Beban yang diembannya ditunaikannya dengan baik.
Posisinya sebagai pemimpin dijalankannya sebagai katalisator. Kekuatannya
terletak pada detail dan passion.
Pagi hari adalah masa paling produktif bagi wanita energik
ini. Setelah bangun jam 05.00, dia langsung berolahraga. Usai mengolah fisik
selama satu jam lamanya, dia
pun bergegas ke kantor. Kebetulan, karena rumahnya dekat, biasanya lantai yang
dingin di OCBC NISP Tower, Jl. Prof. Dr.
Satrio, Jakarta Selatan itu sudah dijejaknya pada jam 6.30.
Jarang sekali dia datang setelah arloji di tangan menunjukkan angka 07.00.
Begitu selalu rutinitas yang dijalaninya
Parwati Surjaudaja. Demikian wanita berambut pendek yang
gesit ini. Memimpin bank beraset di atas Rp 100 triliun dan karyawan 7000 orang
tentu tidaklah mudah. Datang pagi setelah menjaga kebugaran menjadi modal
awalnya untuk mengemban tugas yang tak mudah.
Ya,
bukan tanpa maksud dia rutin datang pagi. Dia sengaja tiba lebih awal untuk mengecek
email berikut dokumen lain yang masuk, sekaligus memastikan apa yang akan
dilakukannya hari itu. “The most productive time pagi-pagi sebenarnya,
karena belum banyak yang datang,” ujarnya ringan. Aneka rapat baru dimulainya pada
jam 8 pagi. Lewat jam itu, dia seperti pelari marathon: berpindah dari satu
rapat ke rapat lain.
Tapi tentu saja datang pagi bukan modal segalanya untuk
mengelola bank yang dipimpinnya sejak 2008 itu. Terlebih persaingan di industri
perbankan nasional sangatlah ketat. Diperlukan pemimpin yang piawai dalam
menyusun strategi, mengokestrasi inovasi yang kontinyu, dan memimpin armada
agar mampu memenangkan pertempuran.
Menyadari
hal itu, Parwati berupaya selalu menjadi penggerak atau pendorong bagi timnya
agar menjadi winning team. Untuk itu, dia pun harus lebih mendisiplinkan
dirinya sendiri terlebih dahulu. Datang lebih awal cuma satu contoh
kedisiplinan, bahkan bentuk dari profesionalisme yang merupakan budaya kerja
OCBC NISP. Sejak tahun 2012, bank ini memiliki tiga values: Professionalism,
Integrity, dan Customer Focus.
Kedisplinan
datang pagi juga menjadi wujud dari prinsip yang selalu dipegangnya teguh: walk the talk atau always do as you say. “Apapun
yang dikatakan dan dilakukan harus sama. Dengan seperti itu, akhirnya apa yang
ingin kita capai atau ingin kita drive, pasti tercapai. Kalau kita cuma ngomong
tapi tidak sesuai dengan kelakuan kita sendiri, akan sulit,” jelasnya.
Bukan
hanya kedisiplinan untuk sesuai kata serta perbuatan, saat akan mengarahkan
anggota timnya pun dia berusaha mendisiplinkan untuk selalu bertanya kepada
dirinya terlebih dahulu. Dia akan men-challenge serta mengonfirmasi pada
dirinya sendiri: apakah target yang ditetapkannya, baik jangka pendek maupun panjang
sudah benar; apakah arah strategi untuk mencapainya sudah tepat; dan apakah
seluruh asumsinya valid.
Mengapa
harus meyakini terlebih dahulu?
MEYAKINI VISI
“The very essence of leadership is that you have to have
a vision. It’s got to be a vision you articulate clearly and forcefully on
every occasion. You can’t blow an uncertain trumpet.” Begitu kata Theodore
Hesburgh, mantan Presiden Universitas Notre Dame.
Seorang pemimpin bukan hanya punya visi, tapi juga meyakini
bahwa visi itu bisa terartikulasi dengan kekuatan pasukan yang ada. Dengan
menggunakan kacamata four roles of leadership, Parwati menyadari
perannya sebagai perintis tak ubahnya sang pembuka jalan. Dengan bertanya pada
diri sendiri, dia melihat kondisi secara helicopter view. Dia mengkaji
bagaimana posisi OCBC NISP dalam industri perbankan serta para pesaing. Ditelaahnya
apa yang menjadi masalah, tantangan berikut peluangnya.
Selama
berbincang dengan SWA, Parwati bertutur dengan penuh keteraturan di
tengah semangat yang besar. Wanita yang selalu melangkah gegas dan gesit ini,
tampak memikirkan setiap kata yang terlontar dengan cermat. Sore itu, di tengah
langit Jakarta yang cerah, dia mengenakan baju bermotif etnik berwarna gelap
dan celana hitam dengan model lurus. Senyumnya tak henti mengembang di
wajahnya yang tampak belum banyak berkerut di usia 50-an. Terlebih bila bicara
akan ke mana di ingin membawa OCBC NISP, dia akan penuh semangat bercerita.
Berterus terang, dia ingin menjadikan OCBC NISP masuk 10 besar
bank dengan pertumbuhan yang cepat dan berkelanjutan. Caranya?
“Dilihat
dari tatanan OCBC NISP, dari tatanan di dalam, segmen usaha mikro kecil
dan menengah (UMKM) lebih
cocok buat kami,” imbuhnya. Faktanya, segmen mikro memang sangat menggiurkan.
Parwati sendiri mengamati dengan seksama bagaimana BRI dan Danamon bermain di
sini, dan menjadi pemain yang dominan.
Memang
sektor UMKM terbilang tahan banting. Sementara kredit sektor lain
mampet, sejumlah bank menjadikan kredit ke UMKM sebagai tumpuan usaha yang terbukti
mampu menyelamatkan kantung mereka. BRI contohnya. Tahun lalu, bank ini
membukukan pertumbuhan kredit UMKM sebanyak 16,8%, sementara di tahun 2014
tumbuh 16%.
Lantaran hal itu, Parwati pun mendorong perusahaannya konsisten,
bahkan masuk lebih dalam ke pasar UMKM, yang nota bene merupakan segmen
tradisional NISP saat awal beroperasi di Bandung. Salah satu yang kini digenjot
habis adalah Kredit Usaha Rakyat (KUR) UKM OCBC NISP. Ini adalah produk pinjaman
yang dikhususkan untuk pelaku usaha kecil dengan suku bunga 11- 12,25% per tahun.
Nasabah bisa memilih antara KMK (kredit modal kerja) atau kredit investasi.
Tapi Parwati juga tak melupakan segmen korporasi besar.
Apalagi dia mengetahui bahwa kekuatan tradisional OCBC adalah sektor korporat. “Segmen UMKM dan korporat ini
jadi kekuatan, setelah melihat kekuatan-kekuatan sumber daya di dalam,”
tuturnya.
Bicara
sumber daya, Parwati sangat memperhatikannya. Sebab, bagaimanapun, kesuksesan seorang
CEO akan bergantung pada bagaimana kekuatan serta keberhasilan anggota timnya
hingga di level paling bawah.
Agar
mereka bisa berhasil, dia menyadari perannya yang kemudian dibutuhkan adalah
menyelaraskan antara apa yang menjadi visinya dengan sumber daya yang ada.
khususnya, dari sisi manusia.
![]() |
Parwati, selalu men-challenge diri |
DETAIL
Di atas disinggung bagaimana Parwati terus men-challenge
dirinya terhadap visi serta strategi buat perusahaan. Untuk urusan
menyelaraskan, maka setelah meyakini seluruh visi serta strateginya itu adalah yang
terbaik bagi perusahaan, barulah dia mengajak direksi duduk meminta masukan
agar semuanya makin tajam, menarik, dan on the track.
Rama P. Kusumaputra, Managing Director OCBC NISP
melihat justru di sanalah kekuatan Parwati. Baginya, CEO-nya itu sungguh kuat
dalam men-set strategi jangka panjang dan detail. “Ibu Parwati memiliki
latar pernah menjadi konsultan, dia jadi sangat detil,” katanya. Sebelum
bergabung di perusahaan keluarga, Parwati memang sempat menjadi Konsultan
Senior di SGV Utomo/ Arthur Andersen (1987-1990).
Menurut Rama, ada beberapa leader yang dikenalnya sangat
bagus dalam strategi jangka panjang, tapi kurang detail, lalu diserahkan ke
orang lain. “Ibu Parwati juga memiliki passion yang tinggi di
pekerjaannya, sudah terbiasa mengawal sesuatu dari A sampai Z. Dalam menjalankan
strategi jangka panjang, dialah yang memimpin, meyakinkan semua pihak bahkan
semua level. Turun ke kota-kota untuk memimpin perubahan,” paparnya.
Kendati
terbilang detail, bukan berarti dalam eksekusinya jatuh dalam micromanagement.
Dalam konteks ini, ibu empat anak yang beranjak dewasa itu percaya pentingnya empowerment
yang terkontrol dengan baik. Dan sebagai pemimpin, katanya, dia mesti
memperhatikan mulai dari kesiapan tim, kompetensi serta kebutuhannya, untuk
kemudian menilai lewat indikator-indikator kunci. Dari keseluruh proses ini,
dia melanjutkan, yang terpenting baginya sebagai pemimpin adalah mendengar serta
menerima kritik yang membangun.
“Empowerment
ini penting, apalagi menghadapi generasi kerja sekarang, Gen Y dan milenial.
Kita harus menyadari, bahwa kita sebagai leader tidak selalu benar. Dunia
berubah cepat sekali. Kalau semua tersentralisasi dan kuasa di bawah kita, bisa
dipastikan akan terlambat. Karena kita tidak pernah tahu persis di lapangan
seperti apa,” jelasnya. Berhubungan dengan dua generasi ini memang membuatnya
memberi penekanan khusus. Maklum, saat ini, 70% dari 7000 karyawan adalah Gen Y.
Dengan
tatapan yang ramah, Parwati menjelaskan bahwa proses empowering ini
terus diperbaikinya dari waktu ke waktu. Sewindu lalu, keputusan kredit sebesar
apapun ada di ruangannya. Kini itu tidak terjadi lagi. Kantor cabang punya
kewenangan besar sehingga bisa memutuskan perihal kredit dalam nilai yang
tinggi. “Sejak pertengahan tahun kami melakukan perubahan. Sebelumnya semua di kantor
pusat, kini kami dorong empowerment ini hingga ke ujung. Jadi, kepala
cabang menjadi CEO bagi masing-masing kantornya. (Tapi) Soal empowerment
ini kami belum sempurna, kami terus memperbaiki diri,” ujarnya.
Selain
kewenangan kredit, yang juga didorongnya adalah inisiatif untuk menggali consumer
insight. Temukan insight, temukan insight, temukan insight.
Itu selalu pesannya. Pesan lainnya: ciptakan rasa nyaman dalam diri nasabah! “Kami
ingin hubungan dengan nasabah adalah partnership. Jadi, (bersifat) jangka
panjang. Artinya dalam berbisnis kita harus win-win,” dia menegaskan.
Sebelum
empowerment yang sekarang diterapkannya, menurutnya orang cenderung
pasif: kalau tidak ditanya, tidak memberikan masukan. Lebih-lebih lagi, sewaktu
ada pinjaman bermasalah, mereka tidak mau ikut bertanggung jawab. “Dengan empowerment
sekarang, bisnis lebih cepat memberikan pelayanan, mengambil keputusan juga
cepat, nasabah lebih senang, orang kami juga jadi lebih senang karena
dipercaya, jika ada masalah dia berani mengambil tanggung jawab,” Parwati menjelaskan.
Model pemberdayaan yang ditempuh
Parwati boleh jadi tak terlepas dari gemblengan yang diterima dirinya, yang
diberdayakan sang ayah, Karmaka Surjaudaja untuk mengambil tampuk pimpinan
perusahaan di saat-saat yang penting di tahun 2008. Kebetulan, pada tahun-tahun
itu, kesehatan Karmaka juga sedang terganggu.
Sedikit ke belakang, Parwati memang berada di titik yang
penting dalam perjalanan perusahaan. Bila mengilas balik, perjalanan NISP
terentang panjang. Saat awal dikibarkan, sang pendiri, Lim Khe Tjie yang juga
mertua Karmaka menamakan perusahaannya NV Nederlandsch Indische Spaar En
Deposito Bank. Tahun 1960-an, di tangan Karmaka yang diserahi tampuk perusahaan,
NISP tumbuh menjadi bank yang solid dan prudent. Wujud kehebatan itu
adalah tahun 1997. Tanpa bantuan pemerintah, bank kebanggaan warga Bandung ini sukses
melewati krisis keuangan Asia dan tumbangnya perbankan di Indonesia.
Reputasi ini memancing sejumlah institusi internasional
untuk “menikahi” NISP. Di tengah gelombang restrukturisasi perbankan nasional
yang melahirkan raksasa-raksasa hasil merger antarbank, akhirnya NISP menerima
lamaran OCBC pada 2004.
Parwati dipercaya memimpin perusahaan di masa penting ini
pada 2008 kala perusahaan bersalin nama menjadi OCBC NISP. Dan berikutnya, di tahun 2011, dia
memimpin merger lanjutan antara OCBC NISP dengan OCBC Indonesia.
Wanita ini mengingat momen merger itu dengan baik seakan
peristiwa itu baru saja berlalu di pelupuk matanya. Menurutnya saat itu banyak karyawan sempat ragu dengan
langkah merger ini. Alasaannya: tak sedikit merger bank yang berujung kegagalan.
“Bahkan ada karyawan yang bilang ke saya sambil menangis. Karena trauma,
(mereka) mempertanyakan langkah saya mengapa harus mengambil keputusan merger.
Jadi dia pindah dari bank sebelumnya karena bank itu merger. Saat itu saya berpikir
betapa mengerikan merger itu,” kenangnya.
Toh sekali
layar terkembang, pantang biduk surut ke pantai. Parwati tetap harus jalan. Dan dia mampu meyakinkan
karyawan bahwa merger akan membuat mereka jauh lebih baik. Dia juga sanggup merapikan
proses merger sekaligus menekan “rasa sakit” akibat merger semaksimal mungkin. “Waktu
itu kami berhasil membuat proses merger tidak bertahun-tahun, tapi hanya dalam
waktu tiga bulan,” kata anak keempat dari lima bersaudara ini.
Jadi,
Parwati berhasil mewujudkan merger dengan mulus tanpa riak besar hanya dalam
waktu hitungan bulan. Kuncinya?
Menurutnya,
kuncinya terletak pada manusia. 80 persen waktu dalam proses merger ini adalah
bagaimana membuat orang bisa menyatu dengan baik. Faktor sukses lainnya adalah
karena bisnis masing-masing tidak bertabrakan, malah punya kekuatan yang saling
melengkapi: NISP di ritel, sementara OCBC di korporat.
Keberhasilan ini tentu saja menambah percaya diri Parwati
sebagai pemimpin perusahaan. Maklum, memimpin perusahaan hasil merger bukan
hanya memadukan kekuatan bank lokal serta bank asing, tapi juga menyelaraskan
seluruh strategi yang dibuat agar bank hasil merger ini bisa tumbuh mengesankan
di tengah persangat industri yang tambah ketat dari waktu ke waktu, yang berbeda
dengan dekade 1990-an, apalagi saat bank ini berdiri.
4 April 2016, OCBC NISP berulang tahun yang ke-75. Parwati
tak bisa menutupi rasa bangganya sebagai generasi ketiga yang mampu membesarkan
perusahaan keluarganya (sekalipun sahamnya telah minoritas). Menurutnya, tak
banyak bank di Indonesia yang sudah melewati 5 dasawarsa. Selain OCBC NISP, ada BRI dan
Bank HS yang usianya lebih dari 70 tahun. Selebihnya berusia lebih muda.
Dia pun senang karena dari sisi governance, OCBC NISP
solid. Begitu juga dari sisi kinerja keuangan. Soal performa, aset pada
Desember 2008 di posisi Rp 39 triliun. Tahun 2015 mencapai Rp 120 triliun.
Sementara itu laba bersih terus menanjak. Saat menjadi CEO, laba bersih di
posisi Rp 350 miliar (2008), tahun 2015 di posisi Rp 1,5 triliun. Adapun tahun
2014, laba bersih tercatat Rp 1,3 triliun.
Pendapatan berbasis bunga masih menjadi motor performa ini.
Pendapatan bunga bersih tercatat naik 18% dari Rp 3,74 triliun (2014) menjadi
Rp 4,42 triliun (2015). Ini merupakan buah dari agresivitas pengucurkan kredit.
Penyaluran kredit tumbuh 26% menjadi Rp 85,88 triliun.
KATALISATOR
Tentu saja ini membanggakan di tengah kondisi perekonomian
global dan nasional yang tengah mengkeret. Toh bicara pencapaian kinerja ini
tak lantas membuatnya langsung bertepuk dada. Dia sepertinya memahami pandangan
John Maxwell yang mengatakan “A good leader is a person who takes a little
more than his share of the blame and a little less than his share of the credit.”
Karena itu pula, saat diberi tahu dirinya menjadi The
Best CEO 2016, dia pun hanya tersenyum ringan. “CEO (itu) hanya sebagai katalisator. Yang pasti ini bukan
pencapaian pribadi,” katanya. Bukan tanpa alasan dia menyatakan demikian. Baginya
team work-lah yang membuatnya berhasil. Yang pasti, benghargaan ini seakan
menjadi kado buat ulang tahun perusahaan yang dirintis kakeknya itu.
Dia
sendiri lebih fokus untuk membawa perusahaannya ini melesat lebih tinggi, cepat
dan solid. Banyak target yang telah dipatok bersama. Dan itu membutuhkan
sentuhannya selaku pemegang komando tertinggi.
Waktu yang beranjak petang membuatnya siap-siap untuk
menyelesaikan pekerjaan dan pulang ke rumah. Seperti saat ke kantor, alumnus Master
of Business Administration, Accounting, San Francisco State
University, California ini juga selalu berusaha tepat waktu tiba di
kediamannya. Sesampainya
di rumah pada jam 19.00, dia akan bersalin peran: bila di kantor menjadi ibu
bagi karyawan, di rumah dia menjadi ibu bagi anak-anaknya.
Keluarga
sangatlah penting baginya. Sekalipun terhitung pekerja keras, Parwati tetap
meluangkan waktu buat keluarga. Terutama saat libur. Sewaktu libur tiba, mereka
pun akan menikmatinya bersama. “Saya hobi traveling. Biasanya bersama anak-anak
sambil mengajarkan mereka tentang banyak hal. Biasanya setahun saya punya
jadwal (berlibur),” kata perempuan yang juga menggemari kuliner ini. Kecuali
Kalimantan, hampir semua provinsi di Indonesia sudah dirambahinya untuk
jalan-jalan. Tapi menjejak Tanah Borneo itu sepertinya hanya soal waktu. Kini dia
masih berkonsentrasi untuk membuat perusahaannya makin berkibar.
Yang
jelas, menyadari keterbatasan diri di tengah bisnis yang dinamis, Parwati tak
mau seperti roda yang berhenti berputar. “Sebagai CEO, harus terus belajar,
tidak boleh berhenti,” dia memungkas pembicaraan. Dan satu kalimat bahasa Sunda
terlontar dari bibirnya begitu SWA mengucapkan “hatur nuhun”
serta pamit undur. “Sawangsulna,” ujarnya sambil tak lupa memberikan
senyum. ***