Prestasi serta kekuasaannya yang besar
mendatangkan kekaguman sekaligus kesinisan. Bukunya yang baru dirilis memancing
komentar baik kaum pria maupun perempuan. Bagaimana sesungguhnya dia berupaya
menyeimbangkan antara karir dan keluarga? Inilah kisah Sheryl Sandberg.
DILAMAR
Tahun 2007. Pendiri Facebook, Mark
Zuckerberg, mengetahui dirinya sungguh-sungguh membutuhkan pertolongan orang
yang tepat. Situs jejaring sosialnya, Facebook, tumbuh demikian cepat.
Sementara dia sendiri, di usianya yang menginjak 23 tahun merasa tak punya
kemampuan untuk mengelola bisnis yang meraksasa melebihi perkiraannya.
Desember tahun itu, Mark pergi menghadiri pesta Natal di kediaman Dan Rosensweig, yang saat itu menjadi COO Yahoo! Ketika mendekati rumah Rosensweig, tanpa sengata Mark melihat seseorang yang selama ini sering disebut-disebut sebagai orang yang mungkin bisa menjadi mitra. Orang itu adalah Sheryl Sandberg. Berusia 38 tahun, Sheryl adalah VP Global Online & Sales Operation raksasa mesin pencari, Google.
Mark tak pernah berbincang langsung dengan Sheryl. Dia pun belum berkeinginan menawarkan pekerjaan untuknya di Facebook. Lagi pula, apa Sheryl mau meninggalkan pekerjaan hebat di sebuah perusahaan dengan 4.000 karyawan dan pendapatannya jauh melebihi kinerja Facebook. Tapi saat itu Mark memberanikan diri menghampirinya, sekaligus memperkenalkan dirinya yang sebenarnya sudah mulai terkenal. “Mungkin kami ngobrol sekitar satu jam di depan pintu,” kenang Mark (A Woman’s Place, New Yorker, 11 Juli 2011).
Pada saat itu, Sheryl sesungguhnya tengah bersiap-siap menerima tantangan baru. Dia sedang menimbang-nimbang tawaran Donald Graham, CEO Washington Post Company, untuk menjadi eksekutif senior di perusahaan media tersebut. Belum ada keputusan apapun waktu itu. Sampai Mark datang memperkenalkan diri.
Setelah pertemuan itu, persisnya selepas hari-hari libur Natal dan Tahun Baru, Mark mengirimi Sheryl email. Selanjutnya, kontak pun semakin intens, termasuk makan malam yang tak terhitung jumlahnya.
Makan malam pertama dilangsungkan di Flea Street Café, yang dekat rumah Sheryl di Atherton, Kalifornia. Namun karena tak nyaman, akhirnya selama hampir 2 bulan, tempat pertemuan dipindahkan ke rumah Sheryl, tempat dia beserta suami dan dua anaknya tinggal. “Mereka seperti sedang berkencan saja,” seloroh Dave Goldberg, suami Sheryl yang juga CEO perusahaan survei online, SurveyMonkey.
Tentu saja ini bukan kencan. Perbincangan
mereka sangat mendasar. “(Kami saling bertanya) Apa yang kamu percayai? Apa
yang kamu pedulikan? Apa misi hidupmu? Sesuatu yang sangat filosofis,” kata
Sheryl. Akhirnya, setelah perbincangan yang intens, dia pun menerima pinangan
Mark. Jejaring sosial sepertinya memang memiliki prospek lebih baik ketimbang
surat kabar cetak. Lagi pula, wanita berambut sebahu ini agak keberatan bila
harus pindah dari Lembah Silikon ke Washington, kota kelahirannya.
Sebelum menerima permintaan Mark, sesungguhnya Sheryl telah menemui Eric Schmidt, CEO Google. Dia mengutarakan keinginannya melakukan yang lebih besar buat Google. Eric menyambutnya dan mengusulkannya menjadi chief financial officer. Sheryl menolak usulan ini. Alasannya, posisi itu tak memberinya tanggung jawab managerial yang besar. Dia minta posisi chief operating officer. Kali ini giliran Eric yang menolak. Sebabnya, di Google sudah ada triumvirat pengambil keputusan: sang pendiri, Larry Page dan Sergey Brin, serta Eric sendiri. Mereka tak ingin kehadiran Sheryl membuat pengambilan keputusan menjadi lebih kompleks.
Andai triumvirat itu menerima usulan
Sheryl, ceritanya sudah pasti berbeda. Mark menempatkan Sheryl di posisi yang
diinginkannya: COO Facebook. Tugasnya terbentang luas: mengelola sales, marketing,
business development, human resources, public policy dan komunikasi
perusahaan. Sesuatu yang memang diinginkan Sheryl, yang membuatnya kelak
dijuluki First Lady of Facebook. Dialah Ratu Facebook, orang nomor dua
setelah Mark.
![]() | |
Sheryl bersama Mark Zuckerberg. Raja dan Ratu Facebook. |
MANIFESTO BERNAMA "LEAN IN"
Empat tahun berlalu sejak menerima lamaran
Mark, sorotan publik kepada Sheryl kini makin kuat. Bukan saja karena dia
terbilang mampu mengelola bisnis yang besar sekaligus turut mengantar Facebook
melantai di bursa, tapi juga karena pembelaannya terhadap kaum wanita seperti
ditunjukkan dalam buku yang baru saja dirilis, Lean In: Women, Work, and the
Will to Lead, serta upayanya menjadi ibu rumah tangga yang baik.
Buat Facebook, Mark tidak salah menjatuhkan
pilihan. “Dia membangun seluruh elemen bisnis Facebook,” katanya. “Saya tak
tahu menahu bagaimana menjalankan perusahaan. (Kami) Tahu apa yang kami
inginkan, tapi kami kekurangan seseorang yang visioner, yang tahu bagaimana
meraihnya dalam skala yang besar,” dia melanjutkan. Sebelum Sheryl mendarat,
Facebook memiliki 70 juta pengguna dan pendapatan US$ 150 juta. Kini,
penggunanya mencapai satu miliar dengan pendapatan US$ 1,59 miliar pada kuartal
IV/2012 (Confidence Woman, TIME, 7 Maret 2013). Sungguh pencapaian yang
luar biasa.
Kekaguman pada Sheryl yang mampu
mendongkrak Facebook itu mengiringi keriuhan yang tengah dimunculkan lewat
bukunya yang baru saja dirilis 12 Maret 2013, Lean In. Dalam buku yang positioning-nya
bak sebuah manifesto kalangan feminis itu, Sheryl menggugat kuatnya dominasi
kaum pria. Dia mengajukan pertanyaan: mengapa sedemikian sedikit kekuasaan
politik dan ekonomi yang dipegang kaum perempuan?
“Faktanya, kaum pria memang masih
mendominasi dunia,” Sheryl menulis. Dia menyebut contoh: hanya 19 orang dari
perusahaan Fortune 500 adalah perempuan. Lalu, anggota Kongres AS, 82%
dipegang kalangan laki-laki. Apalagi di Lembah Silikon, perempuan yang memiliki
power dianggap cyborg. Dia jadi berita, katanya, kalau dia hamil.
Dalam bukunya itu, sulit untuk menepis
sinisnya Sheryl terhadap kaum pria. Namun, memang itu faktanya. Di Silicon
Valley sendiri, eksekutif wanita bisa dihitung dengan jari. Selain dia yang
masih berposisi COO, ada Meg Whitman (CEO HP) serta Marisa Mayer (CEO Yahoo!).
Tak lupa, dia juga melemparkan kritiknya terhadap kaum wanita yang kurang
begitu keras mengejar cita-citanya.
Dalam bukunya, Sheryl meyakini banyak hal
baik bisa dicapai seandainya wanita diberikan peran lebih besar. Dan kaum
wanita sendiri harus bisa membagi peran ketika memilih ingin bisa sukses dalam
karir serta keluarga. Lantas, bagaimana Sheryl sendiri membangun karir dan
keluarga?
Sheryl tak langsung membangun Facebook
dengan mudah. Dia mengingat, pada 24 Maret 2008, itulah pertama kalinya menjadi
COO Facebook yang disebutnya “small company”. Saat tiba di Facebook, dia
mengakui beberapa orang seakan terlihat gugup menghadapinya. Beberapa juga ragu
dia akan bisa melenggang mulus di perusahaan Lembah Silikon yang tipikalnya
didominasi kaum pria – kaum wanita tak dianggap punya kemampuan meng-coding
peranti lunak.
Kehirauan Sheryl sendiri adalah pada sisi
keuangan Facebook yang payah. “Ada pertanyaan terbuka: apakah kita bisa
mencetak uang?” katanya. Dia melihat para teknisi Facebook, seperti halnya
mereka di Google satu dekade sebelumnya – atau mereka di Twitter sekarang –
menempatkan perhatian terbesarnya pada bagaimana membuat situs yang keren.
Laba, menurut mereka, akan mengikuti kemudian. Cool site first, profit will
follow!
Waktu itu iklan masih menjadi problema.
Para pengguna beranggapan laman Facebook-nya adalah milik pribadi. Mereka tak
ingin ada interupsi iklan ketika tengah ngobrol (chat) dengan
temannya. Saking beratnya persoalan ini sampai-sampai banyak orang berpikir
Facebook hanya akan bersifat meteorik, bersinar sesaat untuk kemudian jatuh
berkeping, seperti Myspace. Yang lain berpikir Mark yang tampak pemalu, kurang
memiliki kemampuan manajerial untuk membuatnya sukses.
Sheryl segera membenahi kondisi Facebook.
Setiap hari, dari jam 6-9 pagi, di menggelar rapat membahas model bisnis yang
tepat dan strategi memonetisasi Facebook agar pendapatan meluncur deras. “Saya
pergi ke ruangan-ruangan dan bertanya, ‘Bagaimana menurutmu?’,” kata Sheryl.
Dia selalu membuka perdebatan mencari jalan terbaik pemasangan iklan serta revenue
stream lainnya.
Sheryl dikenal sebagai wanita yang tak
punya rasa takut. Namun sesungguhnya ketika memulai tugasnya di Facebook, dia
diliputi perasaan itu. Mulai dari takut tak disukai, takut membuat keputusan,
sampai takut gagal. Jadi, “Tak ada gunanya saya bilang bahwa kita sama sekali
tak boleh punya rasa takut. Bahkan saya kadang gagal untuk meyakinkan diri
sendiri,” katanya.
Toh itu semua coba ditekannya. “Saya
mencoba seberani mungkin.” Dan perlahan-lahan dia pun berhasil. Tim manajemen
sepakat Facebook mengandalkan iklan dengan tampilan yang tidak mengganggu
pengguna. Pada tahun 2010, Facebook yang ketika Sheryl datang tengah
berdarah-darah, mencetak laba.
Dalam Lean In, Sheryl mendorong kaum
perempuan untuk berani. Menurutnya, kaum wanita harus melawan ketakutannya pada
setiap fase kehidupan. Di sekolah, tak boleh takut mengangkat tangan. Sewaktu
rapat, jangan takut memberikan opini. “Begitu juga, jangan takut untuk mencari
teman hidup yang akan mendukung kita menggapai mimpi. Pun dalam karir, harus
berani sepenuhnya total dalam karir sekalipun punya rencana untuk membentuk
keluarga. Dengan melawan seluruh rasa ketakutan ini, kaum perempuan dapat
memilih mau sukses di karir, atau meraih sukses baik dalam karir maupun
keluarga,” begitu dia menyarankan.
![]() |
Lean In, buku Sheryl yang menjadi Manifestonya tentang Wanita |
MENYEIMBANGKAN DIRI
Sheryl bukan asal bicara. Dia telah
membuktikannya. Termasuk dalam urusan keluarga. Dia telah berupaya membagi
peran antara karir dan keluarga sebaik mungkin. Caranya?
“Saya keluar kantor setiap hari pukul 5.30
sehingga bisa makan malam dengan anak-anak pada jam 18.00. Menariknya, saya
lakukan ini sejak saya punya anak,” katanya dalam rekaman video di Makers.com.
Sheryl telah melakukannya sewaktu di Google. Agar bisa berangkat pada jam itu,
dia akan mengirim email ke kolega kerja pada malam harinya.
Dia mengaku banyak orang berhadapan dengan
stigma buruk tentang pulang kerja sore hari, terlebih di lingkup pekerjaan yang
kompetitif yang sering kali punya kultur menilai seseorang dari lamanya jam
kerja yang dia lewatkan di kantor. “Kita tak usah malu pulang sebelum jam 6
sore untuk makan malam dengan anak serta suami,” katanya. Menurutnya, dia
melakukan itu setelah membaca sebuah riset bahwa anak-anak lebih sehat, lebih
bahagia, dan lebih baik prestasinya di sekolah bila mereka bisa makan bersama
keluarganya.
Sheryl memang sangat dekat dengan
keluarganya. Di markas besar Facebook (Menlo Park, Kalifornia) tak ada orang
yang punya kantor khusus. Sheryl duduk tak jauh dari Mark, di sebuah sudut
ruangan yang dulunya tempat parkir. Di dekat meja kerjanya, ada sebuah tiang
dengan tulisan “I Love You, Mom” yang ditulis anak laki-lakinya berusia
7 tahun serta anak perempuannya (5 tahun)
Dengan cara sedekat mungkin pada
anak-anaknya, Sheryl ingin bisa sukses dalam karir dan keluarga. Dia ingin
melawan dikotomi “children vs career” yang banyak menghantui kalangan
perempuan dengan pemeonya yang menakutkan: the bigger the career, the less
you see of your kids.
Masa kecilnya memang cukup mewarnai pola
pikirnya. Sheryl Kara Sandberg lahir pada 28 Agustus 1969 di Washington DC.
Keluarganya pindah ke North Miami Beach saat usianya menginjak 2 tahun. Ibunya,
Adele, meninggalkan studi Ph.D. dan mengajar bahasa Prancis agar bisa mengasuh
Sheryl serta dua adiknya, David serta Michelle.
Ayah mereka, Joel Sandberg adalah seorang
spesialis mata. Setelah seorang rabi di sinagog mereka membutuhkan tenaga
sukarelawan, Joel serta Adele mendirikan South Florida Conference on Soviet
Jewry. “Adele lah yang melakukan banyak pekerjaan,” kata Joel yang menjabat
sebagai presiden organisasi ini. Rumah mereka menjadi markas tak resmi untuk
kaum Yahudi Soviet yang ingin menghindari kampanye anti-Semit. Rumah mereka
juga menjadi hotel sementara untuk mereka yang mendapat ijin beremigrasi.
Masa kecil Sheryl terhitung bahagia. Dia
sendiri tergolong pandai, dan selalu masuk peringkat atas. Kecerdasan ini terus
dibawanya hingga menempuh sekolah di Harvard College, mengambil jurusan
ekonomi. Teman-temannya mengenang sosok ini sebagai orang yang tak suka
mengacungkan tangan untuk bertanya atau menjawab, tapi selalu mendapat nilai
tertinggi di kelas.
Selepas Harvard, karir Sheryl terus
menanjak. Wanita cerdas ini menjadi asisten riset di Bank Dunia pada 1991. Dua
tahun kemudian, dia bekerja di McKinsey sembari kuliah di Harvard Business
School. Lalu diminta Lawrence (Larry) Summers, yang menjabat Deputi Menteri
Keuangan menjadi chief of staf-nya, sebelum akhirnya terbang ke Google.
Karir mulus Sheryl tak selalu berbanding
lurus dengan urusan cintanya. Dalam urusan cinta, tak heran kalau dia
menyatakan bahwa seorang perempuan tak boleh takut untuk menunggu dalam mencari
teman hidup yang akan mendukungnya menggapai mimpi. Saat di McKinsey, Sheryl
menikah dengan seorang pengusaha dari Washington, Brian Kraff. Pernikahan ini
berjalan singkat. Setelah itu, Sheryl akhirnya jatuh cinta dan menikahi kawan
lamanya, Dave Goldberg pada tahun 2004.
Pada Bab 8 buku Lean In, Sheryl mengklaim
bahwa salah satu hal terpenting bagi wanita karir yang ingin sukses adalah
“dengan siapa dia akan menikah”. Sheryl dan Goldberg berkencan setelah
persahabatan yang lama. Mereka berdua saling mendukung karir satu sama lain.
Dave meninggalkan pekerjaan di Yahoo agar bisa tinggal bersama-sama Sheryl di
Northern California. Dia mengambil alih SurveyMonkey.
![]() |
Berdua bersama sang suami, Dave Goldberg. Dukungan Dave sangat besar |
Kehidupan karir serta keluarga yang
berjalan lempang ini banyak membuat orang iri, terutama kaum Hawa. Yang
menarik, ketika Sheryl menuangkan kritiknya dalam Lean In, tak semua
kalangan perempuan langsung memberi aplaus kencang. Mereka, terutama yang tak
mudah membagi antara karir dan keluarga, juga mengritik balik. Mereka menyebut
mudah saja bagi Sheryl untuk menyatakan demikian karena posisinya yang
memungkinkan dibanding kebanyakan kaum perempuan.
Dengan dua gelar di Harvard, suami seorang
CEO, gaji yang besar (US$ 31 juta di tahun 2011, yang membuatnya salah satu
wanita bergaji termahal di dunia) yang membuatnya sejahtera, lingkup kerja yang
fleksibel, serta kekuasaan di tempat pekerjaan, Sheryl dianggap mampu melakukan
banyak hal dibanding perempuan biasa. “Dia sih enak tinggal di rumah
yang luas, pembantu banyak sehingga bisa lebih leluasa mengatur pekerjaannya,”
kata para pengritiknya. Keluarga Goldberg tinggal di mansionseluas 9000
m2 senilai US$ 8 juta di Kalifornia.
Yang membuat para pengritiknya bersuara
tambah keras adalah bahwa Sheryl beruntung memiliki sponsor dalam mendongkrak
karirnya. Isu ini dikemukakan karena dalam perjalanan karir – terutama kalangan
wanita –, ternyata bukan hanya aspek “mentor” yang keberadaannya diperlukan
untuk mengajari banyak hal, tapi juga “sponsor” yang membantu mempromosikan
seseorang ke jenjang yang lebih tinggi. “Sandberg, dengan segala hormat untuk segala
prestasinya, punya Larry Summers. Dia punya sponsor yang powerful dalam
hidupnya. Ini sangat jarang dimiliki kaum perempuan,” ujar Sylvia Ann Hewlett
yang mengelola Gender and Policy Program di Columbia.
Sheryl memang beruntung memiliki sponsor
bernama Larry Summers. Lelaki ini dikenalnya sejak Larry menjadi dosen di
Harvard. Sheryl masuk Bank Dunia di usia yang demikian muda (22 tahun) karena
Larry diangkat menjadi Chief Economist Bank Dunia. Begitu juga saat
masuk pemerintahan. Tak semua seberuntung Sheryl sehingga bisa menjadi chief
staff di departemen keuangan di usia muda. Kalangan perempuan yang lebih
rendah pendidikannya serta koceknya lebih tipis, tentu tak mudah melakukan
prestasi semacam itu dengan tetap menjaga keseimbangan antara kerja dan keluarga,
melakukan apa yang disebut work life balance. Google telah membuat
Sheryl kaya. Facebook menjadikannya billionaire. Kalau dia dan suaminya
bepergian, demikian kata para pengiritiknya, akan ada orang lain yang menyuapi
dan membacakan dongeng buat anaknya.
Para pengritiknya pun akhirnya yakin bahwa
sesungguhnya Sheryl bukanlah “a typical working mother”. Alasannya:
karena dia punya banyak pembantu di rumah, dan punya banyak staf di tempat
kerja.
Faktanya, Sheryl sendiri mengaku tak mudah
untuk melakukan work life balance. Dalam wawancara di Makers.com
bahkan dia blak-blakan menyatakan, “So, there's no such thing as work-life
balance. There's work, and there's life, and there's no balance,” katanya.
Menurutnya, sangatlah sulit untuk menjadi working
mother yang berusaha menyeimbangkan antara tanggung jawab keluarga dan
tanggung jawab kekuasaan karir yang demikian tinggi. Baginya, pertolongan
seorang suami akan sangat membantu kehidupan seorang perempuan yang bekerja.
“Jadi, hal yang paling penting, dan saya sudah katakan ini ratusan kali, kalau
Anda menikahi seorang pria, nikahilah pria yang tepat,” katanya.
Seakan menepis kritik yang mengalir, dia
juga mengaku sering berada pada posisi sulit di rumah, terutama pada
anak-anaknya. “Saya sering merasa bersalah ketika anak lelaki saya bilang,
‘Mommy, taruh dong BlackBerry-nya, ngobrollah denganku’. Dan itu kerap
terjadi. Saya kira kaum perempuan sering merasa bersalah dalam posisi seperti
ini. Saya tidak tahu bagaimana kalau kaum pria. Apakah mereka punya perasaan
bersalah yang sama?” katanya.
Itulah sebabnya dia berupaya tetap
konsisten berangkat jam 5.30 dan sudah di rumah pada pukul 18.00 agar bisa
duduk bersama keluarganya. Meski tetap merasa sulit membagi waktu, Sheryl tetap
ingin seperti ibunya, Adele, yang bisa mengurus anak-anaknya. Sebab,
bagaimanapun juga, pada akhirnya oase terindah bagi working mother
tetaplah keluarga. ***