Sejumlah wanita menunjukkan kemampuannya berkontribusi
besar di berbagai bidang kehidupan. Survei dan studi kepemimpinan juga
menunjukkan potensi besar mereka untuk menjadi pemimpin hebat. Toh
kegalauan akan masih minimnya wanita perkasa, tetap menyeruak. Inilah potret mutakhir kaum hawa.
Lincoln Center, David H. Koch Theater, New York, awal Maret 2012. Suara tepuk tangan membahana begitu satu
persatu panelis bicara. Ini adalah momen penting bagi kalangan wanita di
seluruh dunia. Di sini mereka berkumpul dalam pertemuan Women in the World
Summit ke-3 yang digagas majalah Newsweek.
Sejumlah wanita hebat hadir di sini. Diantaranya, Hillary Clinton (Menlu AS) beserta pendahulunya, Madeleine Albright, Leymah Gbowee (pemenang Nobel), Meryl
Streep (pemenang Oscar), Nancy
Pelosi (Ketua DPR AS dari Partai Demokrat), Sheryl Sandberg (COO
Facebook), Gloria Steinem (feminis) dan Direktur Pengelola IMF,
Christine Lagarde.
Sederet topik menyeruak di perhelatan selama 3 hari
itu (8-10 Maret). Tapi semuanya mengerucut pada upaya memperkuat peranan kaum
hawa di berbagai ranah kehidupan, baik itu politik, sosial, budaya, maupun
ekonomi. Bahkan dalam acara yang disponsori
perusahaan raksasa macam HP,
Bank of America, Toyota, Coca-Cola, Intel, Ann Taylor, Liberty Mutual serta Thomson Reuters itu keluar pernyataan yang heroik, “women’s
rights are human rights” di samping keyakinan bahwa kaum hawa punya potensi serta kompetensi
untuk berkontribusi di segala aspek. Bahkan mereka punya obligasi moral untuk
mewujudkannya.
Perhelatan di New York itu memang telah usai. Tapi
dalam konteks unjuk gigi di pentas dunia, kaum hawa belum menyatakan selesai. 18 Juni mendatang, misalnya, di Claridge’s, hotel mewah di Mayfair,
London, akan dihelat ajang Most Powerful
Women yang digelar majalah Fortune. Pertemuan dan gala dinner ini
akan menghadirkan sejumlah perempuan hebat dibidang bisnis, sosial, politik
hingga seni. Dan itu pun belum selesai. Pada 1-3 Oktober 2012, Fortune akan menggelar ajang yang lebih
prestisius, Fortune Most Powerful Women
Summit 2012 di Laguna Niguel, Kalifornia.
Kian
menggeliatnya kaum hawa di pentas dunia memang kian terasa dalam satu dekade
terakhir. Patut dicatat, pada 20 April 2012, sejarah akan menggores tinta emas
bila Ngozi Okonjo-Iweala terpilih menjadi Gubernur Bank
Dunia, menyisihkan wakil AS, Jim
Yong Kim dan Jose Antonio Ocampo dari Kolombia. Bila Menteri
Keuangan Nigeria itu terpilih, dia akan melengkapi dominasi kaum perempuan di
lembaga keuangan dunia. Di IMF, sejak 5 Juli 2011
telah bercokol Christine Lagarde, wanita pertama yang
menduduki kursi tertinggi lembaga moneter tersebut.
Lagarde adalah salah seorang wanita kuat di dunia.
Sebelum menduduki kursi direktur IMF, dia menjabat Menteri Urusan Ekonomi,
Keuangan dan Perindustrian Perancis. Ini juga jabatan bergengsi
karena menjadikannya perempuan
pertama yang menjabat menteri ekonomi negara-negara kelompok ekonomi G-8. Dan merunut ke belakang,
kelahiran 1 Januari 1956 ini telah mencatat banyak prestasi serta menorehkan
sejarah. Diantaranya: perempuan pertama
yang menjadi
Direktur Baker & McKenzie, firma konsultan hukum papan atas.
Di ranah politik dan pemerintahan level dunia, dalam World’s Most Powerful Women 2011 versi Forbes, Lagarde masih di bawah sejumlah
nama. Peringkat pertama diduduki Kanselir Angela Merkel (Jerman) yang kini
tengah bertarung menyelamatkan Eropa dari terkaman resesi, disusul Hillary
Clinton, dan berikutnya, bintang dari Amerika Latin, Dilma Roussef, wanita
pertama yang menjadi Presiden Brazil. Adapun Aung San Suu Kyi, yang kini tengah
merintis jalan menjadi pemimpin Myanmar, berada di posisi 26 – peringkatnya
diyakini akan segera naik seusai Pemilu Myanmar.
Tak hanya di ranah politik, geliat itu terasa. Di
ranah bisnis pun, kaum hawa kian bersemangat unjuk gigi. Di kalangan eksekutif
wanita papan atas, nama-nama lama masih bercokol dalam sejumlah daftar most powerful women in business yang
dirilis banyak media. Diantaranya, Irene Rosenfeld (CEO Kraft Food), Indra
Nooyi (Pepsi), Patricia Woertz (Archer Daniels Midland), Ursula Burns (Xerox)
dan Andrea Jung (Avon).
Untuk Irene Rosenfeld, wanita ini sangat istimewa. Fortune menahbiskannya di posisi
pertama, mengungguli Indra Nooyi yang biasanya nangkring di nomor wahid. Irene yang menjadi CEO Kraft Food sejak
2006, dipandang sukses menjadikan Kraft perusahaan papan atas dan tetap solid
di tengah aktivitas akuisisinya yang agresif seperti mengambil LU, produsen
biskuit dari Prancis dan Cadbury (Inggris). Dia mampu menyegarkan kembali
merek-merek Kraft seperti Oreo, Jell-O, serta Maxwell House. Dengan
pendekatannya yang disebut “Growth
Diamond”, Kraft dibawanya melaju dengan bertumpu pada lini-lini produk yang
memromosikan kesehatan. Hasilnya mengesankan. Tahun lalu, laba bersih Kraft
meningkat 10% dibanding tahun sebelumnya.
Kendati nama lama tetap berkibar, nama-nama baru juga
telah muncul. Yang teranyar adalah Ginni Rometty yang menjadi Presiden dan CEO
IBM serta Heather Bresch, CEO Mylan Inc., perusahaan farmasi besar di Pittsburgh,
AS. Keduanya efektif menjabat posisi prestisius tersebut per-1 Januari 2012.
Bagi IBM, Rometty bukanlah figur sembarangan. Merintis
karir di IBM sejak 1981 di Detroit, Michigan, karirnya terus menanjak pesat.
Dia banyak mengurusi aspek penjualan dan pemasaran. Sebagai Senior Vice President and Group
Executive, IBM Sales, Marketing and Strategy,
wanita 54 tahun ini mengelola bisnis IBM senilai US$ 99 miliar. Sebelumnya dia
sukses memimpin integrasi PricewaterhouseCoopers Consulting yang diakuisisi IBM
pada tahun 2002 senilai US$ 3,5 miliar. Ini adalah akuisisi layanan konsultasi
terbesar dalam sejarah. Kendati tugasnya maha berat, toh Rometty mampu
mengintegrasikan lebih dari 100 ribu konsultan.
Kemudian, selain pergerakan wanita perkasa di AS dan
Eropa, Fortune juga mencatat tokoh wanita hebat di Asia, terutama di
ranah bisnis. Salah satunya adalah Chandra Kochhar. Wanita 51 tahun ini adalah
Direktur Pengelola dan CEO ICICI Bank. Ini adalah bank swasta terbesar di
India. Di bawah Kochhar, ICICI beberapa tahun terakhir menyabet penghargaan
sebagai “Best Retail Bank in India” dan “Excellence in Retail Banking
Award” yang diberikan The Asian Banker. Di India, popularitas Kochhar hanya
mampu disaingi Sonia Gandhi.
Terlepas dari sebaran kaum wanita perkasa di pelbagai
belahan dunia, bagi sebagian kalangan, pengangkatan Rometty dan Bresch adalah
momen yang penting karena itu membuat daftar CEO wanita dalam kelompok Fortune 500 menjadi 18 orang. Ini adalah
sebuah catatan tersendiri karena biasanya wanita perkasa di kelompok korporasi
elit ini hanya segelintir saja, paling bagus di kisaran 12-15 orang. Akan
tetapi, bagi kalangan lain, jumlah itu sangatlah minim, hanya 3,6% dari
populasi 500 perusahaan elit di dunia.
Masih minimnya wanita perkasa di percaturan korporasi
global, juga sangat diperhatikan di Eropa. Maret lalu, Viviane Reding,
Komisioner Uni Eropa menyatakan keprihatinannya. Apa pasal?
Tahun 2011, dia secara terbuka mengundang perusahaan
yang terdaftar di sejumlah bursa di Uni Eropa untuk menandatangani sebuah
perjanjian. Isinya: meningkatkan proporsi jumlah kaum hawa dalam manajemen
korporasi. Peningkatan ini dilakukan bertahap: 30% di tahun 2015, dan 40% di
tahun 2020. Sayang, hanya 24 perusahaan yang menandatangani.
Kini, hanya 13,7% anggota direksi perusahaan besar di
Uni Eropa yang berjenis kelamin wanita. Memang persentase ini bertambah
dibanding tahun 2003 yang ada di posisi 8,5%. Tapi itu tetap jauh dari harapan
Viviane dan sejumlah kalangan yang ingin membesarnya populasi kaum hawa di board. Apalagi bila melihat proporsi
kaum hawa yang jadi Presiden dan Preskom. Jumlahnya lebih sedikit lagi: hanya
3,2%. Betul itu meningkat ketimbang 1,6% di tahun 2003, tapi tetap
mengecewakan. Sebab, mengutip data yang ada, potensi kaum hawa di Benua Biru untuk
bicara lebih banyak sangat besar. Di Uni Eropa, bahkan lulusan sarjana
didominasi wanita. Mereka masuk ke banyak lapangan pekerjaan. Tapi populasi
yang besar itu menghilang entah ke mana manakala melihat prosentase di pucuk
korporasi didominasi pria.
Kegelisahan semacam ini, sebelumnya dengan sangat
mengena telah diungkap Jane Martinson dalam tulisannya di harian terkemuka
Inggris, Guardian. Bedanya, dia
menyoroti lebih ke kiprah wanita di ranah politik dan pemerintahan. Dalam
tulisan berjudul “Davos: if women are the future, where are they?” (27 Januari 2012), dia mencatat apa yang terjadi di
Davos saat pertemuan World Economic Forum. Dari 2500 delegasi yang hadir
pada pertemuan di Davos, hanya 17% kalangan perempuan. Begitu juga dengan para
panelisnya, terutama ketika bicara ekonomi, masih dikuasai kaum Adam – kulit
putih pula, sindir Jane. “Entah ke mana kaum wanita itu berada,” dia menulis
dengan sinis. Padahal, Jane melanjutkan, semuanya terasa meyakinkan di awal
perhelatan yang sangat bergengsi tersebut. Maklum, Angela Merkel bicara. Begitu
juga pemenang Nobel, Leymah
Gbowee yang
belakangan bicara juga di Lincoln
Center. Awal yang
meyakinkan, papar Jane dengan nada masygul.
Kegalauan Jane dan Viviane tampaknya cukup beralasan.
Di tengah upaya sejumlah perempuan perkasa untuk terus menunjukkan kekuatan
mereka yang diantaranya digalang lewat sejumlah “Women Summit”, survei
juga menunjukkan potensi kepemimpinan kaum hawa. Contohnya temuan Jack Zenger
dan Joseph Folkman dari Zenger/Folkman, konsultan pengembangan kepemimpinan di
AS. Maret lalu mereka merilis riset “Women vs Men in Leadership”.
Menggunakan 7280 partisipan yang datang dari kalangan pemimpin korporasi,
Zenger dan Folkman menyatakan bahwa sementara kaum pria terbilang hebat di area
teknis dan strategis, kaum wanita unggul di sisi yang sangat penting seperti
hubungan manusia dan komunikasi. “Mereka juga mengungguli mitra pria dalam hal
dorongan diri untuk mencetak hasil yang hebat,” ungkap Zenger. Dari 16
kompetensi, kalangan wanita menguasai 15 kompetensi seperti “takes
initiative” dan “develop others”. Hanya di kompetensi “develop
strategic perpectives” pria unggul.
Jadi, kalau ada yang bertanya, “Mengapa harus wanita
yang memimpin?”, Zenger dan Folkman menunjukkan jawabannya.
Apa yang diurai kedua konsultan itu cukup menjadi
perbincangan di AS. Selain mengukuhkan beberapa riset lain yang telah dirilis
banyak pihak pada 2-3 tahun terakhir, hasil survei Zenger-Folkman memperkuat
asumsi tentang potensi besar kaum wanita untuk menjadi pemimpin, eksekutif atau
pebisnis yang tangguh.
Pada faktanya, sejumlah wanita perkasa yang sering
menjadi inspirasi itu sendiri banyak yang sunguh-sunguh telah menunjukkan
kepiawaiannya dalam mengelola organisasi masing-masing. Di jagat bisnis, selain
Irene Rosenfeld yang piawai menavigasi Kraft, atau Rometty di IBM, Indra Nooyi
juga telah membuktikannya di Pepsi. Dan Nooyi yang telah menjadi CEO Pepsi
sejak 2006 itu kini tengah diuji untuk kesekian kalinya. Apa yang terjadi?
Penyebabnya adalah tekanan investor serta pemegang
saham yang geregetan karena wanita kelahiran Madras, India itu terlalu fokus
pada strategi nutrisi (produk-produk yang sehat), dan mengabaikan bisnis
minuman ringan berkarbonasi di Amerika Utara. Akibatnya, flagship brand-nya,
Pepsi terkapar dihajar Diet Coke. Sementara saham Coca-Cola terus meningkat,
saham Pepsi justru terus merosot. Pepsi bahkan disebut-sebut akan mengurangi
karyawan hingga 4000-8000 orang. Apakah Nooyi mampu membalik keadaan, banyak
pihak masih menunggu. Dan bila dia gagal, bukan mustahil dia akan menyusul
Carly Fiorina, mantan CEO HP yang terpental.
Yang menarik, tatkala bicara tentang wanita perkasa –
terutama di ranah bisnis – versi Fortune, juga terungkap fakta bahwa
mereka yang berada di peringkat atas, ternyata tidak selalu mendapat kompensasi
tertinggi. Lantas, siapa wanita bergaji termahal di dunia?
Perkenalkan: Safra A. Catz. Wanita 52 tahun yang
menjabat Presiden Oracle Corporation ini ada di peringkat 11 daftar Powerful Women in Business versi Fortune.
Tapi gajinya nomor satu: US$ 42 juta setahun. Adapun Irene Rosenfeld, yang
menjadi nomor satu, cuma dibayar US$ 13,4 juta. Irene berada di peringkat 11
untuk urusan kompensasi. Jadi mereka bertukar posisi.
Tapi Irene tak mau pusing dengan urusan itu. Tipikal wanita hebat di
level ini lebih galau pada pembuktian bahwa mereka dipilih karena mereka memang
mampu mengelola organisasi besar dengan karyawan puluhan hingga ratusan ribu.
***
0 comments:
Post a Comment