Gagasannya
untuk berbisnis dengan semangat memberi pada anak-anak tak mampu, ternyata diapresiasi pasar. Ketulusannyalah yang membuat program ini sukses besar.
TERHENYAK
Semuanya bermula di tahun 2006. Seorang pemuda kelahiran Texas, 26
Agustus 1976 bernama Blake Mycoskie melakukan perjalanan ke Argentina. Itu
adalah perjalanan yang ditempuhnya sebagai sebuah penunaian janji yang dia ikrarkan
4 tahun sebelumnya.
Tahun 2002, Mycoskie bersama saudarinya, Paige mengikuti lomba
yang digelar CBS, The Amazing Race yang
salah satunya melintasi negerinya Lionel Messi ini. Mereka akhirnya menjadi
pemenang ketiga, hanya kalah beberapa menit dari pemenang pertama dan kedua.
Tapi bukan soal lomba itu yang membetot hati Mycoskie. Menurutnya Argentina
adalah negeri yang indah sehingga dia berjanji akan kembali pada suatu hari
nanti untuk mengenal negeri ini lebih jauh. Sebab, dalam The Amazing Race, katanya, mereka hanya berlari dan berlari untuk
menaklukkan tantangan.
Janji itu ditepatinya. Merasa lelah dengan bisnis kursus mengemudi
yang dijalankannya, Mycoskie memutuskan berlibur ke Argentina. Dia ingin
menghabiskan waktu bersenang-senang di ujung benua Amerika Latin itu. Dan
memang demikianlah pada awalnya. “Saya belajar polo, kursus menari tango, dan
berjalan-jalan,” ujar lelaki bercambang ini. Pokoknya bersenang-senang. Tiada
hari tanpa tawa dan senda gurau.
Tapi lewat satu bulan, kesenangan itu berganti menjadi satu
keharuan. Di sebuah desa yang sulit dicapai, yang terletak di perbatasan
Argentina dan Brazil, hati Mycoskie dikoyak sebuah pemandangan pahit. Beberapa
anak tak mengenakan sepatu. Bukan karena memang asyik bertelanjang kaki, tapi lantaran
memang tak mampu membeli sepatu atau alas kaki lainnya. Padahal mereka harus
menempuh jalan panjang untuk mendapatkan air. Yang membuatnya lebih prihatin,
mereka tak bisa bersekolah gara-gara tak bersepatu. Mengapa? Karena sekolah
menyaratkan anak-anak bersepatu sebagai bagian dari seragam sekolah. “Di sebuah
keluarga, mereka punya sepasang sepatu,” dia mengenang, “maka anak-anak mereka
saling berbagi pakai. Siapa yang hari itu giliran memakainya, dia bisa pergi
sekolah.”
Mycoskie terhenyak melihat pemandangan itu. Di negeri yang indah
ini, hatinya terusik. Pulang ke Amerika, dia pun membawa sebuah gagasan:
membangun perusahaan yang memproduksi sepatu kanvas. Bukan sembarang sepatu.
Tapi sepatu yang dijual dengan satu tawaran: siapa yang membeli sepasang sepatu
darinya hari ini (today), maka esoknya
(tomorrow) Mycoskie akan menyumbang sepasang
sepatu baru untuk anak-anak yang tak punya sepatu di negara-negara berkembang
atau tertinggal. “Karena itu kami sebut ini ‘the tomorrow's shoes project’,” katanya.
Dari Kalifornia, muncullah nama perusahaan itu: “Shoes for a
Better Tomorrow”. Lalu merek sepatunya: Tomorrow's shoes. Indah
terdengar. Akan tetapi, persoalan baru muncul. Nama itu terlalu panjang untuk
dikenakan di sepatu, Mycoskie pun mencari solusi. Lahirlah “TOMS” yang
merupakan kependekan dari kata “tomorrow” dalam "Tomorrow's
shoes". Belakangan, dia menanamkan merek itu menjadi sebuah value dalam perusahaannya: tentang menciptakan
hari esok yang lebih baik. “Saya senang untuk mengatakan bahwa kami semua
adalah ‘Tom’. Termasuk juga mereka di manapun yang memungkinkan sepatu ini terwujud,
mereka juga ‘Tom’.”
Kalau otak bisnis Mycoskie bekerja,
tak perlulah heran. Dia memang entrepreneur
tulen. Bisnis pertamanya dibesut saat masih kuliah. Di usianya yang menginjak
19 tahun, dari tangannya lahir layanan door-to-door
laundry yang disebut EZ Laundry. Empat tahun kemudian (1999), dia beralih
haluan, mendirikan perusahaan billboard
di Nashville, Tennessee, bernama Mycoskie Media. Hanya tiga tahun bisnis ini
dijalankan. Dia menjualnya kepada Clear Channel Communications untuk mengikuti Amazing Race. Pulang dari Argentina (2002),
Mycoskie mendirikan Reality Central, kemudian Drivers Ed Direct, perusahaan
layanan kursus mengemudi sampai akhirnya ditinggalkannya untuk kembali ke
Argentina yang mengantarnya pada kelahiran “TOMS”.
Tapi bisnis kali ini berbeda dengan bisnis-bisnis yang dibuat sebelumnya.
TOMS benar-benar tak serupa. Bukan hanya pada jasa atau produk yang dibuat,
tapi juga pada spirit, model bisnis serta cara pemasarannya.
Hal yang memang menarik adalah bagaimana Mycoskie menggulirkannya. Untuk merealisasikan niat awal bisnisnya, dia membangun model bisnis yang kemudian popular disebut “One for One”: satu pasang sepatu dibeli, satu pasang disumbangkan.
Dengan simple but strong
message semacam ini, tiada dinyana pasar menyambutnya dengan antusias. Terutama
di Amerika Serikat. Pelanggan di Negeri Abang Sam ini menjadi pasar terbesar TOMS. Dan
itu terbangun lewat pemasaran gaya word
of mouth marketing (WOM) yang secara sadar dibangun Mycoskie.
Salah satu langkah WOM yang terkenal dari Mycoskie beberapa bulan
setelah membesut TOMS adalah “A Day without Shoes” di tahun 2007 ketika dia mengajak orang
untuk terlibat dalam gerakan “sehari tak bersepatu”. Ya, Mycoskie mengajak
semua orang di dunia di dunia untuk berpartisipasi dengan gerakan ini. Maksudnya
agar bisa merasakan bagaimana rasanya tidak punya sepatu.
Ajakan
ini begitu diapresiasi, terutama di Amerika Serikat. Dan seperti spiral,
omongan baik itu menyebar begitu cepat. Televisi ramai meliputnya. Mycoskie
diwawancarai dalam acara Good Morning
America dan sejumlah pertunjukan lainnya. Berita serta opini di koran pun berentet.
Seperti sebuah mesin yang bekerja otomatis, kabar tentang sepatu TOMS terus
diproduksi massal. Ujungnya, buzz
tercipta massif. Tak heran, dalam 24 jam, Mycoskie bisa mendapat 2.200 order
sepatu.
Tapi
sebab utama mengapa WOM yang dibangun Mycoskie
disambut pasar adalah ketulusan misi yang dibentangkannya. Rupanya konsumen Amerika merasa tersentuh dengan misi
yang dibawa dalam sepatu TOMS. “Setiap
pelanggan yang membeli
sepatu Classics, Cordones, atau Stitchouts, akan mengingat bahwa mereka
menyumbang sesuatu pada dunia,” kata Mycoskie.
Dia punya pengalaman menarik tentang hal ini. Suatu hari Mycoskie
terbang ke New York. Di tengah perjalanan, dia menjumpai seorang wanita
mengenakan sepatu TOMS. Dengan santainya Mycoskie pun bertanya mengapa sang
wanita memakai sepatu TOMS. Tidak tahu siapa lelaki yang bertanya, sang wanita
secara antusias bercerita tentang misi perusahaan untuk membuat sepatu yang
bukan “sepatu biasa”, termasuk juga latar belakang sang pendiri yang sebenarnya
tengah berdiri di hadapannya. Pendek kata, orang-orang Amerika tertarik dengan
niat baik di balik bisnis anak muda ini.
Menariknya, tak cuma konsumen yang tergerak. Kalangan perusahaan pun
terdorong untuk terlibat lebih intens. Sejumlah perusahaan, termasuk AT&T
dan Polo Ralph Lauren mulai berkolaborasi dengan TOMS. Ralph Lauren mendesain
lini khusus TOMS untuk sepatu rugbi agar kredibilitas merek ini semakin mapan.
Sementara itu AT&T membuat film komersial tentang TOMS dan mengikuti
Mycoskie saat membagi-bagikan sepatu kepada anak tak mampu agar misi sosialnya
semakin diketahui luas.
Selain ketulusan yang diapresiasi masyarakat sehingga melahirkan
WOM yang hebat, belakangan, efek buzz
yang besar juga tercipta karena Mycoskie menciptakan model kolaborasi untuk
membuat TOMS kian diterima masyarakat luas. Caranya?
Sesuai janjinya, Mycoskie dan timnya melakukan perjalanan global
untuk mendistribusikan alas kaki ke anak-anak di wilayah tertinggal.
Menariknya, dalam proses ini dia mengajak para sukarelawan (terutama anak-anak
muda) dan LSM sehingga tercipta keterlibatan masyarakat yang sangat kuat. Rupanya
Mycoskie percaya bahwa kesuksesan TOMS akan bergantung pada satu faktor: hasrat
generasi baru untuk terlibat dalam proyek ini serta dukungan global yang luas.
![]() |
Mycoskie berbagi sepatu dengan anak-anak Ethiopia Sumber: Inc.com |
Apresiasi serta keterlibatan yang massif dalam spektrum “giving” ini pada akhirnya mendatangkan
efek positif bagi TOMS dari sisi bisnis. Secara mengejutkan, TOMS sangat
menguntungkan di masa resesi (2008-2009), sekalipun harganya dinaikkan dan Mycoskie
sangat sedikit mengucurkan uang untuk pemasaran dan iklan.
Hanya dalam waktu kurang dari 5 tahun, dengan bantuan getok tular sejumlah
korporasi, pelanggan serta media sosial, TOMS tumbuh eksponensial. Pada
September 2010, Mycoskie sudah mampu memberikan sepatu yang ke-1 juta.
Anak-anak yang dibantunya pun kian meluas, mencapai lebih dari 20 negara
sementara toko yang menjualnya tercatat lebih dari 500 gerai di seluruh dunia.
Tentu saja Mycoskie bangga. Tapi yang membuatnya terharu – dan
menggiring orang makin jatuh hati – adalah cerita ketika dia membawa orang
tuanya ke Argentina beberapa bulan setelah meluncurkan TOMS, ketika sepatu ini
belum begitu heboh. Bersama orang tuanya, Mycoskie memberikan 10 ribu pasang sepatu.
Mycoskie terharu begitu melihat ibunya mengelap kaki seorang anak yang kotor
dan memakaikan sepatu TOMS. Air matanya sontak menetes. “Saya begitu emosional
hal itu,” katanya.
Meski banyak orang menilai bahwa secara teoretik WOM bisa dikreasi,
tapi dalam kasus Mycoskie, kepopuleran sepatu TOMS membenarkan satu hal:
ketulusan merupakan fondasi WOM yang luar biasa! ***