Come on

Follow me @teguhspambudi

Monday, September 28, 2009

Mereka yang Bukan Orang Biasa

Share this history on :
Sejumlah figur kelas dunia tampil menjadi orang hebat di bidangnya masing-masing. Dari mereka ada pelajaran: jangan terlalu memuja intelegensia dan bakat.

Teguh S. Pambudi

Banyak orang masih meributkan tentang siapa pesepak bola terbaik sepanjang masa: Diego Armando Maradona, atau Edison Arantes do Nascimento alias Pele? Tapi di jagat tenis, tak ada keraguan untuk menyematkan predikat the Greatest Tennis Player Of All Time pada seorang pria kelahiran Basel, Swiss, 8 Agustus 1981 bernama Roger Federer yang sejauh ini telah menyabet 15 gelar grand slam dan diprediksi masih akan terus menambah koleksinya. Begitu pula tak ada perdebatan untuk menahbiskan sosok yang sesungguhnya layak mendapat sebutan Greatest Of Them All. Anda tahu siapa? Ya, Si Mulut Besar, Muhammad Ali.

Hidup mereka, di mata sebagian orang mungkin terlihat nikmat. Penuh bakat dan bergelimang sukses – sekalipun Ali didera Parkinson. Hal yang sama juga terlihat pada orang-orang di panggung bisnis macam Steve Jobs, duo pendiri Google (Larry Page dan Sergey Brin), sang fenomenal, Mark Zuckerberg (pendiri Facebook), serta Jack Dorsey, pembuat Twitter. Mereka adalah orang-orang hebat. Dan jauh sebelum mereka, banyak orang-orang hebat di jamannya masing-masing. Ford dan Toyoda di otomotif, Matsushita dan Bill Hewlett-Dave Packard di elektronik, bahkan Ruth Handler si pencipta Barbie dan Mattel Inc. Nama-nama terakhir bahkan sering disebut sebagai “suvenir di abad-20” lantaran saking besarnya kontribusi yang diberikan.

Bagaimana mereka bisa sehebat itu?

Mereka memang dikaruniai kecerdasan serta bakat yang luar biasa. Tapi dalam kacamata Malcolm Gladwell, bakat serta intelejensia bukanlah segalanya. Mereka bisa menjadi kaum outlier, orang-orang hebat nan sukses itu, lantaran bantuan orang-orang sekitarnya sehingga bisa memaksimalkan seluruh potensi yang dimilikinya. Dalam bahasa Gladwell, dan itu yang diyakininya, "People don't rise from nothing. We do owe something to parentage and patronage". Betul, dua “P” itulah, parentage and patronage yang memegang peranan. Faktor pengasuhan serta patronaselah yang berperan signifikan dalam membentuk seseorang menjadi “somebody” atau tidak sama sekali.

Tulisan si kribo Gladwell, mendapat dukungan Geoff Colvin lewat bukunya yang juga inspiratif, Talent is Overrated. Ya, bakat memang karunia yang distingtif pada manusia-manusia istimewa – bahkan sejatinya bakat itu ada pada tiap manusia. Tapi, sarannya, hendaknya orang tak terlalu menilai tinggi (overrated) sekaligus memuja-muji atas sesuatu yang disebut bakat karena banyak faktor yang mempengaruhi sukses tidaknya seseorang. Dengan kata lain: bakat memang perlu, tapi itu tidak mutlak mengangkat nasib seseorang ke derajat yang lebih tinggi.

Dan rasanya, itu benar adanya. Anda tahu Lionel Andres Messi, sang penerus Maradona? Pemain Terbaik UEFA 2009 yang juga berpeluang besar meraih Ballon d'Or (Bola Emas) 2009 ini mungkin hanya menjadi seorang anak biasa di Rosario, Argentina bila para pemandu bakat dari FC Barcelona (Spanyol) tak bisa membujuk kedua orang tuanya untuk membawanya ke Barcelona dan memberinya suntikan hormon agar badannya tidak boncel.

Bocah kelahiran 24 Juni 1987 ini memang dikarunia bakat luar biasa. Bermain sepakbola sejak usia 5 tahun untuk klub Grandoli yang dilatih ayahnya, Jorge Messi, si bocah jenius ini kemudian pindah ke Newell’s Old Boy di tahun 1995. Malang tak bisa ditolak, saat usianya 11 tahun, dokter mendiagnosis anak ini mengidap apa yang disebut “growth hormone deficiency”. Tubuh Messi akan sulit berkembang karena defisiensi hormon pertumbuhan. Tinggi badannya divonis tak bisa melewati 140 cm. Mendekati setinggi itu pun sudah untung.

River Plate, salah satu klub besar Argentina yang juga pesaing Newell’s Old Boy, awalnya berniat mengambil persoalan ini. Rencananya: Messi ditarik ke klub itu dan diberikan treatment khusus. Tapi, biaya terapi hormon yang sebesar US$ 900 per bulan membuat manajemen River Plate mengurungkan niat. Mereka masih pikir-pikir untuk investasi yang tingkat pengembaliannya masih samar buat bocah 11 tahun. Buntutnya, nasib Messi pun menjadi ikut-ikutan tidak jelas.

Charles Rexach, direktur olahraga FC Barcelona yang mencium bakat besar di Rosario segera bertindak. Dari Spanyol dia datang ke Rosario. Dia menawari Messi pengobatan bila keluarganya bersedia pindah ke wilayah Catalan, tempat Barcelona bermarkas. Dan begitulah cerita tentang anak jenius itu dirajut. Messi bergabung dengan klub Barcelona, dilatih hingga puluhan ribu jam di La Masia (Akademi Barcelona), diberikan suntikan hormon hingga akhirnya kini seperti yang dikenal dunia: Messi yang memberi banyak gelar pada Barcelona, Messi yang dipatok harga jualnya 70 juta pound, Messi sang Mesiah dengan tinggi 169 cm.

Messi jelas punya bakat yang dipertunjukkannya saat meliuk-liuk melewati lawan serta menjaringkan si kulit bundar. Namun, faktor orang tua, patron yang bernama Rexach serta manajemen Barcelona memegang peranan dalam menciptakan lingkungan yang membuat seluruh bakatnya berkembang maksimal. Messi sungguh beruntung mendapatkan itu semua. Akan tetapi, anak Rosario itu sendiri juga berperan besar, khususnya dalam membangun mentalitas juara. Mentalitas untuk melewati titik “kutukan” 140 cm dengan kesabaran menerima suntikan hormon secara berkala. Mentalitas untuk belajar menendang dan menaikkan jam terbang dalam urusan melatih dribling kaki kirinya yang luar biasa dan paket skill lainnya mulai dari mengoper hingga mencetak gol. Melihat semua yang terjadi, mungkin orang layak menerung: apa jadinya bakat Messi bila tak ditunjang dengan lingkungan serta mentalitas seperti itu?

Billy Jean King, sang legenda tennis dari AS pernah bilang dengan nada serius, “pressure is privileged”. Tekanan hanya datang pada orang-orang tertentu. Ya, tekanan adalah privilese, tidak datang pada setiap orang. Hanya para juara bermental baja yang sanggup menghadapinya. Dan di jagat tenis, kini Roger Federer adalah orangnya. 15 gelar grand slam koleksinya (6 gelar Wimbledon, 5 kali AS Terbuka, 3 gelar Australia Terbuka, dan satu dari Perancis Terbuka) akan sulit disamai para petenis manapun, terlebih mengingat usianya yang secara matematis masih panjang untuk mengejar tambahan raihan trofi. Dalam sejarah tenis, Federer adalah yang terbanyak masuk final grand slam, 21 kali. Terakhir, dia kalah atas Juan Martin Del Potro di final AS Terbuka, 15 September 2009. Dan dalam urusan uang, lelaki murah senyum ini juga jagonya: ditaksir lebih dari US$ 50,7 juta telah dikantunginya.

Menatap sepak terjang Federer adalah seperti melihat kesempurnaan. Namun, jelas sangat keliru bila melihat posisi berikut seluruh raihan petenis yang dijuluki Federer Express itu hanya dengan cara mengukurnya dari sisi bakat. Pencapaian Federer adalah buah dari lingkungan kondusif yang diberikan orang tuanya, Robert Federer dan Lynette Du Rand. Juga keseriusannya sendiri untuk terus mengasah jam terbang: memukul bola dengan segala jenis gaya, dan di atas segala jenis lapangan.

Mulai belajar tenis di usia 6 tahun, pada usia 12 tahun, Federer yang juga berbakat pada sepakbola dan fans berat FC Basel, akhirnya menyatakan pada orang tuanya bahwa dia memutuskan tenis sebagai masa depannya. Mendapat restu orang tua, Federer kemudian menempa diri. Dia tak henti berlatih, bahkan dengan porsi yang tinggi, minimal 4-6 jam sehari. Kelak, kebiasaan ini tak pernah hilang dari dirinya. Lelaki setingi 1,85 m itu bahkan mengaku hanya libur berlatih selama dua hari ketika menemani istrinya, Miroslava Vavrinec melahirkan anak kembar mereka, Charlene Riva dan Myla Rose, Juli 2009. Setelah itu, dia kembali berlatih, mengasah dan mempertajam seluruh kekuatan pukulannya.

Tak pelak, latihan spartan inilah yang kemudian menjadi dasar kekuatannya sehingga Jimmy Connors, mantan petenis top AS memujinya habis-habisan. "Di era spesialis seperti sekarang, Anda mungkin jago di clay court, spesialis lapangan rumput, kampiun hard court, atau ... Anda adalah Roger Federer," katanya. Masudnya?

Tak seperti pemain lainnya yang cuma piawai pada lapangan tertentu, Federer jago semua jenis lapangan turnamen besar, khususnya grand slam. Karena itu dia dijuluki “an all-court player”. Lapangan apapun, disikatnya!

Ada banyak cerita tentang outlier dari jagat olahraga. Namun, pesan yang mereka kirim adalah sama: bakat mereka berkembang sempurna di lingkungan yang bisa memaksimalkannya sehingga dapat menjadi persona-persona nan hebat. Contoh dari dunia sepakbola adalah bakat-bakat terbaik dari Afrika, Amerika Latin dan Asia yang mencorong di Eropa karena lingkungan di Benua Biru itu kondusif, terutama dengan adanya sistem kompetisi serta liga yang profesional, juga pelatih-pelatih bertangan dingin.

Di sejumlah negara Afrika, terutama, bakat-bakat itu terancam hanya akan tergerus usia dan tersia-siakan karena persoalan-persoalan non teknis serta politis, seperti perang, kemiskinan, dan kelaparan. Begitu pula dengan bakat yang tersia-sia di sejumlah negara Asia yang liganya sangat tidak profesional. Faktor lingkungan yang kondusif untuk menyemai bakat ini penting karena fakta membuktikan betapa negara-negara Asia dengan sistem kompetisi yang profesional seperti Jepang dan Korea Selatan mampu menghasilkan pemain-pemain hebat melebihi negara-negara Asia lainnya yang sistem kompetisinya amburadul.

Dari jagat profesional di dunia bisnis, hal serupa juga sering terjadi: bahwa bakat tidaklah selalu berperan paling dominan dalam kesuksesan.

Pertengahan 1978. Di markas besar Procter & Gamble di Cincinnati, AS, dua anak muda berusia 22 tahun yang baru saja lulus sedang asyik mencorat-coret memo bisnis. Keduanya tengah ditugaskan menjual adonan brownies Duncan Hines. Keduanya cerdas, yang satu dari Harvard, yang satunya dari Dartmouth College. Keduanya karyawan baru di P&G. Keduanya berada di ruang yang sama.

Saat itu tak ada yang menonjol dibanding rekrutmen baru P&G lainnya. Tapi, apa yang membuat keduanya kelak berbeda dibanding rekan-rekan seangkatan adalah keduanya penuh dengan ambisi di samping bakat bisnis yang besar. Tahukah Anda siapa mereka?

Mereka adalah Jeffrey Robert Immelt dan Steven Anthony Ballmer yang sebelum menginjak usia 50 tahun telah menjadi CEO dari dua perusahaan raksasa dunia, General Electric dan Microsoft. Apa yang membuat keduanya hebat, selain penuh dengan ambisi dan bakat kepemimpinan, juga keberuntungan mendapat patron yang luar biasa. Ballmer mendapat mitra yang hebat dalam diri Bill Gates ketika memutuskan bergabung dengan Microsoft pada tahun 1980, sementara Jeffrey Immelt yang bergabung dengan GE pada 1982 sangat beruntung karena digembleng patron terbesarnya yang juga seorang legenda bisnis, Jack Welch. Bila tak bertemu dua titan tersebut, mungkin mereka hanyalah orang-orang biasa. Atau, kalaupun hebat, belum tentu seperti sekarang. Keduanya, Gates dan Welch, berpengaruh sangat besar dalam membentuk jalan sehingga mereka bisa duduk di kursi yang sangat tinggi ini.

Memang, hidup tampak jauh lebih nikmat bagi mereka yang penuh bakat. Mereka punya lebih banyak pilihan, punya lebih peluang untuk sukses. Tapi, tunggu dulu, sebagaimana ditulis Gladwell dan Colvin: sebetulnya tidak ada masalah dengan apa yang Anda miliki ketika dilahirkan karena sukses besar tersedia bagi siapa saja yang bersedia untuk terus mengasah diri, melatih mental, mencari lingkungan yang kondusif, berada dalam jejaring yang positif, dan… tentu saja memiliki keberuntungan.

Jack Welch yang dijuluki Manajer Abad 20, misalnya, tak menunjukkan minatnya pada bisnis hingga usia pertengahan 20-an. Dengan gelar doktor rekayasa kimia, dia baru bersentuhan dengan dunia bisnis pada usia 25 tahun. Itupun setelah dia memutuskan bekerja di bagian pengembangan kimia di General Electric dan mengabaikan kemungkinan bekerja di universitas Syracuse serta West Virigia. Tapi kesediaannya untuk belajar membuatnya menjadi outlier di kalangan profesional bisnis, yang mengundang kekaguman hingga kini.

Bakat memang karunia. Tapi sebagaimana juga ditulis Colvin, “para ilmuwan hingga kini belum bisa menemukan atau mengidentifikasi gen yang membawa bakat tertentu seperti gen pemain piano, gen investasi, atau gen akuntansi”. Apa yang bisa membuat sukses seseorang, yang disebut Gladwell sebagai 10 ribu jam terbang, menurut Colvin adalah "deliberate practice". Ini bukan sekedar frekuensi atau lamanya sebuah latihan, tapi istilah untuk sebuah latihan atau praktik yang dilakukan secara konsisten guna meningkatkan performa. Jadi, pendekatannya adalah kualitas, bukan kuantitas. Dalam konteks ini, para maestro yang telah melakukannya sejak dini dan disebut sebagai contoh terbaik adalah Tiger Woods, Pablo Picasso serta Wolfgang Amadeus Mozart.

Tentu tak semua orang dapat keberuntungan melatih satu bakat atau keahlian tertentu pada usia yang sangat dini. Namun, praktik yang konsisten ini sangat penting karena begitu satu kesempatan datang, level performa tertentu telah dimiliki. Alhasil, deliberate practice adalah kunci penting untuk menjemput sukses, the key when opportunity comes. Hanya saja, seperti juga telah disinggung Jean King, deliberate practice memerlukan sikap mental yang kuat karena latihan yang konsisten kerap kali tidak mudah, penuh cobaan. “It's highly demanding mentally,” tulis Colvin.

Selain mental, deliberate practice juga membutuhkan upaya untuk fokus dan konsentrasi tinggi. Itu artinya membutuhkan daya tahan pikiran. Federer menjadi maestro karena ketahanannya untuk tetap fokus memukul bola di tengah segala tekanan saat bermain. Dia juga jarang terlihat emosional ketika dalam posisi tertinggal. Saking hebatnya dia bermain, sampai-sampai banyak artikel bermunculan hanya dengan satu topik: bagaimana mengalahkan Federer yang selalu tampil prima?

Tentang pentingnya kekuatan fokus dalam deliberate practice dialami Nathan Mironovich Milstein, salah seorang dari pemain biola terbaik abad 20. Milstein yang kelahiran Odessa (Ukraina) adalah murid dari guru terkenal, Leopold Auer di St. Pertersburg. Suatu waktu, sehabis berlatih, Milstein bertanya pada gurunya: apakah latihannya sudah memadai? Auer menjawab singkat, tapi dalam, “Berlatihlah dengan jari-jarimu, maka kamu akan butuh sehari penuh. Sebaliknya, berlatihlah dengan pikiranmu, maka kamu cuma butuh 1,5 jam saja”. Apa yang dimaksudkan Auer adalah jika Anda benar-benar berlatih dengan menggunakan pikiran sepenuhnya, alias konsentrasi, maka 1,5 jam sudah memadai untuk memupuk kompetensi diri. Ingat, memupuk, yang artinya melakukannya secara berkesinambungan.

Yang menarik, Colvin kemudian menarik aspek kesuksesan individu ini untuk kemudian meletakkannya dalam konteks korporasi. Menurutnya, perusahaan yang hebat, adalah mereka yang juga bisa membuat bakat-bakat yang ada di dalamnya tumbuh berkembang dengan baik. Itu artinya, perusahaan perlu menciptakan iklim yang kondusif seperti budaya mentoring, coaching, dan kebiasaan membangun karir dengan pemberian tugas yang membangun potensi diri karyawan. Meminjam Gladwell, budaya kondusif di atas tak ubahnya menciptakan pola pengasuhan (parentage) yang tepat sehingga potensi-potensi terbaik bisa terasah. Apple, Google, serta Intuit adalah segelintir perusahaan yang bisa menciptakan iklim seperti itu.

Repotnya, tandas Colvin, banyak perusahaan mengabaikan faktor fundamental tersebut. Padahal, boleh jadi akan banyak outlier dalam tubuh suatu perusahaan begitu kultur tersebut dibangun. Outlier yang berwujud para profesional pilihan macam Ballmer atau Immelt, atau orang-orang sekreatif Steve Jobs. Orang-orang yang dijuluki the great man on their job.

0 comments: