Perkembangan
teknologi digital dan telekomunikasi membuat konsumen memiliki daya tawar yang
luar biasa. Perusahaan harus menyikapinya dengan cepat dan tepat. Di industri
ritel, sejumlah pemain telah beradaptasi.
“Disruptive
innovations are like missiles launched at your business.” Begitu tulis Maxwell Wessel dan
Clayton M. Christensen dalam Surviving Disruption (Harvard Business Review, Desember
2012). Ya, perubahan seringkali seperti misil yang meluncur dan siap
merontokkan bisnis apapun manakala sang pelaku tidak siap menghadapinya. Dan
disrupsi besar pada satu dekade akhir yang paling mematikan adalah perkembangan
teknologi digital. Di industri musik, misalnya, Wessel dan Christensen menyebut bagaimana Napster, Amazon dan Apple Store telah meluluhlantakkan
Tower Records serta Musicland. Begitu pula personal computer yang
merontokkan minicomputer dan mainframe. Atau, fotografi digital
yang membuat teknologi film menjadi usang, seperti teknologi jaman batu.
Disrupsi digital
yang bergerak demikian dinamis ini, tentu saja memerlukan kelincahan para
pemain bisnis agar bisa berselancar di atasnya. Bila tidak, siap-siap saja
tergulung ombak besar. Yang kemarin terlihat hebat, satu dekade kemudian hanya
terngiang namanya. Di industri ponsel, ambil contoh, Nokia kini nyaris tinggal
nama dilibas Apple, Samsung dan serombongan telepon berbasis Android.
Salah satu industri
yang mendapat tantangan keras gelombang teknologi digital adalah ritel. Darrell
Rigby, mitra Bain & Company, penulis artikel The Future of Shopping (HBR,
Desember 2011) membuat pernyataan menarik. Menurutnya, disrupsi
telah terjadi di industri ritel hampir setiap 50 tahun sekali. Diantaranya: department store (tahun 1860an),
mal (1910-an) serta toko diskon (1960). Dan 50 tahun kemudian, disrupsi berbasis teknologi digital bisa
dikatakan yang paling signifikan memengaruhi industri ritel. Teknologi ini mengubah secara
fundamental, terutama pengalaman belanja ritel yang memaksa para pelaku industri ritel berubah jika tidak ingin tergilas
roda jaman.
Salah satu
teknologi yang menuntut pelaku ritel melakukan perubahan adalah smartphone.
Bagi masyarakat
modern,
ponsel cerdas memungkinkan mereka memindai
label harga di toko dan membelinya secara online di tempat
lain. Fenomena ini disebut "showrooming" yang membuat pengelola ritel harus pandai menyiasati karena pembeli memraktikkan apa yang disebut "scan and scram" (pindai dan langsung pergi).
Faktanya, gejala
ini semakin marak. Deloitte Consulting
baru-baru ini melakukan survei dan menemukan kenyataan
bahwa dari
2.598 pengguna ponsel cerdas, 58% menggunakannya
untuk belanja. Dari jumlah itu, 61% diantaranya menggunakannya ketika
berada di toko (CIO, 25 Oktober 2012). Ini berarti
mereka memindai saat berada di toko, dan boleh jadi membelinya di situs online.
Terhadap fenomena ini, Kasey
Lobaugh dari Deloitte Consulting menyebut dunia
industri ritel semakin dekat dengan apa yang disebut omnichannel. “Kita
harus melihat bahwa setiap pelanggan kini terhubung secara
konstan:
sewaktu mereka berada di toko dan berseluncur online secara bersamaan. Mereka dihubungkan dengan
peranti mobile sehingga dua pengalaman belanja (online
dan offline) ini
tidak terpisahkan,” katanya.
Perihal komunikasi
dan perilaku pelanggan
ritel di jaman sekarang yang semakin
cair, diakui Jeffrey Grau, analis eMarketer. “Seorang
pelanggan mungkin saja meriset produk secara online, melihatnya di toko,
mencari opini dari teman lewat jaringan sosial, menggunakan ponsel untuk
mengecek harga produk sejenis, hingga akhirnya
membeli di toko menggunakan Pay-Pal dari
ponselnya,” katanya.
Kalau begitu
halnya, lantas bagaimana tindakan para peritel?
OMNICHANNEL
Dalam
laporannya, Greg Girard, analis IDC Retail Insights mengatakan,
"Strategi yang paling sukses untuk
mempertahankan toko dari sekedar menjadi showroom adalah membawa mereka
ke arus besar bernama omnichannel commerce dan mentransformasi mereka ke
dalam orkestrasi omnichannel." Apa maksudnya?
Selama beberapa
dekade, toko brick-and-mortar adalah gurun informasi. Memang ritel tradisional punya keunggulan: aroma barang yang meruar, gantungan dari pabrik yang masih gres, serta sentuhan inderawi lainnya
yang tidak bisa diberikan oleh toko online. Namun sulit mencari informasi
barang yang dijual di antara tumpukan produk yang menggunung.
Padahal, di sisi
lain, perubahan telah melaju demikian dinamis. Konsumen ingin bergerak
cepat. Konsumen masa kini lebih lentur dibanding masa-masa
sebelumnya. Mereka lebih melek informasi, sekaligus kurang loyal pada merek. Konsumen semakin
menginginkan harga terbaik dan berharap layanan memuaskan dari peritel. Pelanggan
kini semakin berdaya, punya akses banyak terhadap informasi dan harga produk lewat
internet serta peranti mobile.
Di sinilah letak
keunggulan toko online yang kenikmatan untuk
berbelanja di dalamnya makin dipermudah dengan mengadopsi ponsel cerdas. Lewat satu sentuhan, orang punya pilihan
banyak, mudah belanja, harga murah, bisa membeli apa saja di waktu bersamaan dan
bisa mengakses review produk
yang diulang pihak lain. Akibatnya, ritel berikut pemasaran tradisional pun berpotensi kehilangan
posisi.
Untuk berselancar di tengah
disrupsi digital semacam ini, salah satu cara yang disarankan untuk digunakan para
peritel adalah menggunakan teknologi pula. Salah satunya adalah yang dikenal
dengan sebutan customer-facing.
Customer-facing
adalah kata sifat yang
digunakan untuk menggambarkan peranti keras atau produk peranti lunak,
teknologi atau apapun yang digunakan secara langsung oleh konsumen. Ini mencakup user interface
dari aplikasi peranti lunak, help desk yang memungkinkan pelanggan bisa menelpon pihak
produk, surat atau kontak
lainnya yang diterima pelanggan, atau bahkan kebijakan perusahaan yang mendeskripsikan bagaimana pelanggan
bisa berinteraksi dengan produsen.
Dalam konteks omnichannel
commerce, teknologi customer-facing
sangat diperlukan. Pemasaran model omnichannel
adalah pemasaran yang terintegrasi dan multidisiplin yang memberikan pengalaman menarik bagi konsumen lewat beragam titik sentuh (touch
point). Lewat beragam peranti keras maupun lunak berisikan
aplikasi mobile dan online, seperti in-store solutions, kiosk
systems, electronic shelf labels atau digital merchandising equipment, diharapkan konsumen akan mendapat pengalaman belanja yang menyenangkan
sehingga akan melakukan pembelian dan menjadi pelanggan yang loyal.
Faktanya, para
riteler kelas dunia juga telah bergerak di jalur ini. Untuk berselancar di
tengah disrupsi digital, mereka membangun infrastruktur digital untuk membuat
platform yang bisa menciptakan customer experiences
dalam menarik pelanggan terbaik. Para peritel membangun sejumlah
kanal yang jumlahnya terus bertambah di mana mereka bisa menjangkau konsumen
dari segala arah, mulai dari smartphone, tablet, websites,
in-store digital signage, toko fisik, kios, media sosial dan smart-TV yang semuanya tidak lagi
dikelola sebagai aktivitas terpisah, tapi terpadu.
Sears, misalnya. Perusahaan ritel ini menyebut pendekatannya
sebagai "integrated retail” yang bukan sekedar peningkatan
infrastruktur TI, tapi juga pemikiran organisasional. Sears Holdings telah
berinvestasi di jalur omnichannel untuk seluruh ritel miliknya, termasuk Kmart. Mereka
mengucurkan ratusan
juta dolar untuk peningkatan hardware, software dan infrastruktur TI lainnya. Diantara yang mereka
lakukan adalah mengembangkan
Wi-Fi untuk memperbaiki konektivitas smartphone di toko. Sears juga
bereksperimentasi dengan iPad dan
iPod untuk mobilitas serta fleksibilitas ketika menolong pelanggan. Mereka juga
melatih ulang para associate sales-nya untuk memahami model ritel
terintegrasi ini.
Hal
serupa juga muncul di Ahold USA, induk sejumlah perusahaan ritel termasuk Giant
Food Stores, Martin's Food Markets, Stop and Shop, serta toko online,
Peapod. "Pelanggan kian mendefinisikan bagaimana mereka ingin belanja, dan
jika kita tidak bisa memenuhinya, maka kita menjadi tidak relevan dengan
mereka,” kata John Dettenwanger Jr., CIO Ahold USA.
Sejumlah
toko milik Ahold telah menggunakan program Scan
It, peralatan pemindaian in-store keluaran Motorola,
juga Scan It Mobile, yang bisa beroperasi dengan smartphone
pribadi.
Peranti-peranti
ini memungkinkan para pembeli
memindai sewaktu belanja sehingga mereka bisa tinggal bayar dan pergi ketimbang
menunggu untuk check-out. Adapun barang yang mereka beli dikirim belakangan.
Adapun Home Depot,
sejak tahun 2010 telah berupaya terjun ke pendekatan omnichannel. Ritel ini mengijinkan
para pelanggan melakukan
pembelian online (homedepot.com) dan mengambil barangnya di toko. “Kami
ingin melayani pelanggan kami di manapun,” ujar CIO Home Depot, Matt Carey.
Carey
mendorong Home Depot bergerak aktif, semakin dekat ke ritel omnichannel dengan menerapkan mobile
apps yang memungkinkan pelanggan menemukan produk yang mereka
inginkan dengan cepat. “Sehingga Anda
tidak membuang waktu perjalanan ke toko, karena Anda tahu barang itu ada di sana,” katanya.
Agar program ini berjalan baik, manajemen Home Depot membekali para sales
associates-nya dengan 34 ribu peranti mobile dari Motorola dengan kemampuan melihat inventori dan komunikasi satu sama
lain.
Peranti-peranti ini juga bisa digunakan
untuk remote checkout, sehingga bisa membantu menempatkan produk yang dibutuhkan pelanggan
yang kebetulan berada di toko lain.
Lantaran pentingnya praktik ini, pada tahun 2011, Home Depot bahkan menambahkan “interconnected retail” sebagai prinsip inti yang
mesti dipegang awak perusahaan,
sebagai pelengkap 3
prinsip lainnya:
a passion for customer service, being the product authority for home
improvement, dan disciplined capital allocation driving productivity and
efficiency.
VIRTUAL STORE
Di luar para pemain ritel di atas, langkah yang menarik seputar menunggangi
gelombang disrupsi digital adalah Tesco, peritel terbesar nomor 3 di dunia
setelah Wal-Mart dan Carrefour. Agustus 2012, Tesco meluncurkan “virtual
grocery store” di Inggris di mana pelanggan dapat mengorder produk lewat ponsel
cerdas dari billboard interaktif di tempat umum.
Ya, Tesco memang membuat billboard elektronik yang menampilkan rak-rak
berisi produk, yang masing-masing ada barcode-nya. Menggunakan aplikasi
telepon yang dibuat internal Tesco, seorang pembeli dapat memindai barcode,
menambahkannya ke dalam keranjang belanja, membayar, dan lalu kemudian memilih
waktu pengiriman.
Di Inggris, hal ini
sudah dicoba di Gatwick Airport, North
Terminal. Tempat ini dipilih karena dianggap sebagai cara mudah
bagi para calon penumpang untuk memanfaatkan waktu luang. Penumpang yang bosan
bisa mengisi waktu dengan belanja yang kemudian akan dikirim begitu mereka tiba
di rumah.
Riset Tesco
menyatakan mereka harus bergerak cepat terhadap teknologi digital bila tak
ingin ketinggalan kereta. Mereka berpegang pada dua data. Pertama, mengacu data
IDC, pada tahun 2016, 90% dari seluruh ponsel yang beredar di Inggris adalah ponsel
cerdas. Lalu yang kedua, merujuk data Centre for Retail Research terungkap bahwa
konsumen di Inggris akan membelanjakan hingga £ 4,5 miliar lewat smartphone-nya di tahun 2012.
Langkah Tesco di Inggris ini bukanlah gerakan yang tiba-tiba, atau diambil
tanpa preseden. Model ini ditempuh setelah cara serupa sukses mereka terapkan
di Korea Selatan. Di Negeri Ginseng, Tesco mengoperasikan toko virtual sejak April
2011 lewat Tesco
Homeplus. Menyasar kalangan pelajar serta kaum pekerja, mereka mengoperasikannya di
sejumlah penghentian bis serta kereta bawah tanah. Cara belanjanya sangat
mudah: orang mengorder produk dengan cara memindai barcode lewat
ponselnya, membayarnya, untuk kemudian barang dikirim ke rumah.
Sejak diluncurkan April 2011, program toko virtual di Korea Selatan ini
laris manis diserbu pelanggan. Kebanyakan masyarakat mengorder barang antara
pukul 10.00-16.00 ketika berangkat ke tempat kerja.
Menyikapi kesuksesan itu, CEO Tesco Homeplus di Korsel, SH Lee mengatakan,
“Tren yang berkembang di smartphone Korsel menunjukkan bahwa belanja
virtual semakin mudah dan nyaman dari masa-masa sebelumnya.” Tak heran, Tesco pun
mencoba melebarkan toko virtualnya di tanah asalnya, Inggris. Harapannya,
sukses serupa akan diraih.
Dengan melesatnya teknologi digital, peritel memang perlu lebih banyak
tetap mengikuti perkembangan. Simon
Kendrew, Direktur Digital Gratterpalm, perusahaan
iklan dan pemasaran, menyatakan, “Dengan penggunaan teknologi digital yang
makin canggih dan meluas, lingkungan ritel telah berubah secara drastis. Sangat
vital buat para peritel untuk bereaksi terhadap perkembangan ini.” Toko virtual
Tesco merupakan salah satu contohnya. Mengapa demikian?
Virtual
shops
adalah jurus Tesco yang cerdas untuk mendorong orang belanja lebih banyak
melalui ponselnya. Sebab, setiap orang dapat mengorder secara online
lewat smartphone begitu melihat billboard elektronik. Ini membuat
belanja menjadi lebih mudah lagi. Dengan adanya toko virtual, orang yang
sebelumnya tidak berpikir untuk membeli barang, jadi terpikir untuk membeli begitu
dia melihat rak-rak barang virtual yang tampak menggoda. Tesco jelas bisa
mendapat penjualan ekstra dari cara ini.
Memang, seperti dikatakan Kendrew, dia
percaya bahwa sekalipun virtual store belum menjadi revenue stream
utama bagi Tesco. Akan tetapi dia juga percaya langkah ini merupakan pijakan
yang kuat terhadap brand positioning di masyarakat yang makin powerful
dengan ponsel cerdas di tangannya. Publik jadi mengetahui betapa mudahnya
belanja di Tesco, sebuah pengalaman yang makin penting di era pemasaran
omnichannel seperti saat ini.
Bicara tentang disrupsi digital, pada 2 bulan terakhir, forum-forum tentang
hal ini kian ramai digelar. Salah satunya adalah Digital Disruption Summits and
Forums
di Orlando, AS, pada
18-19 Oktober 2012. Pada forum itu, VP Forrester, James McQuivey mengingatkan para pemasar dan produsen untuk melihat
disrupsi digital dengan waspada. Mereka harus menambahkan kapabitas digital
dalam operasi bisnisnya bila tak ingin tergilas di tengah gelombang digital
yang tengah pasang ini.
Apa yang kini
sudah dilakukan sejumlah pemain industri ritel di atas hanyalah sedikit
gambaran bagaimana berselancar di atas perubahan teknologi digital. Industri
lain juga tengah bergerak karena seperti dicatat McQuivey, pelaku bisnis mesti
waspada pada tiga hal yang menjadi sumber kekuatan teknologi digital: peranti
gratis yang membuat orang bisa menciptakan produk atau jasa dengan cepat;
berkembangnya platform digital yang mudah dieksploitasi; dan melonjaknya kelas
konsumen digital yang memiliki daya tawar serta aspirasinya sendiri. Tiga
kekuatan ini, bila diabaikan akan menjadi senjata yang mematikan. ***
2 comments:
Wow!! Saya suka membaca tulisan Bapak, sangat mencerahkan karena berkaitan dengan tugas saya meriset ttg fenomena "Omnichannel" untuk pekerjaan saya. Saya juga jadi membayangkan jika fenomena ini terjadi di Indonesia, kira-kira apakah sudah mulai ada tanda-tandanya Pak? Terima kasih atas tulisan Bapak. Salam hangat dari Semarang, Liana.
Halo, Mbak Liana. Sepertinya kalau yang drastis seperti di atas belum saya lihat. Mungkin sudah ada, tapi saya kok belum melihatnya.
Post a Comment