Come on

Follow me @teguhspambudi

Friday, November 18, 2011

One Get Three

Share this history on :

Era memperbesar follower telah usai. Tugas mendesak pemimpin adalah creating more leaders.

JUDUL di atas, sepintas mirip iklan produk yang diobral: “buy one, get three”. Tapi jelas judul di atas bukanlah seperti itu: bahwa bila kita membeli satu produk, kita akan mendapat bonus. Kata itu saya dapatkan dari owner sekaligus CEO Adhimix, Edno Windratno. Perusahaan precast nasional yang urusannya memproduksi beton-beton ini kinerjanya luar biasa. Setelah di-spin off dari Adhi Karya pada tahun 2002, Adhimix melesat luar biasa. Turnover-nya yang hanya miliaran rupiah, kini telah mendekati Rp 5 triliun. Padahal, sebelumnya Adhimix selalu merugi sehingga tidak berkontribusi pada Adhi Karya. Lantas, apa maksudnya dengan “one get three”?

Yang dimaksudkannya di sini adalah tentang pentingnya peran seorang pemimpin dalam melahirkan pemimpin-pemimpin di bawahnya, pemimpin-pemimpin berikutnya, sehingga organisasi berjalan berkesinambungan. Bukan organisasi yang pemimpinnya lebih besar dari organisasi itu sendiri sehingga ketika sang pemimpin pergi, organisasi itu pun berantakan.

Seringkali, memang, orang menilai pemimpin dari prestasi, atau result, yang dibuatnya sekarang. Di organisasi bisnis, prestasi itu berupa kinerja finansial yang mengesankan, atau target yang jauh terlampaui. Penilaian seperti itu tentunya tak keliru. Indikator-indikator kuantitatif semacam itu memang yang paling disorot karena menjadi cerminan sejauh mana yang bersangkutan telah mampu membawa organisasinya tumbuh.

Akan tetapi, pandangan seperti itu tidak sepenuhnya tepat. Tugas pemimpin bukan sekedar mencetak angka pertumbuhan bisnis, tapi juga mencetak pemimpin-pemimpin baru. Leader create leader. Bukan hanya satu, tapi banyak, setidaknya 3 orang. Itulah yang dimaksud dengan “one get three”. Jadi dengan demikian, lebih tepatnya adalah “leader create more leaders”.  Bahkan bukan sekadar mencetak pemimpin di bawahnya, tapi kalau bisa mendorong munculnya pemimpin-pemimpin di semua level yang ada.

Di masa lampau, pendekatan yang sering kali berlaku untuk menilai kesuksesan pemimpin adalah “berapa banyak orang yang mengikutinya (followers)”. Entah itu organisasi bisnis, terlebih organisasi sosial. Bila pengikutnya semakin banyak, maka sukseslah dia.

Era seperti itu kiranya sudah tidak banyak berlaku lagi. Paradigmanya kian bergeser. Di masa kini dan masa mendatang, saya sepenuhnya meyakini bahwa para pemimpin juga akan dinilai dari “seberapa banyak pemimpin yang mereka hasilkan”. Apa maknanya?

Itu artinya, bila diletakkan dalam konteks organisasi bisnis, kesuksesan pemimpin bukan semata dilihat dari sisi pertumbuhan finansial (financial growth), tapi juga dilihat dari sejauh mana dia berperan di sisi ini: melahirkan pemimpin-pemimpin baru yang lebih berkualitas dibanding dirinya (human capital growth).

Bagi organisasi yang ingin tumbuh, tumbuh dan terus tumbuh, paradigma yang terakhir adalah yang paling relevan. Sebab, organisasi yang ingin terus berkembang, yang ingin “sawah ladangnya kian meluas untuk ditanami dengan beragam tumbuhan yang menghasilkan”, pastinya ia akan menciptakan atau merebut peluang demi peluang yang kadang datangnya tak terantisipasi. Seperti orang yang berada di stasiun, organisasi yang ingin maju akan menghadapi kereta demi kereta yang datang dengan jadwal tiba-tiba.

Dalam kondisi demikian, tentunya diperlukan para pemimpin. Dibutuhkan orang-orang yang berkarakter memimpin, yang tahu bagaimana melihat serta memanfaatkan peluang, dan yang terpenting: berani mengambil keputusan dengan segala risiko yang terkalkulasikan, sekaligus berani menghadapi tantangan serta mempertanggungjawabkannya. Para pemimpin ini bukan hanya di pucuk organisasi, tapi di semua level. Bukan hanya satu orang di satu departemen atau divisi, tapi berlapis demi lapis.

Bila pemimpin yang ada dalam organisasi tersebut terbilang sedikit, tidak di semua level, bisa dibayangkan seperti apa organisasi itu akan bergerak. Boleh jadi organisasi itu hanya akan berjalan di tempat karena orang-orang yang semestinya berani berinisiatif hanya diam menunggu titah. Cuma duduk manis karena bersikap sebagai follower yang takut mengambil keputusan.

Melihat perjalanan ke depan, dan keinginan terus berlari hingga batas yang tak bertepi, semua organisasi dalam skala apapun, sungguh memerlukan munculnya pemimpin-pemimpin bisnis di semua level. Pemimpin di sini bukan semata jabatan atau posisi, tapi juga karakter seperti berikut: jiwa untuk memimpin, mengelola, mempengaruhi, memotivasi dan menginpirasi orang lain.

Kalau sedemikian penting artinya “one get three” ini, maka otomatis para pemimpin dituntut harus tahu bagaimana caranya mencetak pemimpin-pemimpin baru.

Ini memang bukan pekerjaan gampang. Di banyak organisasi, bahkan bukan cerita baru orang-orang dari luar direkrut besar-besaran untuk menjadi pemimpin karena minimnya orang-orang dari lingkungan internal yang berkualifikasi untuk me-lead dan me-manage.

Untuk kebetuhan mendesak, itu mungkin bisa dilakukan. Namun belakangan banyak yang menyadari bahwa pemimpin yang terbaik biasanya memang datang dari “ladang” sendiri. Mengapa? Karena yang bersangkutan sudah memahami seluk-beluk mulai dari values, sistem hingga budaya yang berkembang. Ibarat petani, dia sudah mengetahui jenis tanaman yang cocok dengan kontur tanah yang digarapnya berikut kebutuhan airnya.

Akan tetapi, seperti disinggung di atas, sekalipun menyadari orang lingkungan internal memiliki keunggulan karena mengetahui serta memahami lekuk-lekuk organisasi, mencetak pemimpin-pemimpin baru tidak semudah membalik telapak tangan. Di belakang kata “create more leader”, mestinya ada proses yang panjang, yakni proses men-develop leader.

Laiknya orang yang bercocok tanam, atau mengandung, proses untuk mendapatkan hasil memerlukan waktu yang tidak sebentar. Pengembangan calon pemimpin tidaklah bisa sekejap. Proses ini butuh sejumlah hal, mulai dari keseriusan, daya tahan, kejelian, dan yang satu ini: kerendahan hati.

Semua itu diperlukan karena dalam mengembangkan calon pemimpin, seseorang mesti mampu membantu yang bersangkutan mengidentifikasi serta menghubungkan apa yang menjadi potensinya dengan hal-hal yang akan meningkatkan kapasitas dirinya. Selanjutnya, dia juga harus bisa mendorong sang calon mengembangkan diri sehingga seluruh potensinya tersebut akan keluar secara maksimal. Agar seluruh potensinya itu keluar, dia kudu sanggup mendesain tantangan yang akan membuatnya berkembang lebih matang, baik sebagai individu maupun pemimpin.

Untuk terus berjaya, semua organisasi harus menghindari kelangkaan pemimpin. Sebagai organisasi yang ingin melesat, sudah semestinya perusahaan menjadi ladang tumbuhnya bibit-bibit pemimpin baru. Semua pemimpin di level unit dan divisi, harus bisa mendorong bawahannya tumbuh menjadi pemimpin yang lebih hebat dari dirinya. Mereka harus menjadi leader, juga teacher. Mentalnya seperti petani: menyirami, menyemai benih, memberinya cahaya, dan menyiangi dari hal-hal yang akan mengganggu pertumbuhannya.

Alhasil, buat para pemimpin, ada baiknya melihat ke dalam: sudahkah kita berupaya melahirkan pemimpin-pemimpin baru? Atau kita justru ingin menunjukkan diri sebagai terhebat, yang tak bisa disaingi orang lain?

Bila perasaan terakhir yang muncul, rasa takut disaingi, itu berarti tak memahami arti dan tugas pemimpin. Tak memahami makna “one get three”.

1 comments:

indra sosrodjojo said...

Setuju sekali, dengan aritikel diatas, seperti John C Maxwell bilang. Dalam leadership mempunyai 5 level, dan itu sudah masuk dalam level 5 Leadership yaitu Pinnacle, pada posisi ini seorang leader dapat menciptakan leader yang level 4. Dan mereke akan meninggal Legacy
kebetulan saya sedang membaca bukunya John C Maxwell yang terbaru berjudul The 5 level of Leadership