Come on

Follow me @teguhspambudi

Thursday, December 6, 2007

Kematian Teori Manajemen?

Share this history on :

Beberapa tahun lalu, saya membaca buku The Witch Doctors yang ditulis para editor The Economist, John Micklethwait dan Adrian Wooldridge. Diantara sejumlah buku, saya harus akui, ini adalah buku yang sangat bagus. Bercerita tentang arus-arus besar pemikiran di ranah manajemen, yang kemudian berpengaruh pada dinamika kehidupan perusahaan di dunia bisnis. Salah satu yang banyak diperbincangkan dalam buku ini adalah tentang reengineering yang kelak memakan banyak korban karena ditelan mentah-mentah oleh sejumlah perusahaan.

Akhir November lalu, dalam artikel bertitel "What Witch Doctors?" yang dipublikasikan pada 13 November 2007, The Economist menyoroti kembali dunia manajemen. Kali ini, dari sisi para konsultannya; para dokternya, alias para empunya. Ada apa gerangan?
Rupanya, ini berawal dari buku terbaru Gary Hamel yang memang tengah ngetop, The Future of Management. Dalam buku itu, Hamel mencatat bahwa sejumlah eksekutif puncak, termasuk the Google Guys, Sergey Brin dan Larry Page, juga John Mackey dari Whole Foods Market, disebutnya "did not go to business school". Donald Trump memang alumnus Wharton, tapi, tulis Hamel, orang bisa menebak dari buku bestseller terbarunya, “Think Big and Kick Ass in Business and Life ” banyak pelajaran dan nasehat yang didapatnya justru bukan dari konsultan. Menarikya, pandangan Hamel ini kemudian dapat penguatan dari buku terbaru Rakesh Khurana tentang sekolah bisnis, From Higher Aims to Hired Hands. Dalam buku itu, ada charts tentang "how management science declined from a serious intellectual endeavour to a slapdash set of potted theories".
Akhirnya, tulis The Economist, "All of this seems in keeping with the sceptical title of a book about management theorists written a decade ago by two journalists at
The Economist (one now its editor-in-chief) called “The Witch Doctors”. Dan teori manajemen, is not hocus pocus after all.
Untuk memperkuat pendapat itu, The Economist kemudian menyodorkan satu bukti tentang sebuah studi yang punya keinginan mulia; menunjukkan bahwa perusahaan yang mengimplementasikan sound management practice memiliki produktivitas karyawan, sales growth dan return on capital lebih tinggi. Faktanya, “Improved management practice is one of the most effective ways for a firm to outperform its peers.” Perhatikan; improved management practice. Begitu kesimpulan studi bertitel Management Practice and Productivity: Why They Matter. Maka, tulis majalah ini, "That this is at all controversial shows how far management theory has fallen from its peak early in the 20th century, when it seemed that the science of running firms would be as rigorous as, say, applied physics."
Untuk membuktikan kesimpulan tersebut, para pelaksana studi di atas, termasuk Nick Bloom dari Stanford University dan John Van Reenen dari London School of Economics, telah menginterview manager di 4000 perusahaan di Amerika, Eropa, dan Asia. Ini lebih banyak ketimbang studi sebelumnya yang hanya 700 perusahaan di Amerika, Britain, Prancis, dan Jerman.
Menggunakan interview tersebut, para pelaksana studi kemudian melakukan rating praktik manajemen dalam skala 1-5 (the worst sampai the best) pada 18 kategori di 3 area; shop-floor operations, performance management serta talent management. Hasilnya, "There seems to be no magic bullet: a firm’s average score across all 18 dimensions was the best guide to whether it would outperform its peers."
Dari studi tersebut, banyak temuan lain yang mengejutkan. "In every part of the world, the spread between the best and worst run firms is wide. American firms tend to be best run, with an average score of 3.3, and Indian firms worst, with an average score of 2.62. But the best 20% of firms in India performed better than the average American firm, and the best 10% of Indian firms outscored 75% of American firms."
Di setiap negara yang disurvey, perusahaan yang dimiliki multinasiona, cenderung berjalan lebih baik ketimbang perusahaan milik lokal. Perusahaan multinasional di India mencetak skor lebih baik, kecuali multinasional Amerika yang beroperasi di Amerika. "When a local firm is acquired by a multinational, the quality of its management tends to rise."
"Multinationals have an edge." Begitu tulis para peneliti studi. Alasannya, “have been forced to take a systematic approach to management. Only by having strong, effective management practices in place have they been able to replicate the same standards of performance across different regions, cultures and markets.
Pendorong lain bagi lahirnya praktik management yang lebih baik memang kompetisi. Di banyak negara, weak competition membuat kinerja memburuk. Temuan lain yang patut dicatat dari studi di atas; "firms with dispersed ownership scored best and performed best, whilst those owned and run by their founders or members of the founder’s family performed relatively poorly." Terburuk dari yang ada adalah "family-owned firms run by the founder’s eldest son, with an average management score of 2.53."
Membaca tulisan tersebut, saya ada yang sependapat, ada yang tidak. Temuan tentang kompetisi mendorong peningkatan kualitas praktik manajemen, saya kira memang demikian adanya. Namun, tentang kematian teori-teori manajemen harus diuji kembali -- sekalipun ini adalah topik yang sudah cukup lama. Saya sih lebih setuju dengan Ram Charan yang mengatakan bahwa problem di ranah manajemen lebih pada eksekusi yang tak sesuai dengan rencana-rencana awal. Ram, kini adalah mahaguru manajemen nomor satu versi BusinessWeek.
Yang pasti, The Economist memang asyik dibaca. Dia selalu mencoba menawarkan sudut pandang lain. Contohnya, awal 2005 ketika menunjukkan betapa corporate social responsibility (CSR) adalah hal yang cenderung sia-sia -- pandangan yang agak mengarah pada pendapat Milton Friedman di awal 1970.
So, apapun, selamat berakhir pekan.

0 comments: