Come on

Follow me @teguhspambudi

Tuesday, August 17, 2010

Menarik Argonaut demi Brain Gain

Share this history on :
Isu mengubah brain drain menjadi brain circulation telah menjadi perhatian global. Sejumlah negara sukses melakukannya.


SEKITAR 25 tahun lalu, ketika PM India, Rajiv Gandhi bertemu Presiden AS di Gedung Putih, Ronald Reagan mengajukan pertanyaan singkat: mengapa talenta-talenta terbaik dari India pergi ke AS, bukankah itu brain drain? Rajiv pun menjawab, “Oh, itu bukan brain drain seperti yang diramaikan orang, tapi itu brain bank yang akan kami tarik sewaktu-waktu bila perlu.”

Tahun 2009. Duta Besar India untuk AS, Meera Shankar dilontari pertanyaan serupa oleh anggota The Indus Entrepreneurs, Chapter Washington, DC ketika mereka melakukan pertemuan. Seperti halnya mendiang Rajiv, Bu Dubes ini mengatakan bahwa itu bukanlah brain drain, tapi lebih sebagai “brain circulation”. "What goes around, comes around. And I have seen that movement of Indians to other countries has had a very positive impact back in India," katanya.

Andhra Pradesh adalah contoh yang ditunjukkan Meera. Dulunya, negara bagian ini tergolong terbelakang. Namun, kini menjadi salah satu negara bagian paling berkembang di India setelah teknisi dan ilmuwan yang merantau ke AS mengembangkan bisnis di wilayah ini.

Tanpa meninggalkan agrikultur (4 sungai besar India, yakni Godavari, Khrisna, Penna dan Thungabhadra melintasinya) yang menghasilkan tanaman padi, kapas, merica, dan mangga, pada awal dekade 2000-an Andhra Pradesh memfokuskan diri pada industri TI dan bioteknologi. Para teknisi India pulang kampung membangunnya. Buahnya, dari wilayah terbelakang, Andhra Pradesh menjadi pengekspor produk/jasa TI dengan nilai di atas Rp 45 triliun. Namun bukan hanya TI yang berkembang. Ibukotanya, Hyderabad menjadi pusat manufaktur farmasi.

From brain drain to brain circulation.

Terminologi brain circulation yang dikutip Meera merupakan istilah yang dimunculkan Profesor AnnaLee Saxenian, yang kini menjabat Dekan UC Berkeley, School of Information. Saxenian melihat bahwa pergerakan talenta dan skil seharusnya menguntungkan dua pihak: negara yang ditinggalkan dan negara yang dituju. Seperti sebuah sikulasi, kata Saxenian, seyogyanya ada proses “to give and to receive”. Wanita ini terkenal dengan bukunya, The New Argonauts: Regional Advantage in a Global Economy (2006). Saxenian mengeksplorasi globalisasi teknologi dan tenaga kerja, seraya menunjukkan fakta bahwa brain drain telah menjadi brain circulation. Imigran sejumlah negara seperti India, Cina, Taiwan dan Israel membawa kemampuan entrepreuneurial-nya ke negaranya masing-masing seraya tetap mempertahankan koneksi dengan negara tempatnya menimba ilmu dan pengalaman.

Taiwan adalah salah satu contoh brain circulation yang baik. Di tahun 1970-an, negara ini adalah daerah pinggiran (peripheral) dalam urusan entrepreneurship dan innovation di dunia. Mereka kemudian menjadi salah satu pusat inovasi terkemuka di dunia ketika mereka pulang kampung di dekade 1980-1990-an.

Miin Wu, salah satunya. Datang ke AS di awal 1970-an untuk mengejar gelar sarjana teknik elektro, Wu akhirnya meraih gelar doktor dari Stanford University pada tahun 1976. Selepas lulus, Wu melihat ilmu yang digunakannya belum bisa diimplementasikan di Taiwan. Dia pun bertahan di negeri Abang Sam. Dia merintis karir di sejumlah perusahaan Silicon Valley, termasuk Siliconix dan Intel. Dia juga sempat mengecap pengalaman sebagai salah satu pendiri VLSI Technology.

Tahun 1980-an ekonomi Taiwan berkembang. Wu memutuskan mudik. Tak berapa lama, pada 1989, perusahaan semikonduktor pertama di Taiwan, Macronix Co. dikibarkannya di Hsinchu Science and Industrial Park. Wu juga menjadi anggota aktif Silicon Valley's Monte Jade Science and Technology Association yang membangun hubungan bisnis antara komunitas teknis di Silicon Valley and Taiwan.

Berkembang pesat, tahun 1995, Macronix mendaftar di bursa Taiwan, dan setahun kemudian menjadi perusahaan pertama yang terdaftar di Nasdaq. Berkekuatan 4282 karyawan, Macronix kini menjadi salah satu pabrikan dan pemasok integrated circuits (IC) serta kartu memori terbesar untuk wilayah Asia, Eropa dan AS.

Langkah Wu diikuti sejawat-sejawatnya. Maka jadilah Taiwan sebagai salah satu pusat inovasi dunia, khususnya untuk semikonduktor. Langkah yang juga terjadi di Andhra Pradesh. Langkah brain circulation: ketika negara yang disinggahi dan negara yang ditinggalkan sama-sama memetik keuntungan dari sirkulasi pengetahuan, skil dan talenta-talenta terbaik. Memetik apa yang disebut brain gain.

Wu, serta orang-orang yang kembali dari petualangan memburu ilmu dan karir untuk membangun negerinya, bagi Prof. Saxenian adalah para “Argonaut Baru”. Argonauts adalah cerita mitologi Yunani tentang sekumpulan pahlawan yang berlayar untuk mencari bulu biri-biri emas. "Mereka menciptakan peluang untuk diri mereka dan kolega-koleganya di tanah air. Itulah the new Argonaut, orang-orang yang bisa memindai lingkungan dan mengenali peluang dari posisinya masing-masing, untuk kemudian mengeplorasinya,” kata Saxenian.

Isu mengubah brain drain menjadi brain circulation agar diperoleh brain gain, adalah isu yang terus menyita perhatian. Pada tahun 2006, Bank Dunia bahkan membuat laporan khusus seputar ini. Institusi ini mengakui bahwa globalisasi dan pasar yang terintegrasi telah membuat penghargaan yang tinggi bagi skil dan talenta-talenta premium (top): individu-individu yang punya high impact. Dengan demikian, brain drain sejatinya merupakan fenomena yang lazim. Namun, seiring meningkatnya peran skil dan talenta SDM sebagai aset yang luar biasa – bukan lagi sumber daya alam (SDA) –, maka negara-negara berkembang yang ditinggalkan putra-putra terbaiknya harus memikirkan bagaimana me-leverage pengalaman serta pengetahuan para diaspora ini untuk tanah airnya.

Ini artinya, peran negara harus besar bila menginginkan terciptanya brain circulation demi brain gain. Bukan hanya sekedar atau mengimbau agar putra-putra terbaiknya pulang kampung.

"Pada tahun 1980-an, dilema anak-anak Cina dan India yang lulus PhD dari Stanford atau Berkeley adalah tak ada pekerjaan buat mereka di tanah air, sementara keluarga meminta segera pulang,” kata Saxenian. Akhirnya mereka berwirausaha. Dia mencatat, kurun 1995-2000, orang-orang India dan Cina mendirikan lebih dari 4000 perusahaan di Silicon Valley. Brain circulation terjadi ketika mereka pulang atau tetap tinggal di AS tapi menciptakan koneksi dengan kolega-koleganya di India serta Cina.

Peran negara, tentu saja adalah menciptakan sarana-prasarana bagi otak-otak terbaik itu untuk pulang: kesempatan untuk tumbuh-kembang. Taiwan contohnya. Untuk mendorong ekonomi lokal dan menarik talenta terbaik menciptakan brain circulation, pada 15 Desember 1980 dibangunlah Hsinchu Science and Industrial Park yang berdampingan dengan National Chiao Tung University dan National Tsing Hua University. Taiwan ingin membangun Silicon Valley yang berdampingan dengan Stanford. Di Hsinchu inilah Miin Wu membangun Macronix. Kini ratusan perusahaan berdiri di sini, membetot anak-anak Taiwan yang menimba ilmu di mancanegara.

India tak mau kalah. "Pemerintah India sangat berupaya menarik pulang talenta-talenta terbaik,” kata Meera. “Di jaman sekarang, tak ada yang bisa memisahkan diri dari globalisasi. Harus ada dua arah pertukaran ide, pengetahuan dan investasi. Dengan cara itulah kita bisa menghasilkan sirkulasi,” lanjutnya. Fasilitas, insentif, dan peluang kemitraan dibuka di India buat anak-anak terbaik yang ingin membangun negerinya. Negeri ini juga mengembangkan universitas-universitas si seluruh pelosok sebagai mitra untuk penelitian. "Kami juga mengembangkan 10.000 pusat balai latihan baru untuk mengembangkan kompetensi warga India,” lanjut Meera. Ini dilakukan agar orang-orang lokal yang tidak melanglang-buana juga bisa mengimbangi rekan-rekannya yang baru pulang dari mancanegara atau tetap di luar negeri yang membutuhkan tenaga-tenaga ahli di India. “Jadi, harapan kami, nantinya tidak ada mismatch antara permintaan industri dan pasokan yang dibutuhkan,” katanya lagi menegaskan.

Selain India dan Taiwan, Cina juga menjadikan isu brain circulation sebagai perhatian utamanya. Negara ini bahkan bukan sekedar berupaya menarik pulang, tapi makin aktif mendorong guanxi, jejaringnya di seluruh dunia yang memiliki kedekatan etnis-genealogis untuk membantu perluasan ekspansi korporasi negara itu. Jiran kita, Vietnam juga aktif berupaya menciptakan brain circulation. Mereka mengundang orang-orang yang berdiaspora semasa Perang Vietnam untuk pulang membangun negeri setelah sukses di rantau. Pada 21-23 November 2009, sekitar 1000 warga diaspora ini dipertemukan dalam sebuah konferensi di Hanoi. Pemerintah Vietnam berupaya menarik anak-anak negeri terbaik untuk membangun tanah air. Menarik para Argonaut untuk sama-sama menciptakan peluang.

Belajar dari Taiwan atau India, tampaklah bahwa negara berperan menciptakan lingkungan yang kondusif buat talenta-talenta terbaik untuk pulang dan membangun negeri. Pemerintah bukan cuma mencak-mencak, tapi proaktif menarik anak terbaik dengan menyediakan lahan seperti industrial park yang ditopang universitas serta balai-balai ketrampilan. Tidak menuduh antinasionalis, tapi begitu anak-anak negeri pulang, malah tidak disediakan sarana-prasarana yang kondusif.

What goes around, comes around. Begitu kata Dubes Meera. Tapi percayalah, para New Argonaut terbaik tak akan pernah pulang dari berlayar bila tanah tumpah darahnya tidak menawarkan kesempatan yang menarik. Bagaimana dengan Indonesia?

0 comments: