Come on

Follow me @teguhspambudi

Sunday, April 22, 2012

Mereka Bahagia. Anda?

Share this history on :



Kegiatan ini mudah dilakukan. Ayo, ambil sebuah pena, lalu jawablah pertanyaan berikut: apakah Anda bahagia, di rumah, kantor, dan lingkungan sosial? Kalau dibuat rentang 1-10, berapa skor kebahagiaan Anda? Lalu, apa saja sih yang membuat Anda bahagia di rumah, kantor dan lingkungan sosial?

Mudah, bukan pertanyaannya? Atau malah sulit (bahkan Anda tak pernah memikirkannya)?

Sejak jaman Aristoteles, kebahagian menjadi salah satu kata yang banyak dieksplorasi, diutak-atik, dicari maknanya, ditelusuri sumbernya, tapi juga paling tidak dimengerti. Karena katanya, kebahagian itu dirasakan, bukan didiskusikan.

Toh bukan berarti kebahagian berhenti jadi perbincangan. Begitu pula upaya untuk mencari di mana negeri tempat orang-orang paling bahagia berada. Bukti sahih: 2 April 2012, PBB menggelar Conference on Happiness di markas besarnya, New York. Ini adalah konferensi pertama yang dihelat PBB tentang kebahagiaan. Berbarengan dengan itu, dirilis untuk pertama kalinya World Happiness Report yang dipublikasikan Columbia University’s Earth Institute. Setebal 158 halaman, laporan yang disupervisi PBB itu menyatakan Denmark sebagai “the happiest country”, diikuti Finlandia, Norwegia dan Belanda. Indonesia?

Tak masuk 10 besar. Indonesia ada di peringkat 83, di bawah Laos. Paling rendah, adalah Benin, Republik Afrika Tengah, Togo dan Sierra Leone. Dalam laporan ini, ukuran yang digunakan adalah skala “live evaluation”, sebuah ukuran yang memperhitungkan sejumlah faktor penentu kebahagiaan seperti: people’s health, family, job security, political freedom dan ahagovernment corruption. Skor Indonesia ada di 5,1. Denmark di posisi 7,9.

Tapi orang Indonesia patut bangga. Dua bulan lalu, 14 Februari 2012, sebuah jajak pendapat yang digelar Ipsos, sebuah perusahaan riset global untuk majalah What Makes You Happy mengungkap bahwa orang-orang Indonesia adalah orang yang paling bahagia di planet bumi. 51% orang Indonesia menyatakan mereka “sangat bahagia”. Berikutnya menyusul India dan Mexico (43%). Orang AS hanya 28% yang menyatakan “very happy”, ada di peringkat ke-7, disusul Inggris (21%), lalu Swedia (20%). Ini adalah hasil jajak pendapat atas 18.687 orang dewasa di seluruh dunia, yang dilakukan 1 November-15 November 2011.

Orang Indonesia sangat berbahagia? Bukankah GDP kita di bawah negara-negara maju?

Lupakan kaitan GDP dengan kebahagiaan. Bila itu terhubung erat dan jadi determinan utama, niscaya orang Qatar dan Uni Emirates Arab menjadi nomor wahid dalam urusan kebahagiaan dalam semua survei, sebagaimana kebahagiaan orang China pun akan terus melejit seiring pendapatannya yang merangkak naik. Tentang hal ini, Carol Graham, pengarang buku The Pursuit of Happiness: An Economy of Well-Being, punya pernyataan menarik,Happiness is, in the end, a much more complicated concept than income.

Kebahagiaan memang lebih kompleks ketimbang pendapatan. Dan faktanya, uang memang bukan determinan utama pembawa kebahagiaan. Itupun terkonfirmasi dari survei SWA terhadap 207 kalangan bisnis (pemilik, eksekutif dan staf). Di keluarga, hubungan harmonis menjadi sumber kebahagiaan utama (52,66%). Di tempat kerja, suasana nyaman menjadi nomor wahid (43%), sementara gaji di peringkat 4 (12,08%). Adapun di lingkungan masyarakat, lingkungan yang bersih, tertib, aman dan nyaman menjadi determinan utama (31,88%).

Keluarga, tempat kerja serta lingkungan sosial menjadi pertimbangan SWA untuk mengetahui bagaimana perasaan bahagia kalangan bisnis. Asumsinya, sebagai pribadi dan mahluk sosial, kebahagiaan manusia yang memiliki jiwa, raga serta sukma, datang dari interseksi sejumlah faktor dimana dia berinteraksi, entah itu di lingkungan keluarga, kerja serta masyarakat. Kebahagian tidak datang dari satu sisi.

Di sisi keluarga, keharmonisan diyakini memegang peranan bagi ketenangan jiwa, raga dan sukma. “Prioritas utama adalah keluarga. Setelah urusan keluarga terpenuhi, baru kita mengurus usaha. Cari usaha yang menguntungkan,” diakui Ello Suhaeli Kalla, salah seorang pemilik Grup Bukaka. Di sisi kehidupan sosial, mereka yang bisa memberi arti (meaning) pada sesama akan jauh lebih bahagia ketimbang yang hidup selfish. “Orang yang bahagia itu cuma satu orientasinya: seberapa banyak dia bermanfaat bagi orang lain,” ujar Palgunadi T. Setyawan, Komisaris Adaro. Sementara di dunia kerja, keseimbangan hidup di tempat kerja, yang terkenal dengan istilah worklife balance diasumsikan menjadi salah satu pilar kebahagiaan.

Laporan PBB pun menyatakan bahwa konsep kebahagiaan semakin menyentuh banyak sisi yang memenuhi kebutuhan jiwa, raga dan sukma manusia. Di tempat kerja, misalnya, mempunyai pekerjaan dengan gaji besar, tak menjamin kebahagiaan. Kenyamanan workplace social life adalah faktor yang lebih determinan. Adapun dalam kehidupan keluarga, di seluruh dunia, orang-orang yang menikah dan memiliki kehidupan pernikahan yang baik mendatangkan kebahagiaan ketimbang mereka yang disebut single counterpart.

Kembali ke survei SWA. Asumsi tentang aspek interseksi ini terkonfirmasi dalam survei. Dan orang Indonesia boleh dibilang menekankan nilai-nilai keluarga sebagai sumber kebahagiaan. Contohnya, waktu berkumpul dengan keluarga menjadi aktivitas keseharian yang paling membahagiakan (71,01%). Kalangan self employee pun merasakan hal itu. Inggrid Kansil, ambil contoh. Bagi artis dan anggota DPR ini, keluarga adalah sumber kebahagiaan utama. “Apabila suami maupun anak saya tidak mendukung apa yang saya lakukan di luar sana rumah, maka apa-apa yang saya kerjakan, hanya akan menjadi beban. Dengan munculnya beban seperti itu, maka saya tidak akan mampu mengerjakan segala sesuatunya dengan sebaik mungkin,” ujarnya.

Indikasi berkumpul dengan keluarga secara fisik merupakan sisi yang menarik di tengah maraknya dunia media sosial yang disinyalir menimbulkan banyak alienasi di negara maju karena orang lebih senang terhubung secara virtual. Orang-orang yang bahagia dalam survei ini adalah mereka yang aktif di dunia media sosial, yang terkoneksi ke dunia luar. Ketika di rumah, mereka yang bahagia aktif di Facebook (78,7%). Di kantor, 76,92% tak terputus dari Facebook. Sementara dalam pergaulan di masyarakat 76,33%. Mereka juga aktif di Twitter, tapi tak seaktif di Facebook. Tampaknya, karakter Facebook yang lebih guyub dengan tampilan foto menarik, yang membuka peluang orang terkoneksi secara lebih intim dengan kawan dan kerabat, membuatnya lebih digemari.

Akhirnya, hasil survei ini secara keseluruhan bisa dibilang menggembirakan. Dalam skala 1-10, mereka yang menyatakan bahagia (skala 8-9) di rumah mencapai 81,64%, sementara yang sangat bahagia 9,66%. Di tempat kerja, yang bahagia 76,81%, yang sangat bahagia 2,9%. Proporsi ini tak berbeda jauh untuk di lingkungan masyarakat: 75,85% bahagia, 1,93% menyatakan sangat bahagia. Dan dalam seluruh aspek kehidupan, bisa dikatakan mayoritas kaum bisnis menyatakan dirinya bahagia: cukup bahagia 15,46%, bahagia 81,16%, dan sangat bahagia 2,9%.

Lantas, apa arti ini semua, khususnya bagi dunia bisnis? Apa artinya kalau banyak yang bahagia seperti ini?

Oke, mari kita dudukkan terlebih dulu apa arti bahagia. Menurut Arvan Pradiansyah, motivator dan penulis buku 7 Law of Happiness, kebahagiaan sering disalahartikan. “Semua orang bisa mendefinisikan happiness dengan sudut pandang masing-masing, tapi sebenarnya banyak orang yang tidak memahami, happiness is actually a process,” jelasnya. Maksudnya? Banyak orang, dia melanjutkan, yang berpendapat bahwa yang perlu dikejar dalam hidup ini adalah sukses. Sebab kalau sudah mencapai kesuksesan, dia akan mendapatkan kebahagiaan.

Gede Prama, Konsultan Manajemen Dynamics Consultant bahkan melihat banyak orang merasa bahwa sumber kebahagiaan berada di luar dirinya, seperti uang, barang, serta pujian. Dan khusus para eksekutif, dia menengarai kebanyakan masih di tingkatan yang disebutnya "muda" dalam hal sumber kebahagiaan. Buktinya, energi di balik kerja dan karya mereka masih berupa barang, pujian dan uang,” ujarnya. Apakah ini keliru?

Penelitian psikologi positif membuktikan paradigma yang menyatakan bahwa sukses mendatangkan kebahagiaan itu salah. Banyak orang yang sudah mencapai tangga kesuksesan, seperti karir dan materi, ternyata tidak kunjung merasa bahagia. Arvan menandaskan, bahagia itu bukan hasil kesuksesan. Happiness dulu, baru sukses,” kata dia.

Alhasil, yang harus diupayakan adalah bagaimana orang merasa bahagia terlebih dahulu. Dalam konteks pribadi, banyak pakar menyatakan bahwa sumber utama untuk melahirkan kebahagiaan adalah rasa syukur pada Tuhan YME. “Ia tersembunyi pada kualitas terimakasih kita pada kehidupan, kualitas penerimaan kita pada kekurangan,” kata Gede Prama. Dalam bahasa seorang Guru, ‘when I love my self enough, life begins to blossom in a beautiful way’,” dia melanjutkan.

Dan khusus di dunia kerja atau karir, Arvan menyebut dua faktor yang memengaruhi kebahagiaan para eksekutif: bersifat job dan non job. Banyak pihak berpikir faktor non job seperti uang dan sederet benefit menjadi determinan utama sehingga gaji terus dikerek manajemen perusahaan. Boleh jadi ini memengaruhi. Tapi sifatnya temporer. “Ini hanya mengurangi ketidakpuasan, tapi belum tentu bahagia,” katanya.

Tentang hal ini, sudah banyak penelitian yang menyuarakannya. Salah satunya dari Michael Norton. "We are doing things with our money that make us happy in the moment, but that's not always the best strategy for long-term well-being," demikian ungkap Guru Besar Harvard Business School yang tekun meneliti psikologi kebahagiaan. Tak heran, Arvan pun berpendapat tentang kebahagiaan yang lahir dari sifat non-job, Ini happiness yang palsu.” Yang asli?

Happiness yang sejati itu yang didapat dari the job itself. Pekerjaan saya ini pekerjaan yang bermakna, pekerjaan yang membuat saya bahagia, pekerjaan yang membuat saya menemukan diri saya,” paparnya. Inilah faktor job. Pekerjaan yang menantang, yang membuat orang flow (larut), yang menghasilkan meaning bagi yang bersangkutanlah yang memberi kebahagiaan. “Kalau orang itu bahagia, melihat pekerjaannya bermakna, maka inner beauty-nya akan keluarnya, semua energi terbaik dan kemampuan terbaiknya akan keluar. Semua hambatan dan tantangan itu akan kecil. Karena energi yang begitu besarnya, bisa mengalahkan semuanya,” lanjut pria yang juga banyak menelaah perihal kebahagiaan.

Bahagia mendatangkan energi yang besar, yang mengalahkan segalanya. Ini kesimpulannya. Dalam konteks bisnis, kesimpulan itu lebih spesifik: kebahagiaan akan mendongkrak produtivitas. Jadi untuk pertanyaan di atas, “Apa arti survei ini bagi dunia bisnis?”, maka jawabannya jelas: fakta ini adalah kabar yang positif karena dapat berpengaruh bagi produktivitas bisnis.

Isu kebahagiaan dan produktivitas tergolong bahasan yang makin hot dalam 4-5 tahun terakhir. Dan kebanyakan riset menunjukkan relasi positif: orang bahagia akan makin produktif. Riset John Helliwell, umpamanya. Guru Besar Emeritus yang juga ekonom University of British Columbia ini beberapa waktu lalu mengungkap studinya atas lebih dari 100 ribu orang di sejumlah negara. Salah satu temuannya yang kemudian mempengaruhi banyak korporasi untuk membenahi workplace-nya adalah hubungan yang positif antara kebahagiaan karyawan dengan produktivitas, bahkan bos yang membuat nyaman bekerja sudah berpengaruh besar bagi produktivitas bawahannya.

Studi ini segaris dengan pandangan psikolog ternama, Martin Seligman. Dalam bukunya, Authentic Happiness, dia menyimpulkan: happier people got better performance evaluations and high pay. Begitu juga D. G. Myers lewat bukunya, The Pursuit of Happiness yang menyatakan: dibanding mereka yang tertekan atau tak bahagia, happy employee punya catatan biaya kesehatan yang sangat rendah, kerja yang efisien, dan lebih jarang tidak masuk kerja.

Faktanya, kesadaran adanya relasi positif antara kebahagiaan dan produktivitas ini semakin banyak dimiliki para bos di Indonesia. Di IBM misalnya. "Di mana pun IBM beroperasi, kami memiliki program untuk memastikan karyawan memiliki lingkungan kerja yang terbaik," ungkap Vincent Hilliard, Country HR Manager PT IBM Indonesia. Untuk mengetahui tingkat kebahagiaan atau well-being karyawan, dilakukan beragam cari, mulai dari focus group discussion (FGD) dan one on one  session untuk mengetahui apa yang diinginkan serta dibutuhkan karyawan. Mengapa? "Kepemimpinan kami didorong oleh keyakinan bahwa kesejahteraan dan kebahagiaan karyawan adalah salah satu nilai dasar yang menentukan kesuksesan bisnis. Karyawan yang bahagia dan sejahtera, motivasi kerjanya akan terpacu dan akan berdampak pada peningkatan produktivitas dan pertumbuhan bisnis," ujarnya.

Hal yang sama juga disadari di AXA Services Indonesia. Agar bahagia, karyawan harus tumbuh, belajar, memiliki karir yang baik, peluang yang besar, dan keterlibatan (engage). “Saya yakin, jika karyawan engage, ia berarti happy di kantornya,” ujar Presdirnya, Randy Lianggara. Seperti halnya di IBM, manajemen AXA juga menelusuri apa yang diinginkan karyawannya, mulai dari sisi kepemimpinan, budaya perusahaan, remunerasi, kepuasan kerja, hingga apresiasi buat karyawan. Dari sini kemudian dianalisis untuk mengetahui apa saja yang bisa membuat karyawan engage. “Jadi, dari karyawan, untuk karyawan,” kata Thomas Suhardja, Direktur SDM PT AXA Services.

Bahkan bukan hanya kalangan eksekutif yang menyadari relasi positif antara kebahagiaan dan produktivitas. Kalangan self employee malah semakin membutuhkannya. Melanie Subono, misalnya. “Buat saya, happy penting sekali karena saya seniman yang membutuhkan mood ketika buat tulisan, lirik, dan karya lainnya. Pada saat saya menjadi diri sendiri, saya happy, (saya) bisa bekerja dengan maksimal, kreatif,” katanya. “Kalau mood berantakan, saya mau cari uang dari mana? Saya tidak berkarya kalau mood berantakan.

Tentang kebijakan manajemen yang memperhatikan upaya menciptakan well being bagi karyawan, Gede Prama sangat mengapresiasinya. Peran organisasi, terutama organisasi bisnis adalah mengisi apa yang disebutnya "lobang-lobang jiwa" yang ada dalam diri karyawan, yang boleh jadi muncul dari relasi keseharian di dunia kerja. Kelelahan batin, kecewa, ketidakpuasan adalah lubang jiwa. Lubang yang tak terisi akan menganga lebar, membuat produktivitas menjadi barang langka.

Arvan pun mengapresiasi upaya manajemen yang seperti ini. Menurutnya, banyak bos menganggap happy dan happiness berkonotasi negatif terhadap produktivitas. “Banyak orang memandang, jika karyawannya dibuat happy, (jadi ragu) apakah dia mau bekerja, apakah memiliki daya juang yang tinggi,” tuturnya. Kalau karyawan merasa bahagia, banyak bos menyangka mereka akan manja, main-main, dan lebih senang ngobrol. “Maka tak heran banyak atasan suka berujar, ‘Kita sudah sampai di sini, tapi jangan happy dulu’,” dia melanjutkan. Sekali lagi, ini karena paradigma yang keliru.

Menimbang produktivitas terkait kebahagiaan, dengan demikian, upaya memperbaiki well-being di dunia bisnis dengan beragam kreativitas serta bentuknya merupakan sesuatu yang harus terus didorong. Para bos mesti memperhatikan ini.

Oh ya, ngomong-ngomong, kembali ke pernyataan di awal tulisan, ayo, ambil pena dan jawab pertanyaan berikut: berapa skor kebahagiaan Anda? ***

Special thanks to:
Denoan Rinaldi, Herning Banirestu, Radito Wicaksono, Siti Ruslina, Risvan dan S. Sumariyati




0 comments: