Setelah hancur karena genosida, negeri ini bangkit, bahkan menjadi salah
satu keajaiban ekonomi Afrika. Salah satu kuncinya adalah mobilisasi potensi
diaspora yang masif.
GENOSIDA
April hingga Juli 1994. Persisnya, hanya 100 hari
di kurun tersebut. Itulah masa terkelam dalam kehidupan sebuah bangsa bernama
Rwanda. Konflik dua suku besar, Tutsi dan Hutu membuat negeri itu menjadi
ladang pembataian. Antara 800 ribu-1 juta jiwa melayang, yang mayoritas adalah
orang Tutsi.
Genosida itu begitu mengerikan. 100 hari jahannam
yang membuat bulu kuduk berdiri. Di jalan, rumah, rawa-rawa, mayat
bergelimpangan, bertumpuk, membusuk dirubungi lalat yang pesta pora. Film Hotel Rwanda (2004) dengan sangat apik
melukiskan kebiadaban itu.
Saat itu, efek keganasan yang timbul membuat orang
berpikir bahwa negeri yang hancur ini, mungkin akan lama bangkit. Atau mungkin
tak akan pernah bisa bangkit, terkubur akibat nafsu kejam anak-anak bangsanya
sendiri. Betapa tidak, setelah genosida, Rwanda berada di ujung kemusnahan
sebuah negara bangsa. 70% yang selamat dari populasi adalah perempuan.
Desa-desa hancur lebur. Kohesi sosial retak. Banyak yang kemudian melarikan
diri dari Tanah Air, menyebar menjadi diaspora, menyusul mereka yang sebelumnya
telah pindah untuk mencari penghidupan yang lebih baik.
Tapi apa yang tak mungkin itu justru benar-benar
terjadi. Rwanda kini sudah sangat jauh berubah. Selama lebih satu dekade
terakhir, pertumbuhan ekonomi bergerak di kisaran lebih dari 8% pertahun.
Investasi terus mengalir. Sekalipun tanpa sumber daya alam, ekonomi menggeliat.
Jalan-jalan bersih. Transportasi lancar. Bahkan di bis-bis yang ada di ibu
kota, Kigali, dilengkapi wifi gratis. Rwanda adalah keajaiban ekonomi di Afrika
abad 21!
![]() |
Kota Kigali kini. Bersih dan modern. Jauh dari kesan bekas ladang pembantaian |
Tak berlebihan bila anggapan seperti itu muncul.
Dalam lima tahun terakhir, lebih dari 1 juta rakyat Rwanda berhasil mengangkat
dirinya dari garis kemiskinan. Angka kematian bayi juga menurun. Anak-anak yang
berusia 7 tahun pergi ke sekolah. Mayoritas penduduk yang berjumlah 11,2 juta
jiwa mendapat asuransi kesehatan. Tingkat kejahatan rendah. Perempuan aman
berjalan di malam hari.
Negeri seluas 26.338 km2 ini bahkan telah melangkah jauh. Dia memimpin
wilayah East African Community (EAC) dalam upaya integrasi kawasan di mana di
dalamnya ada Tanzania dan Kenya. Dalam konteks ini, Rwanda belajar untuk
menjadi negara kecil yang service-delivery oriented seperti Singapura,
Hong Kong, dan Mauritius di tengah pergaulan kawasan.
Sebetulnya, luka ekibat genosida itu belum
sepenuhnya sembuh. Potensi terkuaknya luka baru juga bisa terjadi kapanpun. Maklum,
suku Tutsi, kendati hanya 15% dari populasi, namun menjadi mayoritas di
kursi-kursi pemerintahan dan bisnis. Perasaan iri bisa menjadi bensin untuk memicu
kekacauan berikutnya.
Karena potensi luka terkuak bisa kapan saja,
sejumlah komunitas berupaya keras untuk membangun serta melestarikan perdamaian
dalam sebuah lingkungan yang disebut “tak bisa dibayangkan”. Mengapa? Karena
antara korban dan pembunuh hidup berdampingan, bertetangga!
Intinya, trust
(kepercayaan) adalah sesuatu yang rapuh, sebenarnya. Membangun kepercayaan
merupakan bagian paling sulit. Begitu juga keadilan. Namun ini terus berusaha
ditegakkan oleh Pemerintah Rwanda. Penjahat perang diadili, termasuk lewat
pengadilan di Prancis.
Lantas, bagaimana Rwanda bisa melaju di tengah
kondisi seperti itu?
PROVINSI KEENAM
Sosok Presiden Paul Kagame menjadi sentral
perubahan itu. Dia membuat stabilitas politik serta keamanan domestik berjalan
baik sehingga proses rekonsiliasi pun bisa berlangsung. Dan dalam konteks
ekonomi, apa yang membuat Kagame dipuji adalah bagaimana dia menggunakan
potensi diaspora Rwanda untuk turut membangun negeri yang hancur lebur ini.
Ketika genosida berakhir, fokus Rwanda adalah
membangun ekonomi. Akan tetapi keterlibatan diaspora belum dipikirkan. Baru
setelah Kagame menjadi presiden di tahun 2000, hal itu menjadi pertimbangan
penting. Dengan menetapkan Vision 2020
yang menyatakan Rwanda yang merupakan penghasil teh dan kopi itu ingin menjadi
negara middle-income dan service-based economy, Kagame memulai
keterlibatan diaspora untuk mewujudkannya. Dia realistis bahwa orang-orang yang
pergi karena kerusuhan, berpotensi membangun negara yang ditinggalkannya.
Untuk merangkul kalangan diasporanya, Kagame punya
sebutan menarik. Diaspora, katanya, adalah provinsi keenam di Rwanda (negeri
ini terdiri dari 5 provinsi). Lalu dia pun meluncurkan Rwanda Global Diaspora Network (RGDN). Beriringan dengan itu, dia membuat langkah struktural: urusan diaspora
ditangani langsung oleh Ministry of External Relations
and Internal Cooperation.
Dengan
payung seperti itu, perlahan-lahan diaspora terkoneksi, bahkan termobilisasi.
Dana remitansi mulai mengucur masuk dari diaspora yang ingin tanah airnya
dibangun kembali. Uang itulah yang menjadi amunisi tambahan bagi Pemerintah
Rwanda untuk membangun negerinya di samping dana dari investor yang diundang
masuk.
![]() |
Presiden Kagame saat acara Rwanda Day, 10 Juni 2017 |
Bila diperhatikan, sejak awal, Pemerintah
Rwanda-lah yang aktif menggalang diaspora. Buktinya, belakangan, di tahun 2008,
merasa peran diaspora makin dibutuhkan, Pemerintah Rwanda mendirikan Direktorat
Jenderal Diaspora (http://www.rwandandiaspora.gov.rw/). Tugasnya adalah memobilisasi diaspora untuk
pembangunan Tanah Air. Misalnya, memberikan informasi tentang lowongan kerja di
Rwanda, terutama di lembaga publik.
Saking pentingnya diaspora, tahun 2009, Ministry of External Relations and Internal Cooperation (MERIC) menerbitkan Rwanda
Diaspora Policy. Dalam kebijakan ini,
diaspora dikukuhkan sebagai komponen inti Vision 2020. Pemerintah Rwanda juga
bekerja erat dengan sejumlah lembaga internasional seperti International Organization for Migration, Voluntary Service
Overseas, United Nations Development Program (UNDP), dan sejumlah LSM internasional untuk
mengutilisasi jaringan diasporanya.
Menariknya, ungkapan pentingnya diaspora untuk membangun Tanah Airnya ini
bukan hanya seremoni atau omong kosong belaka. Tahun 2010, merasa tak cukup
untuk memanggil pulang, Pemerintah Rwanda memutuskan keluar pagar untuk
memobilisasi diasporanya untuk berkontribusi membangun negara. Muncullah
program Rwanda Day, hari ketika para diaspora dikumpulkan dan dilibatkan dalam
sejumlah kegiatan.
Rwanda Day pertama
digelar tahun 2010 di Brussels, Belgia. Ada 40
ribu diaspora yang hadir. Setelah itu, digelar di kota-kota lain, yakni Chicago, Paris,
London, Boston, Toronto,
Atlanta, Amsterdam, dan di Dallas
Lewat acara ini, Pemerintah Rwanda membolisasi
diasporanya. Presiden Kagame bahkan selalu hadir dalam acara tersebut untuk
menunjukkan betapa pentingnya diaspora di mata pemerintahan Rwanda. Dalam setiap pertemuan itu,
dengan orasinya yang apik, Kagame membakar para diaspora. Salah satunya adalah
pernyataan berikut di Amsterdam: “Tak ada satu pun yang mestinya membuat Anda berpikir
bahwa identitas dan latar belakangan kalian adalah sesuatu yang inferior. Anda
adalah orang penting seperti orang-orang lainnya,” katanya.
“Pertemuan semacam ini adalah
saatnya kami melakukan koneksi ulang dengan sejarah Rwanda, baik hari lampau,
hari ini, dan bagian penting untuk menentukan Rwanda masa depan,” timpal Dubes
Rwanda di Belanda, Jean
Pierre Karabaranga saat Rwanda Day digelar di Amsterdam, Oktober 2015.
Selain mobilisasi di luar, pemerintah juga berupaya memobilisasi dengan
membuat kegiatan di Kigali. Desember 2011, misalnya, MERIC, bekerjasama dengan Job in Rwanda Ltd. dan WAF (Wakening Abilities for the Future), mengorganisasi Career Day yang pertama untuk jaringan diaspora Rwanda. Ide untuk
memunculkan kegiatan ini adalah mempertemukan sekaligus mendiskusikan
kemungkinan kolaborasi antardiaspora.
Acara-acara semacam ini disambut antusias kalangan diaspora. Efek yang
paling terasa adalah jumlah remitansi yang terus melonjak. Sejak Rwanda Day
meluncur, Bank Sentral Rwanda mencatat remitansi melonjak dari US$ 98,2 juta di
tahun 2010 menjadi US$ 167,3 (2016).
Remitansi
Diaspora Rwanda
Tahun
|
Remitansi
(US$ juta)
|
2010
|
98,2
|
2011
|
166,2
|
2012
|
175,3
|
2013
|
161,8
|
2014
|
174,9
|
2015
|
155,4
|
2016
|
167,3
|
Sumber:
Bank Sentral Rwanda
Jumlah remitansi Rwanda ini memang bukanlah yang terbesar, namun sangat
signifikan untuk membangun negara yang pernah dilanda genosida. Mengacu pada World
Bank Migration and Remittance Factbook 2015, Rwanda masuk 10 besar remitansi di Sub-Sahara Afrika. Adapun
lainnya adalah Angola (US$ 1,3 miliar), Afrika Selatan (US$ 1,1 miliar),
Liberia (US$ 0,4 miliar), Uganda (US$ 0,3 miliar), Mozambique (US$ 0,2 miliar),
Mauritania (US$ 0,2 miliar), Kenya (US$ 0,2 miliar), Tanzania (US$ 0,1 miliar),
dan Zambia (US$ 0,1 miliar) seperti dikutip dari newtimes.co , 24 Maret 2017, Diaspora in Perspective: the Rwandan Context.
Perihal angka
remitansi ini, Marie Chantal Uwitonze, Presiden African Diaspora
Network in Europe (ADNE) menyatakan bahwa
itu merupakan hal yang sangat signifikan. “Jumlahnya bisa tiga kali lipat dari
bantuan resmi luar negeri ke pemerintah,” ungkapnya. Uwitonze adalah diaspora Rwanda yang tinggal di Belgia.
BRAIN GAIN
Kemudian, selain menarik
dana, keberhasilan Rwanda yang sering
diacungi jempol dalam koteks diaspora adalah kemampuan menahan laju brain drain, serta mengubahnya menjadi brain gain. Laporan PBB tahun 2013
menyatakan bahwa 1 dari 9 orang Afrika dengan pendidikan tinggi, hidup di Asia,
Eropa serta
Amerika Utara. Rasio brain drain ini yang paling
buruk karena Amerika Latin dan Karibia rasionya 1 dari 13, Eropa (1 dari 20), sementara Asia (1 dari
30).
PBB juga menemukan bahwa negara yang kecil dan negara kepulauan, ternyata paling menderita akibat brain drain. Burundi adalah korban
terbesar brain drain di Afrika. Bukan
hanya dalam konteks kemampuan menahan talenta pergi, tapi juga kemampuan menarik diaspora ke dalam negeri.
Menariknya, Rwanda yang notabene tetangga Burundi, menghancurkan teori
tersebut. Sekalipun ukuran negara dan jumlah populasinya sama, Rwanda menjadi
negara Afrika paling sukses dalam menahan talenta dan menarik mereka untuk
berkotribusi.
![]() |
Para diaspora Rwanda dalam sebuah acara |
Ya, diaspora Rwanda bukan hanya mengirim uang. Banyak dari mereka pulang
untuk membangun negaranya. Perihal bagaimana para diaspora yang pulang kampung,
kita bisa melihat The Return of the Diaspora - Rwanda (http://www.julieddl.be/index.php?/project/the-return-of-the-diaspora---rwanda/). Di sini telah didokumentasikan sejumlah diaspora yang kembali ke Rwanda setelah
lama di luar negeri dengan beragam profesi. Mereka pulang untuk berkontribusi
bagi tanah airnya.
Apa yang menarik dari Rwanda adalah keaktifan
pemerintahnya ini direspons kalangan diasporanya dengan semangat. Mereka bukan hanya aktif melalui remitansi,
tapi juga berupaya menjadi mitra
pembangunan yang terlibat dalam proses pembangunan dengan cara
kolaborasi pengetahuan dan ketrampilan. Sejumlah inisiatif digelar oleh diaspora Rwanda. Salah
satunya adalah mendirikan Diaspora
Business Incubator (DBI),
sebuah platform
yang akan melayani untuk diaspora yang ingin berbisnis atau berinvestasi di
Rwanda. “Di sini
bukan hanya bicara sisi finansial atau uang, tapi juga manajemen aset,” ujar Jabo Butera, Co-founder dan CEO DBI.
Bahu-membahu semacam inilah yang sangat penting bagi
negara yang ingin melibatkan diasporanya bagi pembangunan. Tak heran, mengingat
begitu pentingnya peran diaspora, Pemerintah Rwanda mengijinkan dual
citizenship, yang belakangan diikuti Zambia. Kebijakan ini
merupakan langkah terobosan besar di Afrika. Sebuah langkah yang bagi negara
lain, termasuk Indonesia masih hanya jadi wacana tanpa kejelasan. Kalau Rwanda
bisa memaksimalkan potensi diasporanya, sudah semestinya Indonesia pun mampu
melakukannya. Bukan begitu? ***