Come on

Follow me @teguhspambudi

Tuesday, August 24, 2010

Mereka Bertahan dengan Keintiman

Share this history on :
Di tengah arus permodalan perusahaan besar, mereka sanggup bertahan sementara yang lain tumbang satu demi satu. Keintiman dengan pelanggan, adalah salah satu kuncinya.


PERNAH dengar mom-pop business?

Ini adalah bisnis kecil, yang bermula dari keluarga, dikelola suami-istri hingga akhirnya turun-temurun ke anak cucu. Di kota-kota Indonesia, masih banyak bisnis yang seperti ini. Di kota Anda pun, bila dicermati, mungkin akan ditemui bisnis mom-pop yang bertahan sampai sekarang. Mereka tidak membesar dan meraksasa. Tapi mereka sanggup bertahan, dilanjutkan oleh anak-cucunya.

Kali ini, saya akan bercerita bagaimana bisnis mom-pop di AS yang bergelut dengan perusahaan-perusahaan besar, yang nota bene awalnya juga berangkat dari mom-pop, seperti Wal-Mart, Ford, dsb. So, selamat menikmati!


JOHN NESE sudah puluhan tahun membantu orang tuanya di Galco Soda Pop Stop. Ini adalah bisnis grosir yang diintis ayahnya. Awal tahun 1980-an, Nese masih ingat bagaimana bisnis yang dirintis ayahnya itu terancam kematian. Sebuah chain store besar masuk, melebarkan tentakelnya ke penjuru kota Los Angeles.

Keluarga Nese memutar otak. Mereka harus mencari cara agar bisa survive. Dilihat dari sudut modal, jelas posisi mereka tak ubahnya David berhadapan dengan Goliath. Kalau beradu modal, sekali pukul pasti modar!

Dalam posisi terjepit itu, sang ayah membuat kejutan. Merasa tidak lagi memiliki kecakapan untuk bertarung di medan pertempuran yang buas, Nese dipanggilnya. Tampuk perusahaan diserahkan padanya.

Dapat makota dalam masa tenang, mungkin menyenangkan. Namun dalam situasi tertekan, tak salah bila tampuk pimpinan itu justru seperti kursi panas. Tapi Nese berusaha mati-matian melawan keadaan. Dia pun berprinsip lebih baik mati berkalang tanah daripada hidup dalam jajahan. “Kalaupun kami bangkrut, kami jatuh bangkrut dengan kebanggaan karena sudah berbuat sesuatu,” ujarnya.

Menyadari modal adalah wilayah yang tak bisa dilawannya, Nese mengambil jalur yang lain untuk bertahan. Dia mencari 25 merek soda yang tidak terlalu terkenal, yang tidak disediakan jaringan toko-toko lain, termasuk chain store yang tengah merangsek kota.. Dia letakkan soda-soda itu di rak toko Galco.

Awalnya, situasinya sungguh tidak mudah. Orang yang masuk toko bertanya dengan mencibir. “Apa yang kamu lakukan dengan merek-merek tua itu?,” kata mereka.

Nese cuek. Dia tetap dengan langkah-langkahnya. Dan ketika perlahan-lahan jenis soda itu terus bertambah, mencapai 250 merek, para pengunjung pun bertanya, “Hei, di mana kamu menemukan itu semua?”

Nese pintar. Dia mencari perusahaan-perusahaan mom-pop kecil dari banyak tempat yang bisnisnya adalah memroduksi soda. Para mom-pop store ini tidak masuk jaringan toko-toko besar sehingga produk yang ada di Galco pun terbilang ekslusif.

Kini, Galco punya 500 jenis soda. Dan dari ancaman kebangkrutan, Galco berdiri tegar. Para pelanggannya terus datang. Di sini mereka bisa mendapatkan aneka rasa soda: vanilla soda, caribbean cream soda dengan rasa kelapa, juga soda dari Peru. Setiap hari, Nese membantu para pelanggan menemukan apa yang mereka inginkan. Dia bergerak dari satu rak ke rak lain. Dia tahu, dalam ekslusivitas yang dijualnya, keramahan (hospitality) memegang peran penting. dia sadar personal treatment dari dirinya sebagai pemilik toko adalah sesuatu yang tidak diberikan jaringan toko-toko besar. Dia pun memanfaatkan You Tube dan website untuk memomulerkan tokonya.

Hospitality. Di Knoxville, Tennessee, prinsip ini juga dipraktikkan Pratts Country Store, sebuah toko grosir. Orang tua Perry Pratt yang menjalankan toko ini, merintis bisnisnya sejak 1923. Toko ini bermula dari permintaan masyarakat tentang apa yang mereka inginkan dan butuhkan. Keluarga ini kemudian mencari barang dengan kudanya, lalu menjualnya di toko mereka.

Hingga kini, Pratt Country Store tetap bertahan di Knoxville. “Kita bisa dapatkan makanan segar hasil produksi masyarakat setempat dengan harga yang murah di sini,” kata salah seorang penduduk.

Selain keramahan, kunci sukses Pratt Country Store adalah keintiman dan berupaya tetap dekat dengan heritage setempat, dan juga tetap dikelola sebagai sebuah bisnis keluarga. Perry Pratt mengungkap organisasi bisnisnya. "Ayah saya menguruh daging dan kentang. Saya mengurus bumbu-bumbu. Kami tak punya computer,” katanya. Hare gene tak punya komputer?

“Yah, agak low-tech, memang,” akunya. Ini berbeda bila dibanding Galco yang sudah bermain online. Tapi Perry dan keluarganya tak ambil pusing. “Kalau kita butuh sesuatu, tinggal tulis saja, lalu kirim ke distributor lokal,” katanya enteng. Menurutnya, banyak orang tidak menyadari hakikat bisnis Pratt Country Store. “Kami ini sebenarnya kan bukan pemain bisnis grosir.” Jadi? “We're in the relationship business," ujarnya mantap.

Pratt Country Store memang punya pelanggan-pelanggan loyal yang dipertahankannya. Mereka telah menjadi pembeli dan pemasok barang selama puluhan tahun. “Bahkan sepanjang hidup mereka,” kata Perry bangga. Toko ini sungguh tipikal bisnis mom-pop yang mempertahankan keintiman dengan pelanggan. Di toko ini, para pelayan membawakan keranjang belanjaan hingga ke mobil. Di toko ini, orang bisa bertemu untuk belanja, dan ah… mungkin juga bergosip.

Penulis buku The Mom & Pop Store (2009), Robert Spector menyatakan bahwa kedekatan dengan pelanggan, yang sifatnya personal adalah hal yang membuat mom-pop store bisa bertahan. Spector sendiri datang dari keluarga yang menjalankan bisnis daging di Perth Amboy, New Jersey. Selain hospitality, “ The most basic thing was honesty,” katanya. Jika seorang pelanggan mengajukan pertanyaan tentang berat daging, kenang Spector, maka pemilik toko harus menyatakan dengan jujur. Sebab, para pelanggan akan melihat langsung timbangannya. “Untuk bisa survive, Anda harus menjadi orang yang jujur sehingga pelanggan akan hormat,” lanjutnya.

Bertahannya mom and pop store di atas di kancah bisnis AS merupakan adalah hal yang hebat karena jaringan pengusaha besar – yang awalnya juga berangkat dari mom-pop store – terus melebar ke mana-mana. Wal-Mart, Lowe, Home Depot, adalah contohnya. Di luar mereka dan perusahaan keluarga lain yang menjadi ikon bisnis negeri Abang Sam, mom and pop yang meraksasa adalah Ford.

Peran mom-pop itu sendiri, mengacu pada studi yang dilakukan the Raymond Institute and Massachusetts Mutual pada tahun lalu menyatakan bahwa 89% dari seluruh bisnis di AS adalah bisnis keluarga (family-owned and operated), yang berkontribusi sebesar 64% dari Gross National Product. Adapun untuk mom-pop, kebanyakan adalah perusahaan keluarga yang mempekerjakan 5 orang atau lebih sedikit.

Sayangnya, setelah tahun ke tahun, apalagi setelah hantaman krisis, jumlah mereka yang tergolong mom and pop ini semakin berkurang. The Small Business Administration (SBA) baru-baru ini melaporkan bahwa jumlah pengusaha semacam mom-pop, juga mereka yang berwirausaha independen, menurun dari 10,4 juta di tahun 2007 menjadi 9,6 juta di tahun 2008, dan diperkirakan kian turun di 2009 setelah hantaman krisis.

Fakta di atas sejalan dengan tulisan Art Cunningham, editor The News Times yang aktif mencatat tentang momo-pop yang tumbang di AS, terutama di daerah New Milford, Connecticut. Dulu, katanya, di wilayah ini ada Rocano’s. Ini sebuah toko kecil. Namun bagi sejumlah orang, mereka seakan berziarah bila pergi ke toko olahraga ini. Apa menariknya?

Sneaker Converse. Di sini orang bisa beli lebih murah daripada di toko lain. Bisa lebih murah 20%.

Masih dekat dengan Rocano’s, ada Feinson's, toko pakaian pria terbaik di wilayah itu di era 1960-an. Ia juga nasibnya sama, lenyap karena datangnya jaringan toko-toko besar. Cunningham kemudian memuat daftar panjang mom-pop yang tergilas persaingan.

Tapi, laiknya bisnis mom-pop: ada yang pergi, ada yang datang. Di Knoxville, baru-baru ini berdiri The Spiceorium. Dua sejoli, suami istri Michael dan Tricia Bogdal membuka toko ini setelah pindah dari Florida. Di sini mereka menjual rempah-tempah untuk masakan, serta ramuan tradisional untuk pengobatan.

Menyadari persaingan tidak mudah bagi bisnis mom-pop, suami istri ini pun tidak main-main dalam bisnisnya. “Kami banyak melakukan riset tentang tipe bisnis apa yang seharusnya kami jalani,” kata Tricia. “Saya suka memasak dengan bumbu rempah-rempah yang sedap, dan kemudian kami meriset untuk melihat ada nggak ya toko seperti ini di Knoxville. Dan kami tidak menemukan. Karena itu, kami putuskan untuk buka di sini,” katanya.

The Spiceorium mengkhususkan diri pada bumbuh-bumbu yang segar, tanaman herbal, juga daun-daun teh. Tapi juga ada variasi saus yang bisa digunakan untuk barbeque. Di toko ini juga bisa ditemukan mangkuk untuk mengulek bumbu, buku-buku masakan, dan barang lain yang terkait dengan masak-memasak. “Kami juga akan menambahkan paprika,” sergah Michael. Ketika dia ditanya bagaimana reaksi masyarakat setempat, dengan antusias dia menjawab. “Oh, orang-orang yang baru datang ke toko ini bilang: ‘Ini dia yang kami tunggu’. Mereka sangat senang,” katanya.

Yah, pastinya waktulah yang akan membuktikan sejauh mana mereka bertahan. Tapi dari pengalaman sejumlah mom-pop stores, mereka bisa bertahan karena faktor-faktor yang disinggung di atas: keramahan, keintiman, dan kejujuran. Adapun untuk bisa memberikan harga produk yang bersaing dengan pesaing sejenis yang lebih kuat permodalannya, para mom-pop store ini harus bisa mendapatkan jalur pasokan produk yang terbaik, dan termurah, tentunya.

0 comments: