Setelah
empat dekade membangun pertaniannya, Negeri Samba ini tumbuh menjadi kekuatan
pertanian yang luar biasa. Dari importir menjadi eksportir. Apa rahasianya?
GLOBAL AGRICULTURE SUPERPOWER
4
Juni 2013, satu pidato yang diluncurkan Presiden Brazil Dilma Rousseff, sudah semestinya
membuat kita di Indonesia kagum dan merenung – sambil mengurut dada. Hari
Selasa itu, Rouseff resmi meluncurkan Rencana Pertanian Brazil 2013-2014.
Isinya, paket pinjaman dari pemerintah untuk pendanaan dan pemasaran, pembelian
peralatan pertanian serta perbaikan infrastruktur pedesaan. Nilainya? 136 miliar Real Brazil, atau
setara US$ 64 miliar. Atau dalam kurs rupiah berarti Rp 640 triliun.
Seraya
mengumumkan rencana itu, Rousseff juga menegaskan bahwa sektor pertanian Brazil
adalah salah satu yang paling produktif, efisien serta kompetitif di dunia. "Brazil adalah negara dengan
agribisnis yang berkembang pesat. Hasil pertanian kita cukup memadai untuk
memasok pasar domestik dan ekspor, menghasilkan kekayaan bagi negara
kita," katanya.
Presiden
perempuan ini kemudian juga mengungkapkan bahwa pemerintah yang dipimpinnya
akan memperluas sekaligus memodernisasi National Supply Company (Conab) dengan
mengalokasikan US$ 250 juta untuk meningkatkan kapasitas penyimpanan hasil
pertanian, merenovasi laboratorium serta sistem pemantauan sanitasi. Muantap, bukan?
Ya, begitulah Brazil membangun pertaniannya. Dan
hasilnya sangat mengagumkan. Brazil adalah penghasil nomor satu dunia untuk
komoditas beras, kopi, jeruk, pisang dan gula,
sementara kedelai berada di nomor dua setelah Amerika Serikat. Di luar itu,
negeri Samba ini juga produsen sapi nomor wahid dunia. Tak heran, kurang
lebih 45% dari total komoditas ekspor Brazil berasal dari hasil-hasil sektor
pertanian. Menteri Pertanian Antonio Andrade pun menegaskan bahwa agribisnis
Brazil menyumbang 25% terhadap produk domestik bruto (PDB) negara itu dan
menghasilkan 35 juta lapangan pekerjaan.
Saat ini Brazil memang telah tumbuh menjadi negara
yang kuat dalam sektor pertanian. Bukan lagi importir, tapi eksportir. Bahkan
menjadi superpower. “Hanya Amerika Serikat dan Eropa yang bisa mengalahkan
Brazil sebagai eksportir hasil pertanian. Kami sudah menjadi negara superpower dunia di bidang pertanian atau global agriculture superpower,” ujar Carlos Ortiz. Dia adalah Head of Rural and Retail Rabobank Brazil. Pernyataannya itu diberikan di Jakarta,
Oktober 2012. Saat itu Ortiz memaparkan makalahnya dalam Konferensi Tahunan
Rabobank Indonesia, yang mengambil tema “Pertanian sebagai Lokomotif
Pertumbuhan Ekonomi: Belajar dari Brazil”.
Ortiz tak keliru. Mengutip Departemen Pertanian AS, businessinsider.com
mengungkap bahwa pada tahun 2001, ekspor pertanian Brazil mencapai US$ 16
miliar. Lalu pada 2010, nilai ekspornya mencapai US$ 62 miliar dan mencapai US$
80 miliar di tahun 2011. Itu artinya, peningkatan lebih dari 400% selama 10
tahun. Sebagai pembandingnya, nilai ekspor pertanian AS hanya meningkat 175%
untuk periode yang sama. Brazil mengekspor 1500 tipe produk pertanian. Alhasil
tidak mengherankan pula jika The Economist sempat menulis liputan
menarik, Brazilian Agriculture, The Miracle of the Cerrado (26 Agustus
2010).
Jadi, apa yang bisa dipelajari dari Brazil?
Inilah pertanyaan yang banyak dikupas oleh media dan
para peneliti. Pada liputannya, The Economist mengajukan pertanyaan: “Can it do the same for others?”. Sementara para peneliti dari Nanyang
Technology University, Margarita Escaler dan Paul Teng
langsung menukik untuk menggugah bangsa Asia lewat tulisannya, Can Asia
Learn from Brazil’s Agricultural Success? (2010).
Sejatinya, banyak yang bisa dipelajari dari Brazil
sekalipun Escaler dan Teng memaparkan betapa Brazil dikaruniai Tuhan alam yang
luar biasa, yang tidak selalu didapatkan negara lain. Coba tilik data berikut: dari
sisi tanah, Brazil punya area potensial untuk ditanami yang sangat luas. FAO
(Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia) mencatat Brazil punya sekitar 400 juta
hektar lahan yang potensial ditanami, yang hanya ditemukan di gabungan dua
negara, AS dan Rusia. Sejauh ini, baru 50-70 juta hektar yang baru digunakan.
“Cukup untuk menakar betapa dahsyatnya potensi pertumbuhan Brazil,” catat
Escaler dan Teng.
Selanjutnya, Bazil adalah pemilik cadangan air segar yang
bisa diperbarui, yang terbesar di dunia. Mengacu laporan PBB, World Water
Assessment Report of 2009, Brazil punya 8.000 km kubik renewable water
setiap tahunnya. Ini jauh melampaui negara manapun, bahkan disebut bisa
memenuhi kebutuhan 4 miliar manusia. Kemudian, negara ini juga memiliki iklim
tropis yang kondusif untuk pertanian. Di samping sinar matahari yang berlimpah,
curah hujannya mencapai 975 mm setiap tahunnya.
Untuk Indonesia, pada banyak titik, terdapat sejumlah
kesamaan, seperti cuaca, iklim, serta beberapa komoditas pertanian yang
diandalkan. Sebenarnya, sudah semestinya Indonesia bisa sejajar dengan Brazil,
sekalipun ini adalah sebuah ironi. Mengapa ironi? Betapa tidak, tahun 1985, saat
Indonesia mendapat penghargaan dari FAO karena swasembada beras, Brazil waktu
itu belum apa-apa. Belum menjadi global agriculture superpower
yang menandingi AS dan Australia. So, mengapa Brazil bisa demikian
hebat?
Alam Brazil memang luar biasa. Namun, tentu tak semata
anugrah itu menjadi berkat dan kesuksesan. Pun dengan kejayaan Brazil di sektor
pertanian. Menurut Ortiz, keberhasilan negeri Samba didorong sejumlah faktor. Di
antaranya: minimnya intervensi pemerintah – hanya bertindak sebagai regulator
dan pendukung –, pelaku swasta yang aktif, serta efisiensi pasar di tengah pasar
yang besar.
![]() |
Traktor bergerak di pertanian Brazil. (Sumber: en.mercopress.com) |
Ortiz tak keliru. Pemerintah dan swasta sangat
berperan untuk tumbuhnya Brazil menjadi superpower agrobisnis. Memutar jarum
jam, landasan kesuksesan itu dibangun pasca Perang Dunia II. Saat itu Brazil berupaya
membangun basis industri domestik melalui kebijakan industrialisasi substitusi
impor yang menggantikan produk-produk impor dengan produksi domestik. Kebijakan
ini secara langsung ataupun tidak, berpengaruh pada sektor pertanian. Kuota
ekspor, lisensi, pajak, diiringi pengontrolan impor untuk sektor pertanian.
Maka produk pertanian domestik pun memiliki ruang untuk bergerak.
Untuk menopang sektor pertanian yang dikelola
masyarakat, terutama keluarga petani, pemerintah Brazil membuat basis agar para
petani bisa memodernisasi sektor pertanian. Lahirlah National System of Rural
Credit di tahun 1965. Kredit diberikan ke petani, terutama untuk mendorong
produk pertanian berorientasi ekspor.
Seperti dikupas Pedro A. Arraes Pereira, The
Development of Brazilian Agriculture (2012), sektor pertanian Brazil telah
dibangun pada jaman kolonial di abad 16. Hingga tahun 1930-an, ekonomi Brazil
sangat ditopang produk pertanian yang ditujukan untuk pasar internasional.
Sampai lahirnya kebijakan kredit pedesaan, produk orientasi ekspor itu adalah
kopi, karet, coklat, dan kapas. Produk-produk ini menyumbang hingga 55% ekspor
pertanian.
Tahun 1970-an menjadi saksi periode pertumbuhan kredit
pedesaan yang sangat tinggi. Tercatat, proporsi kredit pedesaan untuk pertanian
meningkat dari 58% di tahun 1971 mencapai 94% di tahun 1976. Dari sini,
pertanian pun mulai menggelombang di tengah alam yang kondusif.
ELEMEN PENTING
Namun, seperti ditulis Escaler dan Teng, yang juga diakui banyak pihak di
level internasional, elemen penting keberhasilan Brazil membangun pertaniannya
adalah Embrapa (Empresa Brasileira de Pesquisa Agropecuaria), atau Perusahaan
Riset Pertanian Brazil. Embrapa ditugaskan untuk mendistribusikan teknologi,
benih baru, teknik memperbarui tanah, dan meningkatkan produktivitas. Lembaga
inilah yang kelak melahirkan terobosan-terobosan besar lewat riset, analisis
dan sumbangan kebijakannya.
Salah satu pencapaian penting Embrapa adalah pengembangan teknologi yang
memungkinkan ekspansi agrikultural untuk tanah asam di kawasan savana (sabana)
yang banyak terdapat di Brazil, yang dalam bahasa mereka disebut cerrado.
Sewaktu Embrapa mulai berdiri, cerrado dikenal tidak cocok untuk
pertanian. Norman Borlaug, ilmuwan pertanian AS yang sering disebut “The
Father of Green Revolution” bercerita kepada New York Times, “Tak
ada seorang pun berpikir bahwa tanah ini akan menjadi lahan produktif”. Cerrado
tampak terlalu asam dan miskin gizi.
Embrapa, tulis The Economist, melakukan 4 hal untuk mengubah
semuanya. Pertama, menaburi tanah savana dengan batu kapur untuk mengurangi tingkat
keasaman. Di akhir tahun 1990-an, 14-16 juta ton batu kapur telah ditaburkan ke
tanah-tanah savana Brazil. Jumlah ini meningkat menjadi 25 juta ton kurun
2003-2004. Kemudian, para ilmuwan Embrapa menanam varietas rhizobium,
bakteri yang membantu nitrogen dalam kacang polong yang ternyata bisa tumbuh
baik di savana, tanpa membutuhkan pupuk. Embrapa membuat tanah cerrado
cocok untuk pertanian. “Kami mengubah paradigma,” ujar Silvio Crestana, mantan
Direktur Embrapa dengan penuh bangga.
Kedua, para peneliti Embrapa pergi ke Afrika dan membawa pula rumput
bernama brachiaria. Ini adalah jenis rumput yang memiliki nilai nutrisi
tinggi, menyediakan banyak nitrogen dan sedikit membutuhkan penyubur fosfor. Dengan
penyilangan yang dilakukan penuh kesabaran, lahirlah varietas rumput braquiarinha
yang bisa menghasilkan 20-25 ton tumput perhektar, yang 3 kali lebih banyak
dibanding tanah Afrika. Savana pun berupah menjadi lahan untuk kawanan ternak
merumput setelah sebelumnya hanya penuh sesak dengan perdu dan semak. 30 tahun
lalu, di Brazil perlu 4 tahun untuk menggemukkan banteng buat disembelih.
Sekarang, hanya perlu 18-20 bulan.
Ini adalah terobosan besar. Namun ini bukan akhir cerita. Yang ketiga, para
peneliti Embrapa mengubah kacang kedelai menjadi tanaman tropis. Kacang kedelai
adalah tumbuhan Asia Timur (Jepang, Korea dan China). Tumbuhan ini sangat
bergantung pada iklim, sensitif perubahan cuaca dan membutuhkan 4 musim.
Kebanyakan produsen kacang kedelai (terutama Amerika dan Argentina) memiliki
iklim semacam itu.
Embrapa mencoba mengembangkan dengan teknik penyilangan agar bisa tumbuh di
wilayah tropis. Selain itu, juga mengimpor benih kacang kedelai dari AS yang
sudah dimodifikasi di samping mengembangkan aneka varietas baru yang bisa
dipanen dalam waktu cepat, antara 8-12 minggu. Kacang ini lebih toleran
terhadap keasaman tanah. Inilah yang kemudian disebut transformasi genetis
kacang kedelai. Belakangan, Embrapa juga meningkatkan kinerjanya dengan membuat
varietas tanaman anti-penyakit dengan tingkat panen yang tinggi: beras, kacang,
gandum, dan kentang.
Yang keempat, Embrapa memulai dan mendorong para petani mengembangkan
teknik pertanian baru yang disebut no-till farming. Ini adalah teknik
pertanian yang secara mekanis tidak mengubah tanah, karena tidak dibajak,
sehingga tetap menjaga kesuburan tanah. Belakangan, teknik ini terus menyebar
menjadi alternatif teknik tradisional yang membajak tanah.
Dengan kebijakan dan teknik ini, maka perlahan tapi pasti, berkembanglah cerrado
di sejumlah negara bagian yang digarap dengan teknologi pertanian yang canggih.
Mereka menjadi tulang punggung pertanian Brazil sehingga menjadi superpower
seperti saat ini. Sejumlah negara bagian yang terkenal dalam urusan ini
diantaranya Bahia (kapas), Piaui (kacang-kacangan) dan Mato Grosso (kacang,
jeruk). Tak heran, karena peran sentralnya, The Economist sampai menulis
bahwa bila kita ingin mengetahui kunci sukses pertanian negeri Samba, “Hanya
ada 3 kata: Embrapa, Embrapa, Embrapa.”
![]() |
Embrapa. Inilah kunci kesuksean agrikultur Brazil (sumber: afubra.com.br) |
Lantas, apakah sukses Brazil itu bisa ditiru?
The Economist mencatat bahwa tanah Afrika dan Brazil sebenarnya
memiliki kesamaan: tropis dan miskin gizi. Perbedaan besarnya adalah savana di
Brazil mendapat curahan hujan yang tinggi. Tapi belajar dari Brazil, semestinya
bisa dibuatkan teknik “know-how” seperti yang dikembangkan Embrapa mereka
membawa brachiaria dan menyilangkannya menjadi rumput yang subur. Itu
spirit yang mestinya ada. Tanah di Afrika yang kini disebut-sebut bisa
dijadikan proyek pengembangan pertanian adalah Angola serta Mozambique. Dan
sejauh ini, para peneliti Brazil telah merintis kerjasama untuk mengeksplorasi
kemungkinan-kemungkinan di negara tersebut.
Pertanyaan “apakah cara Brazil bisa ditiru?”, sebetulnya bukan semata upaya
membuat pertanian di satu negara menjadi maju. Tapi lebih pada ikhtiar menjawab
kerisauan global akan masa depan ketika manusia semakin banyak dan membutuhkan
lebih banyak makanan dari yang bisa disediakan saat ini.
Khusus untuk Asia, Escaler dan Teng menyatakan bahwa sebenarnya Asia,
terutama China dan Indonesia memiliki potensi yang besar, dilihat dari lahan
serta sumber air. Namun, demikian, mereka mencatat bahwa selain minim
infrastuktur serta teknologi untuk pertanian, masih banyak lahan potensial yang
belum dioptimalkan. Di Asia Tenggara, misalnya. Ditaksir, ada 45% lahan di Asia
Tenggara yang berpotensi menjadi lahan pertanian diokupasi untuk hunian
manusia. “Pertumbuhan populasi dan urbanisasi, tidak diragukan lagi, akan
menjadi faktor signifikan yang menurunkan potensi lahan-lahan produktif”. Begitu
mereka mencatat.
Di atas itu semua, Escaler dan Teng meyakini bahwa selain kebijakan yang
memihak pertanian, keseriusan Embrapa dalam melakukan riset dan pengembangan
pertanian menjadi kunci kemajuan pertanian Brazil. Sebagai ilustrasi kekuatan
Embrapa, tilik saja data berikut: lembaga ini sedikitnya mengalokasikan
anggaran sebesar US$ 1 miliar setiap tahunnya. Dana itu untuk membiayai 2.253
ilmuwan (kebanyakan adalah PhD) yang bekerja di 47 pusat penelitian untuk
mencari teknik pertanian terbaru, mencipta varietas produk pertanian, dan
terobosan lainnya. Inilah yang mestinya bisa dipelajari sesuai kondisi
masing-masing negara.
Kalau melihat hal ini, dan juga melihat komitmen Presiden
Rousseff, Indonesia sepertinya masih harus banyak belajar. Jangankan kita
memiliki Embrapa yang luar biasa, sinyalemen lahan produktif yang diokupasi
adalah mimpi buruk di depan mata. Terbukti, pada 5 Mei 2013, Menteri Pertanian
Suswono mengungkap fakta pahit: 100.000 hektar lahan produktif beralih fungsi
setiap tahunnya!
Jelas ini mimpi
buruk karena dengan penduduk mencapai 240 juta
manusia, Indonesia seharusnya memiliki ketahanan pangan yang baik. Tapi
itulah,... Tak mengherankan bila negeri yang subur ini akhirnya harus mengimpor
beragam macam komoditas pertanian dan produk peternakan. Bawang, cabai,
kedelai, menjadi barang langka. Bahkan jengkol dan petai pun tak ada di pasar.
Brazil
tak hanya mengajarkan sepakbola. Mereka juga bisa memberi pelajaran tentang
pertanian. ***
1 comments:
Trim mas telah berkunjung dan berbagi info. Salam sukses
Post a Comment