Di tengah kompetisi yang ketat,
studio ini terus mencetak prestasi besar. Apa
kunci suksesnya?
SEJARAH BESAR
DUA tahun lalu,
persisnya 23 Maret 2012, sejarah ditoreh. Tiada dinyana, peluncuran perdana film
The Hunger Games mencetak penjualan
US$ 68,3 juta. Dalam sejarah perfilman, ini adalah opening day terbaik untuk film yang bersifat non-sequel, dan menjadi yang terbesar kelima dalam urusan mencetak
penjualan. Dan hari-hari berikutnya, film ini menahbiskan diri sebagai tayangan
papan atas. Seperti air bah, penonton tak henti mengalir. Tak heran, dalam satu
minggu, film yang menceritakan perjuangan Katniss Everdeen dalam pertarungan
hidup mati dengan busur panahnya itu meraup US$ 152,5 juta. Menutup tahun 2012,
The Hunger Games meraup
US$ 643 juta sementara ongkos produksinya hanya US$ 78 juta.
Kesuksesan The Hunger Games tak cuma melejitkan
pemerannya, Jennifer Lawrence dan mengerek penjualan pernak-pernik mainan
seperti busur panah ala Katniss. Film yang diadaptasi dari novel trilogi karya
Suzanne Collins ini juga melejitkan nama Lionsgate. The Hunger Games seakan membentangkan karpet merah untuk Lionsgate
sebagai bintang Hollywood di tengah
dominasi studio besar. Ia menjadi fast-growing independent studio. Tak seperti studio-studio
besar yang muncul sejak era Gloria Swanson dan Rudy Valentino (bintang
legendaris era film bisu), Lionsgate baru berusia 17 tahun. Di usia muda,
prestasi hebat digoresnya. Tahun 2012, pendapatan kotornya mencapai US$ 1,1 miliar,
menempatkannya di posisi ke-5 di Hollywood, tepat di belakang Sony/Columbia.
Hebatnya, prestasi itu diulang setahun kemudian. Sekuel ke-2 The Hunger Games, Catching Fire sukses di pasar. Menutup tahun 2013, Lionsgate
mencetak penjualan US$ 1,1 miliar.
Keberhasilan ini memancing orang
melayangkan puja-puji dan menganalisis apa yang menjadi kuncinya. The Economist, salah satunya, membedah
kesuksesan studio ini. Dan rupanya, keberhasilan ini merupakan perpaduan dari
sejumlah faktor. Di sisi produk, ambil contoh. Winning formula-nya adalah kemampuannya untuk mencari cerita yang
diperkirakan akan meledak sekalipun
tak ada yang bisa menjamin itu terjadi. Sebelumnya,
Lionsgate dikenal sebagai produsen film
murah tapi menguntungkan dari genre horor, seperti seri
Saw dan komedi menampilkan Tyler
Perry. Kesuksesan The Hunger Games menjadi bukti paling sahih kemampuan membidik cerita
berkelas.
Dari sisi
operasi, manajemen Lionsgate juga menerapkan pola yang efisien dan cerdik. Lini
operasinya ramping. Tak seperti studio Hollywood besar yang gemuk dan tua, yang dikelompokkan sebagai major studio, Lionsgate tak punya area
studio yang besar, berisikan perangkat permanen untuk membuat film. Markasnya
pun hanya di blok perkantoran di Santa Monica. Mereka biasanya mengambil
lisensi hak internasional untuk memfilmkan, dan biasanya tak menaruh lebih dari
US$ 15 juta untuk produksi. Memang kebijakan ini membatasi Lionsgate meraup
lebih banyak keuntungan ketika filmnya laris, akan tetapi strategi ini
melindunginya dari kerugian yang pernah membenamkan penantang studio besar Hollywood
seperti United Artist yang filmnya, Heaven's
Gate gagal total di tahun 1980. Karya sutradara Michael Cimino (The Deer Hunter) ini rugi ₤75,6 juta
atau setara Rp 1,1 triliun.
Salah satu
contoh lain rampingnya operasi Lionsgate adalah armada SDM-nya. Mereka hanya
berkekuatan 550 orang. Bandingkan dengan 10 ribu orang di Warner Bros. Selain
membuat ongkos operasi yang lebih murah, kerampingan ini juga membuat keputusan
yang diambil manajemen bisa begitu cepat dilakukan sehingga kecil kemungkinan
ide bagus harus mengendap di "pengembangan produk" yang kadang birokratis.
![]() |
The Hunger Games. Blockbuster bagi Lionsgate |
Salah satu yang
sangat kentara sebagai efek dari
keputusan yang cepat adalah bagaimana aksi korporasi
yang mereka lakukan setelah berganti
nama pada 1998. Merunut ke belakang, Lionsgate punya akar yang
panjang. Tahun 1962, John Dunning dan Andre Link mendirikan Cinépix Film
Properties (CFP). Perusahaan perfilman independen di Kanada ini aktif merilis
baik film Inggris maupun Prancis. Setidaknya, mereka menghasilkan 10-12 film
setiap tahunnya dan mendistribusikan sejumlah film, termasuk film dokumenter
grup rock Hype, dan Sick: The Life &
Death of Bob Flanagan, Supermasochist.
Tahun 1997,
Lionsgate Entertainment masuk membeli Cinépix. Saat itu, Cinépix telah memiliki
56% saham Cine-Group, perusahaan animasi. Setahun kemudian, 12 Januari
1998. Cinépix Film Properties bersalin nama menjadi Lionsgate Films. Dua tahun
kemudian, meluncurlah box office pertama mereka, American
Psycho. Film ini melahirkan tren memproduksi serta mendistribusikan film
yang kontroversial, termasuk Lolita. Sekalipun tidak menjadi box office, film lain yang terkenal dari Lionsgate adalah Affliction, Gods and Monsters, Dogma,
Saw, dan film dokumenter monumental
karya lelaki yang terkenal kritis dan
bawel, Michael Moore, Fahrenheit 9/11, yang memberikan pendapatan kotor terbesar bagi
Lionsgate sampai munculnya The Hunger Games di tahun 2012.
AKUISISI
Aksi korporasi Lionsgate yang membuatnya disegani adalah aktif melakukan
akuisisi. Di bawah kendali duet Jon Feltheimer dan Tom Ortenberg, mereka
membawa studio ini fokus mengambil laba dari video dan DVD, juga mengakuisisi
perusahaan-perusahaan yang sedang terlilit masalah, tapi memiliki aset yang
luar biasa: koleksi film dengan jumlah yang banyak untuk didistribusikan. Maka
satu persatu studio dicaploknya. Diantaranya adalah Trimark Holdings (650 judul film)
pada tahun 2000. Pembelian ini tergolong
penting karena memasukkan CinemaNow, situs broadband streaming di mana Lionsgate
bisa menampilkan filmnya untuk
konsumen wilayah Kanada dan AS. Setelah itu Artisan
Entertainment Inc. pada 2003 senilai US$ 160 juta. Artisan terkenal dengan
filmmya yang fenomenal di tahun 1999, The
Blair Witch Project.
Setelah mereka, menyusul akuisisi lain yakni
Redbus, Debmar-Mercury, Mandate dan TV Guide Network. Dengan akuisisi ini,
dampaknya sangat signifikan. Lionsgate punya koleksi
DVD terbesar kedua di industri
perfilman. Di dalamnya termasuk Total Recall, Reservoir Dogs,
On Golden Pond, Super Mario Bros, Young Guns,
Dirty Dancing dan It's a Wonderful Life.
Tapi akuisisi yang terkenal tentu saja yang dilakukan pada 13
Januari 2012 ketika Lionsgate mengambil Summit Entertainment senilai US$ 412,5 juta dalam bentuk kombinasi uang tunai dan
saham. Transaksi
ini membuat posisi
Lionsgate sebagai studio independen semakin kuat. Dengan mengakuisisi Summit, koleksi film Lionsgate bertambah 13.000 judul.
Summit bukan nama sembarangan. Ia
punya sejumlah box-office seperti The Hurt Locker, Red, dan film yang membius kaum muda, The Twilight Saga.
![]() |
Lionsgate dan Summit. Kekuatan besar penantang The Big Six |
Masuknya Summit ke dalam pelukan, membuat Lionsgate menjadi pemain mini studio yang kian diperhitungkan. Di
Hollywood dan industri film global, sudah ada kemafhuman bahwa produsen dan distributor film terbagi dalam dua kelompok besar ditinjau dari skala
produksinya: major studio dan mini studio. Di kelompok major studio berdiri nama-nama besar seperti The 20th
Century Fox, Paramount, Walt Disney, Warner Bros, Columbia, serta Universal. Mereka
dijuluki The Big
Six. Sementara
di barisan mini studio berdiri Lionsgate, Summit, The Weinstein Company,
CBS Films dan raksasa yang sudah
lumpuh, MGM.
Jon Feltheimer
dan Tom Ortenberg menyadari bahwa
pertarungan di industri film tidaklah mudah. Karena itu mereka bergerak cepat
dengan mengakusisi perusahaan yang akan memperkaya kekuatan jaringan mereka.
Saat mengambil Summit, Feltheimer, Co-Chairman dan CEO Lionsgate berujar, “Transaksi ini melanjutkan strategi pertumbuhan jangka panjang kami untuk membangun
perusahaan media kelas dunia yang terdiversifikasi melalui kombinasi dari
disiplin, akuisisi strategis serta pertumbuhan organik,
dengan tetap menjaga neraca yang solid.”
Lionsgate memang sangat terdiversifikasi. Salah satunya adalah ekspansi ke bisnis televisi.
Unit ini memberikan sepertujuh bagi pendapatan perusahaan. Unit ini juga punya hit-nya sendiri, yakni Mad Men tentang orang periklanan tahun 1960-an, dan Nashville, cerita tentang bintang musik country.
Semua langkah akuisisi dan diversifikasi ini
dimudahkan dengan organisasi Lionsgate
yang ramping. Namun, kunci sukses lainnya adalah dari
sisi pemasaran, terutama mencari momentum yang pas. Kebanyakan studio besar merilis blockbuster-nya ke pasar secara simultan
di liburan musim panas dan saat Natal. Lionsgate tak melakukan itu. Dia mencari celah waktu di saat penonton dianggap tak
punya banyak pilihan. The Hunger Games salah satu contohnya, diputar pada Maret 2012.
Yang mutakhir adalah film Divergent,
yang dirilis pada bulan yang sama, tepatnya 21 Maret 2014. Divergent yang dibintangi Shailene Woodley ini berkisah tentang Tris Prior yang hidup di kota futuristik Chicago, yang masyarakatnya dibagi
menjadi 5 bagian: Candor (jujur), Erudite
(pintar), Dauntless (berani), Amity (damai), dan Abnegation (penolong). Saat melakukan tes, Tris ternyata tak cocok di kriteria manapun lantaran kepribadiannya
yang beragam, yang disebut sebagai "divergent". Sebagai "divergent", dia pun dilarang membocorkan identitasnya pada yang lain karena akan
membahayakan jiwanya. Bersama seorang “divergent” lain bernama Four, mereka
berjuang meruntuhkan konspirasi yang dilakukan pemimpin kelompok lain. Pada
penayangan perdananya, film yang diadaptasi dari novel Veronica Roth ini meraup
US$ 4,9 juta dan diprediksi akan sukses pada hari-hari berikutnya.
Catatan yang menarik dari Lionsgate adalah sementara major studio menjadi konglomerasi besar, studio ini tak punya induk yang siap
menopangnya saat melewati masa sulit
di tengah kompetisi yang begitu ketat. Namun, dengan
independensinya, mereka justru jadi bebas mengejar apa yang buat studio lain mungkin diabaikan. Dan lantaran bergerak independen, Lionsgate
berupaya melakukan perlindungan risiko dengan level kehati-hatian yang sangat
tinggi. Salah satu cara untuk melakukan ini adalah
menjual saham dalam produksi beranggaran besar kepada perusahaan luar dan sosok yang makmur, yang sering dijuluki sebagai keluarga “Medici” modern, yakni Amir Malin dari Qualia Capital, perusahaan private equity.
Dengan posisi tanpa induk, manajemen Lionsgate juga kerap menghadapi
tantangan yang tak mudah. Pada tahun 2011, mereka bertempur melawan
Carl Icahn, investor yang selama tiga tahun mencoba menendang para pemimpin
Lionsgate dan menggabungkan studio
ini dengan MGM, studio legendaris yang telah kehilangan
aumannya.
Hal semacam ini sebenarnya tidak mengejutkan. Sebagai pemain independen
yang mencorong, sangat wajar bila ada pihak-pihak yang ingin mencaplok
Lionsgate. Sebelumnya hal ini telah dialami DreamWorks, perusahaan yang didirikan trio Steven Spielberg,
Jeffrey Katzenberg dan David Geffen. Mengenyam sukses di periode 1998-2005, DreamWorks menjadi ancaman serius The
Big Six. Tahun 2006, Viacom, induknya Paramount mengakuisisi DreamWorks.
Tetapi tahun 2008, DreamWorks mengakhiri
kerjasama itu, lalu didanai Reliance ADA Group untuk kembali menjadi perusahaan independen dan memercayakan fungsi distribusinya kepada Touchstone. Karya DreamWorks yang terkenal diantaranya adalah
Lincoln (2013).
Feltheimer sendiri menyadari tidaklah mudah untuk terus
mencetak box-office dan bertarung
melawan studio-studio besar. Dan kenyataannya, memang sangatlah sulit untuk
memprediksi film yang akan jadi blockbuster.
Lionsgate sendiri pernah terpeleset. Salah satunya
adalah film yang digadang-gadang akan laris: Ender’s Game. Film military sci-fi. ini
hanya mencetak pendapatan kotor US$ 112 juta di seluruh dunia, sementara
anggarannya US$ 110 juta, belum lagi biaya pemasarannya yang tak murah.
Tantangan bagi Lionsgate sebagai jagoan dari kalangan mini studio memang tidaklah kecil. Ada
semacam sifat di Hollywood bahwa sesuatu -- termasuk studio film -- yang sebelumnya tidak dikenal dan tiba-tiba tenar, seringkali terbakar habis. Seperti meteor menghujam bumi. Banyak studio berusia muda dapat menjaga biayanya tetap ramping di awal,
tapi begitu mereka mulai tenar, mereka
malah kepayahan untuk tetap efisien karena sulit menolak permintaan aktor dan sutradara yang
ingin honor lebih
banyak. Lihat saja New Line Cinewa, yang berdiri tahun 1967, yang akhirnya
menjadi divisi di Warner Bros. Mekar di tahun 1980-an, New Line yang sempat top
lewat trilogi Lord of the Rings, tapi kemudian melar dalam urusan anggaran untuk film-film yang ironisnya malah tidak terlalu laku.
![]() |
Divergent. Siap menjadi lumbung uang baru bagi Lionsgate |
Kini, di tengah sorotan kekaguman dan ancaman pemain besar, Feltheimer
terus berupaya mencari sumur-sumur pertumbuhan baru. Selain berencana
meneruskan sekuel ketiga The Hunger Games,
yakni Mockingjay, Feltheimer menyatakan akan
membuat kelanjutan Divergent, yaitu Insurgent. Bagi sejumlah pengamat,
kelanjutan dua film ini akan menjadi pundi-pundi uang bagi Lionsgate. Benar
tidaknya pendapat itu, tentu masih ditunggu. Yang pasti, Lionsgate telah
menjadi penantang serius The Big Six.
***