Come on

Follow me @teguhspambudi

Friday, December 16, 2011

Kala Etika di Bawah Karpet

Share this history on :

Skandal tata kelola perusahaan tak kunjung berhenti. Etika kerap hanya jadi seperangkat aturan tertulis. Pada akhirnya mengelola korporasi memang soal yang satu ini: kejujuran.

Bom atom itu bernama Olympus. Berawal dari tuntutan mantan CEO-nya, Michael Woodford, skandal busuk yang sudah disimpan rapat selama 20 tahun itu terkuak sudah. Bahkan bukan hanya di Jepang, bau anyirnya menyebar ke banyak tempat, memancing mual melihat rakusnya segelintir orang-orang terhormat di pucuk korporasi.

Pemicu terkuaknya borok ini bermula dari permintaan Woodford terhadap perusahaan berumur 92 tahun ini untuk menjelaskan transaksi akuisisi sebesar US$ 1,3 miliar (Rp 11 triliun) yang menurutnya janggal. Woodford mencium bau busuk. Ada yang salah dari kebijakan yang diambil. Dia curiga dana tersebut mengalir ke pos yang salah.

Awalnya – seperti lazimnya skandal yang mesti ditutup rapat-rapat –, manajemen Olympus menyangkal mati-matian. Namun, lewat jalan berliku, akhirnya produsen kamera asal Jepang itu mengakui telah menyembunyikan kerugian investasi di perusahaan sekuritas selama 20 tahun, sejak era 1980-an.

Aib ini bermula dari akuisisi Olympus atas produsen peralatan medis asal Inggris, Gyrus, pada tahun 2008. Transaksi senilai US$ 2,2 miliar (Rp 18,7 triliun) ini juga melibatkan biaya-biaya lain, yakni ongkos penasihat yang mencapai US$ 687 juta (Rp 5,83 triliun) dan pembayaran kepada tiga perusahaan investasi lokal senilai US$ 773 juta (Rp 6,57 triliun).

Belakangan terungkap, biaya-biaya lain tersebut (ongkos penasihat dan perusahaan investasi lokal) adalah akal-akalan. Dana-dana itu digunakan untuk menutupi kerugian investasi di dua dekade lalu. Modus ini pun terlihat terang-benderang lantaran pembayaran kepada tiga perusahaan investasi lokal itu dihapusbukukan.

Laiknya aib besar, saling tuding pun terjadi diantara pihak-pihak terkait. Presiden Direktur Olympus Shuichi Takayama menunjuk hidung Tsuyoshi Kikukawa, yang mundur dari jabatan Presiden dan Komisaris Olympus pada 26 Oktober 2011, sebagai pihak yang bertanggung jawab. "Saya benar-benar tidak mengetahui kebenaran tentang semua ini," kilah Takayama, yang mengaku tidak mengetahui kasus ini sejak jabatan Presiden Direktur diserahkan Kikukawa kepadanya. Baru Wakil Presiden Direktur Hisashi Mori dan auditor internal Hideo Yamada yang menyatakan siap jika pada akhirnya dituntut hukuman pidana karena mengetahui transaksi ini.

Di tengah kepastian akan diseretnya para direksi serta akuntan dengan delik manipulasi laporan keuangan, masa depan Olympus menjadi pertanyaan besar. Sahamnya rontok. Kepercayaan anjlok. Dan masyarakat Jepang pun sontak diingatkan skandal besar lain di era 1990-an yang menimpa meluluhlantakkan broker terbesar keempat di Jepang, Yamaichi Securities pada 1997.

24 November 1997. Yamaichi Securities Co., perusahaan broker tertua di Jepang, yang juga perusahaan terbesar nomor 4, mengumumkan kebangkrutannya. Utang yang melilitnya mencapai US$ 23,8 miliar, tapi kalangan media Negeri Matahari Terbit menaksir utang yang sebenarnya di kisaran US$ 53 miliar. Kewajiban sebesar itu melibatkan 40 perusahaan terafiliasi, baik dari bisnis investasi, keuangan dan properti yang bernaung di bawah kelompok Yamaichi.

Saat itu, banyak kalangan meyakini Yamaichi Securities sebagai core company dari kelompok usaha ini akan mampu bertahan dengan mem-bail out utang-utang perusahaan afiliasinya. Tapi alih-alih mampu menghapusbukukan utang di perusahaan afiliasi, Kementrian Keuangan Jepang justru mengungkap kotoran besar yang selama ini disimpan rapatt: Yamaichi menyembunyikan kerugian US$ 1,58 miliar dalam neraca keuangannya. Dan kalangan media membongkar bahwa skandal ini dilakukan dengan modus kuno: perdagangan ilegal di mana kerugian brokerage dialihkan dari satu klien ke klien lain sehingga nasabah tidak mengetahui situasi sebenarnya. Kelak, seluruh kerugian itu kemudian dikumpulkan di perusahaan bodong di mancanegara.

Skandal kedua perusahaan Jepang di atas hanyalah sedikit noda dunia korporasi yang meninggalkan kelu bagi pihak yang dirugikan, sekaligus rasa mual tatkala membaca atau mendengarnya. Tapi Jepang tidak sendirian. Di AS, skandal korporasi yang sampai sekarang masih menyakitkan, tentunya adalah Enron.

Akhir tahun 2002, raja perdagangan energi yang sebelumnya berkali-kali masuk menjadi perusahaan yang mengagumkan menjatuhkan bom yang lebih besar dari Olympus. Tak tanggung-tanggung, salah satu perusahaan terbesar di dunia ini mengumumkan kebangkrutannya.

Tentu saja ini berita terbesar setelah serangan ke Menara Kembar WTC setahun sebelumnya. Bagaimana tidak, Enron selama ini adalah perusahaan yang penuh puja-puji. Bahkan pada tahun 2001, ia masih melaporkan rapor keuangan yang seperti biasanya, menawan para investor: pendapatan mencapai US$ 100 miliar, laba US$ 3,8 miliar. Buat perusahaan sebesar Enron, tak ada yang mengira kematian datang tiba-tiba setahun berikutnya ketika melaporkan kerugian US$ 50 miliar.

Sejarah mencatat, kebangkrutan yang membuat pelaku pasar modal nangis bombay karena rugi US$ 32 miliar dan ribuan pegawai Enron kering airmatanya lantaran dana pensiunnya sebesar US$ 1 miliar lenyap itu berangkat dari praktik window dressing. Manajemen Enron di bawah pimpinan Ken Lay dan Jeff Skilling telah menggelembungkan pendapatan sebesar US$ 600 juta sembari menyembunyikan utang US$ 1,2 miliar.

Melihat beberapa skandal di atas, tak heran jika muncul pertanyaan: mengapa semua ini berulang?

Modus yang digunakan perusahaan di atas menjadi potret betapa etika telah disimpan di bawah karpet bersama borok-borok yang ditimbulkannya. Tapi, apakah tak ada aturan etika bisnis yang selaras dengan tata kelola usaha mereka?

Justru di sinilah ironi besar itu terletak. Dilihat dari sudut pandang etika serta tata kelola perusahaan, apa kurangnya Enron, Yamaichi dan Olympus? Seperangkat code of conduct mereka miliki.

Enron, ambil contoh. Kode etiknya luar biasa. Berbentuk booklet setebal 64 halaman, kode etik terakhir diperbarui pada Juli 2000. Kalimat Pendahuluannya pun sangat indah. “As officer and employees of Enron Corps., its subsidiaries, and its affiliated companies, we are responsible for conducting the business affairs of the companies in accordance with all applicable laws and in a moral and honest manner”. Indah bukan? Yang menuliskannya: Ken Lay, Chairman dan CEO Enron, biang skandal.

Dalam booklet, nilai-nilai moral bertebaran di sekujur halaman, bertaburan perintah ini-itu. Buat karyawan, diantaranya termaktub: dilarang menguntungkan diri sendiri atau bertindak demi keuntungan pihak lain, diminta menjaga nama baik Enron dengan standar moral yang tinggi, dan sederet aturan lain yang amat hebat. Tapi praktik membuktikan, bukan karyawan yang menghancurkan aturan itu, melainkan para pembuatnya sendiri.

Tak heran, karena jengkel, setelah Enron kolaps, booklet ini oleh orang yang sinis dilelang di E-Bay, laku di posisi US$ 202,5. Betapa murahnya untuk seperangkat rambu tindakan yang hebat.

Begitu pula halnya Olympus. Perhatikan code of conduct-nya: sound corporate activities, action on behalf of the customer, respect for human right, serta working environment with vitality. Tiap poin tersebut selanjutnya memiliki penjabarannya masing-masing yang cukup panjang, terinci dan detail. Pedoman etika ini juga harus digunakan di seluruh grup. Salah satunya adalah Gyrus ACMI yang mencantumkan kalimat berikut dalam pedoman perilakunya: "As members of the Olympus Group, we all understand that in striving to achieve success in our business lines, we must conduct ourselves in accordance with the law and with the highest standards of ethics and integrity."

Sebenarnya, sejak skandal Enron meledak, banyak upaya dilakukan untuk meredam perilaku tidak etis yang dibuat para pemuncak korporasi. Boardroom memang menjadi titik perhatian karena inilah sentrum kapitalisme. Di sinilah kapitalisme diharapkan bisa mengalirkan kebaikan. Tapi skandal yang meruyak membuktikan justru di sini juga akar kejahatan besar itu sering bermula sehingga melahirkan istilah “the madness in boardrom”, kegilaan di ruang direksi.

Menyadari direksi bukan manusia berhati malaikat – malah sering menjadi serigala berbulu domba di balik jas dan dasi mahalnya – sejumlah upaya diluncurkan, mulai dari Sarbanes-Oxley (tahun 2002) hingga ketentuan memperbanyakan direktur independen seperti yang ditetapkan Wall Street dan Nasdaq pada 2009. Pemikirannya mendasar: perlunya mekanisme checks and balances yang lebih ketat di tengah godaan penyelewengan kuasa yang amat berat.

Peraturan yang dibuat memang cukup memperketat potensi penyelewengan. Tapi tetap saja muncul seorang Bernard Lawrence "Bernie" Madoff yang melakukan penipuan gila-gilaan lewat skema Ponzi. Menilik posisinya, Madoff mungkin benar-benar orang keblinger. Bagaimana tidak. Dia mantan kepala bursa Nasdaq yang memahami arti tata kelola dan etika. Lewat Madoff Investment Securities LLC, ribuan investor dibuatnya gigit jari karena Madoff tidak melakukan investasi tetapi memindahkan uang para investor baru untuk membayar uang para investor lama pada tanggal jatuh tempo. Kerugian akibat skema Ponzi ditaksir mencapai US$ 20 miliar, yang menjadi kerugian investasi terbesar di negeri itu. Madoff dihukum 150 tahun.

Melihat apa yang terjadi, tak heran bila Vineet Nayar punya pendapat yang tampaknya akan selalu relevan. Katanya, “Corporate ethics isn't about rules. It's about honesty.” Nayar adalah Vice Chairman dan CEO HCL Technologies Ltd., perusahaan IT dari India. Dia penulis buku laris, Employees First, Customers Second.

Baginya, corporate governance dan etika yang sesungguhnya bukanlah seperangkat aturan formal. Ini tentang hati. Tentang kejujuran. Khususnya buat para pemimpinnya. Akuntabilitas para pemimpin, katanya adalah sesuatu yang tak bisa dinegosiasikan kepada seluruh pemangku kepentingan. “Hal yang kita lakukan setiap hari adalah berlaku jujur,” katanya. Tapi justru itulah yang kini seringkali menjadi barang langka di jagat bisnis. Padahal, trust akan muncul dalam sebuah perusahaan bila para pemimpinnya transparan. Dan trust menjadi mata uang paling berharga dalam sebuah perusahaan.

Sayang, lanjut Nayar, keserakahan para pemimpin membuyarkan itu semua. Etika pun akhirnya hanya seperangkat aturan yang bersifat lentur, digunakan sesuka hati, dan disimpan di bawah karpet manakala tidak menguntungkan. Etika membeku di atas kertas, tidak dihidupkan dalam perilaku keseharian. Lantas, harus dari mana memulainya?

Tentu saja seluruh elemen perusahaan wajib menjalankan etika yang dituliskan. Tapi yang menarik, Nayar mengingatkan para pemimpin bahwa perilaku etis mereka sesungguhnya sangat berpengaruh pada karyawannya. Para pemimpin itu, katanya, berutang kepada karyawannya yang telah memahat kesuksesan perusahaan. Karyawanlah yang bangun pagi dan berangkat kerja dengan semangat. Agar tata kelola perusahaan yang baik dapat berjalan, pemimpin mesti mencontohkan terlebih dahulu sebelum meminta karyawan bertindak etis. Sebab karyawan akan mencontohnya. “Tuhan hanya memberi kita satu kehidupan. Lakukanlah hal yang baik,” katanya menasehati para CEO. ***

0 comments: