Come on

Follow me @teguhspambudi

Friday, April 6, 2012

Kala Kaum Hawa Menggeliat di Pentas Dunia

Share this history on :



Sejumlah wanita menunjukkan kemampuannya berkontribusi besar di berbagai bidang kehidupan. Survei dan studi kepemimpinan juga menunjukkan potensi besar mereka untuk menjadi pemimpin hebat. Toh kegalauan akan masih minimnya wanita perkasa, tetap menyeruak. Inilah potret mutakhir kaum hawa.

Lincoln Center, David H. Koch Theater, New York, awal Maret 2012. Suara tepuk tangan membahana begitu satu persatu panelis bicara. Ini adalah momen penting bagi kalangan wanita di seluruh dunia. Di sini mereka berkumpul dalam pertemuan Women in the World Summit ke-3 yang digagas majalah Newsweek.

Sejumlah wanita hebat hadir di sini. Diantaranya, Hillary Clinton (Menlu AS) beserta pendahulunya, Madeleine Albright, Leymah Gbowee (pemenang Nobel), Meryl Streep (pemenang Oscar), Nancy Pelosi (Ketua DPR AS dari Partai Demokrat), Sheryl Sandberg (COO Facebook), Gloria Steinem (feminis) dan Direktur Pengelola IMF, Christine Lagarde.

Sederet topik menyeruak di perhelatan selama 3 hari itu (8-10 Maret). Tapi semuanya mengerucut pada upaya memperkuat peranan kaum hawa di berbagai ranah kehidupan, baik itu politik, sosial, budaya, maupun ekonomi. Bahkan dalam acara yang disponsori  perusahaan raksasa macam HP, Bank of America, Toyota, Coca-Cola, Intel, Ann Taylor, Liberty Mutual serta Thomson Reuters itu keluar pernyataan yang heroik, women’s rights are human rightsdi samping keyakinan bahwa kaum hawa punya potensi serta kompetensi untuk berkontribusi di segala aspek. Bahkan mereka punya obligasi moral untuk mewujudkannya.

Perhelatan di New York itu memang telah usai. Tapi dalam konteks unjuk gigi di pentas dunia, kaum hawa belum menyatakan selesai. 18 Juni mendatang, misalnya, di Claridge’s, hotel mewah di Mayfair, London, akan dihelat ajang Most Powerful Women yang digelar majalah Fortune. Pertemuan dan gala dinner ini akan menghadirkan sejumlah perempuan hebat dibidang bisnis, sosial, politik hingga seni. Dan itu pun belum selesai. Pada 1-3 Oktober 2012, Fortune akan menggelar ajang yang lebih prestisius, Fortune Most Powerful Women Summit 2012 di Laguna Niguel, Kalifornia.

Kian menggeliatnya kaum hawa di pentas dunia memang kian terasa dalam satu dekade terakhir. Patut dicatat, pada 20 April 2012, sejarah akan menggores tinta emas bila Ngozi Okonjo-Iweala terpilih menjadi Gubernur Bank Dunia, menyisihkan wakil AS, Jim Yong Kim dan Jose Antonio Ocampo dari Kolombia. Bila Menteri Keuangan Nigeria itu terpilih, dia akan melengkapi dominasi kaum perempuan di lembaga keuangan dunia. Di IMF, sejak 5 Juli 2011 telah bercokol Christine Lagarde, wanita pertama yang menduduki kursi tertinggi lembaga moneter tersebut.

Lagarde adalah salah seorang wanita kuat di dunia. Sebelum menduduki kursi direktur IMF, dia menjabat Menteri Urusan Ekonomi, Keuangan dan Perindustrian Perancis. Ini juga jabatan bergengsi karena menjadikannya perempuan pertama yang menjabat menteri ekonomi negara-negara kelompok ekonomi G-8. Dan merunut ke belakang, kelahiran 1 Januari 1956 ini telah mencatat banyak prestasi serta menorehkan sejarah. Diantaranya: perempuan pertama yang menjadi Direktur Baker & McKenzie, firma konsultan hukum papan atas.

Di ranah politik dan pemerintahan level dunia, dalam World’s Most Powerful Women 2011 versi Forbes, Lagarde masih di bawah sejumlah nama. Peringkat pertama diduduki Kanselir Angela Merkel (Jerman) yang kini tengah bertarung menyelamatkan Eropa dari terkaman resesi, disusul Hillary Clinton, dan berikutnya, bintang dari Amerika Latin, Dilma Roussef, wanita pertama yang menjadi Presiden Brazil. Adapun Aung San Suu Kyi, yang kini tengah merintis jalan menjadi pemimpin Myanmar, berada di posisi 26 – peringkatnya diyakini akan segera naik seusai Pemilu Myanmar.

Tak hanya di ranah politik, geliat itu terasa. Di ranah bisnis pun, kaum hawa kian bersemangat unjuk gigi. Di kalangan eksekutif wanita papan atas, nama-nama lama masih bercokol dalam sejumlah daftar most powerful women in business yang dirilis banyak media. Diantaranya, Irene Rosenfeld (CEO Kraft Food), Indra Nooyi (Pepsi), Patricia Woertz (Archer Daniels Midland), Ursula Burns (Xerox) dan Andrea Jung (Avon).

Untuk Irene Rosenfeld, wanita ini sangat istimewa. Fortune menahbiskannya di posisi pertama, mengungguli Indra Nooyi yang biasanya nangkring di nomor wahid. Irene yang menjadi CEO Kraft Food sejak 2006, dipandang sukses menjadikan Kraft perusahaan papan atas dan tetap solid di tengah aktivitas akuisisinya yang agresif seperti mengambil LU, produsen biskuit dari Prancis dan Cadbury (Inggris). Dia mampu menyegarkan kembali merek-merek Kraft seperti Oreo, Jell-O, serta Maxwell House. Dengan pendekatannya yang disebut “Growth Diamond”, Kraft dibawanya melaju dengan bertumpu pada lini-lini produk yang memromosikan kesehatan. Hasilnya mengesankan. Tahun lalu, laba bersih Kraft meningkat 10% dibanding tahun sebelumnya.

Kendati nama lama tetap berkibar, nama-nama baru juga telah muncul. Yang teranyar adalah Ginni Rometty yang menjadi Presiden dan CEO IBM serta Heather Bresch, CEO Mylan Inc., perusahaan farmasi besar di Pittsburgh, AS. Keduanya efektif menjabat posisi prestisius tersebut per-1 Januari 2012.

Bagi IBM, Rometty bukanlah figur sembarangan. Merintis karir di IBM sejak 1981 di Detroit, Michigan, karirnya terus menanjak pesat. Dia banyak mengurusi aspek penjualan dan pemasaran. Sebagai Senior Vice President and Group Executive, IBM Sales, Marketing and Strategy, wanita 54 tahun ini mengelola bisnis IBM senilai US$ 99 miliar. Sebelumnya dia sukses memimpin integrasi PricewaterhouseCoopers Consulting yang diakuisisi IBM pada tahun 2002 senilai US$ 3,5 miliar. Ini adalah akuisisi layanan konsultasi terbesar dalam sejarah. Kendati tugasnya maha berat, toh Rometty mampu mengintegrasikan lebih dari 100 ribu konsultan.

Kemudian, selain pergerakan wanita perkasa di AS dan Eropa, Fortune juga mencatat tokoh wanita hebat di Asia, terutama di ranah bisnis. Salah satunya adalah Chandra Kochhar. Wanita 51 tahun ini adalah Direktur Pengelola dan CEO ICICI Bank. Ini adalah bank swasta terbesar di India. Di bawah Kochhar, ICICI beberapa tahun terakhir menyabet penghargaan sebagai “Best Retail Bank in India” dan “Excellence in Retail Banking Award” yang diberikan The Asian Banker. Di India, popularitas Kochhar hanya mampu disaingi Sonia Gandhi.

Terlepas dari sebaran kaum wanita perkasa di pelbagai belahan dunia, bagi sebagian kalangan, pengangkatan Rometty dan Bresch adalah momen yang penting karena itu membuat daftar CEO wanita dalam kelompok Fortune 500 menjadi 18 orang. Ini adalah sebuah catatan tersendiri karena biasanya wanita perkasa di kelompok korporasi elit ini hanya segelintir saja, paling bagus di kisaran 12-15 orang. Akan tetapi, bagi kalangan lain, jumlah itu sangatlah minim, hanya 3,6% dari populasi 500 perusahaan elit di dunia.

Masih minimnya wanita perkasa di percaturan korporasi global, juga sangat diperhatikan di Eropa. Maret lalu, Viviane Reding, Komisioner Uni Eropa menyatakan keprihatinannya. Apa pasal?

Tahun 2011, dia secara terbuka mengundang perusahaan yang terdaftar di sejumlah bursa di Uni Eropa untuk menandatangani sebuah perjanjian. Isinya: meningkatkan proporsi jumlah kaum hawa dalam manajemen korporasi. Peningkatan ini dilakukan bertahap: 30% di tahun 2015, dan 40% di tahun 2020. Sayang, hanya 24 perusahaan yang menandatangani.

Kini, hanya 13,7% anggota direksi perusahaan besar di Uni Eropa yang berjenis kelamin wanita. Memang persentase ini bertambah dibanding tahun 2003 yang ada di posisi 8,5%. Tapi itu tetap jauh dari harapan Viviane dan sejumlah kalangan yang ingin membesarnya populasi kaum hawa di board. Apalagi bila melihat proporsi kaum hawa yang jadi Presiden dan Preskom. Jumlahnya lebih sedikit lagi: hanya 3,2%. Betul itu meningkat ketimbang 1,6% di tahun 2003, tapi tetap mengecewakan. Sebab, mengutip data yang ada, potensi kaum hawa di Benua Biru untuk bicara lebih banyak sangat besar. Di Uni Eropa, bahkan lulusan sarjana didominasi wanita. Mereka masuk ke banyak lapangan pekerjaan. Tapi populasi yang besar itu menghilang entah ke mana manakala melihat prosentase di pucuk korporasi didominasi pria.

Kegelisahan semacam ini, sebelumnya dengan sangat mengena telah diungkap Jane Martinson dalam tulisannya di harian terkemuka Inggris, Guardian. Bedanya, dia menyoroti lebih ke kiprah wanita di ranah politik dan pemerintahan. Dalam tulisan berjudul “Davos: if women are the future, where are they?” (27 Januari 2012), dia mencatat apa yang terjadi di Davos saat pertemuan World Economic Forum. Dari 2500 delegasi yang hadir pada pertemuan di Davos, hanya 17% kalangan perempuan. Begitu juga dengan para panelisnya, terutama ketika bicara ekonomi, masih dikuasai kaum Adam – kulit putih pula, sindir Jane. “Entah ke mana kaum wanita itu berada,” dia menulis dengan sinis. Padahal, Jane melanjutkan, semuanya terasa meyakinkan di awal perhelatan yang sangat bergengsi tersebut. Maklum, Angela Merkel bicara. Begitu juga pemenang Nobel, Leymah Gbowee yang belakangan bicara juga di Lincoln Center. Awal yang meyakinkan, papar Jane dengan nada masygul.

Kegalauan Jane dan Viviane tampaknya cukup beralasan. Di tengah upaya sejumlah perempuan perkasa untuk terus menunjukkan kekuatan mereka yang diantaranya digalang lewat sejumlah “Women Summit”, survei juga menunjukkan potensi kepemimpinan kaum hawa. Contohnya temuan Jack Zenger dan Joseph Folkman dari Zenger/Folkman, konsultan pengembangan kepemimpinan di AS. Maret lalu mereka merilis riset “Women vs Men in Leadership”. Menggunakan 7280 partisipan yang datang dari kalangan pemimpin korporasi, Zenger dan Folkman menyatakan bahwa sementara kaum pria terbilang hebat di area teknis dan strategis, kaum wanita unggul di sisi yang sangat penting seperti hubungan manusia dan komunikasi. “Mereka juga mengungguli mitra pria dalam hal dorongan diri untuk mencetak hasil yang hebat,” ungkap Zenger. Dari 16 kompetensi, kalangan wanita menguasai 15 kompetensi seperti “takes initiative” dan “develop others”. Hanya di kompetensi “develop strategic perpectives” pria unggul.

Jadi, kalau ada yang bertanya, “Mengapa harus wanita yang memimpin?”, Zenger dan Folkman menunjukkan jawabannya.

Apa yang diurai kedua konsultan itu cukup menjadi perbincangan di AS. Selain mengukuhkan beberapa riset lain yang telah dirilis banyak pihak pada 2-3 tahun terakhir, hasil survei Zenger-Folkman memperkuat asumsi tentang potensi besar kaum wanita untuk menjadi pemimpin, eksekutif atau pebisnis yang tangguh.

Pada faktanya, sejumlah wanita perkasa yang sering menjadi inspirasi itu sendiri banyak yang sunguh-sunguh telah menunjukkan kepiawaiannya dalam mengelola organisasi masing-masing. Di jagat bisnis, selain Irene Rosenfeld yang piawai menavigasi Kraft, atau Rometty di IBM, Indra Nooyi juga telah membuktikannya di Pepsi. Dan Nooyi yang telah menjadi CEO Pepsi sejak 2006 itu kini tengah diuji untuk kesekian kalinya. Apa yang terjadi?

Penyebabnya adalah tekanan investor serta pemegang saham yang geregetan karena wanita kelahiran Madras, India itu terlalu fokus pada strategi nutrisi (produk-produk yang sehat), dan mengabaikan bisnis minuman ringan berkarbonasi di Amerika Utara. Akibatnya, flagship brand-nya, Pepsi terkapar dihajar Diet Coke. Sementara saham Coca-Cola terus meningkat, saham Pepsi justru terus merosot. Pepsi bahkan disebut-sebut akan mengurangi karyawan hingga 4000-8000 orang. Apakah Nooyi mampu membalik keadaan, banyak pihak masih menunggu. Dan bila dia gagal, bukan mustahil dia akan menyusul Carly Fiorina, mantan CEO HP yang terpental.

Yang menarik, tatkala bicara tentang wanita perkasa – terutama di ranah bisnis – versi Fortune, juga terungkap fakta bahwa mereka yang berada di peringkat atas, ternyata tidak selalu mendapat kompensasi tertinggi. Lantas, siapa wanita bergaji termahal di dunia?

Perkenalkan: Safra A. Catz. Wanita 52 tahun yang menjabat Presiden Oracle Corporation ini ada di peringkat 11 daftar Powerful Women in Business versi Fortune. Tapi gajinya nomor satu: US$ 42 juta setahun. Adapun Irene Rosenfeld, yang menjadi nomor satu, cuma dibayar US$ 13,4 juta. Irene berada di peringkat 11 untuk urusan kompensasi. Jadi mereka bertukar posisi.

Tapi Irene tak mau pusing dengan urusan itu. Tipikal wanita hebat di level ini lebih galau pada pembuktian bahwa mereka dipilih karena mereka memang mampu mengelola organisasi besar dengan karyawan puluhan hingga ratusan ribu. ***

0 comments: