Come on

Follow me @teguhspambudi

Wednesday, August 25, 2010

Nothing is Impossible

Share this history on :
Sejumlah tokoh sanggup bangkit dari keterpurukan. Resep mereka sama: pantang menyerah, berpikir positif, dan punya mindset bahwa impossible is nothing.



KALI ini saya ingin menulis tentang personal turnaround. Ini tak ubahnya corporate turnaround. Bedanya, kali ini adalah pribadi-pribadi yang bisa membalik kondisi terpuruk menjadi bekal untuk sukses. Tulisan ini akan dimuat di SWA, edisi paska lebaran, September 2010. Saya tulis di sini sebagai appetizer saja. Let's read!

***

Dalam urusan personal turnaround, rasanya salah satu yang paling menyentuh adalah kebangkitan seorang Lance Edward Armstrong dari vonis kematian menjadi seorang juara Tour de France yang melegenda. Cerita ini mungkin sudah banyak yang mengetahui, tapi selalu menarik untuk mengingatnya karena spirit yang ada di dalamnya sangat menggugah.

Lance masih ingat peristiwa itu. Kejadian yang bak petir di siang bolong. Bagaimana tidak, pada 2 Oktober 1996, dia menerima kabar “kematian” dari dokter yang menyatakan dirinya positif mengidap kanker testis.

Ini benar-benar kabar kelam bagi seorang pembalap sepeda profesional yang tengah merintis karir menuju puncak. Kabar yang dalam sekejap membalikkan semua kegembiraan lantaran dia baru saja melakukan kontrak senilai US$ 2,5 juta dengan tim balap dari Prancis.

Tapi, dokter mau bilang apa lagi. Testis sang pembalap sudah bengkak parah: sebesar buah jeruk. Diagnosis dokter malah lebih menyeramkan: kanker yang diidap bukan cuma bersarang di testis, tapi sudah menjalar ke paru-paru dan otak. Tak ada jalan lain, Lance harus naik meja operasi dengan catatan yang membuat lemas persendian: persentase sang pasien untuk hidup cuma 50%.

Cuma 50%? Ya. Dan ini pun sebenarnya prosentase yang “dikorupsi”. Hitungan medis yang sesungguhnya, lebih gila lagi. Harapan hidup Lance tinggal 3%.

Tapi, siapa sih yang bisa menandingi Tuhan dalam urusan hidup dan kematian?

Setelah operasi, hari-hari berikutnya adalah hari melintasi etape harapan bercampur kecemasan. Sebagai manusia biasa, Lance terombang ambing antara kekuatan, harapan dan ketakutan. Kadang dia tegar. Kali lain dia luruh seperti rumah kartu tertiup angin.

Namun Lance tabah. Dia jalani kemoterapi seperti seorang pembalap melahap etape demi etape di sebuah perlombaan. Dan baginya, kanker itu memang ibarat sebuah perlombaan yang harus ditaklukkan, bukan ditangisi.

Lance sendiri adalah anak yang sudah kenyang dengan penderitaan. Dalam bukunya, The Survivor’s Story, dia mengisahkan masa kecilnya yang pilu. Hanya dibesarkan oleh ibu, karena sejak usia dua tahun orang tuanya bercerai, Lance tumbuh menjadi pribadi yang kuat dan mandiri. Sejak kecil, sang ibu, Linda, adalah panutannya. Kelahiran 18 September 1971 ini menyaksikan sendiri bagaimana sang bunda berpindah-pindah pekerjaan demi sesuap nasi, sementara sang ayah genetiknya, Edward Gunderson, baginya tak lebih dari “pendonor DNA-ku”.

Kelak Linda menikah dengan Terry Armstrong. Seperti jatuh ke pelukan singa, Lance bertemu dengan ayah tiri yang keras. Tak terhitung cambuk ayahnya mendarat di tubuh Lance jika alpa melakukan hal-hal kecil seperti merapikan lemari baju. Tapi Lance memang istimewa. Rasa sakit akibat deraan itu membuatnya justru semakin kuat.

Dunia Lance kecil berubah ketika dia mengenal sepeda. Masa kanak-kanaknya yang pedih, seketika bersalin menjadi suka ketika di menginjak pedal dan duduk di atas sadel. Berada di atas pedal, membuatnya sungguh merasakan apa yang selama ini tidak dia dapatkannya: kebebasan dan kemerdekaan.

Dengan sepedanya, Lance bebas mengayuh ke mana saja dia suka. Dia pun menjadi pebalap profesional yang berprestasi, sampai vonis itu mendarat di telinganya, di usianya yang ke 25 tahun.

Kanker membuat fisik Lance melemah. Jangankan bersepeda jauh, untuk mengitari rumahnya pun dia tak mampu. Tapi fisik boleh lemah, spirit tak boleh padam. “Buatlah hambatan menjadi kesempatan, buatlah negatif menjadi positif.” Begitu katanya ketika dia melukiskan kobaran semangat dalam dirinya. Tanpa mengeluh, kemoterapi terus dia jalani. Keinginannya sangat kuat: sembuh total dan kembali berlomba.

Kekuatan Lance menghadapi cobaan tak bisa dilepaskan dari pola asuh Linda. Wanita yang melahirkan Lance di usianya yang ke-17 tahun itu menempa putranya dengan penuh disiplin dan motivasi. Dalam sebuah lomba triathlon, dia pernah mendapati Armstrong berhenti di tengah jalan lantaran kelelahan. Alih-alih menariknya ke pinggir jalan, dia malah memarahinya. "Kamu tidak boleh berhenti meskipun harus berjalan." Lance akhirnya bisa sampai garis finish. Linda yang kemudian bercerai dari Terry karena perselingkuhan, kini menjadi salah seorang motivator terkenal di AS.

Mental yang sudah ditempa Lance membuatnya bertahan melakukan pengobatan. Dan seperti etape demi etape yang dilahap seorang pembalap, Lance akhirnya tiba di garis finis dengan hasil yang sangat positif: dia sembuh total.

Cerita selanjutnya sudah diketahui semua. Setelah sembuh, Lance memutuskan kembali kepada dunia yang telah memberikannya rasa kemerdekaan dan kebebasan: sepeda. Di tengah keraguan, dia pun menjawabnya dengan elegan. Kurun 1999-2005, bersama tim US Postal, berturut-turut dia menjuarai Tour de France, melampaui rekor juara 5 kali yang dipegang Bernard Hinault, Eddy Merckx dan Jacques Anquetil. "Jika Anda meminta saya untuk memilih menang di Tour de France atau dari kanker, saya akan memilih menang dari penyakit itu. Karena itu adalah kemenangan saya sebagai manusia, pria, suami, anak, dan ayah," kata Lance mengomentarai perjalanan hidupnya.

From zero to hero!

Kemampuan membalik keterpurukan menjadi modal untuk sukses adalah ciri orang-orang hebat. Bergeser ke Spanyol, Anda pasti ingat kisah Julio Iglesias. Putra Dr. Julio Iglesias Puga dan Maria del Rosario ini mulanya adalah seorang pemain sepakbola. Dia sempat menjadi kiper salah satu tim Real Madrid, tim yang dinobatkan FIFA sebagai klub Abad 20.

Kecelakaan mobil membuat kelahiran 23 September 1943 ini mengubur cita-cita menjadi pemain profesional. Bagaimana tidak, tiga tahun dalam masa perawatan, sang dokter berpikir mahasiswa sekolah hukum di Madrid ini tak akan pernah bisa berjalan lagi.

Tapi jalan hidup memang sering berkata lain. Seraya merawat kaki dan dalam masa pemulihan, Julio mulai bermain gitar dan bernyanyi. Dan ketika sudah sembuh, dia melanjutkan studi di Ramsgate, kemudian di Bell Educational Trust Language School Cambridge.

Setelah itu dia menjadi penyanyi dengan karir yang cemerlang. Suaranya yang mendayu-dayu, terjual lebih dari 200 juta kopi. Merilis 77 album, Julio disebut Sony Music Entertainment sebagai salah satu dari top 10 best selling music artists in history.

Julio mungkin lebih beruntung daripada Andrea Bocelli, penyanyi tenor dengan suara yang merdu. Bocelli lahir di Lajatico, Toscana (Italia), 22 September 1958. Kemalangan menimpanya sejak kecil karena sedari lahir di menderita congenital galucoma, dan akhirnya dia buta total di usia 12 tahun.

Lazimnya orang-orang hebat, kebutaan total tidak menghalangi Bocelli untuk maju. Dia terus menimba ilmu. Berkat motivasi ibunya, Bocelli berhasil meraih gelar doktor ilmu hukum di University of Pisa, dan sempat berpraktik menjadi pengacara.

Di Italia, sudah lazim para pengacara memiliki peran ganda. Banyak pengacara yang juga menjadi wasit sepakbola yang disegani. Sehari-hari jadi pengacara, di akhir pekan menjadi pengadil di rumput hijau.

Bocelli pun demikian. Sejak kecil, anak yang lahir dari penganut Katolik yang taat ini menyumbang suara dan bermain organ di gereja. Menyanyi adalah panggilan hatinya. Karena itulah, setelah berpraktik jadi pengacara di siang hari, malam harinya dia berganti profesi: menyanyi di bar.

Lompatan karir Bocelli sebagai penyanyi terjadi ketika dia berkolaborasi dengan Zucchero, musisi Italia di tahun 1992. Dan namanya kian melejit setelah berduet dengan penyanyi sopran Sarah Brightman menyanyikan Con Te Partiro (Time to Say Goodbye). Setelah itu, telebih setelah mangkatnya Luciano Pavarotti, Bocelli adalah penghibur papan atas yang penampilannya selalu dinanti-nanti. Ada yang bilang Bocelli terlambat untuk menjadi penyanyi. Ada juga yang bilang justru dunia musik yang terlambat untuk mengambil sang bintang. Yang pasti, Bocelli telah memupuk rasa percaya dirinya di atas ketidaksempurnaan yang ada sehingga bisa menjadi seperti yang dikenal masyarakat dunia sekarang ini.

Bila ditelurusi, masih banyak tokoh besar yang bangkit dari keterpurukannya, untuk menjadi yang terbaik di bidangnya masing-masing. Namun, secara umum, apa yang mereka tampilkan biasanya memiliki kesamaan: pantang menyerah, berpikir positif, dan punya mindset bahwa impossible is nothing. Ya, tak ada yang mustahil bila dilakukan dengan sungguh-sungguh. Karena dalam keterbatasan, kerap ada jalan terang. Lihat saja tokoh seperti Stephen William Hawking. Kelahiran 8 Januari 1942 ini terus menyumbang pemikirannya di bidang fisika kuantum sekalipun mengalami tetraplegia (kelumpuhan). Stephen boleh lumpuh badannya, yang dideritanya secara berangsur sejak kecil, tapi tidak dengan pikiran dan semangatnya.

Kini, salah satu tokoh yang sedang diuji kemampuannya untuk keluar dari persoalan berat adalah Presiden Paraguay, Fernando Lugo. Awal Agustus 2010, dia didiagnosis terkena non-Hodgkin lymphoma, kanker yang menyerang sistem kelenjar getah bening. Selama 18 minggu ke depan, Lugo akan menjalani kemoterapi secara rutin. Bagaimana dia akan bangkit, dunia akan menunggunya.

Adakah orang sekitar Anda yang bisa melakukan seperti kisah di atas? Kalau ada, silakan di-share. Kisah-kisah mereka, pastinya sangat inspiratif.

2 comments:

Catatan Soni Senjaya said...

kang kalo untuk kasus indonesia gaimana? sukses terus untuk swa

Teguh SP said...

Untuk Indonesia, banyak juga. Salah satunya Dahlan Iskan. Cerita lebih lengkap sudah bisa dibaca di SWA :) Sukses juga yah