Come on

Follow me @teguhspambudi

Tuesday, May 19, 2009

Pemerintah dan Merek Orisinal

Share this history on :
Banyak merek orisinal yang tumbuh dengan dukungan pemerintah. Namun, mentalitas masyarakat pun berperan dalam melahirkan merek yang menjadi tuan di negeri sendiri dan bermain di level internasional.


Teguh S. Pambudi


Siapa tak kenal Apple, Adidas, Starbucks? Bahkan sosok Donald Trump atau David Beckham adalah brand kelas dunia. Mereka menghiasi kehidupan manusia, memenuhi kebutuhan dari yang sifatnya primer hingga tersier.

Di pentas global, sungguh banyak merek yang seperti itu (Apple dkk.): lahir dan berkembang dengan cara yang natural, yang tumbuh identik dengan dirinya sendiri, baik personal maupun korporat. Namun, sesungguhnya tak sedikit pula merek yang diidentikkan dengan negara tempatnya berasal (origin) sehingga peran pemerintahnya pun disebut-sebut ketika satu atau beberapa merek tumbuh mengesankan. Pemerintah negara yang bersangkutan dipandang sebagai promotor di balik lahirnya merek-merek itu.

Yang paling sering dirujuk dalam konteks ini adalah Jepang. Lihatlah Toyota, Suzuki dan Honda sebagai perwakilan dari jalur otomotif, atau Sony, Toshiba dan Panasonic dari lini elektronik, kerap dikaitkan sebagai Japanese brands. Bukan hanya itu, bahkan fantastic Japanese brands. Merek-merek yang fantastis! Dan asosiasi yang muncul dari made in Japan itu pun bukan main-main: kualitas sekaligus keterandalan. Tak heran, banyak produk – terutama elektronik – yang di Indonesia kemudian diembel-embeli dengan kata “teknologi Jepang” sebagai alat untuk menunjukkan bahwa suatu produk punya kualitas tinggi. Atau, setidaknya diberi merek yang berbau Jepang. Sebuah langkah cerdik secara branding, tapi miskin rasa percaya diri.

Hal yang sejenis terjadi pada produk Korea Selatan seperti Samsung, LG atau Hyundai. Dengan porsinya tersendiri, mereka juga dipersepsikan sebagai produk yang oke punya karena kualitasnya terjaga. Produk-produk itu bukan hanya menjadi raja di negeri sendiri tapi juga sukses di panggung global.

Jepang dan Kor-Sel memang tergolong negara yang sangat mendorong mentasnya merek-merek asli dari negerinya. Jepang, contohnya. Bisa dikatakan, Japanese brands dibentuk sebagai hasil dari strategi nasional selepas Perang Dunia II. Dihadapkan pada pembatasan di sektor militer, Pemerintah Jepang tak punya pilihan selain memperkuat sektor ekonomi. Mereka menopang bisnis perusahaan-perusahaannya dalam mengembangkan produk dan mereknya, termasuk hingga ke level global. Selain menyediakan infrastruktur untuk produksi, Pemerintah Negeri Matahari Terbit pun menopang investasi uang, waktu dan energi untuk menghasilkan kualitas papan atas agar produk-produknya bisa masuk ke pasar dunia, khususnya Amerika Serikat. Dan itulah yang terjadi sehingga kini, ketika pabrikan mobil Detroit diterjang badai kebangkrutan, Toyota dan pabrikan otomotif lainnya dari Jepang justru masih tegar sekalipun merugi.

Berbeda dari Jepang, merek-merek dari Kor-Sel yang kini tumbuh di pentas global merupakan hasil strategi korporat yang didorong koneksitas milik para chaebol dengan pihak penguasa. Seperti jaringan keiretsu Jepang, para chaebol ini membentuk merek-mereknya dalam rangka ekspor ke pasar internasional, khususnya negara maju di Eropa dan AS.

Cara yang ditempuh kedua negara itu, sekarang tengah coba dilakoni negara lain yang juga ingin merek orisinal dari perusahaannya kian kinclong di panggung internasional. Rusia, ambil contoh. Tak seperti Jepang atau Kor-Sel yang bermain di sektor mass consumer product, Pemerintah Rusia mendukung para oligarki berinvestasi besar-besaran di sektor utilitas yang sifatnya business to business seperti gas dan minyak. Tentu ada yang tidak setuju dengan Pemerintah Rusia yang menopang para oligarki mengembangkan bisnisnya. Yang jelas, cara itulah yang ditempuh sehingga memunculkan nama Gazprom atau Lukoil di panggung global. Gazprom misalnya, kini memasok sepertiga kebutuhan gas Eropa. Dan salah seorang petingginya, Alexander Medvedev merupakan pentolan politik Rusia.

Di luar Rusia, negara lain yang kian peduli nasib original brand-nya adalah India dan Cina. Di kalangan pelaku bisnis India, muncul kerisauan bahwa made in India sering diasosiasikan dengan kualitas rendah dan tidak efisien. Mereka ingin sekali seperti Italia, umpamanya, yang diasosiasikan dan diidentifikasikan sebagai produk dengan sentuhan seni dan desain yang ciamik. Bvlgari atau Armani mewakili ini. Begitu pula dengan Ferrari atau Maserati yang melambangkan produk berkualitas super.

Sejauh ini, India cukup berhasil melahirkan merek yang identik dengan teknologi informasi seperti Wipro atau Infosys. Mereka pun punya Bajaj dan Tata yang mulai dapat pengakuan di pentas global. Namun, Pemerintah India masih terus mencari formula yang pas agar merek lain dari negerinya kian moncer. Meniru Pemerintah Jepang yang terus mendorong perusahaannya go global, Pemerintah India beserta kalangan bisnisnya bahu-membahu mendirikan India Brand Equity Foundation (IBEF) yang berupaya mempromosikan merek-merek dari negeri yang kebetulan sedang dapat momentum cukup bagus untuk mengatrol citra di pentas internasional dengan kemenangan Slumdog Millionaire di acara Academy Award lalu. “Tugas kami membangun persepsi global tentang India, lalu menciptakan buzz (pembicaraan),” ujar CEO IBEF, Ajay Khanna, beberapa waktu lalu.

Lain India, lain pula Cina. Sejak empat tahun terakhir, merek-merek dari Negeri Tirai Bambu mencoba terus merangsek pasar global. Memang ada hambatan untuk melompat ke level internasional karena seperti halnya India, made in China identik atau diasosiasikan sebagai merek murah sehingga kualitasnya pun jelek. Tak mengherankan, produk consumer mass yang mereka lemparkan baik di telepon seluler, elektronik, maupun otomotif dipandang sebelah mata di banyak tempat, termasuk di Indonesia. Produk mereka bahkan dianggap masih kalah dibanding yang lahir dari tanah Formosa, Taiwan, yang dipandang lebih hi-tech dan bermutu tinggi. Dengan strategi menguatkan R&D, Pemerintah Taiwan sejak 1980-an mendorong perusahaan-perusahaannya mengembangkan teknologi setelah kenyang menjadi basis produksi bagi pabrikan asing. Kini, made in Taiwan adalah citarasa teknologi bermutu tinggi. Sejumlah produk yang tak bisa disangkal lagi adalah Acer, BenQ, Lite-On, Transcend, dan HTC.

Kendati tertinggal dibanding Taiwan, perusahaan Cina tak henti mencoba untuk bermain di level tertinggi. Ada yang melakukannya dengan cara akuisisi seperti yang dilakukan Legend Computer dengan membeli divisi bisnis PC milik IBM yang kemudian bersalin rupa jadi Lenovo, atau TCL yang mengambil RCA dari Thomson. Toh, banyak pula yang didorong Pemerintah Cina untuk terus berekspansi ke mancanegara secara organik seperti Haier (pabrikan home aplliances), Air China, China Mobile, pemain jasa telekomunikasi seperti ZTE, Tsingtao Brewery, ChangYu dan Moutai (minuman keras), Ping An (asuransi jiwa), serta pemain otomotif DongFeng Motors. Pada saat Olimpiade lalu, mereka bahkan didorong Pemerintah Cina untuk kencang berpromosi agar makin dikenal masyarakat global. Pemerintah Cina bahkan terang-terangan mengaku ingin mengikuti jejak Kor-Sel yang merek-mereknya – terutama Samsung – kian ngetop setelah mensponsori Olimpiade Seoul 1988.

Serbuan merek dari Cina sebenarnya tinggal menunggu waktu seiring upaya mereka memperbaiki citra made in China yang dipandang kualitasnya memble. Huawei, umpamanya, kini terus aktif menggelontorkan dana buat riset dan pengembangan produk dengan target menumbangkan pemain global seperti Cisco Systems. Menariknya, dalam analisis Prof. L.D. Mago dari Indian Institute of Foreign Trade, serbuan mereka ini kerap dilakukan secara berkolaborasi dengan pihak asing lainnya atau perusahaan tempat mereka berekspansi. Mereka juga, disebutkan Mago, cenderung memilih cara evolusi dan menghindari agresivitas yang kental dengan trial and error. Di Indonesia, Huawei dan ZTE aktif memasarkan produknya dengan menggandeng pemain telekomunikasi seperti Indosat.

Perihal peran pemerintah dalam mendorong merek-merek yang lahir dari negerinya ke pentas global, rasanya tak usah jauh-jauh mengambil contoh, jiran kita yakni Thailand aktif pula melakukannya. Pemerintah Negeri Gajah Putih itu aktif mendorong munculnya resto makanan Thailand di seluruh dunia. Dalam upaya itu, flag carrier-nya, Thai Airways pun terlibat aktif membantu proses pengiriman bahan makanan dari Thailand termasuk pemasarannya.

Membangun merek global sesungguhnya bukanlah tugas yang sederhana dan mudah. Peran pemerintah memang penting dengan mendukungnya dari sisi penyediaan infrastruktur, regulasi yang fair dan kondusif, serta koneksitas (perluasan pasar). Namun, menyerahkan pada pemerintah semata jelaslah tidak fair. Peran pemerintah yang proporsional dalam konteks ini, belajar dari Jepang atau Kor-Sel selain menciptakan regulasi yang mendorong perusahaan mereka bisa bersaing di pentas global, juga penciptaan infrastruktur yang andal. Di luar peran pemerintah, sesungguhnya peran masyarakat itu sendiri sangatlah penting. Mentalitas mencintai produk dalam negeri juga berperan signifikan. Artinya, ada keterhubungan (link) yang kuat antara pemerintah, pebisnis dan masyarakat. Keterhubungan yang sifatnya sinergis, tidak semata politis (didukung kebijakan pemerintah) tapi juga kultural.

Ambil contoh Jepang. Ke mana pun orang-orang Jepang melancong, biasanya mereka akan berupaya menggunakan hotel atau penginapan yang dimiliki orang dari negeri sendiri. Hotel Nikko, misalnya. Sementara itu, orang Kor-Sel terkenal militan untuk menggunakan produk buatan negerinya sendiri. Di jalan-jalan Kor-Sel, niscaya sangat sulit menemukan produk otomotif dari Jepang yang memang sangat mereka benci lantaran pernah menjajah negeri itu. Orang-orang Dae Han Min Guk (begitu orang-orang Kor-Sel menyebut dirinya) lebih mencintai Hyundai di otomotif, atau Samsung dan LG di elektronik. Mereka mencintai dan memberi kesempatan pada produk dalam negerinya itu untuk terus memperbaiki diri. Dan sikap ini berperan besar bagi tumbuhnya merek-merek tersebut. Sebuah kultur yang justru masih sulit dijumpai di Indonesia.

Berbicara kultur menggunakan original brand, jangankan negara-negara Asia yang memang memerlukan mental cinta produk dalam negeri untuk mengejar ketertinggalan ekonomi pasca Perang Dunia II, di Inggris ada cerita legendaris yang masih terkenang hingga kini seputar mentalitas menggunakan produk negeri sendiri. Cerita itu adalah tentang mendiang Lady Diana yang diprotes masyarakat Inggris lantaran mengendarai BMW, bukan Jaguar atau Rolls Royce yang buatan anak Inggris. Memang banyak orang setempat yang lebih memilih produk otomotif non-Inggris, tapi sebagai figur yang mewakili Inggris, diharapkan wanita yang tewas mengenaskan di Prancis itu menggunakan produk asli dari negerinya.

Pertanyaannya kini: mengapa original brand penting bagi sebuah negara?
“Setiap bangsa atau negara punya original brand, dan ketika merek-merek dari suatu negara itu disukai dan dipercayai, maka masyarakat dunia akan membeli produk dan jasa dari negara itu,” ujar Mago.

Indonesia, seperti dicanangkan Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu berupaya mengantarkan 200 merek nasional go global tahun ini dengan bertumpu pada Badan Pengembangan Ekspor Nasional. Jelas ini merupakan inisiatif yang menarik dan patut diapresiasi. Namun, belajar dari negara-negara lain, Pemerintah RI seyogyanya juga berupaya menciptakan asosiasi yang clear dan interesting tentang apa yang dimaksud dengan made in Indonesia itu sendiri. Pemerintah dan kalangan bisnis mesti bersatu dalam hal ini.

Barangkali Pemerintah Indonesia sudah sepatutnya meniru pemerintah negara lain yang sangat serius dalam membangun merek, termasuk untuk negaranya. Seperti dikutip LA Times, 3 Mei 2009, Presiden Kor-Sel, Lee Myung-bak sangat marah begitu mengetahui negaranya hanya nomor 33 di Global Brand Index yang baru saja keluar. Kor-Sel berada di bawah Polandia dan Republik Cek yang ekonominya lebih tertinggal – nomor satu dipegang Jerman. Rupanya, Kor-Sel masih dipersepsikan negatif karena dekat dengan Kor-Ut. Beruntung, merek-merek dari negara itu seperti Samsung, LG dan Hyundai sudah masuk dalam BusinessWeek Global Brands dan kian ngetop. Toh, Pemerintah Kor-Sel tak berdiam diri. Meresponsnya, Lee membentuk Presidential Council on Nation Branding. Targetnya: bergerak ke posisi 15 di tahun 2013. Dan kini mereka tengah membangun strategi ke arah itu.

Seperti disinggung di atas, di luar peran pemerintah, masyarakat pun harus punya mentalitas cinta produk dalam negeri yang pada gilirannya mesti direspons pelaku pasar dengan menghasilkan produk yang berkualitas. Dan kalangan pejabat sebagai representasi negara, juga harus lebih sering menggunakan produk dalam negeri dan memperkenalkannya di mancanegara. Adalah dagelan yang tak lucu ketika salah seorang menteri SBY dalam suatu kesempatan mengaku sulit menemukan sepatu produksi dalam negeri. Sungguh sebuah ironi yang mestinya tak pernah terjadi.

0 comments: