Come on

Follow me @teguhspambudi

Friday, May 22, 2009

Agar Dompet Republik Seperti Dubai

Share this history on :
Potensinya yang hebat seharusnya bisa membuatnya seperti Dubai. Apa saja langkah yang bisa dilakukan agar membuatnya kian berkembang?

Teguh S. Pambudi


Kalimantan Timur sebagai provinsi terkaya di Tanah Air, kiranya tak bisa didebat lagi. Bahkan, “Dompet Republik ini ada di Kaltim,” kata Awang Faroek Ishak. Pernyataan Gubernur Kaltim ini, pastinya bukan seloroh di siang bolong. Pada 2008 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kaltim mencapai Rp 315,02 triliun dengan pertumbuhan ekonomi 4,82%. Provinsi yang luasnya 1,5 kali Jawa itu (198.441,17 km2) memang aduhai. “Dompet republik” itu menyetor ke kas negara mencapai Rp 212 triliun setiap tahunnya. Luar biasa!

Hanya saja, karena sky is the limit, maka orang pun boleh bertanya dan berandai-andai: apakah Kaltim bisa bergerak lebih hebat lagi? Seperti Dubai, misalnya. Atau, Singapura. Dan kalau memang ingin seperti itu, bagaimana caranya?

Bicara potensi, Bambang PS Brodjonegoro, ahli otonomi daerah dan guru besar Universitas Indonesia, mengakui bahwa provinsi yang beribukota di Samarinda ini memiliki potensi paling besar di Indonesia. “Bisa dilihat dengan melimpahnya tambang batu bara, minyak dan gas bumi, hingga hasil hutan,” katanya. Kontribusi terbesar PDRB memang berasal dari sektor pertambangan, yakni sebesar 44,16%. Tapi, Kaltim juga memiliki areal perhutanan yang sangat luas, mencapai 21,14 juta ha. Untuk membuat Kaltim yang lebih hebat dari sekarang, maka yang perlu diperhatikan adalah bagaimana konteks pembangunan wilayah ini. “Mau diarahkan ke mana? Apakah hanya bisa memanfaatkan uang dari SDA yang ada, atau mengolah SDA tersebut?,” tandas Bambang. Menurutnya, hal ini akan sangat menentukan masa depan Kaltim.

Faroek punya jawaban akan ke mana provinsi yang dipimpinnya bergerak. Tapi, lontaran Bambang adalah contoh dari kritik yang memang mengalir menyoroti bagaimana Kaltim berjalan sejauh ini.

Kaltim yang sekarang berderap, kendati penuh puji, juga dilumuri masalah. Pasalnya, di balik kemilau angka-angka kehebatannya, tersimpan kepiluan. Data terakhir yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS) Kaltim menunjukkan bahwa dari sekitar 3,1 juta jiwa dan dengan pendapatan per kapita mencapai Rp 26,69 juta, jumlah penduduk miskin di provinsi kaya raya itu mencapai 324.800 jiwa. Dari data tersebut, Kutai Kartanagara ada di posisi pertama dengan 63.500 jiwa, lalu Samarinda (38.200), diikuti Kutai Timur (31.700). Tiga provinsi itu adalah sumbu-sumbu pertumbuhan.

Ada banyak analisis yang mencoba mengurai hal ini. Pendekatan capital investment menyatakan bahwa Kaltim kekurangan investasi untuk membangun dirinya. Dengan kontribusi sebesar Rp 212 triliun kepada negara, yang diterima provinsi itu hanya Rp 24 triliun sebagai modal pembangunan. Kaltim benar-benar termehek-mehek untuk menggenjot pembangunan. Akibatnya, infrastruktur pun terseok-seok. Bukan hanya jalan yang buruk, pemadaman listrik menjadi menu biasa. Maklum, pembangkit listrik di provinsi ini umumnya sudah berusia lanjut: 15-25 tahun, sehingga acap melakukan pemadaman bergilir lantaran daya dukung yang tidak seimbang dengan kebutuhan. Faroek serta pejabat eksekutif Kaltim lainnya sering menyuarakan “ketidakadilan” ini: menyumbang banyak, tapi menerima sedikit. Koor yang juga kerap terlantun dari lembaga legislatif provinsi itu.

Sementara itu, pendekatan competitive strategy mengritik industri yang sementara ini muncul. Kaltim memang kaya sumber daya alam (SDA), atau biasa disebut resource-rich. Minyak, gas, batu bara merupakan komoditas yang membuat provinsi itu memiliki keunggulan komparatif dibanding provinsi yang tidak kaya SDA (resource-poor). Namun, industri yang ada baru tahap primary industry, tahap awal yang hanya mengambil kekayaan dari perut bumi untuk kemudian menjualnya. Belum dihasilkan industri-industri pengolah (smelter) yang akan mengubah kekayaan bumi menjadi aneka ragam produk turunan untuk dimanfaatkan industri di hilir. Dari hasil penjualan kekayaan alam inilah yang kemudian masuk ke kas Kaltim lewat aneka royalti, yang kemudian mengalir ke kas negara.

Industri pertambangan yang capital intensive ini, yang pandai mengekspor barang mentah ini, tidak terhubung (linked) dengan industri-industri lokal yang dibutuhkan masyarakat setempat. Industri energi ini tak bisa menjadi prime mover (penggerak mula) untuk mendukung industri-industri lainnya (industri pertanian, guna menjamin ketersediaan pangan bagi rakyat; industri barang-barang modal seperti mesin; dan industri barang konsumsi). Padahal, kalau rantai industri ini terjadi, antara bagian hulu (primary product seperti pertambangan) dengan hilir (industri turunannya, termasuk industri lokal), maka akan tercipta multiplier effect yang besar. Kritik lain, Kaltim juga belum memaksimalkan potensi SDA dari sektor lain, seperti pertanian.

Sesungguhnya, pola di atas (hanya mengekspor barang mentah) juga berlaku di hampir seluruh provinsi di Tanah Air yang resource-rich. Di bagian hulu mengekspor untuk kemudian bagian hilir (industri-industri lokal) mengimpor dalam bentuk produk turunan yang harganya lebih mahal karena adanya penambahan nilai di dalamnya (value added). Sebuah rantai industri yang sungguh-sungguh pendek. Dan sesungguhnya, Indonesia sudah banyak kehilangan momentum karena primary product yang diekspor itu tidak akan pernah terbarukan lagi.

Faroek menyadari hal tersebut. Karena itulah dia berupaya membuat lompatan untuk provinsinya. Dan lantaran pertambangan adalah non renewable resources, dia akan merevitalisasi pertanian. “Kaltim harus menyiapkan lokomotif ekonomi yang baru,” katanya. Konkritnya, agribisnis akan menjadi tumpuan. Untuk itu, dia telah menyiapkan kebijakan pengembangan industri pertanian dengan konsep Integrated Agricultural Industrial Approach. Terdiri dari integrated farming, integrated rice processing, down stream industry, dan management and empowerment. “Kami akan memoles sektor ini agar investor semakin berdatangan,” tandasnya.

Untuk lahan pertanian, Kaltim memang memiliki banyak lahan potensial. Lahan sawah mencapai 205,100 ha dan bukan sawah 22,65 juta ha. Dari luas potensi lahan sawah tersebut, yang ditanami padi setahun dua kali mencapai 35,9 ribu ha dan ditanami sekali seluas 53,7 ribu ha. Sedangkan lahan yang tidak diusahakan seluas 104,265 ha, dan tidak ditanami seluas 25,2 ribu ha.

Sementara itu, Kaltim juga luar biasa. Ia memiliki potensi lahan kering seluas 5.324.488 ha yang terletak di Kawasan Budidaya Non Kehutanan (KBNK). Dari jumlah itu, seluas 4,25 juta ha lahannya cocok untuk komoditi perkebunan (termasuk kelapa sawit). Hingga 2008, yang telah dimanfaatkan baru seluas 528.848 ha untuk pengembangan karet, kelapa sawit, kelapa dalam, kopi, lada, kakao dan aneka tanaman lainnya. Sementara sisanya (3.73 juta ha), belum dikembangkan.

Selain cetak biru pertanian, Faroek juga tak meninggalkan industri energi, serta berupaya mengembangkan industri-industri lainnya. Dia membuat pembangunan kawasan industri di tiga area, meliputi; Bontang (Bontang Industri Estate), Banjarmasin, dan Balikpapan (Kawasan Industri Kariangau).

Untuk menggenjot pengembangan industri itulah dia berupaya mengakselerasi pembangunan infrastruktur. Sedikitnya, jalan sepanjang 1902 km akan dibangunnya di beberapa lokasi. Lalu, jalan kereta api, dan pelabuhan Maloy yang menjadi pusat keluarnya (outlet) crude palm oil (CPO) di Kalimantan. Tak lupa, dia juga akan memperlebar Bandara Sepinggan. Sebagai bandara tersibuk keempat di Indonesia, daya tampungnya sudah tidak memungkinkan. Landasan pacu (runway) akan direntang dari 2.500 m menjadi 3.100 m. Sepinggan terletak di Balikpapan yang terkenal sebagai kota bisnis. Di kota ini, bangunan-bangunan tinggi menjulang, berdampngan dengan hunian mewah, pusat perbelanjaan, dan hotel berbintang. Balikpapan adalah tempat perusahaan tambang besar berkantor seperti Pertamina, Total, Unocal dan Chevron.

Rencananya, seluruh infrastruktur tersebut akan menjadi tolak punggung untuk transportasi hasil SDA, atau menghubungkan pusat pertumbuhan. Misalnya, rel yang menghubungkan Kutai Barat dan Balikpapan. Rel ini khusus untuk mengangkut batu bara, CPO, karet, kayu, dan dan cokelat.

Karena menggejot infrastruktur itu pula, Faroek berikhtiar menggaet dana, baik dari pemerintah pusat, maupun investor dalam dan luar negeri. Dari luar negeri, diantaranya yang akan masuk adalah Ras-Al Khaimah, salah satu emirat dalam Uni Emirat Arab yang akan mengucurkan Rp 18 triliun untuk pembangunan infrastruktur.

Pertanyaannya: apakah langkah-langkah tersebut akan memadai, apalagi menopang menjadi seperti Dubai?

Sesungguhnya, dengan kekayaan potensi SDA yang luar biasa, Kaltim punya segalanya untuk melebihi Dubai, dan Singapura, dua negara kota (city state)yang luar biasa itu. Dubai tidak kaya akan SDA, sementara Singapura adalah benar-benar resource-poor yang pasir pun beli dari negara lain. Sejauh ini, langkah Kaltim untuk seperti Dubai – atau Singapura – bisa dikatakan sudah berada di jalurnya dengan berdirinya pusat-pusat pertumbuhan (growth area) di tiga kawasan industri (Bontang).

Namun, untuk menjadi seperti Dubai, sesungguhnya ada banyak pekerjaan rumah yang mesti dikerjakan. Pusat-pusat pertumbuhan di tiga kawasan industri itu, adalah semacam cluster, yang telah ditempuh Dubai – dan sebelumnya Singapura, juga Korea Selatan. Tapi, kritik yang sejauh ini meluncur adalah Faroek belum membuat industri yang terhubung satu sama lain, dan masih bertumpu pada energi. Di Bontang, misalnya, yang terbangun adalah lebih banyak industri kimia.

Dubai tumbuh dengan caranya tersendiri. Didukung stabilitas pemerintahan yang kuat, Sheikh Mohammed bin Rashid Al Maktoum mendirikan infrastruktur serta mengundang investor untuk menjadikan Dubai sebagai financial hub dan pusat industri manufaktur, sekaligus menyediakan properti serta tempat-tempat pariwisata sebagai wahana leisure, termasuk juga ajang pertandingan olahraga dunia. Al Maktoum bukan hanya mengundang pebisnis untuk datang, orang biasa pun diundangnya. Karena itu, kulturnya pun dibuat menjadi sangat fleksibel. “Semua orang ke Dubai karena di sana bebas. Semua orang merasa nyaman di sana. Orang bule juga bebas dan merasa nyaman. Orang berbikini dan yang pakai burqa bisa hidup berdampingan,” ujar Hermawan Kartajaya dari MarkPlus&Co. sambil tertawa.

Jelas tidaklah keliru bila Kaltim membuat industri yang memanfaatkan kekayaan SDA-nya. Namun, dengan kekayaan SDA-nya tersebut, sudah selayaknya provinsi ini tidak semata bergerak di fase primary dan menjualnya sebagai produk komoditas, tapi melangkah pada penciptaan industri-industri manufaktur serta industri pengolahan yang bisa memanfaatkan primary product (hasil tambang), baik dari Kaltim atau tetangganya di bumi Kalimantan, atau pulau-pulau kaya tambang terdekat seperti Sumatera, Sulawesi dan Irian. Faktor proximity (kedekatan) dengan lahan-lahan tambang sebagai bahan baku mestinya bisa dimanfaatkan untuk menghasilkan multiplier effect yang besar. Rantai industri di Kaltim mestinya bisa lebih panjang.

Tentang hal ini, Kaltim mestinya tak boleh kalah dari Dubai yang bahkan sudah membuat Dubai Alumunium. Ini merupakan smelter terbesar di dunia di luar Rusia yang memproduksi billet serta foundry alloy dengan kapasitas produksi 659 ribu ton setahun. Selain alumunium, Dubai Alumunium juga memproduksi baja sebanyak 400 ribu ton setahun yang dapat memenuhi 25% kebutuhan dalam negeri Uni Emirate Arab yang terus mengenjot sektor properti, dan sisanya diekspor ke seluruh dunia. Dari mana mereka mendapat bahan baku yang bisa diubah menjadi lebih dari 10 produk turunan itu? Jelas dari seluruh dunia, termasuk Indonesia yang menjadi penghasil timah nomor 2 di dunia. Kalau Dubai bisa, mengapa Kaltim tidak? Faroek bisa mengundang investor melakukan hal ini. Dia bisa memilih akan mengembang rantai industri yang feasible untuk Kaltim.

Intinya, Kaltim sudah sepatutnya membuat cluster yang di dalamnya menciptakan rantai industri yang panjang. Bukan yang rantainya pendek, menggali dari perut bumi lalu mengekspor dalam kondisi mentah. Dan tentang ini, Faroek, serta juga kepala daerah lain, punya legalitas kuat lewat UU Mineral Batu Bara No. 4/2009 yang baru disahkah Januari 2009 yang mewajibkan produsen bahan tambang mengolahnya lebih dahulu di dalam negeri. Dalam konteks membuat rantai industri yang lebih panjang, Faroek telah melangkah lebih maju dengan rencana membuat industri pengolahan kelapa sawit sehingga menghasilkan sejumlah produk turunan ketimbang hanya CPO. Dengan Kutai Timur sebagai pusat CPO di Kalimantan, ada 7 perusahaan nasional berminat untuk bekerja sama dalam pengembangan kelapa sawit di Kaltim.

Kaltim jelas bukan Dubai. Masing-masing punya kelebihan tersendiri. Tapi untuk urusan cara menjadi hebat, pembangunan berbasis SDA di Kaltim dengan rantai industri yang panjang akan lebih hebat juga bila ditunjang dengan pendekatan pembangunan berbasis SDM yang unggul. Dubai meniru Singapura dalam urusan mengumpulkan orang-orang terbaik – Singapura malah terhitung paling rakus mengumpulkan manusia terunggul di muka bumi dengan imbalan setinggi-tingginya. Untuk urusan ini, Kaltim termasuk sudah cukup bagus. Menurut Bambang PS Brodjonegoro, Kaltim termasuk lima besar jika dilihat dari indeks kualitas SDM di Indonesia. "Sudah punya modal manusianya, tinggal bagaimana mengoptimalkan termasuk tidak perlu segan-segan menarik orang dari daerah lain. Tidak mungkin berdiri sendiri karena butuh bantuan," ujar Bambang. Lantas, bagaimana rencana Faroek tentang hal ini?

“Saya mengundang profesional untuk mengelola sumber daya alam yang melimpah di Kaltim. Sebentar lagi akan ada iklan yang mengundang profesional untuk kerja di Kaltim. Ha… ha...,” jelas lelaki berambut putih ini.

Di luar pengembangan industri berbasis SDA dan SDM ini, belajar dari Dubai, aspek branding juga tak kalah penting bila ingin melesat. Untuk mem-branding-kan Kaltim, menurut Sumardy, langkah pertama yang harus dilakukan adalah dengan cara mencari apa sebenarnya potensi utama Kaltim yang berbeda dari daerah lainnya di Indonesia. Potensi itu yang kemudian ditonjolkan untuk di-branding di dalam maupun di luar negeri. “Seperti kita lihat, di dekat Kalimantan ada Sulawesi, di mana Makassar tampak juga ingin menjadi daerah yang menjadi sentra pertumbuhan,” jelas pengamat pemasaran dari Octobrand. Artinya, Kaltim mesti piawai mencari positioning dalam konteks ini.

Last but not least, belajar dari Dubai – begitu juga Singapura – diperlukan konsistensi serta persistensi baik politik, sosial dan budaya untuk mengeksekusi seluruh rencana karena sesungguhnya mereka perlu waktu puluhan tahun hingga ke posisi sekarang. Tanpa hal-hal itu, “Dompet Republik” ini sulit untuk berkembang dan lebih hebat dari sekarang. ***


Boks
Dubai,
Buah Visi Para Pemimpin


Pada dekade 1990-an, ada tiga fastest growing cities di dunia, yakni Dublin, Las Vegas serta Dubai. Nama terakhir yang menyusul belakangan masuk di kategori itu, justru sekarang yang paling berkilau. Dubai yang merupakan salah satu dari 7 emirat di Uni Emirat Arab (UEA) kini menjadi episentrum pertumbuhan ekonomi di Timur Tengah dengan perkembangan yang tak pernah terkira sebelumnya. Hari ini Dubai adalah trading, business and increasingly financial hub di Teluk Persia. Ia melampaui Abu Dhabi yang nota bene adalah ibu kota Kesultanan Teluk itu.

Sukses Dubai tak bisa dilepaskan dari kesolidan UEA. Sejak menyatakan menjadi satu negara hasil gabungan 7 emirat pada 1971, Sheikh Zayed bin Sultan Al Nahyan memimpin UEA relatif tanpa gejolak, dan terpenting, proaktif menggenjot pembangunan. Boom minyak membuat UEA dari desert kingdom menjadi modern metropolis. Sheikh Zayed sendiri adalah Emir Abu Dhabi, sahabat karib Sheikh Rashid bin Saeed Al Maktoum, Emir Dubai. Sheikh Zayed menjadi Presiden UEA sejak 1971 hingga tahun wafatnya, 2004.

Sebagai penguasa Dubai, Sheikh Rashid membangun wilayahnya sejak ladang minyak ditemukan di daerah itu pada tahun 1966. Memanfaatkan pendapatan dari penjualan minyak, dia menggenjot pembangunan infrastruktur. Sejak awal 1967, dia mendorong pembangunan skala besar besaran meliputi bangunan sekolah, rumah sakit, jalan raya, jaringan telekomunikasi modern serta bandar udara internasional.

Sheikh Rashid mangkat pada tahun 1981. Setelah itu, tampuk Dubai dipegang anak sulungnya, Sheikh Maktoum bin Rashid Al Maktoum. Di tangannya, modernisasi Dubai terus dilanjutkan. Dubai kian dipoles. Dia mendorong Pemerintah Dubai dan keluarga-keluarga berpengaruh di wilayah itu untuk berinvestasi kepada infrastruktur serta merentang rencana-rencana yang ambisius. Kepemimpinan yang stabil, menurut para analis membuat keputusan bisa cepat diambil dalam membangun infrastruktur. Ada istilah yang mengatakan bahwa keputusan “Bangun di sana, bangun di sini” bisa dilakukan Sheikh Maktoum karena tiadanya tentangan.

Maka berdirilah bangunan-bangunan fenomenal seperti Burj Al Arab, Emirates Towers, Burj Dubai, dan Dubai International Airport yang dibangun senilai US$ 4,2 miliar. Terpenting dari itu adalah bangunan untuk menyedot korporasi serta investor kelas dunia seperti Dubai International Financial Centre serta Dubai Metals and Commodities Centre.

Visi Sheikh Maktoum memang menjadikan Dubai sebagai pusat keuangan dan ekonomi dunia, juga pusat pariwisata. Agar pariwisata kian kencang, dia membuat kebijakan yang mengijinkan orang asing memiliki properti di Dubai. Maka berdirilah kawasan residensial Dubai Marina yang mewah, serta deretan pertokoan seperti Mall of the Emirates.

Namun, sang Sheikh pun bervisi ke luar. Karena itulah dia membangun apa yang sering disebut sebagai Dubai Inc. yang di dalamnya terdiri dari sejumlah perusahaan dalam 4 divisi. Dubai Holding menjadi induk dari Dubai Inc. Dalam naungannya berdiri: Jumeirah Group (membuat hotel), Dubai Property (membangun kota-kota baru), Media Properties (media), dan ujung tombak investasi mancanegara, Dubai International Capital. Diantara anak usaha yang terkenal adalah maskapai Emirates yang menandingi Singapore Airlines. Dan seperti halnya Temasek yang jadi jantung Singapore Inc., Dubai Inc. tak henti berekspansi ke tempat-tempat yang dianggap menguntungkan.

Wafat pada 2006, Sheikh Maktoum digantikan adiknya, Sheikh Mohammed bin Rashid Al Maktoum yang oleh pers Barat disebut Sheik Mo dan diyakini justru merupakan arsitek ekonomi Dubai yang sesungguhnya di balik sang kakak.

Apapun, Dubai kini terus berpendar. GDP-nya mencapai US$ 37 miliar pada tahun 2005, dan tumbuh double digit. Tahun 2008, GDP-nya tumbuh di kisaran 13-16%. Dengan portofolio bisnis yang ada, sumber-sumber pemasukan tidak lagi bertumpu pada minyak yang ditaksir akan sama sekali habis pada 20 tahun mendatang. Minyak dan gas hanya menyumbang 6%. Selebihnya datang dari perdagangan, real estate, jasa keuangan dan pariwisata. Setiap tahun, sedikitnya 7 juta pengunjung mampir ke Dubai, jauh melebihi warga Dubai yang kurang dari 2 juta jiwa.

“Perkembangan ekonomi Dubai yang luar biasa merupakan buah dari visi serta kebijakan progresif keluarga Al Maktoum yang fokus pada pertumbuhan,” ujar Mohamed Ali Alabbar, Dirjen Departemen Pengembangan Ekonomi Pemerintah Dubai, yang juga merangkap Chairman Emaar Properties.

Ya, sesungguhnya Dubai memang tidak dibangun dalam semalam. Ketika keluarga Al Maktoun mulai bermukim di Dubai pada 1883, daerah itu awalnya tempat perdagangan ikan, mutiara serta hasil laut lainnya.

1 comments:

Unknown said...

wah tulisan yang bagus,.. negara kita ini memang kaya akan sumber daya alam, tetapi miskin akan, rasa syukur, dan kesungguhan tuk mengelola dengan kemampuan sendiri,

andai jika kita percaya diri, dan berusaha mengelolanya sendiri mungkin, akan mensejahterakan bukan hanya tuk rakyat kita masa kini tetapi untuk tujuh turunan pun tidak kan habis.

sayang jika kekayaan kita dimanfaatkan oleh orang lain, atau oleh orang kita tetapi hanya segelintir ya...hanya segelintir