel-artikel populer di Digg.

Seperti halnya Digg, Dignation juga sukses besar. Setiap minggunya, 250 ribu pengujung mampir melihat duet Rose dan Albrecht memandu acara.

Sejatinya, Rose tak pernah mempertimbangkan karir di dunia televisi. Namun dia adalah natural talker – bicara teratur, lancar dan matang secara emosional. Dan dalam beberapa bulan kemudian dia pun telah menjadi host terkenal di video Internet. “Kevin selalu punya penciuman yang tajam tentang apa yang hot di dunia Internet,” ujar Daniel Burka, mantan direktur desain Digg.

Sang Arketip
Kesuksesan Digg serta Diggnation membuat Rose kian melambung. Dia menjadi magnet buat anak-anak muda. Mereka ingin sukses seperti Rose. Bagi para entrepreneur seusianya, Rose adalah arketip (orang yang menjadi model) wirausahawan baru. Tak seperti Zuckerberg, yang kuliah di Harvard dan Phillips Exeter, buat mereka, Rose adalah sosok non-jenius yang membumi yang kreativitasnya turut mengubah dunia. Apalagi Rose memunculkan ide bahwa menjadi founder bukan berarti tak mudah dihubungi dan tak asyik diajak ngobrol. Sosoknya telah menginspirasi banyak orang, termasuk CEO Pinterest, Ben Silbermann, yang mengaku terinspirasi oleh Rose untuk mendirikan perusahaan sendiri.

Rose bukanlah orang yang nyaman dengan satu kesuksesan. Di tengah melabungnya Digg, dia dilanda rasa bosan. Dia pun bertualang mendirikan startup lain, atau menjadi investor untuk startup yang dalam intuisinya akan menjadi hot. Di satu sisi, langkah ini menimbulkan kegusaran di internal Digg, terutama dengan Adelson. Mereka berseteru karena Rose mendirikan situs Pownce tanpa mengajaknya. Akhirnya Rose keluar dari Digg pada Maret 2011. Sementara di sisi lain, petualangannya menjadi serial entrepreneur mengangkat reputasinya.

Intuisi Rose memang terkenal tajam dalam membidik calon-calon startup jempolan, sehingga belakangan dia disebut salah seorang master bisnis Internet. Contohnya, Rose bertemu Neil Young, pendiri Ngmoco (Next Generation MObile Company) sewaktu masih menjadi eksekutif di perusahaan game papan atas, Electronic Arts sebelum tercapai deal. Rose tertarik dengan konsep situs pembuat game untuk iOS dan Android ini. Ngmoco berdiri Juli 2008.

Sewaktu tertarik untuk mendukung Square, sang founder-nya, Jack Dorsey baru setuju setelah Rose membuat iklan di YouTube yang di-share ke follower-nya di Twitter. Dalam kasus Fab.com, CEO dan cofounder-nya, Jason Goldberg menyatakan bahwa investornya langsung setuju ketika Rose meminta bergabung. Sebenarnya, pendiri TechCrunch, Michael Arrington juga mengajak untuk bergabung. Namun, sementara Goldberg mengatakan “Tidak” pada Arrington, dia mengucapkan “Ya” pada Rose yang aktif mengirimi surel dengan nada antusias untuk bergabung dengan Fab. “Kevin lebih asyik orangnya,” kata Goldberg.

Salah seorang yang ditemukan Rose adalah Danny Trinh (22 tahun), desainer jejaring sosial yang kini tengah ngetop, Path. "Danny punya indra penglihatan yang hebat untuk melihat apa yang keren,” kata Rose. Trinh sendiri mengaku sangat terinspirasi oleh Rose. Dia pindah ke San Francisco di usia 17 untuk magang di Digg.

Karena besarnya pengaruh Rose, maka tidaklah mengherankan jika sewaktu Digg dibeli dengan harga “murah” pada Juli 2012, mau tak mau orang pun melihat kembali pada pembesutnya itu. Tapi sewaktu Betaworks membeli Digg, Rose sesungguhnya sudah lama meninggalkan situs ini. Maret 2011 dia meninggalkan Digg dan mendirikan inkubator untuk menciptakan aneka aplikasi. Namanya: Milk. Perusahaan ini diisi para pengembang. Sayang, perusahaan ini kurang berkembang.

Kendati di Milk kurang berhasil, reputasi Rose tidaklah berkurang sama sekali. Buktinya, Google Ventures datang mengajaknya bergabung. Sekali lagi, ini tak lepas dari kiprah Rose sebagai investor yang daya endusnya dikagumi.

Setelah bosan dengan Digg, Rose yang pada dasarnya memang hiperaktif, memang terus bergerak, membuat dirinya menjadi investor pada perusahaan yang baru tahap awal. Rekam jejaknya sejauh ini terbilang mengesankan. Rose adalah serial entrepreneur yang berinvestasi di Twitter, Square, Fab, Facebook, Path, dan Zynga – belum terhitung situs lain. Beberapa sudah dijualnya tanpa pemberitaan seperti Chomp yang dibeli Apple senilai US$ 50 juta, OMGPop yang dibeli Zynga US$ 200 juta, serta Ngmoco yang akhirnya dibeli perusahaan game Jepang senilai US$ 400 juta.

Dari 11 investasinya yang telah go public, diakuisisi, atau gagal, Rose meraup 22 kali dari nilai investasinya. Dia masih punya saham di Fab (nilainya kini ditaksir US$ 600 juta), Square (US$ 3,25 miliar). “Kemampuan prediksi Kevin tentang produk yang disukai konsumen sangat hebat,” ujar Tim Ferriss, penulis yang juga sahabat Rose. “Dia seperti berjalan ke meja roulette dan memilih angka kemenangan terus menerus.”

INVESTASI KEVIN ROSE, FastCompany, 15 Januari 2013


Dengan kemampuan seperti itu, pantaslah orang bertanya ketika Rose menerima tawaran perusahaan modal ventura, Google Ventures pada Maret 2012 untuk bergabung sebagai general partner. Orang bertanya: mengapa Rose yang sudah malang melintang sebagai angel investor independen bersedia menjadi partner?

“Saya ingin dikenal sebagai investor yang akurat yang pernah ada. Dalam lima tahun ke depan, saya ingin orang melihat portofolio saya dan mengatakan, ‘Gila, dia benar-benar investor hebat’,” kata Rose. Dengan dukungan dana US$ 300 juta setahun, Rose memang tak perlu pusing mengerjakan tugasnya mencari dan membina startup yang kebanyakan belum proven sama sekali. Dia punya financial security. Sudah begitu, dia pun digaji besar dan dapat deviden. Plus: terhindar dari kerugian bila terjadi kegagalan investasi.

Google Ventures sendiri pastinya punya pertimbangan sendiri sehingga membetot Rose masuk. Bertumbuhnya kelas profesional di kalangan angel investor – yang disebut super angels, yang menopang lusinan bahkan ratusan startup dalam setahun – memantik industri modal ventura menjadi sangat kompetitif. Rose punya kharisma, jaringan, dan satu fakta yang tak bisa ditolak: banyak anak muda dan pengelola startup ingin seperti dirinya. Kelebihan-kelebihan ini tak dimiliki sembarang orang.

Sekarang, tugas yang diemban dari Google Ventures menuntut Rose berkeliling ke banyak tempat, bertemu dengan para founder perusahaan startup yang baru mulai berjalan. Yang menarik, sementara kebanyakan koleganya di Google Ventures bekerja di markas besar perusahaan ini di Mountain View, Rose bergerak antara kafe-kafe San Fransisco dan rumahnya di Potrero Hill. Dalam sehari, dia bisa berpindah-pindah kafe untuk bekerja: rapat dengan para founder yang menjual gagasannya dan membutuhkan dana tunai untuk pengembangan bisnisnya.

“Banyak orang memersepsikan Kevin sebagai pemalas, karena sepertinya dia berada di kafe sepanjang hari,” ujar Daniel Burka, yang turut bergabung di Google Ventures sebagai design partner. “Dia memang berada di kafe sepanjang hari, tapi bersama orang-orang pandai, orang-orang berjiwa wirausahawan. Dia sesungguhnya bekerja keras,” lanjut Burka yang sebelumnya pernah terlibat dalam desain Firefox.

Bekerja dari kafe ke kafe, bertemu startup founder.

Kalaupun ada yang menilai kelemahan Rose yang paling menonjol adalah rasa percaya dirinya yang sangat tinggi. “Dia tidak dikelilingi orang yang lebih tua darinya, yang lebih bijak,” kata salah seorang temannya. “Dia ingin dikelilingi dengan orang-orang yang mengaguminya. Ini saya pikir kelemahan karena tidak mencari orang yang mengatakan ‘tidak’ padanya.”

Rose sendiri tak ambil pusing dengan segala komentar mengenai dirinya. Yang pasti, “Agak aneh, rasanya sekarang. Saya berselancar di Internet sebagai bagian dari pekerjaan,” katanya. Dalam sehari sedikitnya dia menghabiskan waktu hingga 3 jam untuk mencari produk baru, ide dan perusahaan. “Anda harus punya waktu berpikir tentang ide dan bagaimana caranya ide itu bisa diimplementasikan dalam 12 hingga 18 bulan ke depan,” dia menyambung.

Sejauh ini, atas nama Google, Rose telah mendukung 6 perusahaan, termasuk Rally.org, situs crowd-funding untuk acara sosial. Sekalipun sekarang membuat investasi untuk Google Ventures, dia tak memerlukan persetujuan untuk mencapai persetujuan angka investasi. Rose punya otoritas tinggi untuk memutuskan akan berinvestasi di mana. Inilah juga yang membuatnya senang.

Toh sekalipun pekerjaan di Google Ventures menyenangkan, Rose tak pernah berpikir akan tinggal lama di perusahaan ini. “Saya juga tak akan pindah ke venture capital yang lain,” katanya. Atau, mendirikan perusahaan modal ventura sendiri. Dia memang tak ingin menjadi full-time investor sepanjang hidupnya. Tapi buru-buru dia menyergah, “Kecuali saya punya killer idea.”

Para pengagumnya jelas menanggap apa yang diutakan Rose di atas baru sebatas angan. Maklum, pada dasarnya Rose adalah orang yang sangat aktif. Untuk sementara, mereka menunggu gebrakan apa lagi yang akan dibuat sang master lewat Google Ventures. ***

--------------------------------------
Researched by Armiadi Murdiansah

0 comments: